Setiap mukmin sangat dituntut untuk terus menjalin hubungan yang dekat dengan Allah Swt, itu sebabnya di dalam Islam ada perintah untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Semakin dekat hubungan seseorang dengan Allah, semakin kedudukannya di sisi Allah. Dengan dekatnya hubungan manusia kepada Allah dia selalu merasa dalam pengawasan Allah yang membuatnya tidak berani menyimpang dari jalan Allah.

Dalam kehidupan ini ada banyak jalinan hubungan yang harus kita lakukan kepada Allah Swt, diantara sekalian banyak hubungan, dapat kita sederhanakan menjadi tiga bentuk hubungan kepada Allah yang harus kita pahami dengan sebaik-baiknya dan dapat kita wujudkan dalam kehidupan ini.

1. Hubungan Cinta.

            Rasa cinta pada segala sesuatu dalam kehidupan ini ada pasa setiap orang karena hal itu memang diberikan Allah. Karena itu amat wajar kalau manusia mencintai sesuatu, baik berupa manusia seperti cinta kepada orang tua, anak, isteri, suami, saudara dan sebagainya. Begitu juga dengan cinta kepada harta, kedudukan dan seterusnya. Kecintaan kepada semua itu tidaklah dilarang di dalam Islam, tapi kecintaan pada semua itu tidak boleh melebihi kecintaan manusia kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan Allah, Allah berfirman yang artinya: Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiaannyadan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya dan (dari) berjihad  di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS 9:24).

            Kecintaan yang sangat antara manusia dengan Allah merupakan bukti dari keimanannya  yang benar, Allah berfirman yang artinya: Dan diantara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cintanya kepada Allah (QS 2:165).

            Sementara di dalam hadits, Rasulullah Saw menerangkan keharusan seorang mu’min untuk mencintai beliau melabihi kecintaan pada anak, orang tua dan manusia lainnya, Rasul Saw bersabda:

Tidaklah beriman salah seorang kamu sampai aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya dan manusia semuanya (HR. Bukhari dan Muslim).

            Dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya, akan lahir sifat ikhlas pada diri seorang muslim dan dengan keikhlasan itu, seberat apapun perintah Allah akan dilaksanakan dengan perasaan yang ringan, tapi tanpa kecintaan, seringan apapun perintah Allah akan  terasa sebagai perintah yang berat.

2. Hubungan Perdagangan.

            Perdagangan atau jual beli biasanya dikehendaki senang sama senang, penjual dapat untung, pembeli senang dengan apa yang telah dibelinya. Begitu juga dengan jual beli kepada Allah. Dalam hal ini Allah bertindak sebagai pembeli dan kita --kaum muslimin-- sebagai penjualnya. Allah membeli orang-orang yang beriman jiwa dan hartanya untuk diserahkan atau dikorbankan di jalan Allah dan Allah nanti akan membalas atau membayarnya dengan syurga. Dengan demikian, karena kita menghendaki dapat masuk ke dalam syurga, dalam hidup inimkita tidak boleh segan-segan untuk berkorban dengan harta bahkan dengan nyawa sekalipun dalam perjuangan menegakkan agama Allah. Allah berfirman: Sesunggunya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah menjadi janji) yang benar dari Allah di dalam taurat, injil dan Al-Qur’an (QS 9:111).

Orang yang mau berjual beli dengan Allah dengan mengorbankan harta dan jiwanya di jalan Allah dipertegas lagi oleh Allah dengan mendapat jaminan tidak akan mendapatkan azab Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS 61:11-12).

3. Hubungan Amal.

            Amal atau kerja merupakan konsekuensi seorang mu’min daam hidupnya, karenanya banyak sekali ayat yang merangkai kata iman dan amal shaleh. Oleh karena itu dalam hubungannya dengan Allah Swt manusia juga harus menjalin hubungan amal yang dengan amal shaleh itu manusia nantinya akan dijuluki oleh Allah sebagai makhluk yang terbaik yang akan diberi balasan berupa syurga yang penuh dengan kenikmatan, Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah syurga “and yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-Nya (QS 98:7-8).

            Dalam beramal, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yakni lakukan dengan niat yang ikhlas karena Allah, lakukan amal yang shaleh dengan cara-cara yang sesuai dengan syari’at Allah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul-Nya, lakukan pula amal shaleh itu dengan sesegera mungkin, janganlah merasa sudah banyak dengan amal shaleh yang kita lakukan meskipun pahalanya dilipatgandakan dan lakukan amal shaleh dengan tujuan yang satu, yakni mengharap ridha Allah Swt. Demikian tiga bentuk hubungan yang harus kita jalin kepada Allah Swt sebagai orang yang beriman.
Nikah merupakan sunnah Rasul yang sangat sakral, karenanya nikah juga merupakan ikatan yang sangat kuat yang dalam istilah Al-Qur’an disebut dengan miytsaqon ghaliyzho (QS 4:21) yang kata ini digunakan juga untuk menyebut perjanjian antara para Nabi dengan Allah Swt dalam mengemban perjuangan da’wah (QS 33:7). Oleh karena itu pernikahan dan walimatul arusy harus dilaksanakan yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu pernikahan jangan sampai dinodai dengan hal-hal yang bernilai maksiat. Sesudah pernikahan berlangsung, kehidupan berumah tanggapun harus dijalani dengan sebaik-baiknya meskipun tantangan dan godaan menjalani kehidupan rumah tangga yang Islami sangat banyak.

Untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang islami, ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian suami dan isteri.

1.     Memperkokoh Rasa Cinta.

Cinta merupakan perekat dalam kekokohan kehidupan rumah tangga, bila rasa cinta suami kepada isteri atau sebaliknya telah hilang dari hatinya, maka kehancuran rumah tangga sangat sulit dihindari. Oleh karena itu suasana cinta mencintai harus saling ditumbuh-suburkan atau diperkokoh, tidak hanya pada masa-masa awal kehidupan rumah tangga, tapi juga pada masa-masa selanjutnya hingga suami isteri mencapai masa tua dan menemui kematian.

Rasulullah Saw sebagai seorang suami berhasil membagi dan menumbuh-suburkan rasa cinta kepada semua isterinya sehingga isteri yang satu mengatakan dialah yang paling dicintai oleh Rasul, begitu juga dengan isteri yang lainnya.

Berumah tangga itu diumpamakan seperti orang yang sedang berlayar, ketika pelayaran baru dimulai, kondisi di kapal masih tenang karena disamping penumpangnya betul-betul ingin menikmati pelayaran itu, juga karena belum ada kesulitan, belum ada ombak dan angin kencang yang menerpa, tapi ketika kapal itu telah mencapai lautan yang jauh, barulah terasa ombak besar dan angin yang sangat kencang menerpa, dalam kondisi seperti itu saling mengokohkan rasa cinta antara suami dengan isteri menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menghadapi dan mengatasi terpaan badai kehidupan rumah tangga. Pernikahan dilangsungkan dengan maksud agar lelaki dan wanita yang mengikat hubungan suami isteri dapat memperoleh ketenangan dan rasa cinta. Allah berfirman yang artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menjadikan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS 30:21).

2.     Saling Hormat Menghormati.

Saling cinta mencintai itu harus diperkokoh dengan saling hormat menghormati, suami hormat kepada isteri dengan memberikan penghargaan yang wajar terhadap hal-hal baik yang dilakukan isterinya, begitu juga dengan isteri terhadap suaminya dengan menerima apa-apa yang diberikan suami meskipun jumlahnya tidak banyak.

Awal-awal kehidupan rumah tangga selalu dengan masa romantis yang segalanya indah, bahkan adanya kelemahan dan kekurangan tidak terlalu dipersoalkan, romantisme memang membuat penilaian suami terhadap isteri dan isteri terhadap suaminya menjadi sangat subyektif. Tapi ketika rumah tangga berlangsung semakin lama mulailah muncul penilaian yang obyektif dalam arti suami menilai isteri atau isteri menilai suami apa adanya. Dulu ketika masa romantis, kekurangan masing-masing sebenarnya sudah terlihat tapi tidak terlalu dipersoalkan, tapi sekarang kekurangan yang tidak prinsip saja dipersoalkan, dalam kondisi seperti itulah diperlukan konsolidasi hubungan antara suami dan isteri hingga masing-masing menyadari bahwa memang kekurangan itu ada tapi dia juga harus menyadari akan adanya kelebihan.

Dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw, beliau telah mencontohkan kepada kita betapa beliau berlaku baik kepada keluarganya, dalam satu hadits beliau bersabda: Orang yang paling baik diantara kamu adalah yang paling baik dengan keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku (HR. Thabrani).

3.     Saling Menutupi Kekurangan.

Suami dan isteri tentu saja memiliki banyak kekurangan, tidak hanya kekurangan dari segi fisik, tapi juga dari sifat-sifat. Oleh karena itu suami isteri yang baik tentu saja menutupi kekurangan-kekurangan itu yang berarti tidak suka diceriterakan kepada orang lain, termasuk kepada orang tuanya sendiri.

Meskipun demikian dengan maksud untuk konsultasi dan perbaikan atas persoalan keluarga kepada orang yang sangat dipercaya, maka seseorang boleh saja mengungkapkan kekurangan sifat-sifat suami atau isteri.

4.     Kerjasama Dalam Keluarga.

Dalam mengarungi kehidupan rumah tangga tentu saja banyak beban yang harus diatasi, misalnya beban ekonomi, dalam hal ini suami harus mencari nafkah dan isteri harus membelanjakannya dengan sebaik-baiknya dalam arti untuk membeli hal-hal yang baik dan tidak boros. Begitu juga dengan tanggung jawab terhadap pendidikan anak yang dalam kaitan ini diperlukan kerjasama yang baik antara suami dan isteri dalam menghasilkan anak-anak yang shaleh. Kerjasama yang baik dalam mendidik anak itu antara lain dalam bentuk sama-sama meningkatkan keshalehan dirinya sebagai orang tua karena mendidik anak itu harus dengan keteladanan yang baik, juga tidak ada kontradiksi antara sikap bapak dengan ibu dalam mendidik anak dan sebagainya. Keharusan kita bekerjasama dalam hal-hal yang baik difirmankan Allah yang artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS 5:2).

5.     Memfungsikan Rumah Tangga Secara Optimal.

Masa sesudah menikah juga harus dijalani dengan memfungsikan keluarga seoptimal mungkin sehingga rumah tangga itu tidak sekedar dijadikan seperti terminal dalam arti anggota keluarga menjadikan rumah sekedar untuk singgah sebagaimana terminal, tapi semestinya rumah tangga itu difungsikan sebagai tempat kembali guna menghilangkan rasa penat dan memperbaiki diri dari pengaruh yang tidak baik serta memperkokoh hubungan dengan sesama anggota keluarga.

Oleh karena itu keluarga harus dioptimalkan fungsinya seperti masjid dalam arti rumah difungsikan juga sebagai tempat untuk mengokohkan hubungan dengan Allah Swt dan sesama anggota keluarga sehingga bisa dihindari sikap individual antar sesama anggota keluarga.

Disamping itu rumah juga harus difungsikan seperti madrasah yang anggota keluarganya harus memperoleh ilmu dan pembinaan karakter sehingga suami dan isteri diharapkan berfungsi seperti guru bagi anak-anaknya yang memberikan ilmu dan keteladanan yang baik.

Yang juga penting dalam kehidupan sekarang dan masa mendatang adalah memfungsikan keluarga seperti benteng pertahanan yang memberikan kekuatan pertahanan aqidah dan kepribadian dalam menghadapi godaan-godaan kehidupan yang semakin banyak menjerumuskan manusia ke lembah kehidupan yang bernilai maksiat dalam pandangan Allah dan rasul-Nya.

Mewujudkan rumah tangga yang Islami merupakan sesuatu yang tidak mudah, banyak sekali kendala, baik internal maupun eksternal yang harus dihadapi. Namun harus diingat bahwa kendala yang besar dan banyak itu bukan berarti mewujudkan rumah tangga yang Islam tidak bisa, setiap kita harus yakin akan kemungkinan bisa membentuk rumah tangga yang Islami, kalau kita sudah yakin, maka kita dituntut membuktikan keyakinan itu dengan kesungguhan. Hal ini karena melaksanakan ajaran Islam memang sangat dituntut kesungguhan yang sangat.

Akhirnya untuk meraih kehidupan rumah tangga yang bahagia, ada baiknya kita telaah hadits Rasul saw berikut ini:

Empat perkara yang merupakan dari kebahagian seseorang, yaitu: mempunyai isteri yang shalehah, mempunyai anak yang berbakti, mempunyai teman yang shaleh dan mencari rizki di negerinya sendiri (HR. Dailami dari Ali ra)
Banyak orang yang mengira bahwa masa jahiliyah telah berakhir bersamaan dengan datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Bahkan bisa jadi, mereka menduga bahwa kejahiliyahan itu hanya terdapat pada masyarakat Arab sebelum Islam. Padahal sebenarnya kejahilyahan itu ada pada setiap masyarakat, tempat dan masa. Dengan kata lain, kejahiliyahan itu bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan dalam situasi  serta kondisi yang bagaimanapun juga. Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk memahami apa itu jahiliyah yang sebenarnya.

            Menurut Ibnu Taimiyah, seperti yang dikutip oleh Muhammad Qutb, jahl itu bermakna “tidak memiliki atau tidak mengikuti ilmu” Karena itu, orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang yang haq (benar) adalah jahil, apalagi kalau tidak mengikuti yang haq itu. Atau tahu yang haq tapi prilakunya bertentangan dengan yang haq, meskipun dia sadar atau paham bahwa apa yang dilakukannya memang bertentangan dengan yang haq itu sendiri.

JAHILIYAH DALAM AL-QUR’AN.

            Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman tentang jahiliyah yang penggunaannya untuk tiga hal. Hal ini menjadi penting untuk kita pahami agar dengan demikian kita menyadari bahwa jahiliyah itu tidaklah semata-mata bodoh dalam arti tidak punya ilmu, apalagi sekedar bodoh secara intelektual.

1.      Jahiliyah Dalam Ketuhanan.

Kata jahiliyah digunakan untuk menggambarkan kebodohan manusia terhadap konsep ketuhanan yang benar. Manusia yang tidak mengetahui hakikat uluhiyah merupakan manusia yang jahil. Tuhan dalam Islam adalah sesuatu yang tidak bisa dibuat, tidak bisa dilihat dengan pandangan mata, tidak ada sesuatu yang bisa menyamainya, bahkan tuhan itu justeru yang mencipta segala sesuatu, bukan dicipta oleh sesuatu. Dalam kaitan ini Allah Swt berfirman yang artinya: Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada satu kaum yang tetap menyembah berhala mereka. Bani Israil berkata: Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui/jahil” (QS 7:138).

            Ayat lain yang terkait dengan masalah ini adalah firman Allah yang artinya: Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina”. Mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?”. Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil” (QS 2:67).

            Dalam Islam, Ketuhanan merupakan masalah yang paling mendasar, bila pada masalah ini manusia sudah menyimpang dari nilai-nilai Islam, maka tidak akan mungkin terwujud kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Karena itu, menjelaskan bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang benar yang harus disembah dan diabdi oleh setiap manusia adalah menjadi misi yang diemban oleh semua Nabi. Karena itu, bila manusia mengabaikan misi para Rasul ini, kehancuran hidup dunia dan akhirat tidak bisa dielakkan lagi sebagaimana sejarah telah mencatatnya, Allah berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu”, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk ada ada orang yang sudah pasti kesesatan baginya. Maka berjanlanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul) (QS 16:36).

2.      Jahiliyah Dalam Akhlak.

Kata Jahiliyah juga digunakan oleh Allah Swt untuk menamakan akhlak atau prilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang datang dari-Nya, misalnya saja penampilan seorang wanita yang tidak islami, sikap sombong, pembicaraan yang tidak bermanfaat, perzinahan dll. Allah Swt berfirman dalam kaitan menceritakan kasus yang terjadi pada Nabi Yusuf  yang artinya:  Yusuf berkata: Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu akan akan cenderung (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh (QS 12:33).

Pada ayat lainnya, Allah juga berfirman yang artinya: Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu (QS 33:33). Terdapat juga firman lain yang artinya: Ketika orang-orang kafir menanamkan ke dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min (QS 48:26). Dan ayat yang menggambarkan kejahiliyahan dalam bentuk pembicaraan yang tidak bermanfaat adalah firman Allah yang artinya: Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang jahil” (QS 28:55).

            Kejahiliyahan dalam akhlak telah membawa dampak negatif yang sangat besar sejak masa lalu hingga hari ini dan hari kiamat nanti. Terjadi kerusakan dibidang perekonomian, kemanusiaan, kekeluargaan, kemasyarakatan hingga lingkungan hidup yang didiami oleh manusia dan manusia mengalami akibat dari semua itu, Allah berfirman yang artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS 30:41).

3.      Jahiliyah Dalam Hukum.

Dalam masalah hukum, Allah Swt juga menggunakan kata jahiliyah untuk hukum-hukum selain dari hukum Allah atau hukum yang bertentangan dengan hukum-Nya. Itu sebabnya seorang muslim jangan menggunakan hukum yang lain kecuali hukum Allah atau jangan gunakan hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam pelaksanaan hukum, manusia sebenarnya mencari keadilan dan manusia tidak akan memperoleh keadilan itu kecuali apabila hukum-hukum Allah ditegakkan. Karena itu, amat aneh apabila manusia ingin mendapatkan keadilan yang hakiki, tapi hukum-hukum lain, yakni hukum yang bertentangan dengan hukum Allah diperjuangkan penegakkannya. Hukum yang datang dari Allah memberikan keadilan bagi umat manusia, baik dalam masalah pribadi, keluarga maupun masyarakat, negara dan bangsa. Allah berfirman yang artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin (QS 5:50).

            Sebagai sebuah contoh, ketika beberapa orang sahabat datang kepada Rasulullah Saw untuk meminta komentar atas terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan para pembesar masyarakat tapi mereka dibiarkan saja dengan kesalahan dan dosa yang mereka lakukan, maka Rasulullah menegaskan: “Seandainya anakku, Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya”.  Disamping itu, ketika Ali bin Abi Thalib mengajukan ke pengadilan seorang Yahudi yang mencuri baju besinya kepada Khalifah Umar bin Khattab, maka di pengadilan itu, Umar justeru membebaskan orang Yahudi dari segala tuduhan, karena kesalahan yang dilakukannya tidak bisa dibuktikan secara hukum. Tegasnya amat banyak contoh dalam sejarah yang menggambarkan betapa bila hukum-hukum Allah ditegakkan, manusia akan mendapatkan keberuntungan, bahkan tidak hanya bagi kaum muslimin, tapi juga mereka yang non muslim. Sementara ketika hukum-hukum jahiliyah yang tegak, maka yang menderita bukan hanya mereka yang jahiliyah, kita yang taat kepada Allah juga bisa merasakan akibat buruknya. Hanya persoalannya, begitu banyak manusia yang “bodoh” sehingga tidak bisa membedakan mana yang haq dan bathil dan akibatnya tidak bisa menjatuhkan pilihannya kepada kepada yang haq itu.

Oleh karena itu, siapa saja yang tidak mau berhukum kepada hukum Allah, ada dimasukkan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, Allah berfirman yang artinya: Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS 5:44).

            Dalam kehidupan kita di dunia ini, tiga persoalan di atas merupakan sesuatu yang tidak terpisah-pisah, yakni aqidah, syari’ah dan akhlak. Karena itu, apabila pada tiga sisi ini tidak sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam diri kita, itu berarti teterjadi kejahiliyahan pada diri kita yang tentu saja harus kita jauhi, karena kejahiliyahan merupakan sesuatu yang tercela dan itu sebabnya, Rasulullah Saw bertugas membebaskan manusia dari segala unsur kejahiliyahan.