PARADIGMA TAUHID TERHADAP ANTROPOLOGI
Sejak kedatangannya, agama
Islam telah menimbulkan banyak tatanan perubahan di dunia. Perubahan yang
mencakup berbagai aspek kehidupan umat manusia, baik dalam tatanan masyarakat,
kebudayaan, politik, sejarah, dan lain sebagainya. Perubahan tatanan ini
kemudian ada yang menjadi tatanan baku dalam suatu kultur masyarakat, dan ada
pula yang menjadi sebagai bahan kajian para ilmuwan bagi mengembangkannya
sesuai dengan konteks tatanan masyarakat itu sendiri. Kajian-kajian yang
dimaksud kemudian terus berkembang sedemikian rupa merujuk kepada berbagai
aspek ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh para ilmuwannya.
Selanjutnya, seperti
diketahui dan apa yang telah terlihat dewasa ini, Islam berkembang sedemikian
pesatnya ke berbagai penjuru dunia. Hal ini memungkinkan pada terjadinya
berbagai perbedaan dalam memahami konsep-konsep dalam Islam antara suatu daerah
dengan daerah yang lain. Konsep-konsep tersebut meliputi konsep ketuhanan
(tauhid), hukum (syari’at), sosial kemasyarakatan (muamalah), dan konsep-konsep
lain. Walaupun kajian Islam secara umum disandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits,
perbedaan-perbedaan tetap saja terjadi; yang diantaranya selain diakibatkan
oleh beragamnya pemahaman yang ditafsirkan oleh para ilmuwan Islam, juga dipicu
oleh kondisi wilayah (konteks tempat) tempat berkembangnya agama Islam.
Penulisan Makalah Paradigma
Tauhid terhadap Antropologis ini, bertujuan antara lain sebagai berikut:
1.Untuk memenuhi tugas mata
kuliah Tauhid world view pada program studi manajemen Kependidikan Islam
universitas Djuanda Bogor.
2.Untuk menambah wawasan
keilmuan mengenai Paradigma Tauhid terhadap Antropologis.
A. Definisi Antropologi
Antropologi adalah salah
satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat
suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan
orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang
berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan
melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang
merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang
tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada
sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari
bahasa Yunani; anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti
ilmu. Secara definisi, menurut beberapa
pakarnya pengertian antropologi dapat dimengerti sebagai ilmu yang mempelajari
tentang keberadaan manusia, budaya masyarakatnya, dalam suatu territorial
tertentu.
Lebih jelasnya, William A.
Haviland mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia,
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Menurut Koentjaraningrat, antropologi didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk
fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkannya.
Dari beberapa definisi di
atas, dapat dipahami bahwa antropologi adalah studi yang mempelajari manusia
dalam semua aspek kehidupannya. Dimana dalam pemahaman umumnya antropologi
mengkonsentrasikan dirinya secara keseluruhan untuk mempelajari manusia dalam
aspek sosialnya. Yakni hubungannya dengan orang lain dalam sebuah tatanan
masyarakat sehingga menghasilkan pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat yang dimaksud.
Selanjutnya, diketahui
bahwa yang menjadi tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk
memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain.
Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensial, dan
karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lain.
Dilihat dari beberapa
pengertian/definisi antropologi menurut para ahli diatas, bisa ditari
kesimpulan sederhana mengenai pengertian/definisi antropologi secara umum,
yaitu: sebuah ilmu yang mempelajari
manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku,
tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu
dengan yang lainnya berbeda-beda.
Dengan, demikain
antropologi merupakan hal yang mempelajari seluk-beluk yang terjadi dalam
kehidupan manusia.Dapat dilihat dari perkembang pada masa saat ini, yang
merupakan salah dari fenomena- fenomena yang terjadi ditengah-tengah masyarakat
sekarang ini.
B. Antropolgi Modern di
Dunia Barat
Tulisan-tulisan para
missionaris dan para petualang pada abad ke-18 dan 19, telah menjadi sumber
tertulis yang amat penting tentang Afrika, Amerika Utara, daerah lautan tenang
dan daerah-daerah lain di seluruh pelosok dunia. Materi-materi tertulis
tersebut kemudian menjadi bahan dasar bagi karya-karya tulis pertama dalam ilmu
antropologi di Barat pada paruh terakhir abad 19.
Sebelumnya, kajian tentang
sistem hidup manusia dan sumber-sumber pembentukan sistem tersebut telah
dilakukan oleh ilmuan Barat, namun hal itu lebih banya didasari oleh
hipotesa-hidpotesa. Demikian juga halnya pada paruh pertama abad 18, ketika
Hume, Adam Smith, Ferguson, Montesquieu, Condarcet dan ilmuan lain menulis
tentang kelompok manusia primitif. Meskipun tulisan mereka cukup bagus, namun
ia tidak dihasilkan dari exprimen dengan variabel-variabel yang dapat diukur,
malah lebih banyak dipengaruhi oleh pilsafat yang mereka anut.
Pada penghujung abad 19
materi informasi yang besar tentang berbagai jenis manusia di seluruh dunia
telah dapat dikumpulkan. Koleksi Sir James Frazer adalah yang paling terkenal
dari sekian koleksi. Koleksinya tentang kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus
agama kemudian diterbitkan dalam beberapa seri dengan judul The Golden Bough
13. Materi-materi tersebut kemudian diperkaya oleh kajian-kajian yang terus
dilakukan baik oleh missionaris maupun pegawai administrasi di negara-negara
jajahan.
Pada permulaan abad 20,
ilmuan antropologi lebih banyak mencurahkan perhatian untuk melakukan field
research secara langsung tentang kelompok-kelompok manusia. Kecenderungana ini
menguat setelah A.C. Haddon melakukan penelitian di Melanesia, Radcliffe Brown
melakukan kajian atas masyarakat andaman serta Malinowski mengkaji masyarakat
kepulauan Torobrind.
Setidaknya ada dua aliran
dalam antropologi yang kemudian banyak mempengaruhi antropologi modern. Aliran
pertama adalah aliran Inggris. Dengan memberi perhatin pada kajian tentang
hakikat-hakikat, eksprimen, serta deskripsi yang amat teliti tentang objek
kajian. Aliran ini dianut oleh banyak ilmuan Jerman dan Amerika. Dan aliran
kedua adalah aliran Perancis, yang menggunakan metode holistic analytic
intellectualism. 14) Namun demikian, menurut Akbar S. Ahmad, pakar-pakar antropologi
sosial tetap saja hanya mencurahkan perhatian mereka pada sisi sosial kehidupan
manusia. Atau hubungan antara sesama manusia dalam sebuah lingkungan masyarakat
tempat mereka hidup. Sementara dimensi-dimensi lain yang demikian banyak
tentang kehidupan sosial dan peradaban, mereka tinggalkan 15.
Seperti disinggung
sebelumnya, timbulnya antropologi modern tidak terlepas dari kepentingan
kolonialisme. Ketika Napoleon menjajah Mesir, ia membawa serta sebanyak 150
ahli ilmu pengetahuan, sebagian dari mereka adalah ahli sosiologi dan
antropologi. Dari tangan mereka kemudian diawali kajian-kajian antropologis
terhadap negara-negara jajahan di Asia, Afrika dan negara-negara sekitar lautan
teduh. Bukanlah sebuah kebetulan jika pakar-pakar antropologi Inggris yang
paling terkemuka pasca perang dunia I dan II adalah mantan pegawai di
negara-negara jajahan Inggris. Seperti Evan Pritchard, Leach dan Nadel. Bahkan
yang terakhir, menggunakan kekuasaannya sebagai pejabat administrasi kolonial
dalam penelitian antropologisnya dengan memerintahkan polisi kolonial untuk
mengumpulkan penduduk sebagai objek questioner yang ia buat.
Pengaruh pemikiran
orientalis terhadap kajian antropologi dalam menatap dunia Timur juga cukup
besar. Sehingga tak jarang tatapan yang dihasilkan oleh suatu kajian terhadap
masyarakat Timur tampak buram. Dalam buku Orientalism, W.E. Said berkata
tentang masyarakat Timur : bangsa Timur adalah bangsa yang tidak logis, mereka
terbelakang serta kekanak-kanakan, dan mereka berbeda dengan kita. Sementara bangsa
Eropa adalah bangsa yang stabil, bermoral tinggi, matang, dan tidak mempunyai
kekurangan 16. Banyak orientalis, dalam melihat Islam, lebih senang menyebutnya
sebagai kaum Muhammedanisme. Hal itu tampak pada judul buku H.A.R.Gibb
Muhammedanism 17, dan Gustave E. von Grunebaum Muhammadan Festival 18. Dan
Oxford Dictionary tetap menggunakan terma ini meskipun telah ditentang oleh
umat Islam. Hingga saat ini, pengaruh orientalis terhadap antropologi tak
kunjung menurun. Malah orientalis seperti A. J. Arbery, H.A.R. Gibb, Lewis, von
Grunebaum dan M. Watt telah turut menyusun konsep-konsep metodologis bagi
banyak kajian antropologi 19. Pengaruh ini tampak jelas pada banyak antropolog.
