RESENSI BUKU PENDIDIKAN ISLAM BERKARAKTER & BERADAB
Dr.
Adian Husaini memaparkan bahwa pendidikan karakter saja tidak cukup, tapi harus
disertai pendidikan adab. Tanpa adab, manusia bisa berkarakter tapi tidak
beradab. Buku ini memaparkan pendidikan karakter dan adab secara praktis dan
mendasar, disertai dengan telaah tentang peran budaya ilmu dalam pembangunan
peradaban Islam.
RESENSI BUKU PENDIDIKAN ISLAM MEMBENTUK
MANUSIA BERKARAKTER & BERADAB
IDENTITAS BUKU
Judul Buku :
Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab
Pengarang : Dr. Adian
Husaini
Peberbit : Komunitas
NuuN bekerjasama dengan program Pasca Sarjana Pendidikan dan Pemikiran Islam
Universitas Ibnu Khaldun, Bogor
Tahun Terbit :
2011
Kota Terbit :
Depok
Tebal : vi +
225 halaman
ISBN : 987-602-99152
- 1-1
BERKARAKTER & BERADAB
Pendidikan karakter pada akhir-akhir menjadi wacana yang banyak dibicarakan orang, terutama dikalangan stake
holder pendidikan Indonesia. Berawal dari banyaknya
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh beberapa kalangan masyarakat
pendidikan seperti masalah kenakalan siswa, guru yang bermasalah dan masalah
output dari lulusan pendidikan Indonesia yang belum sesuai dengan apa yang
menjadi tujuan pendidikan. Sehingga para pakar pendidikan Indonesia menggagas pendidikan
karakter di Indonesia dengan memaksimalkannya didalam kurikulum pembelajaran
dan proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah.
Namun sebenarnya, isu pendidikan
karakter di dalam pendidikan Islam bukan sesuatu hal yang baru. Islam sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai karakter, bahkan memerintahkan umatnya untuk
menjadikan karakter sebagai bagian terpenting dari kehidupannya, seperti
nilai-nilai kejujuran, kebersihan, keberanian, kerja keras dan sebagainya. Akan
tetapi, Islam meletakan karakter itu dalam bingkai dan landasan keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah swt, tidak hanya sebagai sebuah nilai kemanusiaan atau
sosial semata.
Ketika setiap orang menginginkan
keadilan dan mengajak untuk berbuat adil, seorang muslim tidak hanya memandang
adil tersebut sebagai sebuah kebaikan untuk dirinya dan orang lain, akan tetapi
sikap adil merupakan perintah dari Allah swt yang harus dilaksanakan oleh
setiap orang beriman.
Pendidikan Islam berdiri diatas asas
nilai-nilai Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sebagai
pedoman pelaksanan dan pengembangan pendidikan. Asas pendidikan Islam
berpandangan bahwa Islam merupakan agama satu-satunya agama yang diridhoi oleh
Allah sebagai ajaran yang telah diturunkan Tuhan yang menguasai kehidupan alam
semesta melalui Rasul-Nya Muhammad Saw. Inilah pondasi awal yang harus
ditanamkan kepada generasi-genarasi bangsa dimasa yang akan datang.
Banyak orang memandang bahwa proses pendidikan
di Indonesia selama ini masih belum berhasil bahkan bisa dikatakan gagal, gagal
dalam membina peserta didik untuk menjadi orang yang berilmu dan berkarakter
sehingga menghasilkan lulusan-lulusan yang hanya pintar dalam berdebat, mempunyi
pikiran yang cerdas namun mental dan moralnya lemah. Kegagalan yang lain,
contohnya masih banyak guru-guru yang
seharusnya menjadi teladan bagi peserta didiknya malah berperilaku tidak
seperti seorang pendidik, pendidikan moral dan karakter hanya sebatas
pengetahuan yang akan diujikan ketika ulangan sekolah serta masih banyak
permasalahan lainnya. Hal diatas yang melatar belakangi gagasan penerapan pendidikan
karakter disemua jenjang pendidikan di Indonesia oleh pemerintah melalui
Kementrian Pendidikan Nasional.
Terlepas dari apa yang pemerintah
gagas dan lakukan mengenai penerapan pendidikan karakter dalam proses
pendidikan di Indonesia, namun sebagai seorang muslim pernahkah kita bertanya
apakah karakter saja cukup dalam membangun generasi masa depan bangsa terutama
generasi Muslim Indonesia?. Ketika kita melihat bahwa bangsa Cina maju sebagai
hasil pendidikan karakter lalu apa bedanya orang komunis yang berkarakter
dengan orang muslim yang berkarakter?. Orang komunis atau ateis, dapat menjadi
pribadi yang jujur, pekerja keras, berani bertanggungjawab, mencintai
kebersihan, dan sebagainya. Bahkan kabarnya, di Jepang jika ketinggalan barang
di taksi, hampir pasti akan kembali.
Artinya, karakter yang bagus dapat
dibentuk oleh setiap manusia tanpa memandang agamanya. Kemudian, dimana letak
perbedaan antara Muslim dan non-Muslim yang berkarakter? Bagi Muslim, dia dapat juga dan bahkan harus
berkarakter mulia. Tepati, bagi Muslim, berkarakter saja tidak cukup. Bedanya
antara Muslim dengan non-Muslim meskipun sama-sama berkarakter adalah terletak
pada konsep adab. Bagi seorang muslim bukan hanya menjadi seorang yang
berkarakter namun juga harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab.
Istilah adab dapat ditemukan
dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. misalnya bisa dilihat dari salah satu
hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra, Rasulullah bersabda: “Akrimuu
auladakum, wa ahsinuu adabahum”– Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah
adab mereka. (HR Ibnu Majah). Adapun yang dimaksud dengan adab menurut syed
Muhammad Naquib al-Attas adalah pengenalan dan pengakuan akan hak keadaan
sesuatu dan kedudukan seseorang. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan
paham bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya.
Dengan adab pula seorang muslim akan dapat menempatkan karakter pada tempatnya,
kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan
belajar dengan keras. Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk
tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori tidak
beradab atau biadab.
Jadi setiap Muslim harus berusaha
menjalani pendidikan karakter sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia
beradab. Itulah hakekat dari tujuan pendidikan menurut Islam yaitu mencetak
manusia yang baik (good man) atau pribadi ideal yaitu manusia yang
berkarakter dan beradab.
Salah seorang ilmuwan besar Muslim
yaitu Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa, untuk meraih kemuliaan haruslah
didasari dengan ilmu. Dengan ilmu, manusia tahu jaln yang; ia tahu bagaimana
cara mendakinya; tahu bagaimana mengatasi halangan dan rintangan; dan tatkala
suatu ketika dia tergelincir diapun tahu, bagaimana dia harus bangkit lagi, dan
mendaki lagi menuju puncak taqwa dan bahagia. Kata-kata Imam al-Ghazali ini
bisa mewakili betapa pentingnya ilmu bagi kita sebagai manusia. Tidak heran
Islam begitu mendorong umatnya untuk tidak pernah berhenti dalam mencari ilmu
sebagaimana telah termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Tradisi mencari ilmu dan melaksanakan
pendidikan sudah dicontohkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah terutama shabat
yang terkenal dengan sebutan ahlu suffah, kemudian diikuti oleh para
tabiin dan para ulama. Semangat mereka dalam mencari ilmu sudah banyak
dikisahakan dalam buku-buku sejarah, bagaimana Imam Bukhari harus berjalan
ribuan bahkan jutaan kilometer dan harus meninggalkan kampung halamannya ke
negeri-negeri yang jauh untuk hanya mencari sebuah hadits Rasulullah saw. Imam
Syafi’i sudah hapal al-Qur’an pada usia 7 tahun dan hapal kitab al-Muwattha’
karya Imam Malik pada usia 10 tahun. Prof. Wahbah az-Zuhaili penulis Tafsir
al-Munir pernah ditanya, berapa jam beliau membaca dan menulis, beliau
menjawab: Tidak kurang dari 16 jam sehari. Terus bagaimana dengan kita
sekarang?.
Kegemilangan peradaban Islam pada
masa-masa keemasannya dilatarbelakangi antara oleh sumber daya manusianya yang
sangat menghormati ilmu. Bahkan ketika kita mengkaji salah satu bangsa termaju
didunia yaitu Jepang, maka salah satu hal yang mengantarkan mereka menjadi
bangsa yang besar adalah kegigihan orang-orang Jepang dalam mencari ilmu.
Kemudian bagaimana Islam memandang
seorang ulama?. Islam memempatkan ulama pada posisi yang sentral, bahkan ulama
disebut oleh Rasulullah saw, sebagai pewaris dari Nabi dengan warisannya adalah
ilmu. Selain untuk mengajarkan kembali ilmu yang telah dimiliknya, ulama juga
mempunyai peranan sebagai kontrol sosial baik masyarakat ataupun penguasa. Para
ulama di masa lalu juga sering mendapat ujian hidup yang berat, banyak dari
mereka yang yang mendapat penyiksaan dari masyarakat bahkan dari penguasa yang
tidak sesuai dengan pemikirannya. Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama
itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi
dewasa ini.
Islam sebagai sebuah asas pendidikan
telah berhasil membentuk pribadi pribadi teladan dalam sejarah dan menjadi
panutan umat dinatarnya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Mohammad Natsir,
Pangeran Diponegoro dan masih banyak yang lainnya. Namun terkadang sejarah
mengenai seorang tokoh harus ditelusuri lebih jauh, contohnya adalah bagaimana
kita sebagai seorang muslim membuat pendidikan sejarah sesuai dengan faktanya,
dari kasus penokohan R.A. Kartini yang menuai protes dari sebagian sejarahwan
yang melakukan penelitian bahwa R.A. Kartini merupakan tokoh buatan dari
pemerintahan Belanda atau kasus-kasus lainnya yang mendiskreditkan Islam.
Sehingga perlu rasanya untuk dilakukan Islamisasi di berbagai cabang ilmu
contohnya adalah Islamisasi pendidikan Sejarah.
Satu hal yang lain yang menjadi
tantangan bagi pendidikan Islam masa kini adalah liberalisasi pendidikan Islam.
Liberalisasi pada dasarnya adalah memisahkan antara kepentingan dunia dengan
agama, memisahkan antara pendidikan
dengan agama, negara dengan agama dan sebagainya.
Dewasa ini banyak dosen-dosen yang
berada di dalam perguruan tinggi Islam yang lebih mengagung-agungkan kaum
orientalis yang merupakan kaum liberalis, mereka sangat bangga mengadopsi
metode Islam ala orientalis. Bahkan mereka yang menghancuran Islam dari dalam
dan selalu mengkritik dan menjatuhkan Islam. Ironisnya para kader orientalis
kini telah menjadi penguasa besar di berbagai kampus. Ada yang menjadi rektor,
professor, dekan, dan dosen yang menentukan kurikulum dan jabatan di kampus.
Inilah salah satu tantangan terberat
yang sedang dan akan dihadapi umat Islam Indonesia dan juga umat Islam di
berbagai belahan dunia yang lain. Para tokoh Islam telah berjuang sekuat tenaga
untuk mendirikan perguruan-perguruan tinggi Islam dengan tujuan mulia. Tentu
merupakan suatu musibah besar jika kampus-kampus ini kemudian dibajak oleh para
orientalis untuk mencetak kader-kader yang aktif meruntuhkan bangunan Islam.
Padahal, pada pasal 2, Perpre No 11 tahun 1960, tentang pembentukan IAIN
disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud
untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk memperkembangkan dan
memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam.”
Sudah saatnya seluruh jajaran
pejabat, pengelola dan pelaksana pendidikan Islam melakukan intropeksi yang
serius dan berani melaukan terobosan besar agar studi Islam menjadi tuan rumah
di negeri sendiri. Kita perlu menegaskan kembali bahwa tujuan utama dari Pendidikan
Islam ialah untuk mencetak manusia-manusia yang baik. Jika orang itu memiliki
kecerdasan tinggi, maka seharusnya dia diarahkan menjadi ulama atau cendikiwan
yang baik. Jika kualitas intelektual anak didik itu pas-pasan, maka harus
diarahkan menjadi pekerja yang baik. Dia biasa menjadi pedagang kaki lima yang
baik, tukang las yang baik, teknisi komputer yang baik, ataupun petugas
kebersihan yang baik. Dunia hanyalah panggung sandiwara, setiap manusia
diberikan peran oleh Allah sesuai potensi yang dimilikinya. Di akhirat, semua
akan mempertanggungjawabkan seluruh amanah yang diterimanya. wallahu ‘alam. [@KaWani-2014]
Category: Karya Ilmiah, Makalah, Pendidikan, Recent Post
Buku ini bisa menjadi rujukan bagi setiap orang terutama yang lebih mendalami tentang Pendidikan
Peran serta pemuda sangat dibutuhkan dalam membangun negeri ini
memang seharusnya begitu
yap
yap
yah
Semoga bisa bermanfaat