ABU SOPYAN BIN HARB
ABU
SOPYAN BIN HARB....
"Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang)
dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan
bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah
orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan (golongan)
buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya
diatas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya
ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang merugi."
(al-Anfaal: 36-37)
Menurut keterangan beberapa
ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abu Sufyan bin Harb
radhiallâhu 'anhu.
Abu Sufyan bin Harb
radhiallâhu 'anhu.
Abu Sufyan bin Harb
terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliah.
Dia seorang saudagar
terkenal, banyak mengenal keinginan pasar. Sebagai tokoh masyarakat Quraisy, ia
banyak mengetahui gaya hidup masyarakatnya. Ia juga seperti yang dikatakan
banyak orang, antara lain al-'Abbas bin Abdul Muththalib, senang dipuji dan dibanggakan
orang.
Ia dilahirkan sepuluh tahun
sebelum terjadinya penyerbuan tentara gajah ke Mekkah. Ia sering memimpin
kafilah perdagangan kaum Quraisy ke negeri Syam dan ke negeri 'ajam (selain
Arab) lainya. Ia suka keluar dengan membawa panji para pemimpin yang dikenal
dengan 'Al-'Uqab". Panji itu tidak dipegang melainkan oleh pemimpin
Quraisy. Kalau terjadi peperangan, panji itu pun hanya dipegang olehnya.
Putranya, Mu'awiyah bin Abi
Sufyan radhiallâhu 'anhu adalah seorang penulis wahyu. Ia pernah diangkat
menjadi gubernur negeri Syam sebelum pemerintahan Khalifah Umar ibnul-Khaththab
radhiallâhu 'anhu. Putrinya, Ramlah binti Abu Sufyan radhiallâhu 'anha. (Ummu
Habibah), adalah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam . Dan termasuk salah
seorang dari Ummahaatul Mukminin radhiallahu 'anhunna.
Ummu Habibah, istri
Abdullah bin Jahsy, pergi berhijrah ke negeri Habasyah bersama dengan suaminya.
Di negeri nun jauh itu tiba-tiba suaminya tergoda masuk agama Nashrani.
Karenanya, ia minta cerai. Sesudah berakhir 'iddahnya, Raja Najasyi
memanggilnya seraya berkata kepadanya, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam telah menulis surat kepada saya untuk mengawinkan anda dengan
beliau" .
Ramlah lalu berkata,
"semoga Allah akan menggembirakan dan membahagiakan Paduka tuan
juga!"
Ramlah pun akhirnya menjadi
isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika Abu Sufyan mendengar berita
perkawinan puterinya itu dengan Rasulullah, ia berkata, "Unta jantan ini
semoga tidak dipotong hidungnya!"
Abu Sufyan mendengar dakwah
yang dikumandangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan ternyata dia
merupakan orang yagn paling gigih melawan dan memeranginya. Dia pernah juga
menyertai delegasi kaum Quraisy yang dikirim menemui Abu Thalib, meminta
kepadanya supaya mau menyerahkan keponakannya (Muhammad Shallallahu 'alaihi
wasallam) untuk disembelih oleh mereka, dengan syarat akan menggantikannya
dengan seorang pemuda Quraisy lainya yang mereka pandang lebih mendatangkan
keberuntungan bagi mereka semua.
Dia juga pernah mengadakan persekutuan
jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam dan kaum muslimin, dengan mendatangkan surat pernyataan memblokade
Bani Hasyim, yaitu tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli dengan
mereka.
Tiba saatnya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin pergi berhijrah ke Madinah.
Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan berbahagia di negeri yang tentram ini.
Pada suatu saat, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui bahwa Abu Sufyan sedang dalam
perjalanan dari Syam ke Mekkah, memimpin kafilah dagang kaum Quraisy, kaum yang
selama lebih dari sepuluh tahun telah menyiksa dan menyengsarakan mereka, yang
telah mengusir mereka keluar dari negerinya dan juga merampas harta kekayaannya.
Abu Sufyan sendiri terlibat dalam perbuatan jahat dan keji itu.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam memberitahukan hal itu, terutama kepada kaum Muhajirin,
"Kafilah dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan segera akan melintasi
daerah kita. Marilah kita keluar mencegatnya. Barangkali Allah akan
menggantikan apa-apa yang telah mereka rampas dari kita dahulu!"
Ketika tiba di perbatasan
Hijaz, Abu Sufyan mulai dirundung firasat tidak enak. Ia selalu bertanya kepada
setiap orang atau kafilah yang datang dari jurusan Madinah dengan perasaan
was-was dan takut. Akhirnya ia mendengar dari salah satu sumber yang meyakinkan
bahwa Muhammad telah mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat kafilah yang
dipimpinnya.
Abu Sufyan lalu membayar
seorang kurir untuk mengirimkan kabar tentang hal itu ke kota Mekkah, namanya
Dhamdham bin Amru al-Ghifari. Dalam pesannya itu, ia berharap supaya kaum
Quraisy mengirimkan pasukannya untuk melindungi kafilah yang dipimpinnya dari
serangan Muhammad dan para sahabatnya.
Ternyata diluar dugaan, Abu
Sufyan berhasil menempuh jalan keluar dari kepungan Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wasallam. Ia segera mengirim kurir yang lain untuk menemui kaum Quraisy
yang hendak melindungi kafilahnya. Ia berkata, "Kalian keluar untuk menyelamatkan
kafilah, harta, dan orang-orang kalian. Kini, semuanya itu sudah diselamatkan
oleh Allah. Kami harap kalian segera kembali ke Mekkah".
Abu Jahal berkata kepada
anggota pasukannya , "Demi Allah, kami tidak akan kembali hingga sampai ke
Badar. Disana, kami akan berdiam tiga hari tiga malam, bersuka ria, memotong
ternak, makan-makan, minum-minuman keras, dan wanita menyanyi dan menari agar
bangsa Arab mendengar dan mengetahui perjalanan dan berkumpulnya kami, dan
senantiasa menakuti kami. Ayo jalan terus!"
Terjadilah peperangan di
Badar antara pasukan yang dipimpin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan
pasukan yang dipimpin Abu Jahal. Dalam peperangan itu, Abu Jahal dan banyak
tokoh Quraisy lain tewas, dan banyak juga yang tertawan. Diantara yang tertawan
itu adalah Abul 'Ash bin ar-Rabi', suami Zainab binti Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam . Kaum Quraisy mengirimkan tebusan untuk pembebasan para
tawanannya, sedangkan Zainab binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
mengirimkan liontin pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwalid.
Setelah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam melihatnya, lalu ia bersabda kepada para
sahabatnya dengan penuh haru, "Kalau kalian ridha melepaskan tawanannya
dan mengembalikan hartanya, silahkan!"
Mereka menyambutnya,
"Baiklah, ya Rasulullah!"
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam meminta janji Abul 'Ash bahwa ia akan melepaskan putrinya,
Zainab, pergi ke Madinah. Untuk itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
telah mengirimkan Zaid bin Haritsah dan seorang lainnya dari orang Anshar untuk
mengawalnya. Rasulullah bersabda kepada orang itu, "Kalian berdua
hendaklah menunggu kedatangan Zainab di Lembah Ya'jaj kemudian menyertainya
hingga datang ke sini".
Sesudah Abul 'Ash tiba di
Mekkah, ia langsung memerintahkan Zainab (isterinya) pergi ke Madinah untuk
menyusul ayahnya. Sesudah keberangkatannya dipersiapkan, ia meminta kepada
saudaranya, Kinanah bin ar-Rabi', untuk mengawal keberangaktan isterinya itu.
Kinanah berangkat di siang hari dengan mengendarai unta, membawa panah dan
busurnya, sedangkan sayyidatina Zainab di atas haudaj.
Keluarnya Zainab ini sempat
membuat ketegangan di kalangan kaum Quraisy yang baru kalah perang di Badar.
Mereka mengejarnya dan berhasil menyusulnya di suatu tempat yang bernama Dzi Thuwa.
Orang yang pertama berhasil mengejarnya ialah Hubar bin al-Aswad bin Abdul
Muththalib bin Ased.
Kinanah dengan cekatan
menghadang Hubar seraya berkata, "Demi Allah, jangan ada yang mendekati
kami. Kalau tidak, aku tidak ragu-ragu melepaskan panahku ini".
Orang-orang pun menjauh darinya.
Tak lama setelah itu, Abu
Sufyan datang dengan rombongannya hendak melerai kedua rombonga itu. Ia
berkata: "Kinanah! Masukkanlah anak panahmu. Kami akan berbicara
denganmu". Ia pun lalu memasukkan anak panahnya ke sarungnya.
Abu Sufyan lalu
menasehatinya: "Kamu tidak tepat membawa keluar wanita itu di siang hari,
padahal kamu tahu benar apa yang telah dilakukan Muhammad terhadap tokoh kita
di Badar baru-baru ini. Dengan mengeluarkan putrinya di siang hari dari tengah-tengah
kita, akan menimbulkan anggapan pada masyarakat bahwa kita melakukannya dalam
keadaan hina dan lemah. Kami tidak berkepentingan untuk memisahkannya dari
ayahnya, namun kami ingin wanita itu dibawa dahulu ke Mekkah, sampai
suara-suara yang membicarakan kekalahan perang di Badar itu usai, barulah kamu
membawanya keluar secara diam-diam.
Kinanah membawa Zainab
kembali lagi ke Mekkah. Sesudah beberapa malam, ketika pembicaraan Quraisy
tentang kekalahannya sudah mulai mereda, barulah ia membawa keluar dengan
diam-diam dan menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan rekannya itu.
Dalam keadaan seperti itu,
Abu Sufyan telah bertindak bijaksana sekali hingga dapat mengekang amarah kaum
Quraisy yang sedang berkobar-kobar dan sekaligus berhasil juga memenuhi keinginan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengirimkan putrinya ke Madinah.
Belum setahun dari
kekalahanya di Badar, kaum Qurasiy telah berhasil mengarahkan kabilah-kabilah
yang ada di sekitar Mekkah untuk emerangi Muhammad. Abrang dagangan dari
kafilah yang berhasil diselamatkan dari akum muslimin dahulu itu diapakai
sebagfai modal utama untuk membiayai peperangan yang akan mereka lancarkan.
Pasukan dipimpin oleh Abu Sufyan sendiri. Ia Keluar dengan isterinya, Hindun
binti Utbah.
Ternyata, dalam peperangan
itu, kaum Quraisy meraih kemenangan karena pasukan panah kaum muslimin
melanggar perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk tidak
meninggalkan kedudukannya di atas Bukit Uhud. Allah Ta'ala ingin memelihara
kaum muslimin yang akan mengemban tugas menyebarkan agama-Nya ke seluruh
penjuru dunia, agar mereka senantiasa bersatu padu, tidak bercerai berai, dan
selalu kompak dan patuh pada perintah pimpinannya.
Sesudah peperangan usai,
Abu Sufyan naik ke atas puncak Gunung Uhud seraya berteriak dengan suara keras,
"Peperangan berakhir dengan seri, Perang Badar dengan perang Uhud. Pujalah
Dewa Hubal, agamamu telah menang!"
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Wahai Umar, jawablah mereka dan katakanlah,
'Allah Maha Agung. Mayat orang-orang kami di surga dan mayat orang-orang kalian
di api neraka".
Sesudah Umar menjawab
pertanyaannya, Abu Sufyan berkata kepadanya, "Wahai Umar, mari Anda ke
sini!"
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam memerintahkan kepada Umar, "Hampirilah, Umar! Apa
maunya?"
Umar pergi menghampirinya,
lalu Abu Sufyan bertanya, "Saya mohon kepadamu, wahai Umar apakah pasukan
kami telah membunuh Muhammad ?"
Umar menjawab, "Demi
Allah, tidak. Dia mendengar bicaramu itu hingga kini".
Ia lalu berkata dengan tegas: "Saya lebih
percaya kepadamu daripada Ibnu Qamiah, yang mengatakan ia telah berhasil
membunuh Muhammad!"
Sewaktu ia akan kembali pulang, Abu Sufyan
mengatakan lagi, "Kita akan bertemu lagi di tahun yang akan datang di
Badar".