M. E. Meeker, misalnya, dalam bukunya Literature and Violence in North Arabia
20 menulis tentang bangsa Arab (Islam): Peradaban Baduwi di bagian Utara
Jazirah Arabiyyah mempunyai pemikiran bahwa kekerasan adalah pokok kehidupan
politik. Dan dalam melihat keluarga, barang dan hubungan sosial, mereka
cenderung melihatnya dalam kerangka yang dibatasi oleh kekerasan. Sikap seperti
itu tidak aneh, karena Meeker banyak mengambil materi kajiannya dari Doughty
yang amat membenci Islam.Demikian pula P. Jeffrey, ketika mengadakan kajian
tentang wanita muslimah di Delhi, memberikan judul buku hasil kajiannya itu
Frogs in a Well—kodok-kodok di dalam sumur 21. Pertanyaan yang timbul kemudian
adalah: Apakah Islam tidak mempunyai konsep antropologi, sehingga bisa menjadi
alternatif antropologi Barat itu?. Kalaupun ada, apakah hal itu pernah diwujudkan
dalam sebuah konsep keilmuan yang utuh?.
C. Menemukan Antropologi
Islam
Jika antropologi modern
lahir di tangan ilmuan Barat, terutama kalangan missionaris dan pegawai
administrasi kolonial, itu tidak berarti bahwa antropologi adalah karya mutlak
ilmuan Barat. Sejarah ilmu pengetahuan justru mengukir dengan tinta emas bahwa ilmuan
Islamlah yang telah membangun dan menyusun konstruksi ilmu antropologi dan
ilmu-ilmu sosial lainnya. Tercatat nama-nama Ibn Khaldun, al Biruni, Ibn
Bathuthah, al Mas'udi, al Idrisi, Ibnu Zubair serta Raghib al Ashfahani yang
menulis kitab Tafshil 'n Nasyatain wa Tahshil 's Sa'adatain. Pada era modern
ini, terdapat beberapa ilmuan Islam yang telah melakukan kajian antropologis,
seperti Dr. Bintu Syathi, 'Abbas Mahmud al 'Aqqad, Dr. Aminah Nushair, Abdul
Mun'im Allam, Muhammad Khadar, Dr. Zaki Isma'il, Dr. Akbar S. Ahmad, Kurshid
Ahmad, Muhammad Iqbal, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Abul Wafa at-taftazani, Al
'Ajami dan ilmuan lainnya 22.
Karya Ibn Khaldun, dengan
teori-teori dan materi ilmiahnya, telah mendahului dan mengungguli karya-karya
ilmuan Barat seperti Karl Mark, Max Weber, Vilfredo Pareto, Ernest Gellner dan
ilmuan Barat lainnya.Teori pendulum swing Gellner, tipologi kepemimpinan
(typologi of leadership) yang ditulis Weber, serta teori Pareto tentang
sirkulasi kepemimpinan (circulation of elites) dalam masyarakat Islam, semua
itu tak lebih dari modifikasi atas teori-teori dan pemikiran yang telah digagas
oleh Ibn Khaldun. Meskipun amat disayangkan, usaha Ibn Khaldun tersebut tidak
dilanjutkan oleh ilmuan pasca Ibn Khaldun.
Menurut Akbar S. Ahmad,
dari sekian ilmuan Islam yang telah mencurahkan pemikiran mereka dalam bidang
antropologi tersebut, al Biruni berhak menyandang gelar Bapak antropologi.
Tentang alasan pemilihan al Biruni sebagai Bapak antropologi dijelaskan dengan
terperinci oleh Akbar S. Ahmad dalam tulisannya: Al-Biruni: The First
Anthropologist 23. Al Biruni, menurut Akbar lagi, adalah ilmuan antropologi
sejati dengan ukuran karakteristik yang paling tinggi sekalipun. Dan buku yang
ditulis al Biruni tentang India yang berjudul Kitab Al Hind, terus menjadi
salah satu referensi yang paling penting tentang Asia Selatan. Dengan demikian,
dapat ditarik kesimpulan bahwa antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, adalah
ilmu-ilmu yang lahir di tangan ilmuan muslim sekitar seribu tahun sebelum ilmuan
Barat mempelajari ilmu-ilmu itu. Maka ketika umat Islam kembali mempelajari
ilmu-ilmu tersebut, yang dilakukannya adalah semacam “menemukan kembali” apa
yang sebelumnya dimiliki .
D. Paradigma Tauhid
terhadap Antropologis dalam Pendekatan Mengkaji Islam
Mengaitkan definisi
antropologi secara umum dengan kajian keislaman suatu tatanan masyarakat, maka
pendekatan antropologis di sini dapat dipahami lebih jelas seperti apa yang
diungkapkan Abudin Nata, bahwa; pendekatan antropologi dalam memahami agama
dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat
wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan
kata lain cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam
melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Apa yang dijelaskan dalam
paparan Abudin Nata di atas tentang makna pendekatan antropologis dalam
memahami agama dapat ditemui bahwa yang melatarbelakangi pendekatan ini adalah
pertumbuhan agama dalam suatu masyarakat merujuk pada konteks praktek agamanya
dalam kehidupan sehari-hari. Dan secara terperinci Amin Abdullah mengungkapkan
dalam artikelnya, bahwa yang melatarbelakangi pendekatan antropologis tersebut
adalah melihat kepada beberapa hal. Dimana hal-hal tersebut dapat dipahami
sebagaimana yang terlihat dalam kutipan berikut:
“Bahwa dalam memahami agama
selalu mencakup dua entitas yang tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan,
yaitu normativitas (teks, ajaran, belief, dogma) dan juga historisitas, yaitu praktik dan pelaksanaan
ajaran, teks, belief, dogma tersebut dalam kehidupan konkrit di lapangan,
seperti di lingkungan kehidupan komunitas, masyarakat pedesaan (rural) atau
perkotaan (urban), situasi konteks politik, jaman yang berbeda, tingkat
pendidikan yang berbeda dan begitu seterusnya. Pendekatan antropologi terhadap
entitas keberagamaan dan entitas keislaman adalah ibarat pembuatan peta.
Pendekatan antropologi bersikap deskriptif, melukiskan apa adanya dari realitas
yang ada, dan bukannya normative, dalam arti tidak ada keinginan dari si
pembuat peta untuk mencoret, menutup atau tidak menggambar atau menampilkan alur
jalan yang dianggap kira-kira tidak enak atau berbahaya untuk dilalui.
Pendekatan antropologi harus bersikap jujur, apa adanya, tanpa ada muatan
interes-interes atau kepentingan tertentu (golongan, ras, etnis, gender,
minoritas-mayoritas) untuk tidak membuat peta (keagamaan manusia) apa adanya.
Jadi dapat ditarik
pengertian bahwa pendekatan antropologis dalam memahami agama dilatarbelakangi
dari cakupan agama melalui sisi historisitas yang terdapat lingkupan bahasan di
dalamnya yang meliputi praktik dan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan
nyata di masyarakat. Pelaksanaan ajaran ini sesuai dengan konteks
lingkungannya, masa, tingkat pendidikan, dan konteks-konteks lain yang sedang
berlaku dalam masyarakat tersebut. Dan dalam hal ini praktek dan pelaksanaan
agama adalah khusus tertuju pada ajaran Islam. Dimana ajaran Islam yang
dimaksud merupakan ajaran yang telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan kata lain yaitu Islam yang telah demikian melembaga dalam kehidupan
suatu masyarakat, suku, kelompok atau lebih besar lagi suatu bangsa, sehingga
ia telah terinstitusional dalam kehidupan organisasi, budaya, politik dan agama
itu sendiri.
Berdasarkan
pemahaman-pemahaman yang tersebut di atas menunjukkan bahwa pendekatan
antropologis dalam memahami agama, khususnya Islam dalam konteks
kemasyarakatannya adalah salah satu pendekatan cukup signifikan ketika
seseorang ingin memahami Islam yang berlaku dalam sebuah tatanan kehidupan
masyarakat. Sehingga dalam konteks lain, ketika terdapat perbedaan-perbedaan
pelaksanaan ajaran Islam antara suatu kelompok, suku, organisasi, dengan
kelompok yang lain; ini dapat dipahami lebih lanjut dan detail sebab-musababnya
melalui pendekatan yang salah satunya adalah pendekatan antropologis ini.
Wallahu A'lam
Category: Makalah, Pendidikan
0 komentar