AL-QASIM IBN MUHAMMAD IBNU ABI BAKAR
AL-QASIM IBN MUHAMMAD IBNU
ABI BAKAR
“Sekiranya ada bagiku
kekuasaan dalam urusan ini, sungguh aku akan mengangkat al-Qasim ibn Muhammad
menjadi khalifah” (Umar ibn Abdul Aziz)
Sudahkah datang kepadamu
berita tentang tabi’i yang mulia ini?
Ia adalah seorang pemuda
yang telah mengumpulkan kemuliaan dari seluruh ujungnya, hingga tidak ada yang
terlewatkan olehnya sedikitpun...
Ayahnya adalah Muhammad ibn
Abi Bakar ash-Shiddiq...
Ibunya adalah putri Kaisar
“Yazdajurda” raja Persia yang terakhir...
Bibinya adalah ‘Aisyah
ummul mukminin...
Di atas itu semua, ia telah
memasang mahkota takwa dan ilmu di atas kepalanya.
Apakah kamu mengira bahwa di atas kemuliaan
ini ada kemuliaan lain yang orang-orang saling berlomba-lomba untuk
mendapatkannya?
Dialah al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar
ash-Shiddiq, satu dari tujuh ahli fiqih kota Madinah (al-Fuqaha’
as-Sab’ah)*...Penduduk zamannya yang paling afdlol dalam hal ilmu...paling
tajam akalnya dan paling wara’.
Maka, marilah kita mulai kisah kehidupannya
dari awal.
Al-Qasim ibn Muhammad dilahirkan pada
akhir-akhir dari kekhalifahan Utsman ibn Affan RA...akan tetapi belum lagi anak
kecil ini mampu berjalan di sarangnya sehingga angin fitnah yang kencang
berhembus di tengah-tengah kaum muslimin.
Maka, syahidlah khalifah yang ahli ibadah lagi
zuhud yaitu Dzunnurrain sedangkan tulang sulbinya condong ke depan mendekap
al-Qur`an.
Dan bergolaklah perselisihan yang besar antara
amirul mukminin Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan amir negeri
Syam...
Dan di dalam rantai yang menakutkan dan
membingungkan dari kajadian-kejadian yang berkesinambungan ini...anak kecil ini
mendapatkan dirinya dibawa bersama saudara perempuannya dari Madinah menuju ke
Mesir...Adalah merupakan keharusan bagi mereka berdua untuk menyusul ayah
mereka setelah diangkat menjadi wali atas Mesir oleh amirul mukminin ‘Ali ibn
Abi Thalib.
Kemudian, ia melihat kuku-kuku fitnah yang
merah memanjang hingga sampai kepada ayahnya yang kemudian membunuhnya dengan
cara yang paling jahat.
Kemudian, ia menemukan dirinya dipidahkan kali
yang lain dari Mesir menuju Madinah setelah para pembela Muawiyah
menguasainya...dan ia telah menjadi anak yatim yang ditinggal oleh kedua orang
tuanya.
Al-Qasim menceritakan sendiri tentang perjalanan
penuh derita ini dan yang setelahnya. Ia menuturkan, “Ketika ayahku terbunuh di
Mesir, datanglah pamanku Abdurrahman ibn Abi Bakar, kemudian ia membawaku dan
adik perempuanku...ia lalu berangkat bersama kami menuju Madinah.
Belum lama kami sampai di Madinah, hingga
bibiku ‘Aisyah RA datang kepada kami dan membawa kami dari rumah pamanku menuju
rumahnya...dan ia mendidik kami di bawah asuhannya.
Aku tidak pernah melihat seorang ibu dan
seorang ayah sekalipun yang lebih banyak berbuat kebajikan dan tidak pula lebih
banyak kasih sayangnya dari pada dia.
Ia menyuapi kami dengan tangannya dan ia tidak
ikut makan bersama kami...apabila ada sedikit makanan kami yang tersisa ia pun
memakannya.
Ia mandekap (mengasihi) kami sebagaimana
seroang ibu menyusui mengasihi bayi yang disapihnya. Ia mamandikan kami dan
menyisir rambut kami. Ia juga memakaikan baju putih bersih kepada kami.
Ia tidak pernah berhenti menganjurkan kami
atas kebaikan dan melatih kami melakukannya...ia melarang kami dari kejahatan
dan membawa kami untuk meninggalkannya.
Ia membiasakan mentalqin kitab Allah kepada
kami sekemampuan kami...dan menjadikan kami meriwayatkan hadits Rasul SAW apa
yang kami hafal.
Pada dua hari raya ia bertambah kebajikannya
dan hadiahnya kepada kami...
Di sore hari Arafah ia mencukur
rambutku...memandikan aku dan adik perempuanku...dan apabila pagi telah tiba ia
pun memakaikan baju baru kepada kami, dan mengirim kami ke masjid untuk
menunaikan shalat ‘id. Dan apabila kami telah pulang, ia lantas mengumpulkan
aku dan adik perempuanku lalu memotong kurban di hadapan kami.
Pada suatu hari, ia memakaikan kami baju
putih, lalu mendudukkan aku di salah satu lututnya dan adik perempuanku di
lutut yang lain.
Dan sebelumnya ia telah memanggil pamanku
Abdurrahman...ketika ia (pamanku) masuk menemuinya, ia (bibiku) menyalaminya
kemudian berkata. Ia memuji Allah AWJ dan menyanjung-Nya dengan pujian yang
sesuai dengan-Nya.
Maka, aku tidak pernah melihat seorang
laki-laki atau perempuan pun yang berbicara sebelumnya dan tidak pula
setelahnya yang lebih fasih lisanya dan lebih manis ucapannya dari pada dia.
Ia (bibiku) kemudian berkata, “Wahai
saudaraku...aku masih melihatmu berpaling dariku sejak kedua anak ini aku ambil
darimu dan aku dekap dalam pelukanku. Demi Allah tidaklah aku melakukan hal itu
karena merasa lebih tinggi darimu dan tidak pula su’u dzan kepadamu serta
menuduhmu lalai terhadap hak mereka berdua. Akan tetapi engkau adalah seorang
laki-laki yang memiliki banyak istri. Sedangkan mereka berdua adalah anak kecil
yang belum mampu mengurusi diri mereka. Sehingga aku merasa takut kalau
istri-istrimu melihat dari keduanya apa-apa yang mereka merasa jijik darinya
sehingga mereka tidak merasa senang. Dan aku dapatkan diriku lebih berhak dari
pada mereka untuk mengurusi keduanya dalam keadaan ini. Nah...keduanya sekarang
telah tumbuh besar dan telah mampu untuk mengurusi dirinya sendiri. Maka,
ambillah keduanya dan bawalah tinggal bersamamu.”
Pamanku Abdurrahman mengambil kami dan menempatkan
kami di rumahnya.
Hanya saja, anak “al-Bakriy” (dari keturunan
Abu Bakar) ini, hatinya selalu bergantung dengan rumah bibinya ‘Aisyah ummul
mukminin RA...Di atas tanah rumahnya yang harum dengan parfum-parfum nubuwwah
ia telah tumbuh...Di bawah asuhan shabatnya ia telah terdidik dan tumbuh...Dan
dari kasih sayangnya yang terpancar ia minum hingga puas.
Maka ia pun membagi waktunya antara
(mengunjungi) rumah (bibi)nya dan rumah pamannya.
Kenangan-kenangan rumah bibinya yang harum,
jernih dan gemerlap selau hidup dalam benaknya sepanjang hidup.
Dengarkanlah beberapa cerita tentang
kenangan-kenangannya. Ia menuturkan, “Pada suatu hari aku berkata kepada bibiku
‘Aisyah RA, “Wahai Ibu, singkaplah kuburan Nabi SAW untukku dan kuburan dua
sahabatnya...sesungguhnya aku ingin melihatnya.”
Adalah ketiga kuburan tersebut masih berada di
dalam rumahnya. Ia telah menutupnya dengan sesuatu yang dapat menghalanginya
dari pandangan. Ia lalu menyingkap untukku ketiga kuburan tersebut yang
tidaklah menggunduk tinggi dan tidak pula lengkaui. Dan telah dihampari dengan
kerikil merah yang ada di halaman masjid.
Aku berkata, “Manakah kuburan Rasulullah SAW?”
Dengan tangannya ia menunjuk seraya berkata, “Ini.”
Kemudian meneteslah dua air mata besar di
pipinya. Ia segera mengusapnya hingga aku tidak melihatnya.
Adalah kuburan Nabi SAW berada di depan
kuburan kedua sahabatnya.
Aku berkata, “Manakah kuburan kakekku Abu
Bakar?”
“Yang itu” katanya.
Adalah Abu Bakar dikubur di sisi kepala Nabi
SAW.
Aku berkata, “Dan yang ini kuburan Umar?”
“Ya” jawabnya.
Dan adalah kepala Umar RA berada di sisi
pinggang kakekku dekat dengan kaki Nabi SAW.
Saat pemuda bakriy ini tumbuh dewasa, ia telah
hafal kitab Allah AWJ.
Ia telah mengambil (belajar) hadits Rasulullah
SAW dari bibinya apa-apa yang Allah kehendaki untuk ia mengambilnya.
Kemudian ia mendatangi al-Haram an-Nabawi
(masjid nabawi) yang mulia, dan duduk pada halaqoh-halaqoh ilmu yang tersebar
di setiap pojok dari pojok-pojok masjid sebagaimana tersebarnya bintang-bintang
yang gemerlap di hamparan langit.
Sehingga ia meriwayatkan dari Abu Hurairah,
Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn az-Zubair...Abdullah ibn
Ja’far, Abdullah ibn Khabbab, Rafi’ ibn Khudaij, Aslam budak Umar ibn
al-Khaththaab, serta yang lainnya dan yang lainnya.
Sehingga ia menjadi penduduk jamannya yang
paling tahu tentang as-Sunnah (apa-apa yang shahih dari Rasulullah SAW ).
Adalah seseorang tidak dianggap menjadi orang
alim di sisi mereka hingga ia kokoh dalam hal Sunnah.
Setelah perangkat ilmu pemuda bakriy ini
menjadi sempurna, mulailah orang-orang mendatanginya untuk mencari ilmu darinya
dengan penuh antusias dan rasa rindu. Dan ia pun mendatangi mereka memberikan
ilmu kepada mereka dengan penuh derma.
Ia mendatangi masjid Rasulullah SAW pada
setiap pagi hari pada waktu yang tidak pernah ia langgar...Ia shalat dua rakaat
tahiyatul masjid.
Ia lantas mengambil tempatnya di depan
khaukhah Umar (cendela kecil) di Raudlah yang mulia antara kuburan Nabi SAW dan
mimbarnya**.
Maka para thulabul ilmi dari segala tempat
berkumpul kepadanya.
Mereka meminum dari sumber-sumbernya yang
tawar dan jernih sehingga memuaskan jiwa-jiwa yang haus.
Tidak berselang waktu yang lama sehingga
al-Qasim ibn Muhammad dan anak bibinya (dari pihak ibu) yaitu Salim ibn
Abdullah ibn Umar telah menjadi dua imam Madinah yang terpercaya. Dua penghulu
yang ditaati dan dua orang yang didengar ucapannya, walaupun wilayah dan
kekuasaan tidak berada dalam genggaman kedua tangannya.
Orang-orang telah mengangkatnya menjadi
pemimpin disebabkan oleh ketakwaan dan wara’ yang mereka berdua berhias
dengannya, dan karena ilmu serta fiqih (pemahaman) yang tersimpan dalam
dadanya, serta apa yang mereka berhias dari kezuhudan terhadap apa yang ada
pada manusia, serta raghbah (antusias/cinta) dengan apa yang ada di sisi Allah
AWJ.
Dan telah sampai dari ketinggian kedudukan
keduanya di dalam jiwa, hingga para khalifah Bani Umayyah dan para walinya
tidaklah memutuskan suatu perkara penting dari urusan Madinah kecuali dengan
mengambil pendapat mereka berdua.
Di antaranya, bahwa al-Walid ibn Abdul Malik
bertekad untuk meluaskan al-Haram an-Nabawi yang mulia.
Dan ia tidak memiliki keluasan untuk
merealisasikan angan-angannya yang mahal ini kecuali dengan menghancurkan
masjid yang lama dari keempat sisinya...dan menghilangkan rumah-rumah istri
Nabi SAW dan memasukkannya ke masjid.
Ini adalah perkara yang terasa memberatkan
manusia...
Dan mereka tidak merasa senang dengannya...
Lantas ia menulis surat kepada Umar ibn Abdul
Aziz gubernurnya atas kota Madinah, ia berkata, “Aku berpendapat untuk
meluaskan masjid Rasulullah SAW hingga luasnya menjadi dua ratus hasta kali dua
ratus hasta. Maka hancurkanlah keempat temboknya dan masukkanlah kamar-kamar
istri Nabi SAW ke dalamnya. Dan belilah rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Dan
majukanlah kiblatnya bila kamu mampu. Dan sesungguhnya kamu mampu melakukannya
karena kedudukan paman-pamanmu ali al-Khaththaab (keluarga al-Khaththaab) dan kedudukan
mereka dalam hati manusia.
Apabila penduduk Madinah enggan menjalankan
perintahmu itu, maka mintalah bantuan kepada al-Qasim ibn Muhammad dan Salim
ibn Abdullah ibn Umar, ikutkanlah mereka berdua dalam urusan ini...
Bayarlah harga rumah-rumah mereka dengan penuh
kedermawanan...sesungguhnya kamu memiliki dua pendahulu yang jujur/benar dalam
hal tersebut, mereka yaitu Umar ibn al-Khaththaab dan Utsman ibn Affan.”
Umar ibn Abdul Aziz lalu mengundang al-Qasim
ibn Muhammad dan Salim ibn Abdullah serta sejumlah tokoh penduduk Madinah. Ia
membacakan surat amirul mukminin kepada mereka...mereka dibuat gembira dengan
tekad khalifah dan bersegera melaksanakannya.
Tatkala manusia melihat dua ‘alim Madinah dan
dua imamnya yang besar bersegera menghancurkan masjid dengan tangannya, mereka
lantas bangkit bersama keduanya secara bersama-sama. Dan melaksanakan isi surat
amirul mukminin.
Dan adalah pada waktu itu, pasukan kaum
muslimin yang mendapat kemenangan mendobrak pintu-pintu benteng yang
menguhubungkan ke kota Kostantinopel dan menguasainya satu demi satu dengan
kepemimpinan amir yang gagah berani yaitu Maslamah ibn Abdul Malik ibn
Marwan...dan itu adalah tamhid (pendahuluan dan pengantar) untuk penaklukkan
kota Kostantinopel itu senidri.
Tatkala raja Romawi mengetahui tekad amirul
mukminin untuk meluskan masjid nabawi yang mulia, ia ingin merayunya dan
mendekat kepadanya dengan apa yang ia senangi...
Ia (raja Romawi) lalu mengirim seratus ribu
mitsqol (batu timbangan) dari emas dan mengutus bersamanya seratus pekerja dari
ahli bangunan yang paling mahir di negeri Romawi.
Dan ia membekali para pekerja dengan empat
puluh muatan dari al-fusaifisaa***...
Lalu al-Walid mengirim itu semua kepada Umar
ibn Abdul Aziz guna membantunya dalam membangun masjid...maka, Umar
mendistribusikannya setelah bermusyawarah dengan al-Qasim ibn Muhammad dan
sahabatnya.
Al-Qasim ibn Muhammad adalah orang yang paling
menyerupai kakeknya yaitu ash-Shiddiq RA, hingga orang-orang berkata, “Abu
Bakar tidak melahirkan seorang anak yang lebih mirip dengannya dari pemuda
ini.”
Ia (al-Qasim) telah menyerupainya dalam
kemuliaan kepribadiannya dan ketinggian sifatnya, keteguhan imannya dan
kebesaran wara’nya serta kedermawanan jiwa dan tangannya.
Telah diriwayatkan darinya banyak
perkataan-perkataan dan perbuatan yang mempersaksikan akan hal ini.
Di antaranya, bahwa ada seorang badui yang
mendatanginya ke masjid, ia berkata, “Siapakah yang lebih alim, kamu atau Salim
ibn Abdullah?”
Ia (al-Qasim) lalu pura-pura menyibukkan diri
darinya...
Badui tersebut mengulangi pertanyaannya
kepadanya.
Ia menjawab, “Subhaanallah.”
Badui itu mengulanginya kali yang ketiga, lalu
ia (al-Qasim) berkata kepadanya, “Itu Salim duduk di sana wahai anak saudaraku.”
Orang yang ada dalam majlisnya berkata,
“Lillahi abuuhu****...”, ia tidak senang
mengatakan, “Aku lebih alim darinya” sehingga ia mentazkiyah (merekomendasi)
dirinya...dan ia juga tidak senang mengatakan, “Dia lebih alim dariku” sehingga
ia berdusta
Karena memang ia lebih alim dari Salim.
Suatu kali ia pernah terlihat di Mina. Dan
para penduduk negeri dari orang-orang yang berhaji ke baitullah mengerumuninya
dari segala sisi dan menanyainya.
Ia menjawabi mereka dengan apa yang ia tahu,
dan pada apa yang ia tidak tahu, ia mengatakan, “Aku tidak tahu...aku tidak
mengerti...aku tidak faham.” Mereka pun dibuat heran dengannya.
Ia lalu berkata, “Aku tidak tahu seluruh apa
yang kalian tanyakan...kalau aku mengetahuinya, niscaya aku tidak akan menyembunyikannya...dan
tidak halal bagiku untuk menyembunyikannya. Dan (ketahuilah) seseorang hidup
dalam keadaan bodoh –setelah mengetahui hak Allah atasnya- adalah lebih baik
baginya daripada ia mengatakan apa yang ia tidak mengetahuinya.”
Pada suatu kali, ia diberi amanat untuk
membagi zakat kepada para mustahiknya, ia pun berijtihad semampunya, dan
memberi setiap orang akan haknya. Hanya saja salah seorang dari mereka tidak
ridla dengan bagiannya yang telah diberikan kepadanya.
Ia lalu mendatanginya di masjid sedangkan
al-Qasim sedang berdiri shalat. Ia lalu mulai berbicara tentang zakat.
Maka putra al-Qasim berkata kepadanya, “Demi
Allah, sesungguhnya kamu membicarakan seseorang yang tidak mengambil dari zakat
kalian satu dirham pun dan tidak pula satu daanik (seperenam dirham)...dan
tidak merasakan satu korma pun darinya.”
Al-Qasim lalu mempercepat shalatnya dan
menoleh ke arah anaknya seraya berkata, “Wahai anakku, janganlah kamu berkata
setelah hari ini apa yang kamu tidak tahu.”
Orang-orang berkata, “Sesuungguhnya anaknya
telah benar (dalam perkataannya)....”
Akan tetapi al-Qasim berkeinginan untuk
mendidiknya dan menjaga lisannya dari mengatakan sesuatu yang tidak ada
faidahnya.
Al-Qasim ibn Muhammad telah diberi umur hingga
lebih dari tujuh puluh dua tahun. Akan tetapi matanya menjadi buta di saat ia
berusia lanjut.
Pada akhir tahun dari kehidupannya, ia menuju
ke Mekkah menginginkan haji...dan di tengah perjalanan kematian menjemputnya.
Ketika ajalnya sudah dekat, ia menoleh kepada
anaknya dan berkata, “Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaianku yang aku
shalat dengannya, yaitu gamisku...sarungku...dan kainku...itu adalah kafan
kakekmu Abu Bakar. Kemudian ratakan kuburanku dan pulanglah kepada keluargamu.
Dan hati-hatilah (janganlah kamu) berdiri di atas kuburanku dan berkata,
“Dahulu ia begini...dan dulu ia begitu....”, karena aku bukanlah siapa-siapa”.
Category: TABI'IN, Tarikh Islam
0 komentar