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam memerintahkan salah seorang sahabat untuk menjawab tantangan
Abu Sufyan itu, "Katakanlah kepadanya, kami akan sambut tantanganmu".
Abu Sufyan kembali dengan pasukannya. Di
tengah jalan, ada seorang yang berkata kepada mereka, "Kita memang telah
membunuh banyak pimpinan tertinggi kaum muslimin. Akan tetapi, mengapa kita
tidak menumpas sisa-sisanya agar tidak memberikan kesempatan hidup lagi kepada
mereka?"
Abu Sufyan termakan oleh pendapat itu. Akan
tetapi, belum sempat ia memutar kepala kudanya, ia melihat Ma'bad bin Ma'bad
al-Khuza'i datang dari arah uhud. Abu Sufyan lalu bertanya kepadanya, "Ada
kabar apa, wahai Ma'bad?"
Ia menjawab, "Muhammad dan kawan-kawanya
sedang mengejar-ngejar kalian dengan pasukan yang tiada taranya. Orang-orang
yang tidak ikut berperang bersamanya, kini sedang berkumpul dan menyesali diri.
Mereka dengan perasaan marah akan mengejar kalian dan membalas dendam atas
kekejaman yang derita kawan-kawannya".
Abu Sufyan mengigil ketakutan. Ia bertanya,
"Celaka, Apa katamu?"
Ma'bad berkata lagi, menegaskan: "Menurut
pendapat saya, sebaiknya kalian cepat-cepat pulang kembali!"
Abu Sufyan berkata kepadanya:
"Sesungguhnya kami berniat akan kembali dan menumpas sisa tokoh mereka
yang masih hidup".
Ma'bad menasehati mereka,
"Saya menasehatimu, janganlah Anda melakukannya!"
Setelah mendengar nasihat Ma'bad, mereka
cepat-cepat kembali pulang ke Mekkah.
Abu Sufyan telah mengerahkan pasukannya dan
mendatangkannya untuk menyerang kaum muslimin di Uhud. Dia juga telah bertindak
sebagai panglima tertinggi dalam peperangan ini sehingga banyak sahabat pilihan
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang tewas karenanya, bahkan ia telah
berjanji akan melancarkan serangan lagi tahun depan.
Lalu, apa yang mungkin dilakukan sedangkan
kekayaan, perlengkapan, dan pasukan mereka tidak terbilang banyaknya?
Memang Abu Jahal, Umayyah
bin Khalaf, dan Abu Lahab sudah tewas. Kalau Abu Sufyan termasuk orang yang
tewas juga tentu keadaan akan berubah jauh, tentu banyak orang yang menganut
Islam dengan terang-terangan.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang Abu Sufyan;
ternyata banyak diantara mereka yang memberikan saran supaya dibunuh saja. Ia
bertanggung jawab atas tewasanya para sahabat pilihan di medan Uhud. Jadi,
kalau ia di bunuh, ini hanya merupakan qishas semata-mata, bukan suatu tindakan
kejahatan. Rasululklah Shallallahu 'alaihi wasallam puas atas hasil musyawarah
itu.
Akhirnya, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam memutuskan untuk mengirimkan Amru bin Umayyah
ad-Dhamri dan seorang dari golongan Anshar pergi ke Mekkah untuk membunuh Abu
Sufyan.
Kedua orang itu pergi
memenuhi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Amru menceritakan misinya,
"Saya keluar bersama rekan saya yang kurang sehat. Saya membawanya diatas
untaku hingga mencapai Lembah Ya'jaj, tidak jauh dari Mekkah.
Aku berkata kepada rekanku:
"Kita tinggalkan unta kita disini dan kita pergi mencari Abu Sufyan dan
membunuhnya. Kalau kamu melihat sesuatu yang mengkhawatirkan, cepat-cepat pergi
ke tempat unta itu dan kembali menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
dan ceritakan apa-apa yang telah terjadi kepadanya, tidak usah memikirkan aku'.
Kami memasuki kota Mekkah.
Aku menyandang sebilah Khanjar (belati). Aku sengaja persiapkan kepada
siapa-sapa saja yang menghalang-halangiku. Rekanku berkata kepadanya, 'Apakah
tidak sebaiknya kita Thawaf dahulu dan Shalat dua raka'at?'
Saya menjawabnya, 'Biasanya
penduduk kota Mekkah duduk-duduk di halaman rumah mereka dan saya mengenali
mereka'.
Kami memasuki Baitullah,
lalu kami thawaf dan shalat dua raka'at disana, kemudian kami keluar dan
melewati tempat mereka duduk-duduk. Ternyata, sebagian dari mereka mengenaliku,
lalu berteriak sekeras-kerasnya, 'Itu Amru bin Umayyah'.
Penduduk kota Mekkah keluar
mengejar kami dan berkata:' dia tidak datang melainkan utnuk melakukan suatu
kejahatan'.
Aku berkata kepada rekanku,
'Selamatkan dirimu!'
Kami melarikan diri keatas
gunung, lalu memasuki sebuah gua. Kami bermalam dua hari dua malam disana,
menunggu keadaan tenang. Tiba-tiba Utsman bin Malik dengan menunggang kuda ada
di pintu goa. Saya keluar dan menikamnya dengan khanjarku. Dia berteriak dengan
sekeras-kerasnya sehingga penduduk Mekkah datang menghampirinya, sedangkan saya
kembali bersembunyi. Mereka menemukannya sudah dalam keadaan sekarat. Mereka
bertanya kepadanya, 'Siapa yang menikammu?'
Dia menjawab, 'Amru bin
Umayyah,' lalu ia menghembuskan napas terakhirnya dan tak sempat memberitahukan
kepadanya tempat persembunyianku. Kini mereka disibukan mengurusi mayatnya
sehingga tidak sempat mencari tempat persembunyianku. Aku tinggal di gua itu
dua hari lagi sampai keadaan menjadi benar-benar tenang.
Setelah itu, kami keluar
menuju Tan'im, suatu tempat yang tidak jauh dari Mekkah. Disana, saya menemukam
mayat Khubaib tergantung diatas sebuah kayu; disekitarnya terdapat beberapa
orang pengawal. Saya menurunkan mayatnya, lalu memanggulnya. Belum sampai empat
puluh langkah dari tempatnya, mereka sadar dan mengejar saya. Saya meletakkan
mayat Khubaib dan melarikan diri, sampai mereka tidak mengejarku lagi. Adapun
rekanku telah kembali dengan mengendarai untanya dan menceritakan apa-apa yang
dilihatnya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengenai mayat Khubaib,
sejak saat itu tidak terlihat lagi, seolah-olah telah di telan bumi".
Dikisahkan bahwa Abu Sufyan
berkata kepada Khubaib ketika hendak dibinihnya, "Ya Khubaib, maukah kau
kalau menggantikan tempatmu sekarang, akan kami penggal batang lehernya
sedangkan aku duduk dengan keluargaku."
Abu Sufyan terheran-heran,
"Belum pernah aku melihat ada seseorang yang mencintai seseorang lebih
dari sahabat Muhammad mencintai Muhammad." Dia pun lalu dibunuhnya.
Sudah menjadi takdir Allah
Ta'ala bahwa Abu Sufyan tidak mati terbunuh. Misi 'Amru bin Umayyah gagal untuk
membunuhnya. Abu Sufyan hidup dan berkesempatan untuk mengerahkan para kabilah
Arab untuk memerangi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Kali ini, ia
bertujuan untuk menyerang kota Madinah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
mencium rencana jahat mereka, lalu baginda memerintahkan kaum muslimin untuk
menggali parit sesuai dengan saran Salman al-Farisi radhiallâhu 'anhu. Begitu
parit itu selesai digali, pasukan Quraisy dibawah pimpinan Abu Sufyan tiba,
tetapi mereka tidak berhasil menerobos kota Madinah. Mereka mendirikan
perkemahannya di luar parit itu. Pada saat itu, kaum muslimin menghadapi musuh
baru dari Madinah yaitu kaum Yahudi. Pada waktu itu Huyai bin Ahthab datang
menemui Ka'ab bin Asad, pimpinan baru Quraizhah. Dia sudah mengadakan
perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam atas nama kaumnya. Ia
lalu menutup pintu bentengnnya dan tidak memberi izin kepada Huyai untuk
memasukinya, seraya berkata, 'Kau seorang yang sial. Saya sudah mengadakan
perjanjian dengan Muhammad dan ternyata dia tetap setia dengan perjanjiannya
itu".
Huyai menjawab, "wahai
Ka'ab, saya datang membawa berita gembira dan kemuliaan abadi. Saya datang
kepadamu dengan membawa pimpinan Quraisy dan Ghathafan. Mereka sudah berjanji
kepadaku untuk tidak akan meninggalkan negeri ini sebelum menumpas Muhammad dan
para sahabatnya".
Ka'ab menjawab: "Kalau
begitu, kau telah mengundang kehinaan abadi!" Celaka kau, wahai Huyai,
biarkanlah aku bersama dengan Muhammad!"
Akan tetapi, Huyai tidak
membiarkan Ka'ab melepaskan diri dari cengkramanannya, sampai ia mau melanggar
perjanjian yang telah dibuat dengan Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam . Dia
mengadakan perjanjian dengan Huyai, "Kalau sampai Quraisy dan Ghathafan
kembali dan tidak berhasil menumpas Muhammad, saya akan berjanji memasuki
bentengmu dan hidup senasib dengan kau!"
Pada saat itu, kaum
muslimin menderita ketakutan yang luar biasa karena harus menghadapi dua front:
Quraisy dan Ghathafan dari luar serta Yahudi Bani Quraizhah dari dalam, seperti
yang dilukiskan dalam Al-Qur'an:
"(Yaitu) ketika mereka
datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi
penglihatan (mu) dan hatimu naik menyesak sampai ketenggorokan dan kamu
menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji
orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang
sangat." (QS. Al-Ahzab: 10-11)
Malapetaka ini terjadi
karena lebih dari dua puluh malam, kedua pasukan yang sudah berhadapan itu
tidak dapat berbuat selain menggunakan panahnya masing-masing. Tiba-tiba Nu'aim
bin Mas'ud al-Asyja'i datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku ini sudah masuk Islam, tetapi kaumku
belum ada yang tahu. Perintahlah aku sesuka hatimu".
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menjawab, "Kamu hanya sendirian. Lakukanlah apa yang
mungkin kamu lakukan untuk menyelamatkan kami karena peperangan itu tipu
daya".
Nu'aim lalu pergi menemui
tokoh-tokoh bani Quraizhah. Kebetulan di zaman jahiliyyah, mereka bersahabat .
Nu'aim berkata kepada mereka: "kalian sudah mengetahui hubungan baik
antara aku dan kalian".
Mereka menjawab:
"Memang, kami tidak mempunyai kecurigaan sedikitpun terhadapmu".
Lalu, sambungnya lagi,
"Kalian telah membela Quraisy dan Ghathafan melawan Muhammad padahal
mereka tidak senasib dengan kalian. Negeri ini adalah tanah airmu; disana
terdapat kekayaan, anak-anak, dan isteri-isterimu, dan kalian tidak mungkin
bisa meninggalkan semua itu, sedangkan Quraisy dan Ghathafan, kalau mereka
melihat kemenangan, mereka akan ribut, kalau mereka melihat lain dari itu,
mereka akan melarikan diri ke negeri mereka dan meninggalkan kalian menjadi
makanan empuk Muhammad dan kalian pasti tidak akan sanggup melawannya.
Janganlah kalian memeranginya sebelum kalian mendapat jaminan dari tokoh-tokoh
mereka agar kalian yakin bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian sebelum
mereka berhasil menumpas Muhammad".
Mereka menjawab,
"Sungguh, nasihatmu itu tepat sekali!"
Kemudian Nu'aim pergi
menemui Abu Sufyan dan tokoh Quraisy lainya, seraya berkata, "Kalian sudan
mengetahui hubungan baikku dengan kalian dan kerengganganku dengan Muhammad.
Saya mendengar bahwa Bani Quraizhah menyesali tindakannya dan mereka telah
mengirim delegasi kepada Muhammad dan menanyakan, 'Apakah Anda mau menerima
kalau kami meminta jaminan tokoh-tokoh Quraisy dan Ghathafan, kemudian kami
serahkan kepada Anda untuk dipenggal batang leher mereka, kemudian kami dan
anda memperkuat persahabatan yang telah ada?"
Tampaknya, tawaran mereka
itu diterima baik. Jadi, kalau mereka meminta jaminan tokoh-tokoh kalian,
janganlah kalian memenuhinyya meskipun hanya seorang saja".
Nu'aim lalu pergi menemui
pimpinan Ghathafan dan berkata, "Kalian terbilang keluarga dan familiku
sendiri". Ia lalu memperingatkan mereka seperti yang disampaikan kepada
pimpinan Quraisy.
Begiru Nu'aim pergi, Abu
Sufyan mengirimkan delegasinya dibawah pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal untuk
menemui pimpinan Bani Quraizhah, seraya berkata kepada mereka, "Kami tidak
bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera melancarkan peperangan untuk
menumpas Muhammad".
Ternyata jawaban mereka
persis seperti yang dikatakan Nu'aim, "Kami tidak bersedia berperang
bersama dengan kalian kecuali kalau kalian mau memberi jaminan yang meyakinkan
kepada kami. Kami khawatir, kalian akan segera kembali ke negeri kalian dan
membairkan kami menjadi umpan Muhammad sedang kami berada di negerinya".
Delegasi Ikrimah kembali
dari perkampungan Bani Quraizhah dengan tangan hampa. Ia menyampaikan kepada
Abu Sufyan semua yang didengarnya. Lalu, sambut Abu Sufyan, "Demi Allah
benar sekali apa yang dikatakan Nu'aim bin Mas'ud!"
Abu Sufyan lalu mengirimkan
jawaban tegas kepada Bani Quraiszah, Demi Allah kami tidak akan menyerahkan
tokoh-tokoh kami seorangpun juga!"
Berkata tokoh Bani Quraizah
yang menerimannya, "Sungguh tepat apa yang dikatakan Nu'aim bun Mas'ud
kepada kami".
Allah Ta'ala
mengacau-balaukan rencana jahat mereka, sementara itu, ke perkemahan Quraisy
dan Ghathafan dikirimkan angin kencang yang memporak-porandakan kemah dan
perlengkapannya, seperti yang dilukiskan Al-Qur'anul Karim:
"Wahai orang-orang
yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu
ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin
topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya.Dan adalah Allah Maha
Melihat akan apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Ahzab: 9)
Abu Sufyan kabur kembali
dengan pasukannya ke Mekkah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pada saat
itu bersabda, "Kini kami yang akan menyerang mereka dan mereka tidak akan
menyerang kami lagi".
Ternyata sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam itu tepat sekali, perjanjian damai antara Quraisy
dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berhasil ditandatangani.
Dalam kesempatan baik ini,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengirimkan surat dan delegasinya ke
seluruh penjuru bumi, mengundang raja-raja dan kepala negaranya untuk masuk
agama Islam. Diantara surat-suratnya itu ada yang dikirimkan kepada Heraclius,
Kaisar Bizantium, yang dibawa oleh Dahyah al-Kullabi.
Konon, Kaisar bersedia
menerima tawaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam itu, namun baginda
khawatir terhadap reaksi rakyatnya.
Ketika Heraclius ada di
negeri Syam kebetulan banyak pedagang dari Mekkah sedang berdagang di sana.
Mereka telah dihadapkan kepada baginda beberapa orang, antara lain Abu Sufyan.
Heraclius mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya seraya berkata: "Saya
akan bertanya kepadamu. Kalau ia berbohong, sangkallah!"
Abu Sufyan berkata
mengenang peristiwa itu: "Kalau saya tidak khawatir dicap pembohong, tentu
saya akan berbohong kepadanya. Saya ditanyai tentang Nabi, saya berusaha
memperkecil perannya, namun baginda tidak menghiraukan keterangan saya itu,
lalu tanyanya tiba-tiba:
"Bagaimana kedudukan
keluarganya di antara kalian?"
"Keluarganya terbilang
keluarga bangsawan".
"Apakah ada diantara
keluarganya yang mengaku Nabi?"
"Tidak!".
'Apakah ada hak-haknya yang
pernah kalian rampas?"
"Tidak".
"Siapa para
pengikutnya?"
'Mereka terdiri atas para
orang lemah, miskin, dan anak muda'.
'Apakah para pengikutnya
mencintai dan mematuhinya, atau meninggalkannya?"
"Tidak ada yang
mengikutinya lalu meninggalkannya".
"Bagaimana peperangan
yang terjadi antara dia dan kamu?"
"Sekali kami menang
dan sekali lagi dia yang menang".
"Apakah dia pernah
berbuat curang?"
"Saya tidak pernah
mencurigainya. Kini, kami sedang berdamai dengan dia, namun kami tidak saling
curiga".
Heraclius berkata lagi:
"Saya bertanya kepadamu tentang nasabnya, Anda mengatakan bahwa dia
terbilang keluarga bangsawan dan begitulah para nabi umumnya".
Saya bertanya kepadamu,
apakah ada diantara keluarganya yang mengaku nabi, Anda mengatakan tidak.
Saya bertanya kepadamu,
apakah ada hak-haknya yang kalian rampas, lalu dia bangkit untuk menuntutnya,
anda mengatakan tidak.
Saya bertanya kepadamu
tentang para pengikutnya, anda mengatakan mereka terdiri atas para
mustadh'afiin dan fakir miskin, dan memang begitulah pengikut para rasul.
Saya bertanya kepadamu tentang
para pengikutnya, apakah mereka mencintainya atau meninggalkannya, anda
mengatakan bahwa para pengikutnya mencintainya dan tidak ada yang
meninggalkannya. Begitulah lezatnya keimanan apabila sudah memasuki kalbu
seseorang, tidak akan sudi keluar lagi.
Saya bertanya kepadamu,
apakah ia pernah melakukan kecurangan, anda menjawab tidak. Kalau Anda mau
percaya, dia pasti akan menaklukkan bumi yang ada dibawah telapak kakiku ini.
Rasanya aku ingin sekali mencuci kedua kakinya. Nah, kini, silahkan anda melakukan
tugas-tugas Anda!'
Selanjutnya, Abu Sufyan
berkata: 'Aku keluar dari hadapan Kaisar Heraclius dengan rasa takjub, lalu
berkata: 'Sungguh menakjubkan keadaan Ibnu Abi Kabsyah ini (yakni Muhammad).
Kaisar Romawi merasa takut kekuasaannya akan terancam".
Akan tetapi, mengapa Abu
Sufyan tidak cepat masuk Islam? Apakah ia ragu-ragu akan kejujuran Muhammad?
Raja Romawi tidak
mengingkari kenabian Muhammad. Malah, kalau ia ada dihadapannya, tentu ia akan
mencuci kedua kakinya.
Sesungguhnya, rintangan utama
yang menghalang-halangi Abu Sufyan masuk Islam tidak lain hanyalah soal
kekuasaan dan kewibawaan, yaitu kepemimpinan Quraisy. Dia Khawatir semuanya itu
akan jatuh ke tangan Muhammad, sampai ada diantara mereka yang nekat berkata:
"Ya Allah, jika betul (Al Qur'an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka
hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab
pedih". (QS.al-Anfaal: 32)
Ternyata Allahlah yang
menentukan segalanya itu. Abu Sufyan tidak lama memegang tampuk kepemimpinan atau
tongkat komando. Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bahwa Quraisy sesudah perang Khandaq tidak akan mampu
menyerang kaum muslimin lagi, tetapi giliran kaum musliminlah yang akan
menyerang mereka untuk menaklukkan kota Mekkah.
Memang benteng kaum kafir
dan musyrik itu harus dikikis habis dari muka bumi.
Abu Sufyan mengetahui benar
apa tujuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menaklukkan kota Mekkah.
Kali ini, ia pergi seorang diri tanpa pasukan menuju ke Medinah, tidak membawa
senjata dan perlengkapan apa pun.
Ia pergi ke Medinah dengan
penuh rasa gelisah dan ketakutan. Setiba disana, ia langsung menemui putrinya,
Ummu Habibah, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ketika ia hendak duduk
diatas permadani yang biasa di duduki oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam, putrinya cepat-cepat menariknya dan menggulungnya.
Abu Sufyan marah sekali
atas perlakuan putrinya itu dan berkata, "Apakah kau lebih menghargai
permadani itu daripadaku?". Dia berkata lagi," Putriku, sungguh kamu
sudah kerasukan setan!" Dia lalu keluar pergi menemui Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam namun beliau tidak mau menjawabnya sepatah katapun.
Dia lalu keluar dan pergi
menemui Abu Bakar, meminta agar ia mau membantunya memperlunak sikap Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam tetapi Abu Bakar radhiallâhu 'anhu menjawabnya
dengan tegas, "Saya tidak dapat melakukannya!"
Dia lalu pergi menemui Umar
ibnul Khaththab radhiallâhu 'anhu melihat Abu Sufyan, ia cepat-cepat memasuki
kemah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan memberitahukan hal itu
seraya meminta, "Ya Rasulullah, berikanlah izin kepadaku untuk memenggal
batang lehernya!"
Abbas radhiallâhu 'anhu
mendahuluinya dan berkata, "Ya Rasulullah, saya sudah melindungi dan
menjaminya!"
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam lalu memerintahkan, "Bawa pergilah dia dan bawa kembalilah
nanti siang. Kami sudah memberinya perlindungan".
Siang harinya, Abbas
membawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lagi,
Rasulullah menegurnya, "Celaka kau, Wahai Abu Sufyan! Apakah kau belum
juga mau sadar bahwa tiada tuhan selain Allah?".
Abu Sufyan menjawab:
"Tentu, hal itu tidak dapat saya menyangkalnya sedikit pun".
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menegurnya lagi, "Celaka kau Abu Sufyan, apakah kau belum
juga sadar bahwa saya Rasul Allah?"
Abu Sufyan menjawab,
"Kalau soal ini, rasanya dalam jiwaku masih terdapat keberatan
sedikit".
Abbas lalu membentaknya,
"Celaka kau! Ucapkanlah syahadat dengan sebenarnya sebelum kepalamu
berpisah dari tubuhmu" .
Dia lalu mengucapkan
syahadatain bersama dengannya; telah menyatakan islamnya juga: Hakim bin Hizam
dan Budail bin Warqa'.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam lalu menyuruh Abbas supaya menahan Abu Sufyan hingga usai
parade militer, 'Tahan dia sampai melihat pawai tentara Allah!"
Abbas berkata kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu
Sufyan senang juga pada pujian. Berikanlah sesuatu yang ia bisa banggakan
kepada kaumnya!"
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menjawab, "Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, aman;
siapa yang memasuki rumah Hakim bin Hizam, aman; siapa yagn memasuki Masjidil
Haram, aman; dan siapa yang menutup pintu rumahnya, dia juga aman!"
Selanjutnya, Abbas bin
Abdul Muththalib berkata, "Saya mengajak Abu Sufyan duduk diatas sebuah
puncak gunung, lalu pawai tentara Allah itu mulai bergerak di hadapan kami,
rombongan demi rombongan: Kabilah Aslam, Juhainah, barisan Muhajirin dan
Anshar, dan seterusnya. Setelah Abu Sufyan melihat pameran kekuatan itu, ia
berkata, 'Sungguh besar kerajaan anak saudaramu itu!"
Saya menjawabnya, 'Celaka
kau. Ia bukan kerajaan, tetapi kenabian!'
Abu Sufyan berkata, 'Benar
juga!'
Abbas lalu memerintahkan
kepada Abu Sufyan supaya segera kembali ke Mekkah dan memperingatkan kaumnya
jangan sampai mereka melanggar perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam.
Abu Sufyan dan Hakim bin
Hizam segera pulang kembali ke kota Mekkah. Setiba di Masjidil Haram, keduanya
berteriak-teriak memanggil kaumnya, Wahai kaum Quraisy, pasukan Muhammad telah
datang dengan kekuatan yang tidak terbilang besarnya".
Keduanya berkata lagi,
"Siapa yang memasuki rumahku, dia akan aman; siapa yang memasuki Masjidil
Haram, dia akan aman; siapa yang menutup pintunya, dia akan aman. Wahai kaum
Quraisy, masuklah Islam, kalian akan selamat!"
Allah Ta'ala menakdirkan
Abu Sufyan masuk Islam dan menjadi penyeru Islam. Orang yang selama
bertahun-tahun menjadi panglima kaum musyrikin, kini sudah menjadi seorang
tentara Allah. Ayah Mu'awiyah radhiallâhu 'anhu, penulis wahyu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam kini sudah masuk Islam. Kini, ia ikut serta
menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru bumi yang jauh.
Ayah Ummu Habibah, isteri
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sudah masuk Islam. Ayah Yazid bin Abi Sufyan,
kini sudah masuk Islam. Isterinya pun, yang dinyatakan sebagai salah seorang
penjahat perang, telah masuk Islam juga, malah ia telah menghancur luluhkan
berhala yang ada dirumahnya, seraya berkata, "Selama ini, kami tertipu
oleh kamu!"
Kehidupan Abu Sufyan
berjalan mulus dalam pengkuan Islam. Sejarah tidak mencatat sesuatu yang
berarti kecuali sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ketika
kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan rapat di Saqifah Bani Saa'idah untuk
memilih Khalifah kaum muslimin. Ali bin Abu Thalib radhiallâhu 'anhu tidak
menghadiri bai'at itu karena sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam . Ternyata kaum muslimin telah memilih Abu Bakar
sebagai Khalifah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam .
Abu Bakar adalah laki-laki
pertama yang menyatakan beriman kepada dakwah Rasulullah, orang pertama yang
mempercayainya ketika kembali dari Isra' dan Mi'raj. Ia berkata kepada orang
membawa berita itu kepadanya, "Kalau dia (Muhammad) sudah mengatakan
demikian, tentu beritanya itu benar!"
Dia adalah kawan senasib
dan sependeritaan dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ketika berada dalam
gua, ketika keduanya hendak berhijrah ke Madinah.
Pada saat-saat kritis
seperti itu, Abu Sufyan tampil kepermukaan seraya berkata, "Tampaknya,
melihat pencemaran yang sulit dihapus kecuali dengan darah, Wahai keturunan
Abdi Manaf. Apa hak Abu Bakar menangani urusanmu?"
Ia lalu datang kepada 'Ali
bin Abi Thalib seraya mengulurkan tangannya dan berkata, "Ulurkan
tanganmu, saya akan membai'atmu!".
'Ali bin Abi Thalib
membentaknya seraya berkata kepadanya, "Kamu tidak menghendaki dari
perbuatan itu selain untuk membangkitkan fitnah. Saya tidak butuh
nasihatmu!"
Dalam perang Yarmuk, ia
ingin menebus semua dosanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Ia berperang
mati-matian sampai salah satu matanya tercongkel.
Ia meninggal dunia pada
tahun 33 Hijrah di usia 88 tahun pada zaman Khalifah Utsman bin Affan
radhiallâhu 'anhu. Jenazahnya dishalati oleh putranya, Mu'awiyah, dan
dikuburkan di Baqi'.
Sebab turunya ayat
Menurut Muhammad bin Ishaq
dan murid-muridnya, ketika Abu Sufyan berhasil menyelamatkan kafilah Quraisy
dari Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, sementara
tokoh-tokoh Quraisy yang ingin melindungi kafilah itu berhasil diterwaskan
dalam perang Badar, maka timbullah inisiatif Abu Sufyan untuk mengobarkan
peperangan yang lebih dahsyat terhadap kaum muslimin dengan mengerahkan pasukan
yang lebih besar dan terlatih, dan menghimpun dana yang lebih banyak, termasuk
hasil penjualan barang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkannya itu.
Ia berkata kepada kaumnya: "Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Muhammad
telah membunuh tokoh-tokoh kalian maka dukunglah kami untuk menuntut balas
dengan harta yang dapat kami selamatkan ini".
"Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang)
dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan
bagi mereka dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah
orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan (golongan)
buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya
diatas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya dan dimasukkan-Nya
ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang merugi". (QS.
Al-Anfaal: 36-37)
Renungan
Dirirwayatkan oleh 'Urwah
bin az–Zubair bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam :"Ya Rasulullah, apakah engkau pernah merasa menghadapi
kesulitan lebih dahsyat dari pada Perang Uhud?"
Beliau menajwab, "Aku
telah menghadapi berbagai kesulitan yang lebih dahsyat dari kaummu, terutama
ketika aku menawarkan Islam pada hari Aqibah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi
Kulal, namun dia tidak menjawab sepatah katapun. Kemudian, aku pergi dengan
perasan pedih dan sedih. Aku tidak sadar, tiba-tiba aku tiba di Qarnits
Tsa'alib. Ketika aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba aku melihat awan sedang
memayungiku dan mendengar Jibril memanggilku, 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
telah mendengar omongan kaummu dan reaksi mereka terhadap tawaran-tawaranmu,
dan Dia telah mengirimkan Raja Pegunungan kepadamu agar kamu memerintahkan
kepadanya apa yang kamu inginkan terhadap kaummu itu!"
Ujar Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam selanjutnya: "Lalu, Raja Pegunungan itu mengucapkan salam
kepadaku dan berkata, 'Ya Muhammad, Allah Ta'ala telah mendengar
omongan-omongan kaummu terhadapmu. Aku Raja Pegunungan, Rabbmu telah mengutusku
kepadamu untuk diperintahkan sesuai dengan yang kamu inginkan. Kalau kamu mau,
aku akan menimpakan pegunungan ini di atas mereka!'
Aku menjawab, 'Tidak, malah
aku berharap Allah Ta'ala akan melahirkan dari mereka itu orang-orang yang akan
menyembah Allah dan tidak musyrik sedikitpun kepada-Nya".
Siapa gerangan mereka
selalu menghalang-halangi penyebaran dakwah dan menyakiti hati Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam itu? Siapa gerangan orang yang senantiasa menyiksa kaum
mustadh'afin di Mekkah dan lain-lain, setelah mereka memaklumatkan Islamnya?
Siapa gerangan mereka yang telah mengusir Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
keluar dari kampung halamannya dan menghalang-halangi penyebaran dakwahnya?
Sejarah mencatat nama-nama
mereka dan tidak akan melupakannya. Mereka telah mendongakkan kepalanya,
menutup rapat pintu hatinya, memejamkan matanya sehingga tidak melihat cahaya
kebenaran memancar di hadapannya, dan memalingkan perhatian dari tanda-tanda
hidayah dan keimanan.
Adapun tokoh-tokoh sesat
yang paling terkenal di antara mereka ialah: Abu Jahal (al-Hakam bin Hisyam),
Utbah bin Ra'biah, Syaibah bin Ra'biah, al-Walid bin Uqbah, Umayyah bin Khalaf,
Uqbah bin Mu'ith dan Abu Sufyan bin Harb.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam tidak mau mengutuk dan mendoakan kaumnya agar mendapat siksa
seperti halnya umat para nabi yang terdahulu, setelah mereka tetap membangkang
tidak mau menyambut dakwah para nabi mereka.
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bisa saja meneladani para nabi yang sebelumnya, memohon kepada
Rabbnya untuk menghukum kaumnya yang jahat dan angkara murka itu, namun baginda
sebagai Nabiyur-rahmah hanya bisa mengucapkan: " semoga Allah akan
melahirkan dari mereka keturunan yang mengabdikan diri kepada Allah!"
Sejarah telah mencatat juga
kepada kita, berapa banyak dari keturunan mereka orang yang paling gigih
memerangi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan agamanya. Begitu juga dengan
orang yang telah ikut serta menyebarkan agama ini ke seluruh penjuru bumi.
Mereka sebagai kaum muslimin, baik sebagai prajurit, panglima, maupun sebagai
dai, telah berhasil menyampaikan agama tauhid ini kepada kita.
Ikrimah bin Abu Jahal
radhiallâhu 'anhu sebagai contoh, ketika ia menemui Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam untuk menyatakan Islamnya, ia disambut baginda,
"Marhaban, selamat datang kepada sang musafir yang muhajir!"
Dia berkata, "Ya
Rasulullah, ajarilah aku sesuatu yang terbaik yang baginda ketahui supaya aku
mengucapkannya!"
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam memerintahkan, "Ucapkanlah syahadatain!".
Ikrimah radhiallâhu 'anhu
mengucapkan syahadatain, lalu ia memohon ampun atas dosa-dosanya yang lalu dan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun memberinya ampun. Kemudian, ia
menyatakan janji, "Demi Allah, berapa besar dana yang telah aku keluarkan
selama ini untuk menghalang-halangi penyebaran agama Allah, kini aku akan
menebusnya dengan pengeluaran yang serupa dalam upaya mengembangkan agamaNya;
berapa besar kegigihanku untuk memenangkan agama dan penganut agama itu".
Ternyata, kesaksianya itu
ia penuhi dengan sebaik-baiknya. Ia berusaha menjadi ahli ibadah dan agama yang
takwa, dan sekaligus menjadi pahalwan perang yang patut dibanggakan. Akhirnya,
ia syahid dalam perang Yarmuk.
Begitu pula dengan Khalid
bin Walid radhiallâhu 'anhu, seperti yang dilukiskan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam kepada para sahabatnya, ketika Khalid masuk Islam.
Rasulullah bersabda, "Kota Mekkah telah melemparkan anak tersayangnya pada
kalian!"
Sementara itu, Abu Bakar
ash-Shidiq radhiallâhu 'anhu berkata: "Kaum wanita kita belum mampu
melahirkan anak seperti Khalid!"
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menggelarinya "Saifullah" (Pedang Allah) terhadap
kaum kafir dan musyrik. Tidak ada yang berani di hadapannya untuk menghadang
dakwah kepada Allah.
Begitu pula dengan Abu
Sufyan, yang senantiasa menjadi pimpinan tertinggi Quraisy dalam memerangi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum uslimin, Allah Ta'ala berkenan
kepadanya memberikan anak-anak yang besar jasanya dalam mengembangkan agama
Allah, antara lain; Yazid bin Abi Sufyan yang digelari "Yazid
al-Khair". Ia berperang di pihak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
di Hunain dan mendapat kemenangan perang di sana sebanyak seratus unta dan
empat puluh uqiya (ukuran emas) yang ditimbangkan oleh Bilal. Dalam
pemerintahan Khalifah Abu Bakar, ia diangkat menjadi seorang pembantunya, dan
ketika hendak pergi ke posnya, Khalifah mengantarnya dengan berjalan kaki.
Diantaranya juga Mu'awiyah
bin Abu Sufyan, penulis wahyu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Sunnguh benar apa yang
diramalkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa agama Islam akan
dimasuki oleh banyak umat secara beramai-ramai dan berbondong-bondong.
Lalu, mana para tiran yang
angkara murka itu? Mana mereka yang dengan gigih hendak menghalang-halangi
penyebaran agama Allah itu? Mana para penguasa diktator yang mengangkat dirinya
sebagai tuhan dimuka bumi, yang mendekatkan orang yang dicintainya, dan menyiksa
serta menganiaya orang yang dibencinya meskipun tanpa salah dan dosa.
Mana mereka itu sekarang?
Mereka sudah pergi setelah menderita kekalahan, baik karena tewas, maupun
terusir, sementara agama Allah Ta'ala tetap berjaya, panji kebenaran senantiasa
berkibar-kibar dengan megah, sesuai dengan janji-Nya untuk dimenangkan di atas
agama-agama yang lainnya (at-Taubah: 33)
Allah Ta'ala juga sudah
berjanji, "Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh".
(al-Anbiyaa': 105)
Apakah ada diantara para
tiran abad ke-21, para penguasa angkara murka yang merusak bumi dan merusak
semua yang hidup diatasnya, yang mau merenunginya? Apakah mereka belum juga mau
sadar bahwa pada akhirnya tentara Allah jugalah yang akan meraih kemenangan
akhir? Apakah mereka masih saja belum sadar, sebelum berbagai musibah dan
petaka datang bertubi-tubi menimpa mereka?
Sesungguhnya kemenangan
Allah sudah dekat sekali. Pada saat itu kaum mukminin akan bersuka cita atas
kemenangan Allah itu.
Category: SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar