HAKIKAT PENDIDIKAN

Unknown | 4/16/2014 | 0 komentar

HAKIKAT PENDIDIKAN

Pendidikan pada hakikatnya mempunyai jangkauan makna yang sangat luas, dalam rangka mencapai kesempurnaannya, memerlukan waktu dan tenaga yang tidak kecil. Dalam khazanah keagamaan dikenal dengan ungkapan minal mahd ilal lahd (dari buaian hingga liang lahad atau pendidikan seumur hidup), sebagaimana dikenal pula pernyataan ilmu kepada peserta didik: “Berilah aku seluruh yang engkau miliki, maka akan kuberikan kepadamu sebagaian yang aku punya.”
Yang pasti, ungkapan dan pernyataan itu belum sepenuhnya kita laksanakan. Hanya sedikit waktu yang disediakan oleh peserta didik dan kecil sekali dana dan tenaga yang diberikan oleh mereka yang memilikinya untuk pengembangan pendidikan. Bahkan diduga  keras, sebagian di antara kita, mengabaikan tigas-tugas kependidikan dan mersa bahwa sekolah sebagai satu-satunya sarana pendidikan. Padahal, sekolah – walaupun mampu melaksanakan tugasnya dengan baik – tidak akan mampu mendewasakan manusia, lebih-lebih untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini akan semakin jauh dari tujuan jika upaya yang dilakukannya hanya terbatas pada pengajaran dan latihan.

Diduga keras pula, sebagaian diantara kita melupakan bahwa pendukung dan pelaksana pendidikan bukan hanya tenaga, dana, dan sarana yang disediakan pemerintah. Tetapi, lebih dari itu, juga yang tersedia dan disediakan oleh keluarga, masyarakat, dan peserta didik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Di sisi lain, diduga keras pula bahwa sebagian tenaga kependidikan  tidak melakasanakan fungsinya secara baik. Yang saya maksud dengan tenaga kependidikan di sini adalah kita semua, bukan hanya guru dan dosen, karena kita semua seharusnya berfungsi sebagai pendidik.

Marilah kita ambil contoh sederhana menyangkut pelaksanaan pendidikan anak di kalangan keluarga. Pembentukan kepribadian anak bermula di sini dan sejak ia masih di buaian. “ketika itu, pikiran-pikiran pendidik, perasaan dan jiwanya dapat diserap oleh anak bagaikan pasir menyerap tetesan air,” demikian tulis Alexis Carrel.

Ummu Al-Fadhl bercerita: “Suatu ketika aku menimang-nimang seorang bayi. Rasul saw. kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi pipis membasahi pakaian Rasul. Segera saja kurenggut dengan keras bayi itu dari gendongan Rasul. Rasul saw. pun menegurku, “Air dapat membersihkan pakaianku. Tetapi apa yang dapat menjernihkan persaan sang bayi yang dikeruhkan oleh sikapmu yang kasar itu?”

Nabi saw. sadar bahwa perlakuan demikian dapt berbekas dalam jiwa sang bayi yang dapat menimbulkan rasa rendah diri yang dibawa hingga dewasa. Bukankah sebagian besar komplek kejiwaan dapat dikembalikan penyebabnya pada pengalaman negatif masa kanak-kanak?

Berapa banyakkah di antara kita yang memperlakukan anak atau peserta didik seperti perlakuan Ummu Al-Fadhl? Berapa banyak diantara kita yang tidak membantu terwujudnya iklim pendidikan yang sehat, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas?. Wallahu ‘alam Semoga bermanfaat...[yang lagi sakit].

Dikutip dari M. Quraish Shihab. Lentera Al-Qur’an; Kisah dann Hikmah Kehidupan. 

Category: , ,

About wandibudiman.blogspot.com:
Blog ini merupakan blog yang dikelola oleh Wandi Budiman, seorang manusia lemah yang selalu mencari keridhaan dari Tuhannya (Allah swt). Terimaksih sudah berkunjung ke Blog ini Semoga apa yang sudah di posting di Blog ini menjadi Sesuatu yang bermanfaat.Amin..

0 komentar