TAFSIR TARBAWI QS ALU IMRAN 102
TAFSIR TARBAWI (TAFSIR
AYAT-AYAT PENDIDIKAN) AL-QUR’AN SURAT ALU-IMRAN AYAT 102.
يَـآءَيُّها الَّـذِ ينَ امَنُوا اتَّقُوْا اللهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam”.[QS. Ali-Imaran Ayat 102]
B. Kosa kata (mufrodat)
1. يَآ : wahai
2. امَنُوْا : orang-orang
yang beriman
3. إتَّقُوْا : bertakwalah
4. لاَ : janganlah
5. تَمُوْتُنَّ : mati
6. مُسْلِمُوْنَ : orang-orang
muslim
C. Analisis Bahasa
وَ : واو عطف
لَا : الام الناهى
تَمُوْتُنَّ : فعل مضارع
إِلَّا : حرف إستثناء
وَ : واو حال
أَنْتُمْ : ضمير متصل
مُّسْلِمُوْنَ : أفعل الخمسة
بثبة النون
يَـآءَيُّها : حرف الندى
الَّـذِ ينَ : اسم موصول
امَنُوا : فعل ماضى مبنى
اتَّقُوْا : فعل أمر مبنى
اللهَ : مفعول به
حَقَّ تُقَاتِهِ، : مضاف
مضاف إليه
D. Analisa Ayat /Syarhul Ayat
يَـآءَيُّها الَّـذِ ينَ
امَنُوا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ
مُّسْلِمُوْ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.”( Q.S. Ali Imran ayat 102)
Takwa secara etimologis
berarti waspada diri dan takut. Takwa kepada Allah secara terminologis adalah
melaksanakan perintah Allah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan
menjauhi larangan Allah sebagaimana yang dilarang oleh Allah. Sementara sahabat
nabi memahami arti “haqqa tuqatih” sebagaimana sabda nabi, yang diriwayatkan
oleh Ibnu Mardawai dari Abdullah Ibn Mas’ud:
Artinya: “Ittaqullah haqqa
tuqatihi” ialah hendaknya Dia ditaati tidak dimaksiati, disyukuri tidak
diingkari dan diingat tidak dilupakan”. (H.R. Al-Hakim)
Penggalan ayat “haqqa
tuqatih” juga dapat bermakna“bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan
maksimal yang dimilikinya, ini
didasarkan pada Surat At-Taqhabun;
فَـاتَّقُوا اللهَ مَـا
اسْتَطَعْتُمْ
Artinya: Maka bertakwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Q.S. At-Taghabun: 16)
Yang dimaksud dengan
“Walatamutunna illa wa antum muslimuun” antara lain adalah “Janganlah seseorang
itu meninggal melainkan ia berbaik sangka kepada Allah”, sesuai hadits Nabi:
yang artinya: “Janganlah seorang diantara kamu mati melainkan ia berbaik sangka
terhadap Allah” (H.R. Muslim)
Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: yang artinya: “Allah
berfirman: Aku berada pada prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku. Jika ia
berprasangka baik maka ia adalah untuk dirinya sendiri dan jika ia berburuk
sangka terhadap diri-Ku maka itu adalah untuk dirinya sendiri”.
“Walatamutunna wa antum
muslimuun” bias juga dipahami bahwa “janganlah seseorang muslim meninggal dunia
sebelum semua aspek aktifitas lahir dan bathinnya sesuai dengan perintah Allah
dan RasulNya.[1]
Adapun pengertian takwa
dari akar kata yang bermakna ”menghindar, menjauhi, atau menjaga diri”, M.
Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kalimat perintah ”ittaqullah” yang secara
harfiah berarti ”hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah”, tentu makna
ini tidak lurus dan bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Sebab, bagaimana
mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan ”Dia
(Allah) bersama kamu dimana pun kamu berada”.
Karena itu, perlu
disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya, kata siksa
atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti
perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah, baik di dunia maupun
akhirat.[2]
Dibawah ini adalah beberapa
perbedaan pendapat mengenai takwa, antara lain:
1. Al-Hasan al-Bashri
mengatakan bahwa orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang takut dan
menghindari apa yang diharamkan Allah, serta menunaikan apa-apa yang diwajibkan
oleh Allah.[4]
2. Athiyah as-Saddi
mengatakan:
لاَ يَبْلُغُ الْعَبْدُ اَنْ
يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَى مَا لاَ بَأْسُ بِهِ حَذَرًا مِمَّا
بِهِ بَأْسُ
(رواه الترمذي وابن ماجه).
