ABU MUSA AL-ASYA'ARI
ABU MUSA AL-ASYA'ARI; Yang penting
keikhlasan..., kemudian terjadilah apa yang akan terjadi... !
Tatkala Amirul Mu'minin
Umar bin Khatthab mengirimnya ke Bashrah untuk menjadi panglima dan gubernur,
dikumpulkannyalah penduduk lain berpidato di hadapan mereka, katanya:
"Sesungguhnya Amirul
Mu'minin Umar telah mengirimku kepad kamu sekalian, agar aku mengajarkan kepada
kalian kitab Tuhan kalian dan Sunnah Nabi kafian, serta membersihkan jalan
hidup kalian... !"
Orang-orang sama heran dan
bertanya-tanya... ! Mereka mengerti apa yang dimaksud dengan mendidik dan
mengajari mereka tentang Agama, yang memang menjadi kewajiban gubernur dan
panglima. Tetapi bahwa tugas gubernur itu juga membersihkan jalan hidup mereka,
hal ini memang amat mengherankan dan menjadi suatu tanda tanya ... !
Maka siapakah kiranya
gubernur ini, yang mengenai dirinya Hasan Basri r.a. pernah berkata: -- 'Tak
seorang pengendarapun yang datang ke Basrah yang lebih berjasa kepada
penduduknya selain dia ... !"
Ia adalah Abdullah bin Qeis
dengan gelar Abu Musa al-Asy'ari. Ia meninggalkan negeri dan kampung halamannya
Yaman menuju Mekah·, segera setelah mendengar munculnya seorang Rasul di sana
yang menyerukan tauhid, dan menyeru beribadah kepada Allah berdasarkan
penalaran dan pengertian, serta menyuruh berakhlaq mulia.
Di Mekah dihabiskan
waktunya untuk duduk di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam menerima
petunjuk dan keimanan daripadanya. Lalu pulanglah ia ke negerinya membawa
kalimat Allah, baru kembali lagi kepada Rasul shallallahu alaihi wasalam tidak
lama setelah selesainya pembebasan Khaibar....
Kebetulan kedatangannya ini
bersamaan dengan tibanya Ja'far bin Abi Thalib bersama rombongannya dari
Habsyi, hingga semua mereka mendapat bagian saham dari hasil pertempuran
Khaibar.
Kali ini, Abu Musa tidaklah
datang seorang diri, tetapi membawa lebih dari limapuluh orang laki-laki
penduduk Yaman yang telah diajarinya tentang Agama Islam, serta dua orang
saudara kandungnya yang bernama Abu Ruhum dan Abu Burdah.
Rombongan ini, bahkan
seluruh kaum mereka dinamakan Rasulullah golongan Asy'ari, serta dilukiskannya
bahwa mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya di antara sesamanya.
Dan sering mereka diambilnya sebagai tamsil perbandingan bagi para shahabatnya,
sabda beliau: -- "Orang-orang Asy'ari ini bila mereka kekurangan makanan
dalam peperangan atau ditimpa paceklik, maka mereka kumpulkan semua makanan
yang mereka miliki pada selembar kain, lalu mereka bagi rata ....
Maka mereka termasuk
golonganku, dan aku termasuk golongan mereka... !"
Mulai saat itu, Abu Musa
pun menempati kedudukannya yang tinggi dan tetap di kalangan Kaum Muslimin dan
Mu'minin yang ditakdirkan beroleh nasib mujur menjadi shahabat Rasulullah dan
muridnya, dan yang menjadi penyebar Islam ke seluruh dunia, pada setiap masa
zaman.
Abu Musa merupakan gabungan
yang istimewa dari sifat-sifat utama! Ia adalah prajurit yang gagah berani dan
pejuang yang tangguh bila berada di medan perang... ! Tetapi ia juga seorang
pahlawan perdamaian, peramah dan tenang, keramahan dan ketenangannya mencapai
batas maksimal ... ! Seorang ahli hukum yang cerdas dan berfikiran sehat, yang
mempu mengerahkan perhatian kepada kunei dan pokok persoalan, serta mencapai
hasil gemilang dalam berfatwa dan mengambil keputusan, sampai ada yang
mengatakan: "Qadli atau hakim ummat ini ada empat orang, yaitu Umar, Ali,
Abu Musa dan Zaid bin Tsabit ....".
Di samping itu ia
berkepribadian suci hingga orang yang menipunya di jalan Allah, pasti akan tertipu
sendiri, tak ubahnya seperti senjata makan tuan ... ! Abu Musa sangat
bertanggung jawab terhadap tugasnya dan besar perhatiannya terhadap sesama
manusia. Dan andainya kita ingin memilih suatu semboyan dari kenyataan
hidupnya, maka semboyan itu akan berbunyi: -- "Yang penting ialah ikhlas,
kemudian biarlah terjadi apa yang akan terjadi... !"
Dalam arena perjuangan
al-Sy'ari memikul tanggung jawab dengan penuh keberanian, hingga menyebabkan
Rasulullah shallallahu alaihi wasalam berkata mengenai dirinya: --
"Pemimpin dari orang-orang berkuda ialah Abu Musa " Dan sebagai
pejuang, Abu Musa melukiskan gambaran hidupnya sebagai berikut: "Kami
pernah pergi menghadapi suatu peperangan bersama Rasulullah, hingga sepatu kami
pecah berlobang-lobang, tidak ketinggalan sepatuku, bahkan kuku jariku habis
terkelupas, sampai-sampai kami terpaksa membalut telapak kaki kami dengan
sobekan kain... !"
Keramahan, kedamaian dan
ketenangannya, jangan harap menguntungkan pihak musuh dalam sesuatu peperangan
Karena dalam suasana seperti ini, ia akan meninjau sesuatu dengan
sejelas-jelasnya, dan akan menyelesaikannya dengan tekad yang tak kenal
menyerah.
Pernah terjadi ketika Kaum
Muslimin membebaskan negeri Persi, Al-Asy'ari dengan tentaranya menduduki kota
Isfahan.
Penduduknya minta berdamai
dengan perjanjian bahwa mereka akan membayar upeti. Tetapi dalam perjanjian itu
mereka tidak jujur, tujuan mereka hanyalah untuk mengulur waktu untuk
mempersiapkan diri dan akan memukul Kaum Muslimin secara curang… !
Hanya kearifan Abu Musa
yang tak pernah lenyap di saat-saat yang diperlukan, mencium kebusukan niat
yang mereka sembunyikan .... Maka tatkala mereka bermaksud hendak melancarkan
pukulan mereka itu, Abu Musa tidaklah terkejut, bahkan telah lebih dulu siap
untuk melayani dan menghadapi mereka. Terjadiiah pertempuran, dan belum lagi
sampai tengah hari, Abu Musa telah beroleh kemenangan yang gemilang.... !
Dalam medan tempur melawan
imperium Persi, Abu Musa al-Asy'ari mempunyai saham dan jasa besar. Bahkan
dalam pertempuran di Tustar, yang dijadikan oleh Hurmuzan sebagai benteng
pertahanan terakhir dan tempat ia bersama tentaranya mengundurkan diri, Abu
Musa menjadi pahlawan dan bintang lapangannya ... ! Pada saat itu Amirul
Mu'minin Umar ibnul Khatthab mengirimkan sejumlah tentara yang tidak sedikit,
yang dipimpin oleh 'Ammar bin Yasir, Barra' bin Malik, Anas bin Malik, Majzaah
al-Bakri dan Salamah bin Raja'.
Dan kedua tentara itu pun,
yakni tentara Islam di bawah pimpinan Abu Musa, dan tentara Persi di bawah
pimpinan Hurmuzan, bertemulah dalam suatu pertempuran dahsyat.
Tentara Persi menarik diri
ke dalam kota Tustar yang mereka perkuat menjadi benteng. Kota itu dikepung
oleh Kaum Muslimin berhari-hari lamanya, hingga akhirnya Abu Musa mempergunakan
akal muslihatnya ....
Dikirimnya beberapa orang
menyamar sebagai pedagang Persi membawa dua ratus ekor kuda disertai beberapa
prajurit perintis menyamar sebagai pengembala.
Pintu gerbang kota pun
dibuka untuk mempersilakan para pedagang masuk. Secepat pintu benteng itu
dibuka, prajurit-prajurit pun berloncatan menerkam para penjaga dan pertempuran
kecil pun terjadi.
Abu Musa beserta pasukannya
tidak membuang waktu lagi menyerbu memasuki kota, pertempuran dahsyat terjadi,
tapi tak berapa lama seluruh kota diduduki dan panglima beserta seluruh
pasukannya menyerah kalah, Panglima musuh beserta para komandan pasukan oleh
Abu Musa dikirim ke Madinah, menyerahkan nasib mereka pada Amirul Mu'minin.
Tetapi baru saja prajurit
yang kaya dengan pengalaman dan dahsyat ini meninggalkan medan, ia pun telah
beralih rupa menjadi seorang hamba yang rajin bertaubat, sering menangis dan
amat jinak bagaikan burung merpati…Ia membaca al-Quran dengan suara yang
menggetarkan tail hati para pendengarnya, hingga mengenai ini Rasulullah pernah
bersabda: -
'Sungguh, Abu Musa telah
diberi Allah seruling dari seruling-seruling keluarga Daud…!"
Dan setiap Umar radhiallahu
anhu melihatnya, dipanggiinya dan disuruhnya untuk membacakan Kitabullah: -
"Bangkitlah kerinduan
kami kepada Tuhan kami, wahai Abu Musa... !"
Begitu pula dalam
peperangan, ia tidak ikut serta, kecuali Sika melawan tentara musyrik, yakni
tentara yang menentang Agama dan bermaksud hendak memadamkan nur atau cahaya
Ilahi...Adapun peperangan antara sesama Muslim, maka ia menyingkirkan diri dan
tak hendak terlibat di dalamnya.
Pendiriannya ini jelas
terlihat dalam perselisihan antara Ali dan Mu'awiyah, dan pada peperangan yang
apinya berkobar ketika itu antara sesama Muslim.
Dan mungkin pokok
pembicaraan kita sekarang ini akan dapat mengungkapkan prinsip hidupnya yang
paling terkenal yaitu pendiriannya dalam tahkim, pengadilan atau penyelesaian
sengketa antara Ali dan Mu'awiyah.
Pendiriannya ini sering
dikemukakan sebagai saksi dan bukti atas kebaikan hatinya Yang berlebihan,
hingga menjadi makanan empuk bagi Orang yang menipudayakannya. Tetapi
sebagaimana akan kita lihat kelak, pendirian ini walaupun mungkin agak
tergesa-gesa dan terdapat padanya kecerobohan, hanyalah mengungkapkan kebesaran
shahabat yang mulia ini, baik kebesaran jiwa dan kebesaran keimanannya kepada
yang haq serta kepercayaannya terhadap sesama kawan ....
Pendapat Abu Musa mengenai
soal tahkim ini dapat kita Simpulkan sebagai berikut: -- memperhatikan adanya
peperangan sesama Kaum Muslimin, dan adanya gejala masing-masing mempertahankan
pemimpin dan kepala pemerintahannya, suasana antara kedua belah pihak sudah
melantur sedemikian jauh serta teramat gawat menyebabkan nasib seluruh ummat
Islam telah berada di tepi jurang yang amat dalam, maka menurut Abu Musa,
suasana ini baru diubah dan dirombak dari bermula secara keseluruhan... !
Sesungguhnya perang saudara
yang terjadi ketika itu, hanya berkisar pada pribadi kepala negara atau
khalifah yang diperebutkan oleh dua golongan Kaum Muslimin. Maka pemecahannya
ialah hendaklah Imam Ali meletakkan jabatannya nntuk sementara waktu, begitu
pula Mu'awiyah baru turun, kemudian urusan diserahkan lagi dari bermula kepada
Kaum Muslimin yang dengan jalan musyawarat akan memilih khalifah yang mereka
kehendaki.
Demikianlah analisa Abu
Musa ini mengenai kasus tersebut, dan demikian pula cara pemecahannya ... !
Benar bahwa Ali radhiallahu anhu telah diangkat menjadi khalifah secara sah.
Dan benar pula bahwa pembangkangan yang tidak beralasan, tidak dapat dibiarkan
mencapai maksudnya untuk menggugurkan yang haq yang diakui syari'at ... ! Hanya
menurut Abu Musa, pertikaian sekarang ini telah menjadi pertikaian antara
penduduk Irak dan penduduk Syria, yang memerlukan pemikiran dan pemecahan
dengan cara baru ,karena pengkhianatan Mu'awiyah sekarang ini telah menjadi
pembangkangan penduduk Syria, sehingga semua pertikaian itu tidaklah hanya
pertikaian dalam pendapat dan pilihan saja.
Tetapi kesemuanya itu telah
berlarut-larut menjadi perang saudara dahsyat yang telah meminta ribuan korban
dari kedua belah pihak, dan masih mengancam Islam dan Kaum Muslimin dengan
akibat yang lebih parah!
Maka melenyapkan
sebab-sebab pertikaian dan peperangan serta menghindarkan benih-benih dan biang
keladinya, bagi Abu Musa merupakan titik tolak untuk mencapai penyelesaian ...
!
Pada mulanya, sesudah
menerima rencana tahkim, Imam Ali bermaksud akan mengangkat Abdullah bin Abbas
atau shahabat lainnya sebagai wakil dari pihaknya. Tetapi golongan besar yang
berpengaruh dari shahabat dan tentaranya memaksanya untuk memilih Abu Musa
al-Asy'ari.
Alasan mereka karena Abu
Musa tidak sedikit pun ikut campur dalam pertikaian antara Ali dan Mu'awiyah
sejak semula. Bahkan setelah ia putus asa membawa kedua belah pihak kepada
saling pengertian, kepada perdamaian dan menghentikan peperangan, ia menjauhkan
diri dari pihak-pihak yang bersengketa itu. Maka ditinjau dari segi ini, ia
adalah orang yang paling tepat untuk melaksanakan tahkim.
Mengenai keimanan Abu Musa,
begitupun tentang kejujuran dan ketulusannya, tak sedikit pun diragukan oleh
Imam Ali.
Hanya ia tahu betul
maksud-maksud tertentu pihak lain dan pengandalan mereka kepada anggar lidah
dan tipu muslihat.
Sedang Abu Musa, walaupun
ia seorang yang ahli dan berilmu, tidak menyukai siasat anggar lidah dan tipu
muslihat ini, serta ia ingin memperlakukan orang dengan kejujurannya dan bukan
dengan kepintarannya. Karena itu Imam Ali khawatir Abu Musa akan tertipu oleh
orang-orang itu, dan tahkim hanya akan beralih rupa menjadi anggar lidah dari
sebelah pihak yang akan tambah merusak keadaan ... !
Dan tahkim antara kedua
belah pihak itu pun mulailah .... Abu Musa bertindak sebagai wakil dari pihak
Imam Ali sedang Amr bin 'Ash sebagai wakil dari pihak Mu'awiyah. Dan
sesungguhnya 'Amr bin 'Ash mengandalkan ketajaman otak dan kelihaiannya yang
luar biasa untuk memenangkan pihak Mu'awiyah.
Pertemuan antara kedua
orang wakil itu, yakni Asy'ari dan 'Amr, didahului dengan diajukannya suatu
usul yang dilontarkan oleh Abu Musa, yang maksudnya agar kedua hakim menyetujui
dicalonkannya, bahkan dimaklumkannya Abdullah bin Umar sebagai khalifah Kaum
Muslimin, karena tidak seorang pun di antara umumnya Kaum Muslimin yang tidak
mencintai, menghormati dan memuliakannya.
Mendengar arah pembicaraan
Abu Musa ini,'Amr bin 'Ash pun meiihat suatu kesempatan emas yang tak akan
dibiarkannya berlalu begitu saja. Dan maksud usul dari Abu Musa ialah bahwa ia
sudah tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Artinya
pula bahwa ia bersedia menyerahkan khalifah kepada pihak lain dari kalangan
shahabat-shahabat Rasul, dengan alasan bahwa ia telah mengusulkan Abdullah bin
Umar ....
Demikianlah dengan
kelicinannya, 'Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya, hingga
ia tetap mengusulkan Mu'awiyah. Kemudian diusulkannya pula puteranya sendiri
Abdullah bin 'Amr yang memang mempunyai kedudukan tinggi di kalangan para
shahabat Rasulullah saw.
Kecerdikan 'Amr ini,
terbaca oleh keahlian Abu Musa. Karena demi dilihatnya'Amr mengambil prinsip
pencalonan itu sebagai dasar bagi perundingan dan tahkim, ia pun memutar
kendali ke arab yang lebih aman. Secara tak terduga dinyatakannya kepada 'Amr
bahwa pemilihan khalifah itu adalah haq seluruh Kaum Muslimin, sedang Allah
telah menetapkan bahwa segala urusan mereka hendaklah diperundingkan di antara
mereka. Maka hendaklah soal pemilihan itu diserahkan hanya kepada mereka
bersama.
Dan akan kita lihat nanti
bagaimana 'Amr menggunakan prinsip yang mulia ini untuk keuntungan pihak
Mu'awiyah
Tetapi sebelum itu marilah
kita dengar soal jawab yang bersejarah itu yang berlangsung antara Abu Musa dan
'Amr bin 'Ash di awal pertemuan mereka, yang kita nukil dari buku
"Al-Akhbaruth Thiwal" buah tangan Abu Hanifah ad Dainawari sebagai
berikut: -- Abu Musa :
+ Hai 'Amr! Apakah anda
menginginkan kemaslahatan ummat dan ridla Allah ...? Ujar 'Amr: -
-- Apakah itu ?
+ Kita angkat Abdullah bin
Umar. Ia tidak ikut campur sedikit pun dalam peperangan ini.
-- Dan anda, bagaimana
pandangan anda terhadap Mu'awiyah...?
+ Tak ada tempat Mu'awiyah
di sini ..., dan tak ada haknya
--Apakah anda tidak
mengakui bahwa Utsman dibunuh secara aniaya...?
+ Benar!
--Maka Mu'awiyah adalah
wail dan penuntut darahnya, sedang kedudukan atau asal-usulnya di kalangan
bangsa Quraisy sebagai telah anda ketahui pula. Jika ada yang mengatakan nanti
kenapa ia diangkat untuk jabatan itu, padahal tak ada sangkut pautnya dulu, maka
anda dapat memberikan alasan bahwa ia adalah wail darah Utsman, sedang Allah
Ta'ala berfirman: "Barang siapa yang dibunuh secara aniaya, make Kami
berikan kekuasaan kepada walinya I" Di samping itu ia adalah saudara Ummu
Habibah, istri Nabi shallallahu alaihi wasalam juga salah seorang dari
shahabatnya.
+ Takutilah Allah hai 'Amr!
Mengenai kemuliaan Mu'awiyah yang kamu katakan itu, seandainya khilafat dapat
diperoleh dengan kemuliaan, maka orang yang paling berhaq terhadapnya ialah
Abrahah bin Shabah, karena ia adalah keturunan raja-raja Yaman Attababiah yang
menguasai bagian timur dan barat bumi. Kemudian, apa artinya kemuliaan
Mu'awiyah dibanding dengan Ali bin Abi Thalib ...? Adapun katamu bahwa
Mu'awiyah wail Utsman, maka lebih utamalah daripadanya putera Utsman sendiri
'Amr bin Utsman... ! Tetapi seandainya kamu bersedia mengikuti anjuranku, kita
hidupkan kembali Sunnah dan kenangan Umar bin Khatthab dengan mengangkat
puteranya Abdullah si Kyahi itu...!
--Kalau begitu apa
halangannya bila anda mengangkat puteraku Abdullah yang memiliki keutamaan dan
keshalehan, begitupun lebih dulu hijrah dan bergaul dengan Nabi?
+ Puteramu memang seorang
yang benar! Tetapi kamu telah menyeretnya ke lumpur peperangan ini! Maka
baiklah kita serahkan saja kepada orang baik, putra dari orang baik ,yaitu
Abdullah bin Umar ... !
-- Wahai Abu Musa! Urusan
ini tidak cocok baginya, karena pekerjaan ini hanya layak bagi laki-laki yang
memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, sedang lainnya untuk
memberi makan ... !
+ Keterlaluan engkau wahai
'Amr! Kaum Muslimin telah menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada kita,
setelah mereka berpanahan dan bertetakan pedang. Maka janganlah kita jerumuskan
mereka itu kepada fitnah ...!
-- Jadi bagaimana pendapat
anda ... ?
+ Pendapatku, kita
tanggalkan jabatan khalifah itu dari kedua mereka -- Ali dan Mu'awiyah -- dan
kita serahkan kepada permusyawaratan Kaum NIuslimin yang akan memilih siapa
yang mereka sukai.
-- Ya, saya setuju dengan
pendapat ini, karena di sanalah terletak keselamatan jiwa manusia .. !
Percakapan ini merubah sama
sekali akan bentuk gambaranyang biasa kita bayangkan mengenai Abu Musa
al-Asy'ari, setiap kita teringat akan peristiwa tahkim ini. Ternyata bahwa Abu
Musa jauh sekali akan dapat dikatakan lengah atau lalai. Bahkan dalam soal
jawab ini kepintarannya lebih menonjol dari kecerdikan 'Amr bin 'Ash yang
terkenal licin dan lihai itu Maka tatkala 'Amr hendak memaksa Abu Musa untuk
menerima Mu'awiyah sebagai khalifah dengan alasan kebangsawanannya dalam suku
Quraisy dan kedudukannya sebagai wall dari Utsman, datanglah jawaban dari Abu
Musa, suatu jawaban gemilang dan tajam laksana mata pedang: -- Seandainya
khilafat itu berdasarkan kebangsawanan, maka Abrahah bin Shabbah seorang
keturunan raja-raja, lebih utama dari Mu'awiyah….!
Dan jika berdasarkan
sebagai wali dari darah Utsman dan pembela haknya, maka putera Utsman
radhiallahu anhu . sendiri lebih utama menjadi wali dari Mu'awiyah …!
Setelah perundingan ini,
kasus tahkim berlangsung menempuh jalan sepenuhnya menjadi tanggung jawab 'Amr
bin 'Ash seorang diri .... Abu Musa telah melaksanakan tugasnya dengan
mengembalikan urusan kepada ummat, yang akan memutuskan dan memilih khalifah
mereka. Dan 'Amr telah menyetujui dan mengakui tarikatnya dengan pendapat ini
....
Bagi Abu Musa tidak
terpikir bahwa dalam suasana genting yang mengancam Islam dan Kaum Muslimin
dengan mala petaka besar ini, 'Amr masih akan bsrsiasat anggar lidah, bagaimana
juga fanatiknya kepada Mu'awiyah ... ! Ibnu Abbas telah memperingatkannya
ketika ia kembalikepada mereka menyampaikan apa yang telah disetujui,
jangan-jangan 'Amr akan bersilat lidah, katanya: -
"Demi Allah, saya
khawatir 'Amr akan menipu anda! Jika telah tercapai persetujuan mengenai
sesuatu antara anda berdua, maka silakanlah dulu ia berbicara, kemudian baru
anda di belakangnya…. !"
Tetapi sebagai dikatakan
tadi, melihat suasana demikian gawat dan penting, Abu Musa tak menduga 'Amr
akan main-main, hingga ia merasa yakin bahwa 'Amr akan memenuhi apa yang telah
mereka setujui bersama.
Keesokan harinya, kedua
mereka pun bertemu mukalah ..., Abu Musa mewakili pihak Imam Ali dan 'Amr bin
'Ash mewakili pihak Mu'awiyah.
Abu Musa mempersilakan 'Amr
untuk bicara, ia menolak, katanya: -
"Tak mungkin aku akan
berbicara lebih dulu dari anda... ! Anda lebih utama daripadaku, lebih dulu
hijrah dan lebih tua '"
Maka tampillah Abu Musa,
lalu menghadap ke arah khalayak dari kedua belah pihak yang sedang duduk
menunggu dengan berdebar, seraya katanya: -
"Wahai saudara
sekalian! Kami telah meninjau sedalam-dalamnya mengenai hal ini yang akan dapat
mengikat tail kasih sayang dan memperbaiki keadaan ummat ini, kami tidak
melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini, Ali
dan Mu'awiyah, dan menyerahkannya kepada permusyawaratan ummat yang akan
memilih siapa yang mereka kehendaki menjadi khalifah.... Dan sekarang,
sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Mu'awiyah dari jabatan mereka ....
Maka hadapilah urusan kalian ini dan angkatlah orang yang kalian sukai untuk
menjadi khalifah kalian ... !'
Sekarang tiba giliran 'Amr
untuk memaklumkan penurunan Mu'awiyah sebagaimana telah dilakukan Abu Musa
terhadap Ail, untuk melaksanakan persetujuan yang telah dilakukannya kemarin.'Amr
menaiki mimbar, lain katanya: "Wahai saudara sekalian! Abu Musa telah
mengatakan apa yang telah sama kalian dengar, dan ia telah menanggalkan
shahabatnya dari jabatannya Ketahuilah, bahwa saya juga telah menanggaIkan
shahabatnya itu dari jabatannya sebagaimana dilakukannya, dan saya mengukuhkan
shahabatku Mu'awiyah, karena ia adalah wali dari Amirul Mu'minin Utsman dan
penuntut darahnya serta manusia yang lebih berhak dengan jabatannya ini ...
!"
Abu Musa tak tahan
menghadapi kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Ia mengeluarkan kata-kata
sengit dan keras sebagai tamparan kepada 'Amr. Kemudian ia kembali kepada sikap
mengasingkan diri... , diayunnya langkah menuju Mekah . . , di dekat Baitul
Haram, menghabiskan usia dan hari-harinya di sana.
Abu Musa radhiallahu anhu .
adalah orang kepercayaan dan kesayangan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam
juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan shahabat-shahabatnya
. · · ·
Sewaktu Rasulullah
shallallahu alaihi wasalam masih hidup, ia diangkatnya bersama Mu'adz bin Jabal
sebagai penguasa di Yaman. Dan setelah Rasul wafat, ia kembali ke Madinah untuk
memikul tanggung jawabnya dalam jihad besar yang sedang diterjuni oleh tentara
Islam terhadap Persi dan Romawi.
Di masa Umar, Amirul
Mu'minin mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah, sedang khalifah Utsman
mengangkatnya menjadi gubernur di Kufah.
Abu Musa termasuk ahli
al-Quran menghafalnya, mendalami dan mengamalkannya. Di antara ucapan-ucapannya
yang memberikan bimbingan mengenai al-Quran itu ialah:
"Ikutilah al-Quran ...
dan jangan kalian berharap akan diikuti oleh al-Quran...!"
Ia juga termasuk ahli
ibadah yang tabah. Waktu-waktu siang di musim panas, yang panasnya menyesak
nafas, amat dirindukan kedatangannya oleh Abu Musa, dengan tujuan akan shaum
padanya, katanya: -
"Semoga rasa haus di
panas terik ini akan menjadi pelepas dahaga bagi kita di hari qiamat nanti ...
!"
Dan pada suatu hari yang
lembut, ajal pun datang menyambut .... Wajah menyinarkan cahaya cemerlang,
wajah seorang yang mengharapkan rahmat serta pahala Allah ar-Rahman.
Kalimat yang selalu
diulang-ulang, dan menjadi buah bibimya, sepanjang hayatnya yang diliputi
keimanan itu, diulang dan menjadi buah bibirnya pula di saat ia hendak pergi
berlalu ....
Kalimat-kalimat itu ialah:
-
"Ya Allah, Engkaulah
Maha Penyelamat, dan dari-Mu-lah kumohon Keselamatan'
Khalid Muh. Khalid. 2006. Karakteristik Enam Puluh Sahabat
Rasulullah. Terj. Mahyuddin Syaf.dkk. Bandung: Diponogoro. h.653
Category: SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar