MAKNA DAN HAKIKAT AMAR DAN NAHI
Telah ditetapkan
bahwa hukum syar’i itu adalah Kitab (titah) Allah, yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Kitab dalam
bentuk tuntutan ada dua bentuk yaitu tuntutan yang mengandung beban hukum untuk
dikerjakan disebut perintah (amar) dan tuntutan yang mengandung beban hukum
untuk ditinggalkan yang disebut dengan larangan (nahi).
A. Amar
Amar dapat dilihat
dari beberapa segi, antara yang satu dengan lainnya saling berkaitan; 1.
Hakikatnya, 2. Definisinya, 3. Ucapan yang digunakan, 4. Penunjukkannya.
Hakikat Amar
Kata amar banyak
terdapat dalam al-Qur’an. Ada yang mengandung arti “ucapan” atau “perkataan”.
Contohnya firman Allah dalam surat Thaha ayat 132
Dan perintahkanlah
kepada keluargamu mendirikan shalat …..
Ada juga kata amar
yang tidak mengandung arti ucapan; diantaranya seperti untuk “sesuatu” atau
“urusan” atau “perbuatan”. Beberapa arti amar dapat dilihat dalam contoh-contoh
ayat di bawah ini;
Surat al-Syura: 38
urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka....
Amar dalam ayat
ini mengandung arti “urusan”
Surat Ali Imran:
159
dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam segala sesuatu …
Amar dalam ayat
ini mengandung arti “sesuatu”.
Surat al-Thalaq: 9
Maka mereka
merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan
mereka kerugian yang besar.
Amar dalam ayat
ini mengandung arti “perbuatan”
Definisi Amar
Dalam setiap kata
amar mengandung tiga urusan, yaitu:
1 Yang mengucapkan
kata amar atau yang disuruh
2 Yang dikenai
kata amar atau yang disuruh
3 Ucapan yang
digunakan dalam suruhan itu
Perbincangan
mengenai hal definisi amar ada perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul dalam
merumuskannya:
· Diantara ulama,
termasuk ulama mu’tazilah mensyaratkan bahwa kedudukan pihak yang menyuruh
harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh. Kalau kedudukan yang menyuruh lebih
rendah dari yang disuruh, maka tidak dapat disebut amar, tetapi disebut “doa”,
seperti disebutkan dalam al-Qur’an Surat Nuh: 28
28. Ya Tuhanku!
ampunilah aku, ibu bapakku, …
· Sebagian besar
ulama, termasuk Qodhi Abu Bakar dan Imam Haramain mendefinisikan amar sebagai
berikut:
“Suatu ucapan yang
menuntut kepatuhan dari yang menyuruh untuk mengerjakan suatu perkataan yang
disuruhnya.”
Sighat Amar
Dikatakan ulama
ushul diperbincangan tentang apakah dalam menggambarkan amar (menuntut orang
mengerjakan sesuatu) ada ucapan yang dikhususkan untuk itu, sehingga dengan
ucapan itu akan diketahui bahwa maksudnya adalah perintah untuk berbuat. Atau
untuk amar itu tidak ada kata khusus, tetapi untuk mengerjakan sebagai suruhan
tergantung kepada kehendak orang yang menggunakan kata amar itu.
Dalam hal ini
terdapat perbedaana dikalangan ulama :
1. Banyak ulama
ushul fiqh berpendapat bahwa untuk tujuan menyuruh (amar) itu ada ucapan
tertentu dalam penggunaan bahasa, sehingga tanpa ada qarinah apapun kita dapat
mengetahui bahwa maksudnya adalah perintah.
2. Abu al-Hasan
(dari kalangan ulama mu’tazilah) berpendapat bahwa amar itu tidak dinamakan
amar dengan semata melihat kepada lafadnya, tetapi dapat disebut amar, karena
ada kehendak dari orang yang menyuruh untuk melakukan perbuatan itu.
3. Abul Hasan dari
kalangan ulama al-Asy’ariah ia berpendapat bahwa amar itu tidak mempunyai
sighat tertentu.
4. Amar dari Segi
Dilalah (penunjukan) dan Tuntutannya
Setiap lafadz amar
menunjuk kepada dan menuntut suatu maksud tertentu. Maksud tersebut dapat
diketahui dari sighat lafadz itu sendiri. Berikut adalah diantara bentuk
tuntutan dari kata amar:
Untuk hukum wajib, artinya lafadz amar itu
menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam
lafadz itu. Umpamanya firman Allah dalam surat An-Nisa: 77;
Dirikanlah
sembahyang dan tunaikanlah zakat!" ..
Amar di dalam ayat
ini menimbulkan hukum wajib meskipun tanpa qarinah yang mengarahkannya untuk
itu.
Untuk hukum nadb
atau sunnat, artinya hukum yang timbul dari amar itu adalah nadb, bukan untuk
wajib. Contohnya dalam surat al-Nur: 33
hendaklah kamu
buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka,
Lafadz kitabah,
yaitu kemerdekaan dengan pembayaran cicilan yang disuruh dalam ayat tersebut,
menimbulkan hukum nadb, sehingga bagi yang menganggap tidak perlu, maka tidak
ada ancamannya apa-apa.
B. Nahi
Definisi Nahi
Pembicaraan ulama
dalam pembahasan tentang “amar” yang menyangkut hakikat, sikap dalam
mengucapkan, dan kedudukan yang memberikannya, berlaku pula dalam pembicaraan
tentang “nahi” (larangan)[1]. Apabila dalam nash syara’ terdapat lafazd khos
dalam bentuk larangan, atau bentuk berita yang mengandung pengertian larangan,
maka lafadz itu memberi pengertian haram, artinya tuntutan menahan sesuatu yang
dilarang dengan pasti. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al Baqarah: 221
..Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. …
Dari ayat
tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa haram seorang lelaki muslim
mengawini wanita musyrik sampai ia beriman[2].
Jadi, definisi
Nahi adalah:
“Tuntutan untuk
meninggalkan secara pasti, tidak menggunakan ‘Tinggalkanlah’, atau yang
sejenisnya.”
Hakikat Nahi
Memang dalam al-Qur’an terdapat beberapa kemungkinan maksud dari larangan.
Untuk apa sebenarnya (hakikat) nahi itu dalam pengertian lughawi? Hal ini
menjadi perbincangan di kalangan ulama, yaitu:
Jumhur ulama yang
berpendapat bahwa hakikat asal nahi itu adalah untuk haram dan ia baru bisa
menjadi bukan haram bila ada dalil lain yang menunjukkannya. Dalam hal ini
Jumhur ulama mengemukakan sebuah kaidah yang populer:
“Asal dari
larangan adalah untuk hukum haram”
Ulama Mu’tazilah
yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk nadb (sunnat), dan berpendapat
bahwa nahi itu menimbulkan hukum karahah (makruh). Berlakunya untuk haram tidak
diambil dari larangan itu sendiri tetapi karena ada dalil lain yang memberi
petunjuk
Hubungan Timbal
Balik Antara Amar dan Nahi
Amar tentang
sesuatu berarti tuntutan mengerjakan sesuatu itu. Sedangkan nahi atas sesuatu
berarti tuntutan menjauhi sesuatu itu. Apabila suatu perbuatan disuruh untuk
dikerjakan apakah berarti sama dengan kebalikannya berupa larangan untuk
meninggalkan perbuatan tersebut. Atau dengan kata lain, apakah amar tentang
sesuatu sama dengan nahi terhadap lawan sesuatu itu.
Sebelumnya perlu
dijelaskan mengenai bentuk lawan dari suatu kata. Bentuk pertama adalah lafadz
yang hanya mempunyai satu lawan kata. Bentuk yang seperti ini disebut
(alternatif). Umpamanya lawan kata bergerak adalah diam. Bentuk kedua adalah
lafadz yang lawan katanya lebih dari satu, disebut (kontradiktif). Umpamanya,
lawan kata berdiri adalah duduk, bertaring, jongkok dan sebagainya.
1. Segolongan
ulama, diantaranya ulama Hambali, berpendapat bahwa bila datang larangan
mengerjakan satu perbuatan dan ia hanya mempunyai satu lawan satu kata, berarti
disuruh melakukan lawan kata dari segi artinya. Misalnya, dilarang bergerak
berarti disuruh untuk diam. Bila lawan kata dari yang dilarang itu banyak
berarti disuruh melakukan salah satu dari lawan katanya. Mereka mengemukakan
alasan bahwa bila dilarang melakukan sesuatu perbuatan berarti wajib
meninggalkannya dan tidak mungkin meninggalkannya kecuali dengan cara melakukan
salah satu diantara lawan-lawan kata tersebut.
2. Banyak ulama,
diantaranya Imam Haramain, al-Ghazali, al-Nawawi, al-Jufani dan lainnya
berpendapat bahwa amar nafsi (tentang sesuatu yang tertentu), baik hukumnya
wajib atau nadb bukanlah berarti larangan mengerjakan lawan sesuatu itu dan
juga tidak merupakan kebiasaan bagi lawannya baik larangan itu menghasilkan
hukum haram/karahah, baik lawan kata itu satu atau lebih dari satu.[3]
[1] Amir
Syarifuddin., Ushul Fiqih Jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001) Cet.3,
hal. 159
[2] Abdul Wahab
Khalaf., Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Gema Insani Risalah Press, 1997). Cet. 2,
hal. 351
[3] Amir
Syarifuddin., Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000). Cet.3.hal
2001.
Category: Artikel Islam, Makalah, USHUL FIQH
0 komentar