MUHAMMAD IBN ALI IBNU ABI THALIB
MUHAMMAD IBN ALI IBNU ABI
THALIB; (Lebih Dikenal Dengan Muhammad Ibn al-Hanafiah; Jauhi Kekuasaan Demi
Menjaga Pertumpahan Darah)
“Yang aku tahu, hanya
Muhammad bin al-Hanafiyyah yang banyak menimba ilmu dari ‘Ali.” (Ibn al-Junaid)
Telah terjadi percekcokan antara Muhammad ibn
al-Hanafiyyah dan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim
surat kepada saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan
kelebihan kepadamu atas diriku...Ibumu Fathimah binti Muhammad ibn Abdullah
SAW, sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani “Haniifah.” Kakekmu dari garis
ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari garis
ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku ini sampai kepadamu, kemarilah dan
berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam
segala hal.”
Begitu surat itu sampai ke tangan
al-Hasan...ia segera ke rumahnya dan berdamai dengannya. Siapakah Muhammad ibn
al-Hanafiyyah, seorang adib (ahli adab/pujangga), seorang yang pandai dan
berakhlak lembut ini?
Marilah, kita membuka lembaran hidupnya dari
awal.
Kisah ini bermula sejak akhir kehidupan
Rasulullah SAW.
Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk
bersama Nabi SAW, maka ia berkata, “Wahai Rasulullah...apa pendapatmu apabila
aku dikaruniani seorang anak setelah engkau meninggal, (bolehkah) aku
menamainya dengan namamu dan memberikan kun-yah (sapaan yang biasanya
diungkapkan dengan ‘Abu fulan…’) dengan kunyah-mu?.”
“Ya” jawab beliau.
Kemudian hari-hari pun berjalan terus. Dan
Nabi yang mulia SAW bertemu dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi
Allah)...dan setelah hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda
al-Hasan dan al-Husain menyusul beliau (wafat).
Ali lalu menikahi seorang wanita Bani
Haniifah. Ia menikahi Khaulah binti Ja’far ibn Qais al-Hanafiyyah, yang
kemudian melahirkan seorang anak laki-laki untuknya. Ali menamainya “Muhammad”
dan memanggilnya dengan kun-yah “Abu al-Qaasim” atas izin Rasulullah SAW. Hanya
saja orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah, untuk
membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra
Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam sejarah dengan nama tersebut.
Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa
khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan
ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.
Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari
ayahnya...mewarisi kekuatan dan keberaniannya...menerima kefasihan dan balaghoh
darinya. Hingga ia menjadi pahlawan perang di medan pertempuran...singa mimbar
di perkumpulan manusia...seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila
kegelapan telah menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur
lelap.
Ayahnya RA telah mengutusnya ke dalam
pertempuran-pertempuran yang ia ikuti.
Dan ia (Ali) telah memikulkan di pudaknya
beban-beban pertempuran yang tidak ia pikulkan kepada kedua saudaranya yang
lain; al-Hasan dan al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan dan tidak pernah melemah
keteguhannya.
Pada suatu ketika pernah dikatakan kepadanya,
“Mengapakah ayahmu menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan membebankanmu apa
yang kamu tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua
saudaramu al-Hasan dan al-Husain?”
Ia menjawab, “Yang demikian itu karena kedua
saudaraku menempati kedudukan dua mata ayahku...sedangkan aku menempati
kedudukan dua tangannya...sehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua
tangannya.”
Dalam perang “Shiffin” yang berkecamuk antara
Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad ibn
al-Hanafiyyah membawa panji ayahnya.
Dan di saat roda peperangan berputar menggilas
pasukan dari dua kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri.
Ia menuturkan, “Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami
bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka
bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari mereka. Aku
menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.
Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar
seseorang yang berteriak di belakangku, “Wahai kaum Muslimin...(takutlah
kepada) Allah, (takutlah kepada Allah)...wahai kaum Muslimin...
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita
dan anak-anak?...
Siapakah yang akan menjaga agama dan
kehormatan?...
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan
ad-Dailami?*...
Wahai kaum Muslimin...takutlah kepada Allah,
takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”
Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada
diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.
Kemudian Ali RA mati syahid di tangan pendosa
yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )
Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn
Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan
patuh dalam keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk
menyatukan suara dan mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi
Islam dan Muslimin.
Muawiyah RA merasakan ketulusan baiat ini dan
kesuciannya. Ia merasa benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal mana
menjadikannya mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya.
Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih
dari sekali...dan lebih dari satu sebab.
Di antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis
surat kepada Muawiyah. Ia mengatakan, “Sesungguhnya raja-raja di sini saling
berkoresponden dengan raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang
dengan yang lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki...sebagin mereka
saling berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban yang ada
di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk mengadakan
(perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di antara mereka?”
Maka, Muawiyah mengiyakannya dan
mengizinkannya.
Kaisar Romawi mengirim dua orang
pilih-tandingnya. Salah seorang darinya berbadan tinggi dan besar sekali
sehingga seakan-akan ia ibarat pohon besar yang menjulang tinggi di hutan atau
gedung tinggi nan kokoh. Adapun orang yang satu lagi adalah seorang yang begitu
kuat, keras dan kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang
kaisar menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, “Apakah di
kerajaanmu ada yang menandingi kedua orang ini, tingginya dan kuatnya?.”
Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn
al-‘Aash, “Adapun orang yang berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang
sepertinya bahkan lebih darinya...ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang
yang kuat, maka aku membutuhkan pendapatmu.”
‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk
urusan ini, hanya saja keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn
al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn az-Zubair.”
“Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah
tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah.
“Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan
ridla bersama kebesaran kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk
mengalahkan kekuatan orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya
‘Amr.
Muawiyah berkata, “Sesungguhnya ia akan
melakukan hal itu dan lebih banyak dari itu, apabila ia menemukan izzah bagi
Islam padanya.”
Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn
Sa’d dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Ketika majelis telah dimulai, Qais ibn Sa’d
berdiri dan melepaskan sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu
melemparkannya kepada al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya.
Ia pun memakainya...maka, sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya
sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.
Adapun Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata
kepada penterjemahnya, “Katakan kepada orang Romawi ini...apabila ia mau, ia
duduk dan aku berdiri, lalu ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang
akan mendirikannya atau dia yang mendudukkanku...Dan bila ia mau, dia yang
berdiri dan aku yang duduk...”
Orang Romawi tadi memilih duduk.
Maka Muhammad memegang tangannya, dan
(menariknya) berdiri...dan orang Romawi tersebut tidak mampu (menariknya)
duduk...
Kesombongan pun merayap dalam dada orang
Romawi, ia memilih berdiri dan Muhammad duduk. Muhammad lalu memegang tangannya
dan menariknya dengan satu hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari
pundaknya...dan mendudukkannya di tanah.
Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali
kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina.
Hari-hari berputar lagi...
Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn
al-Hakam telah berpindah ke rahmatullah...Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah
kepada Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin
dan penduduk Syam membaiatnya.
Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah
membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.
Setiap dari keduanya mulai menyeru orang yang
belum membaiatnya untuk membaiatnya...dan mendakwakan kepada manusia bahwa ia
yang paling berhak dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum
muslimin pun terpecah lagi...
Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta
kepada Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz
telah membaiatnya.
Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul
bahwa baiat akan menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia
baiat. Di antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi
orang-orang yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang
muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at.
Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan
kejadian di hari “Shiffin.”
Tahun yang panjang belum mampu menghapus suara
yang menggelegar dari kedua pendengarannya, kuat dan penuh kesedihan, dan suara
itu memanggil dari belakangnya, “Wahai kaum Muslimin...(takutlah kepada) Allah,
(takutlah kepada) Allah...wahai kaum Muslimin...
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita
dan anak-anak?...
Siapakah yang akan menjaga agama dan
kehormatan?... Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”..
Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.
Maka, ia berkata kepada Abdullah ibn
az-Zubair, “Sesungguhnya engkau mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa dalam
perkara ini aku tidak memiliki tujuan dan tidak pula permintaan...hanyalah aku
ini seseorang dari kaum muslimin. Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul
kepadamu atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang suara
mereka berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmu...juga tidak
membaiatnya.”
Mulailah Abdullah mempergaulinya dan berlemah
lembut kepadanya dalam satu kesempatan. Dan dalam kesempatan yang lain ia
berpaling darinya dan bersikap keras kepadanya.
Hanya saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak
berselang lama hingga banyak orang yang bergabung dengannya ketika mereka
mengikuti pendapatnya. Dan mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya,
hingga jumlah mereka sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang memilih
untuk memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka enggan untuk menjadikan diri
mereka kayu bakar bagi apinya yang menyala.
Setiap kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah
bertambah jumlahnya, bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan ia
terus mendesaknya untuk membaiatnya.
Ketika Ibn az-Zubair telah putus asa, ia
memerintahkannya dan orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim dan yang
lainnya untuk menetap di Syi’b (celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah,
dan ia menempatkan mata-mata untuk mengawasi mereka.
Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi
Allah, sungguh-sungguh kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan
membakar kalian dengan api...
Kemudian ia menahan mereka di rumah-rumahnya
dan mengumpulkan kayu bakar untuk mereka, lalu mengelilingi rumah-rumah
dengannya hingga sampai ujung tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar
menyala niscaya akan membakar semuanya.
Di saat itulah, sekelompok dari para pengikut
Ibn al-Hanafiyyah berdiri kepadanya dan berkata, “Biarkan kami membunuh Ibn
az-Zubair dan menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.”
Ia berkata, “Apakah kita akan menyalakan api
fitnah dengan tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan
diri)...dan kita membunuh seorang sahabat Rasulullah SAW dan anak-anak dari
sahabatnya?! Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun apa yang
manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.”
Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad
ibn al-Hanafiyah dan para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair
sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan. Ia melihat kesempatan emas untuk
menjadikan mereka condong kepadanya.
Ia lantas mengirim surat bersama seorang
utusannya, yang seandainya ia menulisnya untuk salah seorang anaknya tentunya
‘dialek’nya tidak akan sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.
Dan di antara isi suratnya adalah, “Telah
sampai berita kepadaku bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan
orang-orang yang bersamamu...ia memutus tali persaudaraanmu...dan merendahkan
hakmu. Ini negeri Syam terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang
yang bersamamu dengan penuh kelapangan dan keluasan...singgahlah di sana dimana
engkau mau, niscaya engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan selamat
kepadamu dan para tetangga yang mencintaimu...dan engkau akan mendapatkan kami
orang-orang yang memahami hakmu...menghormati keutamaanmu...dan menyambung tali
persaudaraanmu Insya Allah...
Muhammad ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang
bersamanya berjalan menuju negeri Syam...sesampainya di “Ublah”, mereka menetap
di sana.
Penduduknya menempatkan mereka di tempat yang
paling mulia dan menjamu mereka dengan baik sebaga tetangga.
Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan
mengagungkannya, karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan)
ibadahnya dan kejujuran zuhudnya.
Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf
dan mencegah mereka dari yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara
mereka dan mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan
seorang pun dari manusia mendzalimi orang lain.
Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul
Malik ibn Marwan, hal tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah
dengan orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak
berpendapat agar engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya
sebagaimana yang engkau ketahui...entah ia membaiatmu...atau ia kembali ke
tempatnya semula.”
Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan
berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di
salah satu ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah
ibn az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di
antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku
kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu
seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah beserta
apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta dirham ditambah
dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu,
budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka
pergilah dariku ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”
Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian menulis
balasan, “Dari Muhammad ibn Ali, kepada Abdul Malik ibn Marwan. Assalamu
‘alaika...Sesungguhnya aku memuji kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak
disembah selain Dia, (aku berterima kasih) kepadamu. Amma ba’du...Barangkali
engkau menjadi ketakutan terhadapku. Dan aku mengira engkau adalah orang yang
paham terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di Mekkah,
maka Abdullah ibn az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya, dan tatkala aku
menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap pertentanganku. Kemudian engkau
menulis surat kepadaku, memanggilku untuk tinggal di negeri Syam, lalu aku
singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di karenakan harganya murah dan jauh
dari markaz (pusat) pemerintahanmu. Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang
telah engkau tuliskan. Dan kami Insya Allah akan meninggalkanmu.”
Muhammad ibn al-Hanafiyyah beserta
orang-orangnya dan kelurganya meninggalkan negeri Syam, dan setiap kali ia
singgah di suatu tempat ia pun di usir darinya dan diperintahkan agar pergi
darinya.
Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya,
hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar
pengaruhnya dan lebih berat tekanannya...
Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari
pengikutnya dari kalangan orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari
kalangan orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW
telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali rahasia-rahasia
ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat. Beliau telah
mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak mengetahuinya.”
Orang yang ‘alim, beramal dan mahir ini
memahami betul apa yang diusung oleh ucapan ini dari penyimpangan, serta
bahaya-bahaya yang mungkin diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun
mengumpulkan manusia dan berdiri mengkhutbahi mereka...ia memuji Allah AWJ dan
menyanjungnya dan bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad SAW...kemudian berkata,
“Sebagian orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang
Rasulullah SAW mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada
siapapun selain kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah
melainkan apa yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah
mushaf). Dan sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai
sesuatu yang kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”
Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam
kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”
Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang
mendapat petunjuk) kepada kebaikan...dan kalian adalah para Mahdi kepada
kebaikan Insya Allah...akan tetapi apabila salah seorang dari kalian
mengucapkan salam kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah
ia berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”
Tidak berlangsung lama kebingungan Muhammad
ibn al-Hanafiyyah tentang tempat yang akan ia tinggali beserta orang-orang yang
bersamanya...Allah telah berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi
menumpas Abdullah ibn az-Zubair...dan agar manusia seluruhnya membaiat Abdul
Malik ibn Marwan.
Maka, tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis
surat kepada Abdul Malik, ia berkata, “Kepada Abdul Malik ibn Marwan, Amirul
Mukminin, dari Muhammad ibn Ali. Amma ba’du...Sesungguhnya setelah aku melihat
perkara ini kembali kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang
dari mereka. Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz. Aku mengirimkan baiatku ini
secara tertulis. Wassalamu’alaika.”
Ketika Abdul Malik membacakan surat tersebut
kepada para sahabatnya, mereka berkata, “Seandainya ia ingin memecah tongkat
ketaatan (baca: keluar dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara
ini, niscaya ia mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan
atasnya...Maka tulislah kepadanya dengan perjanjian dan keamanan serta
perjanjian Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan para
sahabatnya.”
Abdul Malik kemudian menulis hal tersebut
kepadanya. Hanya saja Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak hidup lama setelah itu.
Allah telah memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan
diridlai.
Semoga Allah memberikan cahaya kepada Muhammad
ibn al-Hanafiyah di kuburnya, dan semoga Allah mengindahkan ruhnya di
surga...ia termasuk orang yang tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula
ketinggian di antara manusia.
catatan kaki:
* Ad-Dailami adalah masyarakat besar yang
berada di utara Qazwain, muslimin memerangi mereka kemudian mereka memeluk
Islam
** Al-‘Ilj adalah orang yang kuat dan besar
dari orang-orang kafir non Arab
*** Ia adalah putra Asma binti ash-Shiddiq
yamg berhasil menaklukkan kawasan Afrika
Category: SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar