SALMAN AL-FARIS
SALMAN AL-FARISI -
PENCARI KEBENARAN...
Dari Persi
datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh
orang-orang Mu'min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul
pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang kedalam ilmu
pengetahuan dan ilmuan dan keagamaan, maupun keduniaan.
Dan memang, salah
satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah, setiap ia memasuki suatu
negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa
dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan serta digalinya
bakat-bakat terpendam dari warga dan penduduk negeri itu, hingga bermunculanlah
filosof-filosof Islam, dokter-dokter Islam, ahli-ahli falak Islam, ahli-ahli
fiqih Islam, ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam .
Ternyata bahwa
pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap
bangsa, hingga masa-masa pertama perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh
luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah
air dan suku bangsanya, tetapi satu Agama. Dan perkembangan yang penuh berkah
dari Agama ini telah lebih dulu dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha
Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah
dari tempat dan waktu, hingga disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji
Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai
para penduduknya.
Salman
radhiyallahu 'anhu sendiri turut menvaksikan hal tersebut, karena ia memang
terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi
waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima Hijrah. Beberapa orang pemuka
Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan
kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan
Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang
penentuan vang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini.
Siasat dan taktik
perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan
menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan
menyerang-nya dari dalam -- yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimim sehingga
mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan
hanya tinggal nama belaka.
Demikianlah pada
suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar
mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap
untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal
melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran
sebagai berikut:
Ketika mereka
datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu
telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah nakh sampai kerongkongan, dan
kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)
Dua puluh empat
ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn
menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan
menentukan yang akan menghabisi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, Agama
serta para shahabatnya.
Pasukan tentara
ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai
kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka.
Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak
musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.
Kaum Muslimin
menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja
mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang
harus mereka lakukan untuk bertahan itu?
Ketika itulah
tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi
dan amat dihormati oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Itulah dia
Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu!' Dari tempat ketinggian ia melayangkan
pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya
kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng
juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang
panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng
pertahanan.
Di negerinya
Persi, Salman radhiyallahu 'anhu telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik
dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah
ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu
suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan
mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit
perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota.
Dan hanya Allah
yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu
seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman radhiyallahu 'anhu
tersebut.
Demi Quraisy
menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal
yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan
mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota.
Dan akhirnya pada
suatu malam Allah Ta'ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan
memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak
buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka ... dalam keadaan kecewa dan
berputus asa serta menderita kekalahan pahit ...
Sewaktu menggali
parit, Salman radhiyallahu 'anhu tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum
Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat
penggalian Salman radhiyallahu 'anhu bersama kawan-kawannya, tembilang mereka
terbentur pada sebuah batu besar.
Salman
radhiyallahu 'anhu seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali
ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi
pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang
bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka.
Salman
radhiyallahu 'anhu pergi mendapatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari
batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pun pergi bersama Salman radhiyallahu 'anhu untuk melihat sendiri keadaan
tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan
menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti....
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua
tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat
tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu. Kiranya batu itu terbelah dan dari
celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi.
"Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah", kata
Salman radhiyallahu 'anhu, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
mengucapkan takbir, sabdanya:
Allah Maha Besar!
Ahu telah dikaruniai hunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api
tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun
kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu.
Lalu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya
ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu
besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir sabdanya:
Allah Maha Besar!
Ahu telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku
istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya.
Kemudian
dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah
berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang
temarang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengucapkan la ilaha
illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau sekarang melihat
istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan'a, begitu pun di
daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera
Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak
berseru:
Inilah yang
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya .... Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.
Salman
radhiyallahu 'anhu adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dan
dia pulalah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan
ramalan-ramalan ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam Ia berdiri di samping Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia
masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat bahkan dialami dan
dirasakannya sendiri. Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya
mahligai istana di Shan'a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya disaksikan
dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras,
karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak
menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah
....Nah, itulah dia sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang
berdaun rimbun, di muka rumahnya di kota Madain; sedang menceriterakan kepada
shahabat-shahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran,
dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya
bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani dan dari sana pindah ke dalam Agama
Islam. Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan
menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan
jiwanya .. .! Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu,
bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan iman
kepadanya ...!
Marilah kita
dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!
"Aku berasal
dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama "Ji". Bapakku seorang
bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya.
Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga
api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
Bapakku memiliki
sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke
tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani. Kudengar mereka
sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka
lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati:
"Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!" Aku tidak
beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke
tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim
orang untuk menyusulku.
Karena agama
mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nashrani dari mana
asal-usul agama mereka. "Dari Syria",ujar mereka.
Ketika telah
berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya: "Aku lewat pada suatu kaum
yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat
mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita". Kami
pun bersoal-jawab melakukan diskusi dengan bapakku dan berakhir dengan
dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku ....
Kepada orang-orang
Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula
agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka
kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka
kabulkan, maka kuputuskan rantai. Lalu meloloskan diri dari penjara dan
menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria.
Sesampainya di
sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup
pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceriterakan keadaanku. Akhirnya
tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan
belajar, Sayang uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, karena
dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata
disimpan untuk dirinya pribadi. Kemudian uskup itu wafat ....dan mereka
mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih
baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa,
sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu dari
padanya.
Dan tatkala
ajalnya telah dekat, tanyaku padanya: "Sebagai anda maklumi, telah dekat
saat berlakunya taqdir Allah atas diri anda. Maka apakah yang harus kuperbuat,
dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi. "Anakku!", ujamya:
"tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku,
kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul".
Lalu tatkala ia
wafat aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya
itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya
selama waktu yang dikehendaki Allah.
Kemudian tatkala
ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti.
Ditunjukkannyalah orang shalih yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya
dan ku ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang
dikehendaki Allah pula.
Tatkala ia hendak
meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang
pemimpin yang tinggal di 'Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi.
Aku berangkat ke
sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan
kambing beberapa ekor banyaknya.
Kemudian dekatlah
pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Ujarnya:
"Anakku.' Tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan
dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa
kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti
akan hijrah he suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua
bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah
dia, la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan
shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian
yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya':
Kebetulan pada
suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana
mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka kataku kepada
mereka: "Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya
kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?"
"Baiklah", ujar mereka.
Demikianlah mereka
membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil
Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang
yahudi. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri
ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat
hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.
Mulai saat itu aku
tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang
yahudi Bani Quraizhah yang membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke
Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah
negeri yang disebutkan dulu.
Aku tinggal
bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga
datang saat dibangkitkannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang datang
ke Madinah dan singgah pada Bani 'Amar bin 'Auf di Quba.
Pada suatu hari,
ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku lagi duduk di
bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi saudara sepupunya yang mengatakan
padanya:
"Bani Qilah
celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang
dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi Demi Allah, baru saja ia mengucapkan
kata-kata itu, tubuhku-pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai
bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan
kataku kepada orang tadi: "Apa kata anda?" Ada berita apakah?"
Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya:
"Apa urusanmu dengan ini, ayoh kembali ke pekerjaanmu!" Maka aku pun
kembalilah bekerja ...
Setelah hari
petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Quba. Aku masuk kepadanya ketika
beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu kataku
kepadanya: "Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan.
Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedeqah.
Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah
yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini". Lalu
makanan itu kutaruh di hadapannya.
"Makanlah
dengan nama Allah". sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada
para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah
makanan itu. "Nah, demi Allah!" kataku dalam hati, inilah satu dari
tanda-tandanya ... bahwa ia tah mau memakan harta sedeqah':
Aku kembali
pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam sambil membawa makanan, serta kataku kepadanya:
"Kulihat tuan tak hendak makan sedeqah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang
ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah'', lalu kutaruh makanan di
hadapannya. Maka sabdanya kepada shahabatnya: 'Makanlah dengan menyebut nama
Allah ! ' Dan beliaupun turut makan bersama mereka. "Demi Allah': kataku
dalam hati, inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah ':
Aku kembali pulang
dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian kupergi mencari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan kutemui beliau di Baqi', sedang mengiringkan
jenazah dan dikelilingi oleh shahabat-shahabatnya. Ia memakai dua lembar kain
lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.
Kuucapkan salam
kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan
maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada
pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap henabian sebagai disebutkan oleh pendeta
dulu.
Melihat itu aku
meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh
Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya
sebagai yang telah kuceriterakan tadi.
Kemudian aku masuk
Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai perang Badar
dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku:'Mintalah pada
majihanmu agar ia bersedia membebashanmu dengan menerima uang tebusan."
Maka kumintalah
kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah
menyuruh para shahabat untuk membantuku dalam soal keuangan.
Demikianlah aku
dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka,
serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan
lainnya.
Dengan
kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman radhiyallahu 'anhu menceriterakan
kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia untuk mencari hakikat
keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah Ta'ala dan membekas sebagai
jalan hidup yang harus ditempuhnya ....
Corak manusia
ulung manakah orang ini? Dan keunggulan besar manakah yang mendesak jiwanya
yang agung dan melecut kemauannya yang keras untuk mengatasi segala kesulitan
dan membuatnya mungkin barang yang kelihatan mustahil? Kehausan dan
kegandrungan terhadap kebenaran manakah yang telah menyebabkan pemiliknya rela
meninggalkan kampung halaman berikut harta benda dan segala macam kesenangan,
lalu pergi menempuh daerah yang belum dikenal -- dengan segala halangan dan
beban penderitaan -- pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri
ke negeri lain, tak kenal letih atau lelah, di samping tak lupa beribadah
secara tekun ...?
Sementara
pandangannya yang tajam selalu mengawasi manusia, menyelidiki kehidupan dan
aliran mereka yang berbeda, sedang tujuannya yang utama tak pernah beranjak
dari semula, yang tiada lain hanya mencari kebenaran. Begitu pun pengurbanan
mulia yang dibaktikannya demi mencapai hidayah Allah, sampai ia diperjual
belikan sebagai budak belian ...Dan akhirnya ia diberi Allah ganjaran setimpal
hingga dipertemukan dengan al-Haq dan dipersuakan dengan Rasul-Nya, lalu dikaruniai
usia lanjut, hingga ia dapat menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana
panji-panji Allah berkibaran di seluruh pelosok dunia, sementara ummat Islam
mengisi ruangan dan sudut-sudutnya dengan hidayah dan petunjuk Allah, dengan
kemakmuran dan keadilan.. .!
Bagaimana akhir
kesudahan yang dapat kita harapkan dari seorang tokoh yang tulus hati dan keras
kemauannya demikian rupa? Sungguh, keislaman Salman radhiyallahu 'anhu adalah
keislamannya orang-orang utama dan taqwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan
kebebasan dari pengaruh dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin
Khatthab.
Ia pernah tinggal
bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu
Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman radhiyallahu
'anhu melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.
Pada suatu hari
Salman radhiyallahu 'anhu bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk
shaum sunnat esok hari. Dia menyalahkannya: "Apakah engkau hendak
melarangku shaum dan shalat karena Allah?" Maka jawab Salman radhiyallahu
'anhu: "Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula
keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah; dan
di samping melakukan shalat, tidurlah!"
Peristiwa itu
sampai ke telinga Rasulullah, maka sabdanya: Sungguh Salman radhiyallahu 'anhu
telah dipenuhi dengan ilmu.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam sendiri sering memuji kecerdasan Salman
radhiyallahu 'anhu serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama
dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama
berdiri dan berkata: "Salman radhiyallahu 'anhu dari golongan kami".
Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka: "Tidak, ia dari golongan kami!"
Mereka pun dipanggil oleh Rasurullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan
sabdanya: Salman adalah golongan kami, ahlul Bait.
Dan memang
selayaknyalah jika Salman radhiyallahu 'anhu mendapat kehormatan seperti itu
...!
Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu 'anhu menggelari Salman radhiyallahu 'anhu dengan "Luqmanul
Hakim". Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat,
maka jawabnya: "Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada
kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul
Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan
telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia
bagai lautan yang airnya tak pernah kering".
Dalam kalbu para
shahabat umumnya, pribadii Salman radhiyallahu 'anhu telah mendapat kedudukan
mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan Khalifah Umar radhiyallahu 'anhu
ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu
kita belum penah dilakukannya kepada siapa pun juga. Dikumpulkannya para
shahabat dan mengajak mereka: "Marilah kita pergi menyambut Salman
radhiyallahu 'anhu!" Lalu ia keluar bersama mereka menuju pinggiran kota
Madinah untuk menyambutnya ...
Semenjak bertemu
dengan Rasulullah dan iman kepadanya, Salman radhiyallahu 'anhu hidup sebagai
seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan selalu berbakti. Ia pun
mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu; kemudian di
masa Amirul Mu'minin Umar radhiyallahu 'anhu; lalu di masa Khalifah Utsman
radhiyallahu 'anhu, di waktu mana ia kembali ke hadlirat Tuhannya.
Di tahun-tahun
kejayaan ummat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru,
harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat
pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur
pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara mampu memberikan gaji dan
tunjangan tetap. Sebagai akibatnya banyaklah timbul masalah pertanggungjawaban
secara hukum mengenai perimbangan dan cara pembagian itu, hingga pekerjaan pun
bertumpuk dan jabatan tambah meningkat.
Maka dalam
gundukan harta negara yang berlimpah ruah itu, di manakah kita dapat menemukan
Salman radhiyallahu 'anhu? Di manakah kita dapat menjumpainya di saat kekayaan
dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran itu ...?
Bukalah mata anda
dengan baik! Tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk di sana di bawah
naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya di samping berbakti
untuk negara, menganyam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau
keranjang.
Nah, itulah dia
Salman radhiyallahu 'anhu Perhatikanlah lagi dengan cermat! Lihatlah kainnya
yang pendek, karena amat pendeknya sampai terbuka kedua lututnya. Padahal ia
seorang tua yang berwibawa, mampu dan tidak berkekurangan. Tunjangan yang
diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu setahun. Tapi semua
itu disumbangkannya habis, satu dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya:
"Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga
dirham.
Yang satu dirham
kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu
dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu
melarangku berbuat demikian, sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!"
Lalu bagaimana
wahai ummat Rasulullah? Betapa wahai peri kemanusiaan, di mana saja dan kapan
saja? Ketika mendengar sebagian shahabat dan kehidupannya yang amat bersahaja,
seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar radhiyallahu 'anhum dan lain-lain; sebagian
kita menyangka bahwa itu disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana
seorang Arab hanya dapat menutupi keperluan dirinya secara bersahaja.
Tetapi sekarang
kita berhadapan dengan seorang putera Persi, suatu negeri yang terkenal dengan
kemewahan dan kesenangan serta hidup boros, sedang ia bukan dari golongan
miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi. Kenapa ia
sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan
bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil
jerih payahnya sendiri.. .? kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia
menerimanya?
Katanya:
"Seandainya kamu masih mampu makan tanah asal tak membawahi dua orang
manusia --, maka lakukanlah!" Kenapa ia menolak pangkat dan jabatan, kecuali
jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang? Atau dalam
suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia, hingga
terpaksa ia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih? Lalu kenapa
ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan
yang diberikan padanya secara halal?
Diriwayatkan eleh
Hisyam bin Hisan dari Hasan: "Tunjangan Salman radhiyallahu 'anhu sebanyak
lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan
tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba'ah) dijadikan alas duduknya dan
separoh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya
sampai habis, sedang untuk nafqahnya dari hasil usaha kedua tangannya".
Kenapa ia
melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang
putera Persi yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus
kemajuan? Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas
pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap
untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha Tinggi lagi Maha Pengasih.
Sa'ad bin Abi
Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman radhiyallahu 'anhu menangis. "Apa
yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah",') tanya Sa'ad, "padahal
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat dalam keadaan ridla kepada
anda?" "Demi Allah, ujar Salman radhiyallahu 'anhu, "daku
menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya
Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya:
Hendaklah bagian
masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara,
padahal harta milikku begini banyaknya"
Kata Sa'ad:
"Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring
dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: "Wahai Abu Abdillah, berilah kami
suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!" Maka ujamya: "Wahai
Sa'ad!
Ingatlah Allah di
kala dukamu, sedang kau derita.
Dan pada putusanmu
jika kamu menghukumi.
Dan pada saat
tanganmu melakukan pembagian".
Rupanya inilah
yang telah mengisi kalbu Salman radhiyallahu 'anhu mengenai kekayaan dan
kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta,
pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
kepadanya dan kepada semua shahabatnya, agar mereha tidak dikuasai oleh dunia
dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang
pengendara.
Salman
radhiyallahu 'anhu telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya
masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat; khawatir
kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak terdapat di
ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat
minum dan wudlu .:., tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku
boros .... Nah, bukankah telah kami ceritakan kepada anda bahwa ia mirip sekali
dengan Umar?
Pada hari-hari ia
bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah.
Sebagai telah kita ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu
dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma,
sedang pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan
kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya.
Pada suatu hari,
ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari
Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat,
hingga melelahkannya. Demi dilihat olehnya seorang laki-laki yang tampak
sebagai orang biasa dan dari golongan tak berpunya, terpikirlah hendak menyuruh
laki-laki itu membawa buah-buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya
bila telah sampai ke tempat tujuan. Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya,
dan Salman radhiyallahu 'anhu menurut dengan patuh. "Tolong bawakan
barangku ini!", kata orang dari Syria itu. Maka barang itu pun dipikullah
oleh Salman radhiyallahu 'anhu, lalu berdua mereka berjalan bersama-sama.
Di tengah
perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman radhiyallahu 'anhu
memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil berhenti: "Juga kepada
amir, kami ucapkan salam" "Juga kepada amir?" Amir mana yang
mereka maksudkan?" tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian
bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban
yang dipikul oleh Salman radhiyallahu 'anhu dengan maksud hendak
menggantikannya, kata mereka: "Berikanlah kepada kami wahai amir!"
Sekarang
mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi
radhiyallahu 'anhu, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup,
kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya. Ia
mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman radhiyallahu
'anhu menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala: "Tidak, sebelum
kuantarkan sampai ke rumahmu!
Suatu ketika
Salman radhiyallahu 'anhu pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak
menyukai jabatan sebagai amir? Jawabnya: "Karena manis wahtu memegangnya
tapi pahit waktu melepaskannya!"
Pada waktu yang
lain, seorang shahabat memasuki rumah Salman radhiyallahu 'anhu, didapatinya ia
sedang duduk menggodok tepung, maka tanya shahabat itu: Ke mana pelayan?
Ujarnya: "Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin ia harus
melakukan dua pekerjaan sekaligus''
Apa sebenarnya
yang kita sebut "rumah" itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan
rumah itu yang sebenamya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan
disebut sebagai "rumah'' itu, Salman radhiyallahu 'anhu bertanya kepada tukangnya:
"Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?" Kebetulan tukang
bangunan ini seorang 'arif bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman
radhiyallahu 'anhu dan sifatnya yang tak suka bermewah mewah. Maka ujarnya:
"Jangan anda khawatir! rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan
bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Andainya anda
berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda
berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya". "Benar",
ujar Salman radhiyallahu 'anhu, "seperti itulah seharusnya rumah yang akan
anda bangun!"
Tak satu pun
barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh
Salman radhiyallahu 'anhu sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat
diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk
disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.
Ketika dalam sakit
yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya
untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang
diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk
wangi-wangian di hari wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil
secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dikacau dengan tangannya, lalu
kata Salman radhiyallahu 'anhu kepada isterinya: "Percikkanlah air ini ke
sekelilingku ... Sekarang telah hadir di hadapanku makhluq Allah') yang tiada
dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya:
"Tutupkanlah pintu dan turunlah!" Perintah itu pun diturut oleh
isterinya.
Dan tak lama
antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah
meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya ... Ia telah mencapai alam
tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk
bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan dengan
kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tolroh mulia lainnya dari
golongan syuhada dan orang-orang utama ....
Salman
radhiyallahu 'anhu .... Lamalah sudah terobati hati rindunya Terasa puas, hapus
haus hilang dahaga. Semoga Ridla dan Rahmat Allah menyertainya.
1) yang dimaksud
makhluq Allah di sini, Malaikat.
sumber:
Khalid muh khalid.
2006. Karakteristik 60 sahabat Rasulullah. Bandung: CV Diponogoro
Category: SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar