LAUTAN AMPUNAN ALLAH BAGI HAMBANYA
TIDAK SENGAJA ATAU LUPA DIMAAFKAN
Hadits ke-39 dari hadits al-Arbai’in an
nawawiyah ini menjelaskan tentang perkaran yang akan diampuni oleh Allah ketika
seseorang tidak disengaja, lupa dan karena terpaksa melakukan sesuatu yang
dilarang Allah.
عَÙ†ِ
ابْÙ†ِ عَبَّاس رَضِÙŠَ اللهُ عَÙ†ْÙ‡ُÙ…َا : Ø£َÙ†َّ رَسُÙˆْÙ„َ اللهِ صَÙ„َّÙ‰ الله عليه
وسلم Ù‚َالَ : Ø¥ِÙ†َّ اللهَ تَجَاوَزَ Ù„ِÙŠْ عَÙ†ْ Ø£ُÙ…َّتِÙŠ : الْØ®َØ·َØ£ُ
ÙˆَالنِّسْÙŠَانُ ÙˆَÙ…َا اسْتُÙƒْرِÙ‡ُوا عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ.Øديث
Øسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما
TERJEMAH HADITS / ترجمة الØديث :
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa
Sallam telah bersabda : " Sesungguhnya Allah telah mema’afkan
kesalahan-kesalahan uamt-Ku yang tidak disengaja, karena lupa dan yang dipaksa
melakukannya" (HR. Ibnu Majah, Baihaqi dll, hadits hasan) .
[Ibnu
Majah no. 2405, Baihaqi (As-Sunan no. 7/356), dan yang lain]
PENJELASAN HADITS ARBA’IN NO. 39
Hadits ini disebutkan dalam tafsir ayat : “Jika
kamu melahirkan apa yang ada dihati kamu atau kamu sembunyikan, maka Allah akan
mengadili kamu dengan apa yang kamu lakukan itu” (QS. 2 : 284)
Ayat ini menyebabkan para sahabat merasa
tertekan. Oleh karena itu, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Mu’adz
bin Jabal beberapa orang mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
dan mereka berkata : “Kami dibebani amal yang tak sanggup kami memikulnya.
Sesungguhnya seseorang di antara kami dalam hatinya ada bisikan yang tidak
disenanginya, sekalipun bisikan itu menjanjikan dunia. Nabi Shallallahu 'alaihi
wa Sallam lalu menjawab : “Boleh jadi kamu mengucapkan kalimat seperti yang
diucapkan Bani Israil, yaitu kami mau mendengar tetapi kami akan menentangnya.
Karena itu katakanlah : ‘Kami mau mendengar dan mau menaati”. Hal itu membuat
mereka merasa tertekan dan mereka diam untuk sementara. Lalu Allah memberikan
kelonggaran dan rahmat-Nya dengan berfirman : “Allah tidak membebani seseorang
kecuali sesuai kemampuannya. Ia akan mendapatkan pahala atas usahanya dan
mendapatkan siksa atas kesalahannya, (lalu ia berdo’a) : ‘Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah”. (QS. 2 : 286)
Allah memberikan keringanan dan mansukh
(terhapus)lah ayat yang pertama di atas. Imam Baihaqi berkata bahwa Imam
Syafi’i berkata : “Allah berfirman : Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya
merasa tentram dengan imannya (maka orang semacam ini tidak berdosa)”.
Ada beberapa hukum bagi sikap kekafiran ketika
Allah menyatakan bahwa kekufuran tidak terdapat pada orang yang dipaksa,
maksudnya bahwa menyatakan kekufuran secara lisan karena dipaksa tidak dianggap
kufur. Jika sesuatu yang lebih berat dianggap gugur, maka yang lebih ringan
lebih patut untuk gugur. Kemudian disebutkan adanya riwayat dari Ibnu ‘Abbas
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Sesungguhnya Allah membebaskan
umatku (dari dosa) karena keliru atau lupa atau dipaksa”.
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda : “Tidak ada thalaq dan
pembebasan budak karena pemaksaan”.
Demikianlah pendapat ‘Umar, Ibnu ‘Umar dan Ibnu
Zubai.
Tsabit bin Al Ahnaf menikahi perempuan budak
yang melahirkan anak milik ‘Abdurrahman bin Zaid bin Khathab. Lalu ‘Abdurrahman
memaksa Tsabit dengan teror dan cemeti untuk menceraikan istrinya pada masa
khalifah Ibnu Zubair. Ibnu ‘Umar berkata kepadanya : “Perempuan itu belum
terthalaq dari kamu, karena itu kembalilah kepada istrimu”. Saat itu Ibnu
Zubair di Makkah, maka ia disusul, lalu ia menulis surat kepada gubernurnya di
Madinah. Isi surat tersebut, supaya Tsabit dikembalikan kepada istrinya dan
‘Abdurrahman bin Zaid dikenai hukuman. Kemudian Shafiyah binti Abu ‘Ubaid,
istri ‘Abdullah bin ‘Umar, mempersiapkan upacara walimahnya dan ‘Abdullah bin
‘Umar menghadiri walimah ini. Wallaahu a’lam.
PELAJARAN DARI HADITS ARBA’IN NO. 39
1. Allah ta’ala mengutamakan umat ini dengan
menghilangkan berbagai kesulitan dan memaafkan dosa kesalahan dan lupa.
2. Sesungguhnya Allah ta’ala tidak menghukum
seseorang kecuali jika dia sengaja berbuat maksiat dan hatinya telah berniat
untuk melakukan penyimpangan dan meninggalkan kewajiban dengan sukarela .
3. Manfaat adanya kewajiban adalah untuk
mengetahui siapa yang ta’at dan siapa yang membangkang.
4. Ada beberapa perkara yang tidak begitu saja
dimaafkan. Misalnya seseorang melihat najis di bajunya akan tetapi dia
mengabaikan untuk menghilangkannya segera, kemudian dia shalat dengannya karena
lupa, maka wajib baginya mengqhada shalat tersebut. Contoh seperti itu banyak
terdapat dalam kitab-kitab fiqh.
[SYARH HADITS ARBA’IN AN-NAWAWIYYAH NO. 39]
Category: Artikel Islam, Recent Post, Syarah Arba'in Nawawi
0 komentar