ABU AL HASAN AL ASY'ARY
BIOGRAFI ABU AL HASAN AL ASY'ARY... Tokoh Asy- 'Ariyyah
Beliau bernama 'Ali bin
Isma'il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma'il bin Abdullah bin Musa bin
Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy'ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al
Asy'ary. Dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 Masehi, pada akhir masa
daulah Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam,
seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al
Mu'tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya.
Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian
ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu'tazilah bernama Abu 'Ali Al Jubba'i.
Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur'an pada usia belasan
tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa dengan
ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah
jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64
tahun.
Abu al Hasan al Asy'ary dan Mu'tazilah
Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau
menjadi penganut Mu'tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh
Mu'tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau
banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau
mulai meragukan terhadap ajaran Mu'tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal
dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu 'Ali al Jubba'i
dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar
dari Mu'tazilah.
Inti ajaran faham Mu'tazilah adalah dasar
keyakinan harus bersumber kepada suatu yang "qath'i" dan sesuatu yang
qath'i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum
Mu'tazilah menolak ajaran al Qur'an apalagi as Sunna yang tidak sesuai dengan
akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu'jizat para
nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adaya takdir. Mereka berpendapat
bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah :
Tidak akan ada perubahan dalam sunnatillah (Al
Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23).
Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya
mu'jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada
mu'jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu pendapat seperti ini
bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al Qur'an dan as Sunnah. Bukankah
Allah menyatakan bahwa dirinya :
(Allah) melakukan segala apa yang Dia
kehendaki (Hud : 107)
untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan
hukum yang dinmakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku
hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah
adalah Penguasa mutlak. Hukum yang
berlaku bagi manusia jelas berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah.
Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah
yang berlaku bagi kehidupan manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang
tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup.
Adakah yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?
itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu
Al-Hasan Al Asy'ary dalam segi aqidah dalam rangka koreksi terhadap faham
mu'tazilah, disamping masalah takdir, malaikat dan hal-hal yang termasuk
ghaibiyat.
Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al
Jubba'i yang terkenal adalan mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui
hikmahnya atau di ta'lilkan atau tidakl. Faham Mu'tazilah berpendapat bahwa
perbuatan Allah dapat dita'lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut
pendapat Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu
Ali al Jubba'i
Al Asy'ary (A) : Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang
kafir menurut tuan?
Al Jubba'i (B)
: Orang mukmin mendapat tingkat
tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka.
A : Bagaimana dengan anak
kecil?
B : anak kecil tidak akan
masuk neraka
A : dapatkah anak kecil
mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?
B : tidak, karena tidak pernah
berbuat baik
A : kalau demikian anak kecil itu akan memprotes
Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan
B : Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau
hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan
selamat.
A : kalau demikian, orang kafir pun akan protes
ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar
selamat dari neraka.
Abu Ali Al Jubba'i tidak dapat menjawab lagi,
ternyata akal tidak dapat diandalkan.
Abu al Hasan Al Asy'ary dalam meninjau masalah
ini selalu berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang
dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus
Sunnah wal Jama'ah.
Abu al Hasan al Asy'ary Pencetus Faham
Asy'ariyah
Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari
faham Mu'tazilah, pada mulanya cetudan pendapat Abu al Hasan sedikit banya
dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena
tantangan yang beliau hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio,
maka usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu'tazilah juga berusaha dengan
memberikan jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan
dalil-dalil dari Al Qur'an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat
dilihat ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal beliau
masih menta'wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya tentang adanya
sifat Allah yang wajib menurut akal.
Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy'ary
dalam bidang aqidah menurut pengkuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli
atau wahyu yang terdiri dari Al Qur'an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua
berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal daripada naql.
Hal ini terbukti masih menggunakan penta'wilan terhadap ayat-ayat Al Qur'an
tentang sifat-sifat Allah, misalnya: yadullah diartikan kekuatan Allah,
istiwa-u Llah dikatakan pengasaan dan sebagainya. Contoh lain misalnya dalam
menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan hanya
tiga sifat wajib, kemudian berkembang dalam menyinmpulkan menjadi lima sifat,
tujuh sifat, dua belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih
dikenal dengan "Dua puluh Sifat Allah". Dari dua puluh sifat itu
tujuh diantaranya dikatakan sebagai sifat hakiki sedang tigabelas yang lain
sifat majazi. Penetapan sifat hakiki dan majazi adalah berdasarkan rasio.
Dikatakannya, penetapan tujuh sifat hakiki
tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti meniadakan Allah. Ketujuh
sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi
qudratin, sami'un bi sam'in, basyirun bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan
muridun bi iradatin. Sedangkan mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan
sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk.
Ketika ditanyakan :"Bagaimana menetapkan
sifat hakiki tersebut, sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan
sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk?" Jawabannya: "Sifat-sifat
tersebut dari segi lafaz sama dengan makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai
arti 'maha' sesuai dengan kedudukan Allah yang Maha Kuasa." Kalau demikian
seharusnya tidak perlu kawatir dalam menerapkan tiga belas sifat yang lain
dengan mengatakannya sebagai sifat hakiki bukan ditetapkan sebagai majazi,
dengan pengertian sebagaimana dalam menetapkan tujuh sifat hakiki tersebut
diatas, yakni walaupun sifat-sifat Allah dari segi lafaz sama seperti
sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia, namun sifat itu bila dinisbahkan kepada
Allah akan mempunyai arti Maha.
Abu Al Hasan Al Asy'ary kembali ke Salaf
Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan
seorang bernama Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy'ary menyadari
kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat
Allah dan hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum beliau wafat beliau
mulai menulis buku "Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah" merupakan buku
terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan
tununan salaf. Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan
umat Islam yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.
Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah
pemikiran beliau di bidang aqidah sesudah beliau kembali ke metode pemikiran
salaf yang kemudian lebih dikenal dengan Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama'ah,
beliau merumuskannya dalam tiga kaidah sebagai berikut:
1.
Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat
memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja
dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika
akal bertentangan dengan wahyu.
2.
Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat
taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang
bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan.
3.
Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib
didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh
mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.
Adapun manhaj Abul Hasan
dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:
1. Menafsirkan ayat dengan ayat.
2.
Menafsirkan ayat dengan hadits
3.
Menafsirkan ayat dengan ijma'.
4.
Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta'wilkan kacuali ada
dalil.
5.
Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu
dalam memahami Al Quran harus
berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.
6.
Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat
tersebut
7.
Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus,
kedua-duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.
Banyak sekali buku-buku karya Abul Hasan Al
Asy'ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun 320 (sebelum kembali kepada manhaj
salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang ditulis sesudah tahun 320 hampir
mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad
Diyanah. Wallahu A'lam.
Dinukil dari tulisan Abu Ibrahim, As Sunnah
No.01/Th.I Nov 1992.
Category: Tarikh Islam, Ulama Kalam
0 komentar