ABU LUBABAH BIN ABDIL MUNDZIR
ABU LUBABAH BIN ABDIL
MUNDZIR...
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah
kamu menghianati amanat-amanat yang di percayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahuinya. Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah
sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala yang besa".
(al-Anfaal:27-28)
Menurut keterangan beberapa
ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah bin Abdil
Mundzir radhiallâhu 'anhu.
Abu Lubabah bin Abdil
Mundzir radhiallâhu 'anhu
Abu Lubabah termasuk salah
seorang muslim pilihan yang telah membela dan menegakkan agama Islam. Dia
adalah salah seorang pahlawan muslimin dalam peperangan, yang telah
mempersembahkan diri dan nyawanya di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran dan
meninggikan agama-Nya.
Dia dilahirkan di Yatsrib
yang subur dan banyak terdapat mata air, yang banyak ditumbuhi pepohonan dan
tetumbuhan yang dapat dinikmati oleh manusia dan hewan.
Kiranya tiap daerah
memiliki pengaruh kuat terhadap sepak terjang seseorang dan arah pemikirannya
juga. Begitu pula dengan penduduk kota Madinah. Mereka pada umumnya dikenal
memiliki akhlak yang luhur, pemaaf, berperasaan halus, dan suka berbuat baik
sesamanya.
Abu Lubabah termasuk
laki-laki seperti itu, yang diisyaratkan oleh Allah Ta'ala dalam al-Qur'anul
Karim.
"Dan orang-orang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum Anshor) sebelum (kedatangan)
mereka (kaum muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.
Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (kaum muhajirin); dan mereka mengutamakan (kaum muhajirin) atas
diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).
Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang
yang beruntung". (al-Hasyr:9)
Isterinya adalah Khansa'
binti Khanddam al-Anshariyah dari golongan al-Aus. Pada awalnya, ayahnya ingin
mengawinkan putrinya itu dengan seorang dari bani Auf, namun putrinya sudah
terlanjur cinta kepada Abu Lubabah. Akhirnya,ia pergi menghadap Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam dan melaporkan hasrat hatinya itu, lalu
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam memerintahkan kepada ayahnya
supaya memberikan kebebasan kepada putrinya dalam memilih calon suaminya
sendiri. Akhirnya,iapun dinikahkan dengan Abu Lubabah bin Abdil Mundzir
radhiallaahu 'anhu.
Perkawinan keduanya
mendapat karunia seorang anak perempuan, Lubabah namanya. Demikinlah, akhirnya
Abu Lubabah menjadi panggilan ayahnya.
Lubabah diperistri oleh
Zaid ibnul Khaththab radhiallaahu 'anhu yang dipercaya memegang panji kaum
muslimin dalam peperangan di al-Yamamah yang mencemaskan seraya menyeru dengan
suara nyaring,"Ya Allah, aku dapat menjawab dengan apa yang dikumandangkan
Musailamah dan Muhkam Ibnu Thufail…..".
Dengan panji dan pedang di
tangan, ia menyerang lawannya dengan tangkas dan berani sehingga ia tewas
sebagai syahid. Umar ibnul Khaththab radhiallaahu 'anhu berkomentar atasnya,
"Allah akan merahmati saudaraku, Zaid radhiallaahu 'anhu, insya Allah. Dia
masuk Islam sebelum aku dan tewas sebagai syahid sebelum aku juga."
Abu Lubabah termasuk orang
pertama yang masuk Islam, ketika beberapa orang anshar berjumpa dengan Mush'ab
bin Umair di Yatsrib. Kepada mereka ditawarkan agama Islam, lalu mereka dengan spontan
percaya kepada Muhammad Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam.
Abu Lubabah salah seorang
Anshor yang menghadiri bai'at al-'Aqabah II. Adapun orang pertama yang
berbicara di majelis itu ialah Abbas bin Abdul Muthalib, padahal pada waktu itu
ia menganut agama kaumnya (musyrik). Ini dilakukannya hanya karena ia ingin
mengetahui dengan pasti dan meyakinkan kedudukan keponakannya, Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam , dalam bai'at itu;Ia berkata:
"Wahai kaum Khazraj,
ketahuilah bahwa Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam adalah dari
golongan kami dan kami telah mempertahankannya dari kaum kami yang masih
sealiran dengan kami dan ternyata dia masih tetap dimuliakan tengah-tengah
kaumnya dan terlindung dari Tanah Airnya. Akan tetapi, ia tetap saja mau pergi
bersama kalian ke negeri kalian. Kalau kalian benar-benar mau menepati janji
akan melindunginya dari orang-orang yang tidak sepaham dengan dia maka kami
akan mempercayakannya kepada janjimu itu. Akan tetapi, kalau kalian akan
menyerahkannya dan tidak akan mempertahankannya dari orang-orang yang tidak
sepaham dengannya, setelah dia keluar dan pergi kepada kalian, maka dari
sekarang, sebaiknyalah kalian membiarkannya dalam kemuliaan dan perlindungan
dari kaumnya di negeri sendiri."
Mereka berkata:"Kami
telah mendengar apa yang anda katakan. Sekarang katakanlah ,wahai Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam untuk dirimu dan Rabbmu,
sesukamu!"
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam menjawab,"Aku akan membai'at kalian bahwa
kalian melindungiku seperti kalian melindungi isteri-isteri dan
anak-anakmu".
Al-Barra' bin Ma'rur
menjabat tangan beliau dan berkata,"Ya, Atas nama Yang mengutusmu dengan
kebenaran, Kami berjanji akan melindungimu seperti melindungi isteri-isteri dan
anak-anak kami, maka bai'atlah kami,wahai Rasulullah, karena kami sejak nenek
moyang kami memang ahli perang."
Selagi Al-Barra' berbicara
dengan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam tiba-tiba Abul
Haitsam bin an-Nahyan memotong pembicaraannya," wahai Rasulullah, antara
kami dan segolongan kaumku (maksudnya, kaum yahudi) sudah terjalin ikatan dan
kemungkinan kami memutuskannya. Apakah kalau kami memutuskannya, kemudian Allah
berkenan memenangkanmu, apakah tidak mungkin engkau kembali kepada kaummu dan
meniggalkan kami?"
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam tersenyum, lalu berkata menegaskan: "Darah
dibayar dengan darah dan penghancuran dibayar dengan penghancuran. Aku bagian
dari kalian dan kalian juga bagian dariku . Aku akan memerangi siapa yang
kalian perangi dan akan berdamai dengan siapa yang berdamai dengan
kalian."
Abu Lubabah kemudian
kembali ke Madinah setelah pertempurannya dengan Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam itu. Ia merasa kagum sekali atas kepribadian dan
keluhuran budi pekerti beliau. Ia kembali dari sana sebagai orang baru yang
menjelma dari masa lalunya secara keseluruhan, menjadi seorang yang berusaha
keras yang merealisasikan isi Al-Qur'anul Karim dalam hidup dan sepak
terjangnya.
Tidak lama setelah itu,
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam sudah berada di
tengah-tengah mereka di Madinah, menyusun syariat dan menetapkan undang-undang
yang dibawa oleh Jibril dari Rabbnya. Ternyata, kaum muslimin menyambutnya
dengan gegap gempita, tidak seorangpun merasa berkeberatan atau hendak
menyelewengkannya sedikitpun.
Tak lama setelah itu,
perang badar pun pecah antara kaum musyrikin dan kaum muslimin pilihan Allah
Ta'ala itu. Abu Lubabah mengetahui persiapan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
aalihi wasallam , lalu ia mempersiapkan dirinya dan pergi menyandangkan senjatanya
hendak menemui kaum kafir Quraisy bersama dengan kaum muslimin. Akan tetapi
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam tidak mengizinkan Abu
Lubabah pergi bersamanya, tetapi ia diamanatkan mewakilinya di Madinah.
Penjagaan keamanan dan ketertiban kota itu tidak kurang pentingnya dengan
perang di medan laga. Ia di beri tanggung jawab memelihara keamanan dan
keselamatan penduduk kota Madinah, anak-anak, kaum wanita, dan semua orang yang
ada di dalamnya. Ia juga diberi amanat menjaga keamanan dan keselamatan
buah-buahan, perkebunan, dan perbatasannya. Ia diberi tanggung jawab memberi
warganya yang sedang kelaparan, memenuhi semua kebutuhan yang ada, baik
anak-anak maupun oran tua, sampai pasukan yang berada di jalan Allah itu
kembali.
Abu Lubabah mematuhi
perintah dan pengarahan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam
dengan baik. Ia memimpin kota Madinah dengan baik, mempersiapkan juga bekal
yang mungkin dibutuhkan oleh pasukan yang sedang berperang, dan menggalakkan
pembuatan senjata perang siang dan malam, sehingga pasukan kaum muslimin
memiliki persenjataan dan perbekalan yang lengkap.
Tiap hari, ia pergi keluar
kota Madinah untuk mengetahui terlebih dahulu berita jihad kaum muslimin.
Akhirnya, berita kemenangan yang gilang-gemilang itu sampai diterimanya, lalu
ia pergi bergegas-gegas memasuki kota untuk menyampaikan berita kemenangan itu.