“seorang hamba tidak
termasuk golongan orang-orang yang bertakwa sebelum dia meninggalkan hal yang
mengandung dosa semata-mata karena khawatir terjerumus ke dalam (perbuatan)
dosa.” (H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah)[5]
3. Ibnul Mu’taz, dalam
bait-bait syairnya mengatakan bahwa: “tinggalkan semua dosa yang kecil maupun
yang besar, itulah takwa.[6]
4. Syayyidina Ali K.W mendefinisikan
takwa sebagai berikut:
a. Takut (kepada Allah)
yang diiringi rasa cinta, bukan takut karena adanya neraka.
b. Beramal dengan Al-Qu’an
yaitu bagaimana Al-Qur’an menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari seorang
menusia.
c. Orang yang menyiapkan
diri untuk “perjalanan panjang”, maksudnya hidup sesudah mati.[7]
E. Asbab Nuzul
Sebab-sebab turunnya surat
ali-Imran ayat 102 ini yaitu pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku
yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun-temurun selama 120
tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad SAW mendakwahkan
Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus; yakni kaum Anshar dan Suku Khazraj
hidup berdampingan, secara damai dan penuh keakraban.
Suatu ketika Syas Ibn Qais
seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai
dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka
melihat keakraban dan kedamaian mereka,
lalu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj
untuk menyinggung perang “Bu’ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan Khazraj
lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing, saling caci maki dan mengangkat senjata, dan
untung Rasulullah SAW yang mendengar perestiwa tersebut segera datang dan
menasehati mereka: Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah
telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari
kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul,
mereka sadar, menangis dan saling berpalukan. Sungguh peristiwa itu adalah
seburuk-buruk sekaligus sebaik-baik peristiwa. Demkianlah asbabun nuzul Q.S.
Ali Imran ayat 102 menurut sahabat.[3]
F. Ayat dan Hadis terkait
1. Bertakwalah kepada Allah
dimanapun kamu berada dan ikutilah perbuatan buruk dgn perbuatan baik niscaya
menghapusnya. Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang luhur. {HR.Tirmidzi}
2. Cukup berdosa orang yang
jika diingatkan agar bertakwa kepada Allah dia marah. {HR.Ath-Thabrani}
3. Tiap orang yang bertakwa
termasuk keluarga Muhammad . {HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi}
4. Rasulullah Saw ditanya
tentang sebab-sebab paling banyak yang memasukkan manusia ke surga.
Beliau menjawab Ketakwaan
kepada Allah dan akhlak yang baik. Beliau ditanya lagi Apa penyebab banyaknya
manusia masuk neraka? Rasulullah Saw menjawab Mulut dan kemaluan.
Simpulan Penulis
Melihat pengertian takwa
yang diuraikan beberapa tokoh islam diatas, selaku penulis saya sependapat
dengan Al-Hasan al-Bashri yang mendefinisikan bahwa orang-orang yang bertakwa
adalah orang-orang yang takut dan menghindari apa saja yang diharamkan Allah,
serta menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah.
Penulis setuju dengan
pendapat tersebut karena orang yang bertakwa itu adalah orang yang takut dengan
azab Allah dan mempunyai dorongan untuk tetap selalu beriman dan bertakwa
kepada Allah swt. Hal ini bertentangan dengan pendapat Ibnul Mu’taz, dalam
bait-bait syairnya mangatakan bahwa “tinggalkan semua dosa yang kecil maupun
yang besar, itulah takwa.”dan pendapat dari Syayyidina Ali K.W yang
mendefinisikan takwa sebagai rasa takut (kepada Allah) yang diiringi rasa
cinta, bukan takut karena adanya neraka. Penulis tidak sependapat dengan dua
tokoh ini, karena takwa sesungguhnya bukan hanya rasa takut kepada Allah, tapi
juga keimanannya sangat kuat dalam menjalani kehidupannya sebagai umat Allah
yang sesungguhnya telah dijanjikan tempat yang indah untuk orang-orang yang
senantiasa bertakwa kepada Allah swt.
Takwa itu mengetahui dengan
akal, memahami dengan hati dan melakukan dengan perbuatan. Bertakwa kepada Allah
artinya. Mengetahui bahwa Allah itu ada dengan akal, memahami tentang
keberadaan dan kedudukan Allah sebagai Tuhan manusia dan melakukan perbuatan
sesuai pemahaman kita terhadap pengetahuan akan Allah. makanya bertakwa itu ada
derajatnya masing-masing karena tingkat pengetahuan dan pemahaman orang
beda-beda.
Takwa bukan sekedar membuat
yang disuruh dan meninggalkan apa yang dilarang. Itu baru taat dan patuh tetapi
belum tentu takwa. Takwa adalah intipati ibadah. Ia roh dan jiwa ibadah. Tanpa
roh, sesuatu amalan tidak menambah takwa. Amalan takwa sahajalah yang
dipertimbangkan di Akhirat kelak sebagai amalan kebajikan. Bahkan takwa adalah
buah dari keimanan seseorang.
F. RELEVANSI Q.S. Al-IMRAN : 102
Analisa surat ali-Imran
ayat 102 yang menyebutkan tentang ketakwaan seseorang terhadap Allah swt. Dapat
penulis gambarkan bahwa sesungguhnya ayat ini bukan hanya membahas tenteng
takwa semata, tapi juga ada nilai-nilai pendidikan yang dapat kita analisa lebih
jauh dalam ayat ini.
Pendidikan dalam hal ini
sangat berperan penting dalam membina seseorang menuju akhlak yang baik
sehingga dapat selalu bertakwa kepada Allah swt.
Nabi Muhammad SAW diutus
oleh Allah untuk menjadi pendidik bagi umatnya, memperbaiki keadaan dan situasi
budaya masyarakatnya serta menyempurnakan akhlak, agar terwujud nyata kebenaran
yang didapatkannya. Nabi Muhammad dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik,
beliau menerima petunjuk-petunjuk dan instruksi dari Allah tentang apa dan
bagaiman berbuat untuk melaksanakan tugasnya tersebut. Petunjuk dan instruksi
tersebut terdapat dalam Al-Qur’an (Q.S. al-Alaq :1-5). Selanjutnya turun pula
wahyu yang kedua yaitu QS. Al-Mudatsir:
يا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
(1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3) وَثِيابَكَ فَطَهِّرْ (4)
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5) وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ (6) وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ (7)
Artinya: hai orang yang
berkemul (berselimut). Bengunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu
Agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah (Q.S.74 :1-7).
Dari ayat diatas menunjukan
bahwa Nabi Muhammad SAW telah diberi tugas oleh Allah Swt. Supaya bersegera
memberi peringatan dan pengajaran kepada kaumnya sebagai tugas suci, tugas mendidik
dan mengajarkan agama Islam, agar umatnya tidak jauh dari kebenaran.[8]
Dari uraian tersebut telah
jelas bahwa kita sebagai manusia memerlukan pendidikan dan pengajaran, dengan
tujuan agar kita tahu sebenarnya apa yang harus kiat lakukan dan apa yang tidak
semestinya kita lakukan. Adapun tujuan dari pendidikan islam adalah pada
hakikatnya merupakan realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang
membawa misi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah Swt, lahir dan
batin, dunia dan akhirat.
Rumusan lain tentang tujuan
pendidikan Islam oleh Oemar al-Toumy al-Syaibani sebagai berikut: “tujuan
pendidikan Islam adalah perubahan yang diinginkan dan diusahakan dalam proses
pendidikan dan usaha pendidikan untuk mencapainya, baik tingkah laku individu
dari kehidupan pribadinya tau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar
dimana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses
pengajaran sebagai suatu tindakan kegiatan asasi dan sebagai proporsi diantara
profesi asasi dalam masyarakat.[9]
Pendidikan islam identik
dengan tujuan hidup seorang muslim. Bila pendidikan dianggap sebagai suatu
proses, maka prosese tersebut akan berakhir pada tercapainya apa yang kita
inginkan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya
adalah suatu perwujudan nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia
yang diinginkan. Niali-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kehidupan
manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriahnya, dengan kata lain
perilaku lahiriah adalah cermin yang memproyeksikan nilai-nilai ideal memacu
didalam jiwa manusia sebagai produk dari proses pendidikan. Pendidikan Islam
adalah mengandung tentang nilai-niali ideal yang Islami. Hal ini mengandung
bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah : Tujuan merealisasikan
idealitas Islami. Sedangkan idealitas Islami itu sendiri pada hakikatnya
mengandung nilai perilaku manusia yang disadari atau dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan yang ditaati.
Selanjutnya al-Gazali
berpendapat bahwa pendidikan Islam yang paling utama ialah beribadah dan
taqarrub kepada Allah Swt, dari kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan
dunia dan akhirat.[10]
Takwa adalah satu diantara
kerangka pola ajaran Islam. Semua ayat tentang takwa tersebut menerangkan
petunjuk-petunjuk dan pengarahan, dalam garis besarnya, sedang rinciannya
diungkapkan dalam hadits-hadits nabawy.
Pokok-pokok ajaran
Al-Qur’an mengenai akhlak itu terbagi dalam enam bidang penerapan, yaitu antara
lain: akhlak terhadap Allah dan Rasulnya, akhlak terhadap diri sendiri, ahlak
terhadap kaum keluarga, akhlak terhadap masyarakat, akhlak terhadap mahluk
selain manusia, dan akhlak terhadap alam. Semua ini ditempuh semata-mata untuk
bertakwa dan mengharapkan ridha dari Allah Swt.
“Saya tidaklah disuru
(diutus) keuali hanya untuk menyempurnakan akhlak”. (Hadits Nabi Muhammad SAW)
“Sesungguhnya beruntunglah
(menanglah) orang-orang yang mensucikan jiwanya dan sesungguhnya merugilah
orang-orang yang mengotori jiwanya”. (As-Syams : 9-10)
Pendidikan islam sebagai
salah satu aspek dari ajaran Islam, dasarnya adalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi
Muhammad SAW Dari kedua sumber tersebut, para intelektual muslim kemudian
mengembangkan dan mengklasifikasikannya kedalam dua bagian yaitu : pertama, akidah
untuk ajaran yang berkaitan dengan keimanan ; kedua, adalah syariah untuk
ajaran yang berkaitan dengan amal nyata. Oleh karena itu pendidikan termasuk
amal nyata dan hal tersebut menggariskan prinsip-prinsip dasar materi
pendidikan islam yang terdiri atas masalah iman, ibadah, sosial, dan ilmu
pengetahuan.
Dalam hal ini pula dapat
kita kaitkan antara martabat dan peran manusia mencapai ketakwaan. Ayat-ayat
Alqur’an yang bertemakan takwa tersebut pada umumnya sangat berhubungan erat
dengan “martabat” dan “peran” yang harus dimainkan manusia di dunia, sebagai
bukti keimanan dan pengabdian kepada Allah. Misalnya, ayat Alqur’an yang
berkaitan dengan masalah ini terungkap dalam Surat Alhujarat/49: 13 sebagai
berikut :
”Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.”
Dalam ayat tersebut, takwa
dipahami sebagai “yang terbaik menunaikan kewajibannya”. Maka, manusia “yang
paling mulia dalam pandangan Allah” adalah “yang terbaik dalam menjalankan
perintah dan meninggalkan laranganNya”. Inilah yang menjadi salah satu dasar
kenapa Allah menciptakan langit dan bumi yang menjadi tempat berdiam
makhluk-Nya serta tempat berusaha dan beramal, agar nyata di antara mereka
siapa yang taat dan patuh kepada Allah.
Istilah dan penggunaan kata
takwa selalu diawali atau bergandengan dengan kata ”iman”, seperti surat Ali
Imran/3:102 di atas, juga perintah puasa. Ini menunjukkan bahwa orang bisa
melaksanakan ketakwaan karena atas dasar keimanannya. Sehingga, dalam konteks
ketakwaan inilah maka kita bisa memahami, mengapa keimanan sesorang bisa
bertambah dan berkurang. Untuk itu, dengan beriman dan bertakwa, Allah
menjanjikan hilangnya ketakutan dan kekhawatiran untuk melaksanakan perintah
dan menjauhi laranganNya. Dalam surat Al-Anfaal/8:29 ditegaskan Allah :
”Hai orang-orang beriman,
jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan
kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni
(dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
Maka, orang yang bertakwa
(muttaqin), adalah orang yang selalu menjaga dirinya dari perbuatan dosa dengan
satu pedoman dan petunjuk Alqur’an sehingga bisa mengembangkan kemampuan rohani
dan kesempurnaan diri. Mirza Nashir Ahmad dalam terjemahan the Holy Qur’an-nya,
menyebut orang yang bertakwa adalah orang yang memiliki mekanisme atau daya
penangkal terhadap kejahatan yang bisa merusak diri sendiri dan orang lain.
Sementara, dalam ayat lain muttaqin menunjukkan kepada orang bijak, soleh,
jujur, dan bertanggung jawab.
Perintah Allah berbuat baik
dan menjauhi larangan, adalah sejalan dengan potensi yang diberikan Allah
kepada manusia, yaitu bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya : ”sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya” ,sehingga memiliki kemungkinan-kemungkinan yang besar untuk
maju dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya : ”Tiap-tiap orang
bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya” .
Ada beberapa ciri orang
bertakwa, diantaranya : 1) beriman dan meyakini tanpa keraguan bahwa Alqur’an
sebagai pedoman hidupnya; 2) beriman kepada perkara-perkara yang gaib; 3)
mendirikan sembahyang; 4) orang yang selalu membelanjakan sebahagian dari
rezeki yang diperolehnya; 5) orang yang selalu mendermakan hartanya baik ketika
senang maupun susah; 6) orang yang bisa menahan amarahnya, dan mudah memberi
maaf; 7) mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya, karena Allah
mengasihani orang-orang yang selalu berbuat kebaikan; takut melanggar perintah
Allah; 9) oleh karena itu, tempat mereka adalah surga sesuai dengan yang
dijanjikan Allah, dan tempatnya tidak jauh dari mereka.
Adapun nilai-nilai
kemanusiaan sebagai akibat ketaqwaan itu diantaranya :
1. Berilmu; dalam Alqur’an pada prinsipnya
takwa berarti mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Setiap perintah Allah adalah ’kebaikan’ untuk dirinya; sebaliknya setiap
larangan Allah apabila tetap dilanggar maka ’keburukan’ akan menimpa dirinya.
Maka, dalam konteks ini, takwa menjadi ukuran baik tidaknya seseorang, dan
seseorang bisa mengetahui ”baik” dan ”tidak baik” itu memerlukan pengetahuan
(ilmu) melalui pendidikan.
2. Kepatuhan dan disiplin; takwa menjadi
indikator beriman tidaknya seseorang kepada Allah. Sebab, setiap ”perintah” dan
”larangan” dalam Alqur’an selalu dalam konteks keimanan kepada Allah. Oleh
karena itu, secara sederhana, setiap orang yang mengamalkan takwa kepada Allah
pasti ia beriman; tapi, tidak setiap orang beriman bisa menjalani proses
ketaqwaannya, yang diantaranya disebabkan oleh faktor ”ketidaktahuan” dan
”pembangkangan”. Maka, iman, islam, dan takwa dalam beberapa ayat selalu
disebut sekaligus, untuk menunjukkan integralitas dan mempribadi dalam diri
seseorang.
3. Sikap hidup dinamis; takwa pada dasarnya
merupakan suatu proses dalam menjaga dan memelihara ”hubungan baik” dengan
Allah, sesama manusia, dan alam. Karena berhadapan dengan situasi yang
berkembang dan berubah-ubah, maka dari proses ini manusia takwa membentuk suatu
cara dan sikap hidup. ”Cara” dan ”sikaphidup” yang sudah dibentuk ini, secara
antropologis-sosiologis menghasilkan etika, norma dan sistem kemasyarakatan (
kebudayaan).
4. Kejujuran, keadilan, dan kesabaran; tiga
hal ini merupakan bagian yang ditonjolkan dalam ayat-ayat takwa. Kejujuran,
keadilan, dan kesabaran merupakan dasar-dasar kemanusiaan universal. Dalam
konteks ini, kesabaran dipahami sebagai keharmonisan dan keteguhan diri dalam
menghadapi segala cobaan hidup.
5. Empat poin di atas,
merupakan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang terrdapat dalam nilai-nilai
takwa. Dengan demikian, takwa merupakan dasar-dasar kemanusiaan universal yang
nilai-nilainya tidak mutlak dimiliki oleh Muslim, tetapi oleh seluruh manusia
yang berada pada jalur atau fitrah kemanusiaannya. Karena memiliki nilai-nilai
kemanusiaan universal, maka takwa bisa dikorelasikan kepada seluruh sektor dan
kepentingan hidup manusia, termasuk didalamnya sektor pendidikan.
Atas dasar itu, setiap
pendidikan yang sedang berlangsung untuk mengembangkan potensi diri dan
memperbaiki peradabannya itu, sudah barang tentu memiliki paradigma, yaitu
suatu ’cara pandang’ pendidikan dalam memahami dunia’ (world view). Setiap
paradigma mencerminkan ’cara pandang’ masyarakat dimana pendidikan itu
berlangsung. Oleh karena itu, setiap masyarakat, bangsa, maupun negara,
masing-masing memiliki paradigma pendidikan sesuai dengan ’cara pandang’
masyarakat atau negara bersangkutan terhadap dunianya. Berkenaan dengan paradigma
pendidikan itu, maka bangsa Indonesia adalah bangsa atau masyarakat relijius
yang diakumulasikan dalam rumusan Pancasila dan UUD’45. ”Seharusnya”, dari
paradigma inilah sistem pendidikan Indonesia terumuskan.
Dengan merujuk kepada
beberapa prinsip dasar takwa dan hakekat serta tujuan pendidikan, sebagaimana
dikemukakan di atas, maka takwa bukan saja hanya memiliki nilai implikatif
kepada proses pendidikan, tetapi takwa harus menjadi paradigma pendidikan, baik
dalam dasar-dasar filosofisnya, proses, maupun tujuannya. Oleh karena itu, ada
beberapa prinsip takwa yang berimplikasi kepada pendidikan, diantaranya :
Pertama; Dasar takwa adalah
Alqur’an yang berfungsi sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Rasulullah bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk itu, dengan menyucikan
dan mengajarkan manusia. Menurut Qurais Shihab, menyucikan dapat diidentikkan
dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik
dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. Tujuan
yang ingin dicapai adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan
penciptaan manusia yaitu beribadah.
Kedua; berkenaan dengan
hakekat dan tujuan pendidikan, maka, pada dasarnya takwa merupakan hakekat dari
tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu membina manusia sehingga mampu menjalankan
fungsinya dalam membangun peradaban manusia. Di sini, takwa mendorong manusia
untuk memperoleh ilmu sebagai modal dalam mengembangkan potensi dirinya dan
bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dengan baik dan harmonis
sesuai dengan kapasitas serta keahliannya.
Ketiga; oleh karena itu,
nilai-nilai taqwa bukan saja sejalan dengan hakekat dan tujuan pendidikan,
tetapi sekaligus juga takwa harus menjadi paradigma pendidikan. Paradigma ini
adalah menyangkut dasar filosofi, arah, proses, dan tujuan pendidikan. Maka,
pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berparadigma takwa.
Keempat; sejalan dengan
paradigma takwa itu, maka tujuan ideal pendidikan Islam adalah manusia sempurna
(insan kamil), yaitu manusia yang memiliki keunggulan jasmani, akal, dan kalbu.
Ketiga aspek potensi manusia ini tiada lain adalah manusia takwa, yang secara
serasi dan seimbang mesti dikembangkan melalui pendidikan.
Paradigma takwa yang
dikembangkan Pendidikan Islam, secara konseptual prinsip-prinsipnya dapat
dikemukakan di bawah ini :
•Islam menekankan bahwa
pendidikan merupakan perintah kewajiban agama, sehingga proses pendidikan dan
pembelajaran menjadi fokus yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan
manusia.
•Seluruh pola rangkaian
kegiatan pendidikan dalam konsep Islam adalah merupakan ibadah kepada Allah.
Dengan demikian, pendidikan menjadi kewajiban individual dan kolektif yang
pelaksanaannya dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal. Kerena
bernilai ibadah, maka pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman
nilai-nilai Ilahiyah dalam seluruh bangunan watak, perilaku, dan kepribadian
para peserta didik.
•Islam memberikan posisi
dan derajat yang sangat tinggi kepada orang-orang terdidik, terpelajar,
sarjana, dan ilmuwan. Dengan demikian, kegiatan pendidikan memegang peranan
penting dan kunci strategis dalam menghasilkan orang-orang tersebut.
•Seluruh proses kegiatan
pembelajaran dan aktivitas pendidikan dalam konsep dan struktur ajaran Islam
berlangsung sepanjang hayat (life long education).
•Seluruh proses
prembelajaran dan pola pendidikan dalam konstruk ajaran Islam adalah bersipat
dialogis, inovatif, dan terbuka. Artinya, Islam dapat menerima khazanah ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari mana saja.
Pendidikan nasional adalah
berdasarkan Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan
yang maha esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama
bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.
Wallahu A'lam.................
DAFTAR PUSTAKA
Permadi, K.1994. Iman dan
Takwa Menurut Al-Qur’an, Bineka Cipta, Jakarta.
Arif, muh.2006. Ilmu
Pendidikan Islam, Yayasan Pendidikan Makassar, Makassar.
Bahreisy, Salim, dan
Bahreisy, Said.2004. Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Cet.IV;Bina Ilmu,
Surabaya.
http://blogeqosim.blogspot.com/2010/01/definisi-taqwa-menurut-sayyidina-ali-kw.html
http://amgy.wordpress.com/2008/02/22/taqwa-dan-implikasinya-terhadap-pendidikan/
http://www.muhammadiyahtabligh.or.id/
0 komentar