Penduduk kota Madinah bersuka cita dan bersyukur kepada Allah Ta'ala yang telah
memenangkan saudara-saudaranya melawan musuh-musuhnya yang jauh lebih lengkap
dan kuat. Akan tetapi, ada sekelompok penduduk kota Madinah yang tidak
bergembira atas kemenangan yang telah diraih kaum muslimin itu. Mereka adalah
orang-orang yang senang bermain di gelap gulita, orang-orang yang telah
mengetahui kebenaran, namun menutup mata dan telinganya darinya. Mereka adalah
segolongan kaum yahudi yang bertetangga dengan kaum muslimin di Madinah, yang
dengan terang-terangan memperlihatkan rasa dengki dan hasudnya atas kemenangan
yang diraih kaum muslimin dan tidak segan-segan melanggar perjanjian yang sudah
mereka sepakati.
Setelah Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam mendengar dan melihat gelagat yang
diperlihatkan kaum yahudi di Madinah, beliau lalu memerintahkan wakil-wakilnya
untuk mengadakan pertemuan di sebuah pasar di perkampungan Bani Qainuqa',
seraya berkata,"Apa yang menimpa kaum Quraisy hendaknya dijadikan
pelajaran yang harus diwaspadai. Kalian sudah mengetahui bahwa aku ini adalah
seorang nabi yang diutus oleh Allah."
Mereka menjawab dengan lantang,"Hai
Muhammad, janganlah kau takabbur atas kemenangan yang engkau peroleh melawan
orang-orang yang tidak memiliki keahlian dalam peperangan, lalu engkau berhasil
memenangkannya".
Ini merupakan ketegangan
pertama dan terang-terangan antara kaum Yahudi dan kaum muslimin. Sesudah itu
disusul kasus wanita muslimah yang sedang duduk di depan toko perhiasan seorang
yahudi di pasar Bani Qainuqa', menunggu perhiasannya diselesaikan. Datanglah
seorang diantara mereka menindihkan baju besinya dibagian belakang rok wanita
itu sedangkan wanita itu tidak menyadarinya. Ketika ia bangun, tiba-tiba roknya
tertarik kebelakang dan auratnyapun terlihat. Mereka sertamerta
menertawakannya. Seorang muslim yang sedang kebetulan ada di tempat itu tidak
sabar melihat peristiwa keji itu, lalu ia melompat dan membunuh salah seorang
dari mereka.
Dengan demikian, mereka
telah melanggar perjanjian yang telah mereka sepakati bersama Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam karena takut pada dosanya itu, mereka
mengurung diri dalam perbentengannya. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi
wasallam dan para sahabatnya datang mengepungnya selama lima belas hari.
Akhirnya, mereka pun keluar dan menyatakan siap menerima hukumannya. Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam bermaksud hendak membunuh mereka.
Mereka adalah sekutu golongan Khazraj. Abdullah bin Abi Salul lalu menghampiri
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam dan berbicara dengan beliau
tentang mereka, seraya memasukkan tangannya ke dalam kantong Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam.
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam marah sekali kepadanya seraya
menghardiknya,"Lepaskan aku!"
Dia menjawab,"Aku
tidak akan melepaskanmu hingga kau berbuat baik terhadap para sekutuku; 400
orang tak bersenjata dan 300 orang bersenjata lengkap. Mereka telah
melindungiku dari berbagai peperangan yang memusnahkan segalanya dan aku
khawatir terhadap masa depanku."
Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa aalihi wasallam, bersabda lagi: "Mereka aku serahkan kepadamu!
Keluarkan mereka, Allah melaknat mereka dan laknat Allah bersama dengan
mereka."
Mereka diusir keluar dari
kota Madinah oleh Ubadah bin ash-Shamit. Mereka pergi menuju Adzri'at di negeri
Syam. Tidak lama setelah itu, mereka pun tewas di sana.
Pada waktu pengepungan
terhadap perbentengan Bani Qainuqa' itu, Abu Lubabah diserahi tugas memimpin
kota Madinah. Ternyata, dia melaksanakan tugasnya dengan baik.
Kami sudah berbicara
tentang perang badar, bagaimana kaum muslimin dalam perang itu telah meraih
kemenangan gilang gemilang dan dan bagaimana kaum musyrikin hancur luluh
disana.
Sisa pasukan yang hancur
itu kembali ke Mekah dibawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb yang setelah perang
itu bernazar tidak akan membasahi rambutnya dengan air jinabah hingga berhasil
membalas memerangi Muhammad. Tak lama setelah itu, ia keluar dengan dua ratus
pasukan berkuda kaum Quraisy untuk memenuhi nazarnya itu hingga ke pinggiran
kota Madinah pada malam hari.
Pasukan kaum musyrikin
dalam perang badar berjumlah hampir seribu orang. Walaupun begitu, mereka
kembali dengan membawa kekalahan yang memalukan, lalu mengapa Abu Sufyan malah
datang ke pinggiran kota Madinah dengan pasukan yang jauh lebih sedikit?.
Kesimpulan yang bisa
ditarik dari ulah Abu Sufyan itu adalah bahwa ia hanya menebus sumpahnya saja,
bukan ingin mengadakan peperangan dengan kaum muslimin. Ia datang diam-diam
pada malam hari menemui pimpinan yahudi Bani an-Nadhir di bawah pimpinan Salam
bin Misykam. Walau pun begitu, beritanya tercium juga akhirnya.
Pada malam itu juga pasukan
tersebut pergi membakar kebun korma dan membunuh seorang anshor sekutu yahudi
Bani an-Nadhir itu dan kembali ke Mekah.
Mendengar berita itu,
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam mengerahkan pasukannya untuk
mengejar pasukan Abu Sufyan dan sekali lagi beliau mengangkat Abu Lubabah
menjadi pimpinan pemerintahan di Madinah, namun pasukan kaum musyrikin itu
tidak terkejar.
Abu Sufyan tahu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam tidak akan membiarkannya
lari begitu saja. Ia melarikan kudanya dengan kecepatan yang diharapkan, ia
meninggalkan sebagian perbekalannya supaya jangan sampai terkejar dan
tertangkap.
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam dan para sahabatnya kembali ke Madinah menunggu
kesempatan baik untuk memberikan palajaran kepada para perusuh itu.
Bagi orang yang mengamati
sejarah Islam, selama masa itu akan berkesimpulan bahwa Abu Lubabah adalah
seorang mukmin yang jujur, seorang pejuang yang ikhlas kepada agama, Nabi, dan
Rabbnya.
Dalam penyerbuan Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam ke perbentengan yahudi Bani Quraizhah,
Abu Lubabah ikut bersama beliau dan pimpinan pemerintahan di Madinah diserahkan
kepada Abdullah ibnu Ummi Maktum.
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam bersama para sahabatnya mengepung benteng Bani
Quraizhah itu selama 25 malam sehingga mereka hidup dalam kekurangan dan
ketakutan.
Setelah mereka meyakini
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam tidak akan membiarkan
mereka tanpa hukuman, akhirnya Ka'ab bin Asad bertindak sebagai penengah untuk
mereka. Ia berkata:"Wahai orang-orang yahudi! kalian sudah mengetahui
petaka apa yang telah menimpa kalian dan aku mencoba menawarkan tiga hal;
terserah kalian untuk memilih yang mana diantaranya yang kalian senangi."
"Apa itu ?"
Kita mengikuti Muhammad dan
mempercayainya. Demi Allah! sebenarnya kalian sudah mengetahui bahwa dia adalah
seorang Nabi dan Rasul Allah, dan bahwa ciri-cirinya sudah dinyatakan dalam
kitab kalian. Dengan demikian, kalian telah mengamankan darah, harta,
anak-anak, dan istri-istri kalian semuanya.
"Kami tidak akan
meninggalkan hukum taurat dan tidak akan menggantikannya dengan hukum lainnya hingga
kapanpun".
"Kalau kalian menolak
usulku itu, baiklah kita membunuh anak-anak dan istri-istri kita, lalu kita
keluar dengan pedang terhunus melawan Muhammad dan para sahabatnya tanpa
meninggalkan rasa berat sedikit pun, hingga Allah menentukan siapa diantara
kita yang menjadi pemenangnya. Kalau kita tewas, kita tewas tanpa meninggalkan
keturunan yang kita khawatirkan di belakang hari dan kalau kita menang, kita
yakin masih bisa mendapatkan perempuan dan masih bisa mendapatkan anak-anak
lagi".
"Apakah kita akan
membunuh anak-anak dan istri-istri kita? Apa artinya hidup tanpa mereka?"
"Kalau kalian menolak
juga usulku itu, ketahuilah bahwa malam ini adalah malam sabtu. Mungkin kalau
kalian keluar menemui Muhammad dan para sahabatnya, mereka akan mau mengampuni
kalian".
Mereka lalu mengirim
seorang utusan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam
meminta Abu Lubabah bin Abdil Mundzir dikirimkan kepada mereka untuk dimintakan
pendapatnya karena mereka sekutu golongan kalian".
Mengapa Abu Lubabah ? Apa
yang mungkin diberikan kepada mereka oleh sahabat yang mulia ini?
Mungkinkah sahabat ini akan
mengkhianati Rasulullah dan mendurhakai Rabbnya, lalu memberikan nasihat yang
bukan-bukan pada kaum yahudi itu?
Hal ini karena kedudukan
seorang penasihat itu harus dapat dipercaya. Semua hukum dan syariatpun
menyatakan demikian. Sedangkan, kaum yahudi ingin menjadikan Abu Lubabah
sebagai penasihatnya.
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam memerintahkan kepada Abu Lubabah untuk pergi menemui
hasrat mereka. Abu Lubabah pergi menemui pimpinan kaum yahudi itu. Begitu anak-anak
dan istri-istri mereka melihat Abu Lubabah datang, mereka menangis
meraung-raung memohon belas kasihannya. Sudah tentu, Abu Lubabah sebagai
manusia tidak bisa menyembunyikan rasa iba dan harunya kepada mereka.
Kami sudah mengatakan bahwa
penduduk Madinah pada umumnya berhati lembut dan berjiwa pemaaf, kasih
sayangnya sesamanya menggebu-gebu.
Abu Lubabah sebagai manusia
tidak bisa tidak terpengaruh oleh peristiwa itu. Begitu pimpinan yahudi
bertanya kepadanya, "Apakah anda menyetujui hukuman Muhammad?". Ia
menjawab:"Ya", Seraya mengisyaratkan dengan tangannya ke lehernya,
yakni mereka akan dibunuh.
Abu Lubabah berkata:
"Demi Allah! belum beranjak kedua kakiku dari tempatnya melainkan aku
menyadari bahwa aku sudah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya Shallallaahu 'alaihi
wa aalihi wasallam".
Abu Lubabah lalu pergi ke
masjid an-Nabawi dan tidak menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi
wasallam lagi. Ia mengikatkan dirinya di salah sebuah tiangnya di sana, seraya
berkata: "Aku tidak akan meninggalkan tempatku ini sehingga Allah
mengampuni apa yang telah aku perbuat dan telah bersumpah tidak akan pergi lagi
ke perkampungan Bani Quraizhah, dan aku tidak akan melihat negeri yang pernah
aku berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya untuk selama-lamanya".
Baiklah, kita tinggalkan
Abu Lubabah yang mengikatkan dirinya pada salah sebuah tiang masjid an-Nabawi
dan mengikuti hukum apa yang dikenakan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
aalihi wasallam kepada yahudi Bani Quraizhah itu.
Esok paginya, mereka keluar
dari perbentengannya untuk menerima keputusan dari Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam; berdatanganlah pimpinan golongan al-Aus menghadap
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam. Mereka mengeluh,
"wahai Rasulullah! mereka dahulu sekutu kami melawan al-Khazraj dan
baginda telah berbuat terhadap sekutu saudara-saudara kami kemarin seperti yang
baginda ketahui".
Sesudah pimpinan al-Aus
berbicara dengan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam, beliau
bertanya kepada mereka: "Wahai pimpinan al-Aus, Apakah kalian ridha jika
yang memberikan hukuman itu seorang dari kalian sendiri?".
Mereka menjawab,"Ya,
ridha".
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam bersabda: "panggil Sa'ad bin Mu'adz
kesini!".
Mereka memanggilnya dan
berkata: "wahai Aba Umar! Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi
wasallam memanggil anda menyerahkan hukuman sekutumu kepadamu".
Sa'ad menjawab:
"Kalian harus menyatakan sumpah setia kepada Allah Ta'ala bahwa kalian
akan menerima keputusanku".
Mereka menjawab,"Ya,
kami menerimamu".
Sa'ad selanjutnya bertanya
kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam: "Apakah
keputusanku akan diterima sebagai keputusan yang sah?".
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam pun menjawab: "Ya, Kami akan menerimamu".
Sa'ad berkata: "Saya
memutuskan agar semua laki-lakinya dibunuh, harta bendanya dirampas dan
dibagi-bagikan, dan wanita-wanitanya di tawan".
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam bersabda kepadanya: "Engkau telah menjatuhkan
hukuman terhadap mereka dengan hukuman Allah dari atas langit yang
ketujuh!".
Adapun kepada Abu Lubabah
telah diberikan ampunan, baik Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi
wasallam maupun dari Allah Ta'ala, dan dia pun ikut aktif bersama kaum muslimin
lainnya dalam berbagai kerja dan peperangannya. Dalam penaklukan kota Mekah, ia
memegang panji Bani Amru bin Auf dan ia menyaksikan masuknya orang
berbondong-bondong ke dalam agama Islam. Demikianlah akhirnya, ia kembali ke rahmatullah
pada zaman pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallaahu 'anhu. semoga
Allah Ta'ala menempatkannya di dalam surga-Nya, sesuai dengan jasa dan baktinya
kepada agama Islam dan kaum muslimin.
Sebab Turunnya Ayat
Menurut sebagian mufasirin,
ayat tersebut diturunkan untuk Abu Lubabah bin Abdil Mundzir al-Anshari. Hal
itu terjadi ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam sedang
mengepung perbentengan Yahudi Bani Quraizhah selama 21 malam. Mereka lalu
memohon berdamai dengan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam
seperti yang pernah diberikan kepada saudara-saudaranya di Bani
an-Nadhir………,mereka mohon diizinkan keluar dari Madinah untuk menyusul
saudara-saudaranya ke Adzri'at atau ke Ariha di negeri Syam. Akan tetapi,
mereka menolak menerima keputusannya. Mereka berkata, "Kami meminta Abu
Lubabah dikirimkan kepada kami. Dia seorang sahabat karib dengan kami. Dahulu,
harta dan anak-anaknya bersama dengan kami. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
aalihi wasallam lalu mengirimkannya kepada mereka.
Mereka bertanya kepadanya:
"wahai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu, apakah kami akan tunduk kepada
keputusan Sa'ad Bin Mu'adz?"
Abu Lubabah lalu
mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya ke lehernya bahwa mereka akan
disembelih, berarti jangan mau menerima.
Abu Lubabah berkata:
"Demi Allah, kedua kakiku belum beranjak dari tempatku melainkan telah
mengetahui bahwa aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya". Lalu,
turunlah ayat itu.
Sesudah ayat itu turun maka
ia memperkeras ikatannya pada pilar masjid an-Nabawi, seraya berkata:
"Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati atau Allah
mengampuni dosaku itu".
Sudah tujuh hari lamanya ia
tidak memakan makanan sehingga tidak sadarkan diri, kemudian Allah
mengampuninya. Lalu, ada yang menyampaikan berita itu kepadanya, "wahai
Abu Lubabah, Allah telah mengampuni dosamu!".
Ia berkata: "Tidak.
Aku tidak akan membuka ikatanku sebelum Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
aalihi wasallam datang membukanya".
Tak lama setelah itu,
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam pun datang membukanya. Abu
Lubabah lalu berkata kepadanya: "Kiranya akan sempurna tobatku kalau aku
meninggalkan kampung halaman kaumku tempat aku melakukan dosa di sana dan aku
sumbangkan seluruh hartaku?".
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam menjawabnya: " Kau hanya dibenarkan
menyumbangkan sepertiganya saja" .
Menurut riwayat ibnu
Hisyam, sesudah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam mendengar
ceritanya, hal itu sudah agak terlambat benar, maka beliau bersabda:
"Kalau dia datang menemuiku, tentu aku akan memohonkan ampunan untuknya.
Akan tetapi, karena ia bertindak sendiri maka aku tidak mungkin bisa
melepaskannya dari tempatnya sehingga Allah melepaskannya".
Ada yang mengatakan bahwa
di terimanya tobat Abu Lubabah diberitahukan oleh Allah kepada Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam ketika beliau berada di rumah Abu
Salamah radhiallaahu 'anhu, Istri Abu Salamah, berkata: "Aku mendengar
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam tertawa pada waktu sahur aku
bertanya: 'wahai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam, apa
gerangan yang baginda tertawakan? 'Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi
wasallam menjawab, 'Allah telah mengampuni dosa Abu Lubabah. 'Aku bertanya
kepadanya: 'Apakah aku boleh menyampaikan berita gembira itu kepadanya?.
'Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam menjawab: 'Boleh saja kalau
kau mau'. Dia lalu berdiri di pintu kamarnya; kejadian itu terjadi sebelum
kewajiban berhijab diundangkan.
Aku berkata: 'wahai Abu
Lubabah, bergemberilah, Allah telah mengampuni dosamu'.
Setelah itu, banyaklah
orang yang datang hendak melepaskan ikatannya, namun ia menolak seraya berkata:
'Tidak. Demi Allah, aku tidak mau sebelum Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
aalihi wasallam datang membebaskan aku dengan tangannya'.
Ketika Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam hendak shalat shubuh, baginda
menghampirinya dan membukakan ikatannya".
Adapun ayat yang
melepaskannya dari dosa ialah firman-Nya:
"Dan (ada pula)
orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan
yang baik dengan pekerjaan yang lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima
tobat mereka. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang".(at-Taubah:102)
Renungan
Amanat adalah salah satu
keutamaan seorang muslim yang lahir dari akidahnya dan yang membuktikan pada
kejujuran hidupnya dan kemuliaan tujuannya. Karena itulah, amanat merupakan hal
yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan dan berkhianat sebagai pertanda ingkar
dan kafir, seperti yang dikatakan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi
wasallam.
"Tidak beriman siapa
yang tidak memiliki amanat dan tidak beragama siapa yang tidak bisa dipegang
janjinya".
Amanat merupakan salah satu
sifat orang baik dan salah sebuah unsur kesempurnaan pribadi, firman-Nya:
"Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya". (
al-Mu'minuun:8)
Dibawakan oleh Ubadah bin
ash-Shamit radhiallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi
wasallam bersabda:
"Jamin untukku enam
perkara, aku akan menjamin untuk kalian surga: 1). berbicaralah dengan jujur,
2). Tepatilah janjimu, 3). Tunaikanlah amanatmu, 4). Tundukanlah pandanganmu,
5). Peliharalah kemaluanmu, dan 6). Peliharalah tangan (tindakkan)mu".
Memisahkan diri dari
keutamaan itu berarti memisahkan orang tersebut dari semua keutamaan, meskipun
tidak bisa disangkal bahwa anak-anak Adam adalah pelaku kesalahan. Hal itu
merupakan tabiat manusia yang tidak bisa di ingkari lagi dan tidak mungkin bisa
ditutup-tutupi.
Bertolak dari sanalah dicurahkan
perhatian Allah kepada manusia ini, manusia yang kepadanya Allah memerintahkan
malaikat-Nya bersujud, Yang mengangkatnya menjadi khalifah-Nya dimika bumi, dan
yang memuliakannya diatas semua mahluk-Nya serta dipercaya untuk memakmurkan
alam ini.
Manusia bisa meningkatkan
harkat dan martabat ke kelas malaikat kalau ia berpegang teguh kepada ajaran
Agama Islam, namun ia bisa saja merosot ke kelas setan kalau ia menjauhkan diri
dari ajaran Allah. Hikmah Allah menetapkan karena kasih-Nya kepada manusia-untuk
mengirimkan para rasul dan munurunkan beberapa buah Kitab-Nya adalah untuk
menggiring manusia itu ke jalan-Nya yang lurus. Kalau sudah agak lama tidak
turun nabi atau rasul, lalu manusia beranggapan bahwa selama masa itu tidak ada
hisab dan tidak ada hukuman.
Karena itulah, manusia
selalu diberi peringatan supaya tidak terjerumus ke dalam tindakan yang di
haramkan Rabbnya, yang selalu diperintahkan untuk dijauhinya, Firman-Nya:
"Dan tetaplah memberi
peringatan karena sesungguhnya peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman". (adz-Dzaariyaat:55)
"Maka berilah
peringatan karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi
peringatan". (al-Ghaasyiyah:21)
Shalat yang di wajibkan
sehari semalam lima waktu itu untuk mendekatkannya dengan Rabbnya, untuk
senantiasa mengingatkan dan menyadarkannya.
Sungguhpun begitu, manusia
selalu tergoda oleh gemerlapnya kehidupan duniawi ini. Ia mudah dibujuk rayu
oleh setan untuk meninggalkan ajaran Rabbnya. Akhirnya, ia pun tersesat. Akan
tetapi, kalau dalam hati nuraninya masih terdapat setitik keimanan, ia masih
mudah digiring kembali ke jalan Allah, lalu ia kembali bertobat dan
beristighfar kepada Rabbnya, Firman-Nya:
"Katakanlah Hai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri: 'janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
.'"(az-Zumar:53)
Berkat ampunan dan kasih
sayang Allah Ta'ala, manusia yang semula berlumuran dosa itu menjadi seorang
maKhluk yang paling mulia, sesuai dengan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
aalihi wasallam,"Sebaik-baik pelaku kesalahan ialah yang bertobat".
Dalam hal ini, Abu Lubabah
radhiallaahu 'anhu adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa aalihi wasallam yang hatinya didapati oleh keimanan. Ia termasuk orang
pertama yang masuk Islam, yang menyambut panggilan Allah Ta'ala, namun ia
tergelincir seperti halnya manusia lain ketika hatinya sedang lemah dan jiwanya
sedang lengah, lalu ia berbuat sesuatu yang menimbulkan Allah dan Rasul-Nya
gusar kepadanya karena ia memberi isyarat kepada orang-orang Yahudi bekas
sekutunya di jaman jahiliyah supaya tidak mau menerima hukum yang hendak di
berikan Rasulullah karena hal itu berati hukuman mati bagi mereka.
Begitu awan mendung itu
hilang diembus angin maka percikan cahaya menyinari kalbunya kembali. Pada saat
itulah kesadarannya pulih kembali dan mulai merasakan bahwa ia telah terperosok
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, lalu ia menghukum dirinya sebagai kifarat
atas dosanya, Firman-Nya:
"Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
Janganlah kamu mengkhianati amanat-amanatyang dipercayakan kepadamu sedang kamu
mengetahui". (al-Anfaal:27)
Khianat kepada Allah Ta'ala
dan kepada Rasul-Nya, dengan menjauhkan diri dari hidayah Allah dan hidayah
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam artinya menolak melaksanakan
syariat Allah dalam kehidupan dan mengabaikan apa-apa yang diwajibkan
kepadanya, baik berupa kewajiban maupun ibadah-ibadah lainnya.
Khianat kepada Allah dan
Rasul-Nya berarti tidak membulatkan keikhlasan dan kesetiaan, lalu
menyekutukan-Nya dengan kekuata-kekuatan lain yang tidak mampu memberikan
manfaat dan mudarat, yang tidak bisa menentukan mati, hidup, dan kebangkitan,
Firman-Nya:
"Hai manusia, telah
dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
lalatpun walaupun mereka satu untuk menciptakannya. Dan, jika lalat itu,
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari
lalat itu. Amat lemahlah yang menyebabkan dan amat lemah (pulalah) yang
disembah".(al-Hajj:73).
Induk semua khianat ialah
kalau kita mengorupsi kewajiban kita atau meninggalkannya sama sekali, atau
kita berpura-pura beriman padahal hati kita kafir, atau mengkhianati orang yang
mempercayakan hal ihwalnya kepada kita, atau kita tidak menepati janji setia
kawan kita. Padahal, Islam sudah jelas-jelas anti khianat dan mencemoohkan para
pengkhianat yang suka melanggar janjinya. Islam juga tidak menyukai orang
muslim yang mengkhianati janjinya demi mencapai maksudnya, meskipun maksudnya
itu mulia, Firman-Nya :
"Dan tepatilah
perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membaalkan
sumpah-sumpah (mu) itu sesudah meneguhkannya sedang kamu telah menjadikan Allah
sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat". (an-Nahl:91)
Amanat pemerintahan harus
diberikan kepada orang-orang yang dapat dipercaya, yang kuat, yang cakap
memerintah, dan ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Kalau ia memajukan orang
yang seharusnya dimundurkan atau memundurkan orang yang seharusnya dimajukan
maka orang itu telah mengundang maklumat perang dari Allah dan Rasul-Nya.
Yazid bin Abi Sufyan
berkata bahwa Abu Bakar ash-Ashiddiq radhiallaahu 'anhu berkata ketika
mengutusnya ke Syam: "wahai Yazid! Sesungguhnya engkau mempunyai kerabat
karib; mungkin engkau utamakan mereka dengan memberikan kekuasaan
(pemerintahan), itulah yang saya takutkan atasmu setelah Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam bersabda:"Siapa yang diberi kuasa
mengurus kepentingan kaum muslimin, Lalu ia mengangkat seseorang dengan bertindak
tidak jujur, maka laknat Allah baginya dan Allah tidak akan menerima tebusan
atau imbalan pun hingga orang itu dimasukkan ke dalam api neraka".
Ada seorang lelaki yang
datang menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa aalihi wasallam dan bertanya
kepadanya: "Kapan datangnya hari kiamat itu?"
Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa aalihi wasallam menjawab: "Bilamana amanat sudah dihilangkan
maka tunggulah saat (kehancuran) itu!"
Orang itu bertanya lagi,
"Bagaimana amanat itu di hilangkan?"
Baginda menjelaskan:
"Apabila kekuasaan diserahkan kepada bukan ahlinya".
Harta kekayaan negara
adalah amanat di tangan penguasa. Penguasa berkewajiban untuk menempatkan di
tempatnya dan menafkahkan sesuai dengan keperluannya, demi kepentingan rakyat
dan masyarakatnya. Kalau ia berbuat lain dari itu, maka ia telah berkhianatdan
telah melenceng dari syariat Allah.
Kapan kiranya bendera
amanat dan keamanan berkibar di tengah-tengah kaum muslimin? Kapan kaum
muslimin akan merasa aman atas tanah airnya sehingga tidak merasa khawatir
terhadap bumi dan hasil buminya dirampok orang sehingga harta benda dan
kekayaan buminya tidak dirampas orang dari depan matanya?
Kapan kehormatan umat dan
masyarakatnya tidak dirobek-robek oleh media massa cetak dan elektronik yang
terarah serta terpimpin karena hilangnya nilai-nilai dan akhlaknya? Ya, kapan
hal itu akan terwujud? Kapan hal itu akan terjadi,Ya Rabb?.
Category: SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar