KAPAK KEHORMATAN CENDRAMATA DARI RASULULLAH

Suatu hari Nabi didatangi sseorang lelaki yang sehari-harinya mengemis dan tidak berusaha mencari pekerjaan. Nabi memperhatikan laki-laki tersebut. Dia nampak putus asa dan lemah tak berdaya. Lelaki tersebut telah kehilangan rasa percaya diri. Pakaiannya compang camping, kondisinya buruk, dan wajahnyapenuh dengan raut kemiskinan. Dia merendahkan diri dengan meminta-minta kepada orang lain.


Nabi merasa kasihan melihatnya. Nabi menyuruh membeli kapak kecil, lalu Nabi yang akan membuat gagangnya. (HR. Abu Daud)

Setelah kapak siap, Nabi menyurh lelaki tersebut merobohkan kesedihannya dengan kapak itu. Nabi menyurhnya menghancurkan kelemahan dan penghalang yang ada di depan matanya, serta mencampakan kebiasaan memminta-minta dan mengemis.

Ketika lelaki tersebut memahami maksud dan tujuan Rasulullah, rasulullah menyuruhnya ke desa untuk mengumpulkan kayu bakar dan menjualnya. Dengan begitu, lelaki tersebut telah membeli harga dirinya kembali memalui kemuiaan, kesucian, dan harapan. Nabi ingin menanam benih harapan pada orang itu. Nabi ingin menyemai semangat berjuang dan bekerja. Di antara perintah Nabi, lelaki itu dipesan agar jangan menemuinya sebelum lima belas hari.

Benar saja, setelah waktu yang ditentukan, lelaki tersebut datang menghadap Nabi. Dia bukan lagi lelaki sebelum lima belas hari yang lalu. Dia datang dengan baju yang tidak compang camping. Dia datang dengan semangat, jiwa dan kondisi baru, bahkan dengan postur tubuh baru. Kerut di dahinya telah hilang. Raut mukanya telah berubah cerah. Kondisinya telah berubah. Hal itu tidak lain karena Nabi menyemai harapan dan menyiram pohon percaya diri sekaligus cinta bekerja pada orang itu.

Jadi jangan heran kalau setiap pagi dan sore Nabi saw selalu berdo’a.

اللهم إِنِي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَمِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ (روه البخارى)

“Ya Allah  aku minta perlindingan-Mu dari derita dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan.”
(HR. Bukhari)

Juga jangan kaget kau anda mendapati Allah telah berfirman dalam al-Qur’an,

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ

Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
(Yusuf [12] : 87)
*******
ditukil dari Khalid 'Umar 'Abdurrahman ad-Dusuqi, Bawaits as-Surur, Maghfirah Pustaka Jakarta  

Wallahu ‘Alam [Kisah Inspiratif]
Pertemuan baru pun diadakanlah. Negus memulai percakapan dengan bertanya kepada Ja’far: “Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?”

Ja’far bangkit sekali lagi laksana menara laut yang me­mancarkan sinar terang, ujarnya: “Kami akan mengatakan tentang Isa a.s., sesuai dengan keterangan yang dibawa Nabi kami Muhammad saw. bahwa:
“la adalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimah-Nya yang ditiupkan-Nya kepada Maryam dan ruh daripada-Nya . . ."


Negus bertepuk tangan tanda setuju, seraya mengumumkan, mernang begitulah yang dikatakan al-Masih tentang dirinya Tetapi pada barisan pembesar agama yang lain terjadi hiruk pikuk, seolah-olah memperlihatkan ketidak setujuan mereka ….

Negus yang terpelajar lagi beriman itu, terus melanjutkan bicaranya seraya berkata kepada orang-orang Islam: “Silahkan anda sekalian tinggal bebas di negeriku! Dan siapa berani mencela dan menyakiti anda, maka orang itu akan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya itu”.

Kemudian Negus berpaling kepada orang-orang besarnya yang terdekat, lalu sambil mengisyaratkan dengan telunjuknya’ ke arah kedua utusan kaum Quraisy, berkatalah ia: “Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini! Aku tak membutuh­kannya! Demi Allah, Allah tak pernah mengambil uang sogokan daripadaku, di kala ia mengaruniakan takhta ini kepadaku karena itu aku pun tak akan menerimanya dalam hal ini … ! “

Kedua utusan Quraisy itu pun pergilah ke luar meninggalkan tempat pertemuan dengan perasaan hina dan terpukul. Mereka segera memalingkan arah perjalanannya pulang menuju Mekah. Juga orang-orang Islam di bawah pimpinan Ja’far, keluar pula tetapi untuk memulai penghidupan baru di tanah Ethiopia, yakni penghidupan yang aman tenteram, sebagai kata mereka: “Di negeri yang baik . . . dengan tetangga yang baik”, hingga akhirnya datang saatnya Allah mengidzinkan mereka kembali kepada Rasul mereka, kepada shahabat dan handai tolan serta kampung halaman mereka. . . .

Di kala Rasulullah bersama Kaum Muslimin sedang bersukaria dengan kemenangan atas jatuhnya Khaibar, tiba-tiba muncullah kembali pulang dari Ethiopia Ja’far bin Abi Thalib, bersama sisa Muhajirin lainnya yang baru kembali dari sana.

Tak terkatakan besarnya hati Nabi dan betapa sukacita, bahagia dan gembiranya ia karena kedatangan mereka . . . ! Di­peluknya Ja’far dengan mesra sambil berkata:
“Aku tak tahu, entah mana yang lebih menggembirakanku, apakah dibebaskan­nya Khaibar atau kembalinya Ja’far!”

Dengan berkendaraan Rasulullah pergi bersama shahabat-shahabatnya ke Mekah, hendak melaksanakan ‘umrah qadla Sekembalinya ke Madinah jiwa Ja’far bergelora dan dipenuhi keharuan, demi mendengar berita dan ceritera sekitar shahabat­-shahabatnya Kaum Muslimin, baik yang gugur sebagai syuhada, maupun yang masih hidup selaku pahlawan-pahlawan yang berjasa dari Perang Badar, perang Uhud, Khandak dan peperang­an-peperangan lainnya. Kedua matanya basah berlinang me­ngenang para Mu’minin yang telah menepati janjinya dengan mengurbankan nyawa karena Allah!Amboi . . . , kapankah aku akan berbuat demikian pula?” pikirnya. Ah . . . hatinya rasa terbang merindukan surga. Ia pun menunggu-nunggu kesempatan dan peluang yang berharga itu, berjuang sebagai syahid di jalan Allah….

Pasukan-pasukan Islam ke perang Muktah yang telah kita bicarakan dahulu, sedang bersiap-siap hendak diberangkatkan. Bendera dan panji-panji perang berkibar dengan megahnya, disertai dengan gemerincingnya bunyi senjata. Ja’far memandang peperangan ini sebagai peluang yang sangat baik dan satu-satunya kesempatan seumur hidup, untuk merebut salah satu di antara dua kemungkinan, yakni: membuktikan kejayaan besar bagi Agama Allah dalam hidupnya atau ia akan beruntung menemui syahid di jalan Allah. Maka ia datang bermohon kepada Rasul Allah untuk turut mengambil bagian dalam peperangan ini ….

Ja’far mengetahui benar, bahwa peperangan ini bukan enteng dan main-main, bahkan bukan peperangan yang keeil, malah sebenarnya inilah suatu peperangan yang luar biasa, baik tentang jauh dan sulitnya medan yang akan ditempuh, maupun tentang besarnya musuh yang akan dihadapi, yang belum pernah dialami ummat Islam selama ini. Suatu peperangan melawan balatentara. kerajaan Romawi yang besar dan kuat, yang memiliki kemampu­an perlengkapan dan pengalaman serta didukung oleh alat per­senjataan yang tak dapat ditandingi oleh orang-orang Arab maupun Kaum Muslimin. Walau demikian, perasaan hati dan semangatnya rindu hendak terbang ke sana. Ja’far termasuk di antara tiga serangkai yang diangkat Rasulullah jadi panglima pasukan dan pemimpinnya di perang Muktah ini. Balatentara Islam pun keluar bergerak menuju Syria dan di dalamnya ter­dapat Ja’far bin Abi Thalib ….

Pada suatu hari yang dahsyat kedua pasukan itu pun ber­hadapan muka, dan tak lama kemudian pecahlah pertempuran hebat. Seharusnya Ja’far akan kecut dan gentar melihat bala­tentara Romawi yang besarnya 200.000 orang prajurit itu, tetapi sebaliknya saat itu bangkitlah semangat juang yang tinggi pada dirinya, karena sadar akan kemuliaan seorang Mu’min yang sejati, dan sebagai seorang pahlawan yang ulung, haruslah kemampuan juangnya berlipat ganda dari musuh ….

Sewaktu panji-panji pasukan hampir jatuh terlepas dari tangan kanan Zaid bin Haritsah, dengan cepatnya disambar oleh Ja’far dengan tangan kanannya pula. Dengan panji-panji di tangan, ia terus menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh, serbuan dari seseorang yang berjuang di jalan Allah, dengan tujuan menyaksikan ummat manusia bebas dari kekufuran atau mati syahid, memenuhi panggilan Maha Pencipta. Prajurit. Romawi semakin banyak mengelilinginya. Karena dilihatnya kudanya menghalangi gerakannya, maka Ja’far melompat terjun dari kudanya dengan berjalan kaki, lalu mengayunkan pedangnya ke segala jurusan yang mengenai leher musuhnya, laksana malaikat maut pencabut nyawa. Sekilas terlihat olehnya seorang serdadu musuh melompat hendak menunggangi kudanya. Karena ia tak sudi hewannya itu dikendarai manusia najis, Ja’far pun menebas kudanya dengan pedangnya sampai tewas. Setapak demi setapak ia terus berjalan di antara barisan serdadu Romawi Yang berlapis-lapis yang laksana deru angin mengeroyok hendak membinasakannya, sementara suara meninggi dengan ungkapan­nya yang gemuruh:
“Wahai surga yang kudambakan mendiaminya, Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya. Tentara Romawi telah menghampiri liang kuburnya, Terhalang jauh dari sanak keluarganya, Kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya”.

Balatentara Romawi menyaksikan bagaimana kemampuan Ja’far bertempur yang seolah-olah sepasukan tentara jua . . .Mereka terus mengepung Ja’far hendak membunuhnya laksana orang-orang gila yang sedang kemasukan setan. Kepungan mereka semakin ketat hingga tak ada harapan untuk lepas lagi. Mereka tebas tangan kanannya dengan pedang hingga putus, tapi sebelum panji itu jatuh ke tanah, cepat disambaruya dengan tangan kirinya Lalu mereka tebas pula tangan kirinya, tapi Ja’far niengepit panji itu dengan kedua pangkal lengannya ke dada. Pada saat yang amat gawat ini, ia bertekad akan memikul tang­gung jawab, untuk tidak membiarkan panji Rasulullah jatuh menyentuh tanah, yakni selagi hayat masih dikandung badan.

Entah kalau ia telah mati, barulah boleh panji itu jatuh ke tanah ….

Di kala jasadnya yang suci telah kaku, panji pasukan masih tertancap di antara kedua pangkal lengan dan dadanya. Bunyi kibaran bendera itu, seolah-olah menghimbau-himbau Abdullah bin Rawahah. Pahlawan ini membelah barisan musuh bagaikan anak panah lepas dari busurnya ke arah panji itu, lalu merenggut­nya dengan kuat. Kemudian berlalu untuk melukis riwayat Yang besar pula.

Demikianlah Ja’far mempertaruhkan nyawa dalam menem­puh suatu kematian agung yang tak ada taranya. Dan begitulah caranya ia menghadap Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, menyampaikan pengurbanan besar yang tidak terkira, berselimut­kan darah kepahlawanannya ….

Allah, Zat yang Maha Mengetahui, menyampaikan berita tentang akhir kesudahan peperangan kepada Rasul-Nya, begitu pula akhir hidup Ja’far. Rasulullah menyerahkan nyawa Ja’far kembali kepada Allah dan beliau pun menangislah . . .

Rasulullah pun pergi ke rumah saudara sepupunya ini, beliau berdo’a untuk anak cucunya. Mereka dipeluk dan di­ciuminya, sementara air matanya yang mulia bercucuran tak tertahankan ….

Kemudian Rasulullah kembali ke majlisnya, dikelilingi para shahabat. seorang penyair Islam terkemuka yang bernama Hassan bin Tsabit tampil dengan syairnya menceriterakan Ja’far Yang gugur bersama kawan-kawannya, maknanya lebih kurang demikian:
“Maju jurit memimpin sepasukan Mu’min
Menempuh maut mengharap ridla Rabbul Alamin
Putra Bani Hasyim yang cemerlang bak cahaya purnama Menyibak kegelapan tiran nan aniaya
Menyabet dan menebas setiap penyerang
Akhirnya jatuh syahid sebagai pahlawan
Disambut para syuhada yang pergi lebih dahulu Di surga na’im yang menjadi idaman setiap kalbu
Alangkah besarnya pengurbanan Ja’far bagi Islam Dalam menyebarluaskan ke seluruh alam
Selama ada pejuang seperti putera Hasyim ini
Pasti Islam menjadi anutan penduduk bumf”.

Sesudah Hassan bangkit pula Ka’ab bin Malik, yang meng­ucapkan syairnya yang bernilai, lebih kurang sebagai berikut:
“Kemuliaan tertumpah atas pahlawan yang susul-me­nyusul
Di perang Muktah, tak tergoyahkan bersusun bahu membahu Restu Allah atas mereka, para pemuda gagah perkasa
Curahan Rahmat kiranya membasuh tulang-belulang mereka, Tabah dan shabar, demi Tuhan rela mempertaruhkan nyawa
Setapak pun tak hendak undur, menentang setiap bahaya Panji perang di tangan Ja’far sebagai pendahulu Menambah semangat tempur bagi setiap penyerbu
Kedua terus pasukan berbenturan baku hantam Ja’far dikepung musuh sabet kiri terkam kanan
Tiba-tiba …. bulan purnama redup kehilangan jiwanya
Sang surga pun gerhana, ditinggalkan pahlawannya . . . .

Memang, ia manusia yang sangat pemurah dengan hartanya selagi masih hidup . . . ; dan di saat ajalnya, sebagai seorang syahid yang sangat pemurah pula mengurbankan nyawa dan hidupnya ….

Berkata Abdullah bin Umar: “Aku sama-sama terjun di perang Muktah dengan Ja’far. Waktu kami mencarinya, kami dapati ia beroleh luka-luka bekas tusukan dan lemparan lebih dari 90 tempat!”  Bayangkan! 90 tempat bekas luka-luka tusukan pedang dan lemparan tombak! Walau demikian, prajurit perang yang me­newaskannya tak kuasa menghalangi rohnya ke tempat kem­balinya di sisi Allah swt.! Sekali-kali tidak! Pedang-pedang dan tombak-tombak mereka tak lain hanyalah sebagai jembatan yang menyeberangkan ruhnya yang syahid dan mulia ke sisi Allah yang Rahim lagi Maha Tinggi; di sanalah ia bertempat dengan tenang berbahagia, di tempat yang istimewa . . . . Nun di sana ia berada di surga abadi, lengkap memakai bintang­-bintang tanda jasa, yang bergantungan di setiap bekas luka, aki­bat tusukan pedang dan lemparan tombak. Dan jika anda ingin tabu tentang dirinya, dengarkanlah sabda Rasulullah:
“Aku telah melihatnya di surga …. kedua bahunya yang penuh bekas-bekas cucuran darah penuh dihiasi dengan tanda-tanda kehormatan .. !!”

******

ditukil dari Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung.

Wallahu ‘Alam [Sahabat Nabi]

Lihat Juga Bagian Satu...
JA’FAR BIN ABI THALIB - JASMANI -MAUPUN PERANGAINYA MIRIP RASULULLAH

Perhatikan kemudaannya yang gagah tampan serta berwibawa . . . . Perhatikan warna kulitnya yang cerah bercahaya Perhatikan kelemah lembutannya, sopan santun, kasih sayangnyaj kebaikannya, kerendahan hati serta ketaqwaannya. . . .


Perhatikan keberaniannya yang tak kenal takut, kepemurahannya yang tak kenal batas. Perhatikan kebersihan hidup dan kesucian jiwanya. Perhatikan kejujuran dan amanahnya ….

Lihatlah, pada dirinya bertemu segala pokok kebaikan, keutamaan dan kebesaran.

Anda jangan heran tercengang, karena anda sekarang berada di hadapan seorang manusia yang mirip dengan Rasulullah dalam ujud tubuh dan tingkah laku atau budi pekertinya. Anda berada di muka seseorang yang telah diberi gelar oleh Rasul sendiri sebagai “Bapak si miskin”. Anda berhadapan dengan seseorang yang diberi gelar “Si Bersayap dua di surga”. Anda di muka “Si Burung surga” yang selalu berkicau. Siapakah itu …? Itulah Ja’far bin Abi Thalib! Salah seorang pelopor ter­nama Islam. Perintis utama yang terkemuka, di antara orang­orang yang telah melibatkan seluruh kehidupannya dan memiliki saham besar dalam menempa hati nurani kehidupan ….

Ia datang kepada Rasulullah saw. memasuki Agama Islam, dengan mengambil kedudukan tinggi di antara mereka yang sama-sama pertama kali beriman. Ikut pula isterinya Amma binti ‘Umais menganut Islam pada hari yang sama. Keduanya selaku suami isteri ikut menanggung derita, dengan seluruh keberanian dan ketabahan tanpa memikirkan kapan waktu penderitaan itu berakhir. Sewaktu Rasulullah memilih shahabat-shahabatnya yang akan hijrah ke Habsyi (Ethiopia), maka tanpa berfikir panjang Ja’far bersama isterinya tampil mengemukakan diri, hingga tinggal di sana selama beberapa tahun. Di sana mereka dikaruniai Allah tiga orang anak yaitu: Muhammad, Abdullah dan ‘Auf.

Selama di Ethiopia, maka Ja’far bin Abi Thaliblah yang tampil menjadi juru bicara yang lancar dan sopan, serta cocok menyandang nama Islam dan utusannya. Demikian adalah hikmat Allah yang tidak ternilai yang telah dikaruniakan kepadanya, berupa hati yang tenang, akal fikiran yang cerdas, jiwa yang mampu membaca situasi dan kondisi serta lidah yang fasih.

Dan sekalipun saat-saat pertempuran Muktah yang dihadapi­nya kemudian sampai ia gugur sebagai salah seorang syuhada, merupakan saatnya yang terdahsyat, teragung dan terabadi, tetapi hari-hari berdialog yang dilakukannya dengan Negus, tak kurang dahsyat dan seramnya, bahkan tak kurang hebat nilai martabatnya . . .. Sungguh hari itu adalah hari istimewa dan penampilan yang mempesona ….

Peristiwa tersebut terjadi, karena Kaum Muslimin hijrahnya ke Ethiopia, membuat kaum Quraisy tak pernah senang dan diam, bahkan menambah membangkitkan kemarahan dan rasa dengki mereka, bahkan mereka sangat takut dan cemas kalau­kalau Kaum Muslimin di tempatnya yang baru ini, menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak.

Bahkan bila kesempatan berkembang dan bertambah kuat ini tidak sampai terjadi, mereka tetap tidak merasa puas, di­sebabkan orang-orang Islam itu lepas dari tangan dan terhindar dari penindasan mereka, dan tentulah mereka akan menetap di sana dengan harapan dan masa depan yang gemilang, yang akan melegakan jiwa Muhammad saw. dan lapangnya dada Islam.

Karena itulah para pemimpin Quraisy mengirimkan dua orang utusan terpilih pada kaisar (Negus), lengkap dengan mem­bawa hadiah-hadiah yang sangat berharga dari kaum Quraisy, kedua utusan ini menyampaikan harapan Quraisy agar Negus mengusir Kaum Muslimin yang hijrah dan datang melindungkan ,diri itu keluar dari negerinya dan menyerahkannya kepada mereka. Dua utusan yang datang itu ialah Abdullah bin Abi Rabi’ah dan Amar bin ‘Ash, yang keduanya di waktu itu belum lagi masuk Islam.

Negus yang waktu itu bertakhta di singgasana Ethiopia, adalah seorang tokoh yang mempunyai iman yang kuat. Dalam lubuk hatinya, ia menganut agama Nasrani secara murni dan padu, jauh dari penyelewengan dan lepas dari fanatik buta dan menutup diri. Nama baiknya telah tersebar ke mana-mana, dan perjalanan hidupnya yang adil telah melampaui batas negerinya. Oleh karena inilah Rasulullah saw. memilih negerinya menjadi tempat hijrah bagi shahabat-shahabatnya, dan karena ini pulalah ,kaum kafir Quraisy merasa khawatir kalau-kalau maksud dan tipu muslihat mereka jadi gagal dan tidak berhasil. Dari itu kedua utusannya dibekali sejumlah hadiah besar yang berharga untuk pembesar-pembesar agama dan pejabat gereja di sana.

Pemimpin-pemimpin Quraisy menasihati kedua utusannya agar mereka jangan menghadap kaisar dulu sebelum memberikan, hadiah-hadiah kepada Patrik dan Uskup, dengan tujuan agar Para pendeta itu merasa puas dan berfihak kepada mereka, dan agar orang-orang itu menyokong tuntutan mereka di hadapan kaisar kelak. Kedua utusan itu pun sampailah ketempat tujuan mereka, Ethiopia. Mereka menghadap pemimpin-pemimpin agama dengan membawa hadiah-hadiah besar yang dibagi-bagikannya kepada mereka. Kemudian mereka kirim pula hadiah-hadiah kepada Negus. Demikianlah keduanya terus-menerus membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta. Keduanya berharap dengan sokongan moril para pendeta itu, Negus akan mengusir Kaum Muslimin keluar dari negerinya.

Demikianlah, hari-hari di saat keduanya akan menghadap kaisar sudah ditetapkan. Dan Kaum Muhajirin pun diundang untuk menghadapi dendam kesumat Quraisy yang masih hendak melakukan muslihat keji dan menimpakan siksaan kepada mereka ….

Dengan air muka yang jernih berwibawa, dan kerendahan hati yang penuh pesona, baginda Negus pun duduklah di atas kursi kebesarannya yang tinggi, dikelilingi oleh para pembesar gereja dan agama serta lingkungan terdekat istana. Di hadapan­nya di atas suatu ruangan luas duduk pula Kaum Muhajirin Islam, yang diliputi oleh ketenteraman dari Allah dan dilindungi oleh rahmat-Nya.

Kedua utusan kaum Quraisy berdiri mengulangi tuduhan mereka yang pernah mereka lontarkan terhadap Kaum Muslimin di hadapan kaisar pada suatu pertemuan khusus yang disediakan oleh kaisar sebelum pertemuan besar yang menegangkan ini:
“Baginda Raja yang mulia. Telah menyasar ke negeri paduka orang-orang bodoh dan tolol. Mereka tinggalkan agama nenek moyang mereka, tapi tidak pula hendak memasuki agama paduka. Bahkan mereka datang membawa Agama baru yang mereka ada-adakan, yang tak pernah kami kenal, dan tidak pula oleh paduka. Sungguh, kami telah diutus oleh orang-orang mulia dan terpandang di antara bangsa dan bapak-bapak mereka, paman-paman mereka, keluarga-keluarga mereka, agar paduka sudi mengembalikan orang-orang ini kepada kaumnya kembali”.

Negus memalingkan mukanya ke arah Kaum Muslimin sambil melontarkan pertanyaan:
“Agama apakah itu yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tapi tak memandang perlu pula kepada agama kami?”

Ja’far pun bangkit berdiri, untuk menunaikan tugas yang telah dibebankan oleh kawan-kawannya sesama Muhajirin yakni tugas yang telah mereka tetapkan dalam suatu rapat yang diadakan sebelum pertemuan ini. Dilepaskannya pandangan ramah penuh kecintaan kepada baginda Raja yang telah berbuat baik menerima mereka, lalu berkata:
“Wahai paduka yang mulia! Dahulu kami memang orang-orang yang jahil dan bodoh kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturrahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berkelana. Yang kuat waktu itu memakan yang lemah. Hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rasul-Nya kepada kami dari kalang­an kami. Kami kenal asal-usulnya, kejujuran, ketulusan dan kemuliaan jiwanya. la mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri pada-Nya, dan agar membuang jauh-jauh apa yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu berupa batu-batu dan berhala . . . . Beliau menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah, menghubungkan silaturrahmi, berbuat baik kepada tetangga dan menahan diri dari menumpah­kan darah serta semua yang dilarang Allah …. .

Dilarangnya kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadap wanita yang baik-baik . . . . Lalu kami membenarkan dia dan kami beriman kepadanya, dan kami ikuti dengan taat apa yang disampaikannya dari Tuhannya. Lalu kami beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak kami persekutukan sedikit pun juga, dan kami haramkan apa yang diharamkan-Nya kepada kami, dan kami halalkan apa yang dihalalkan-Nya untuk kami.

Karenanya kaum kami sama me­musuhi kami, dan menggoda kami dari Agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan kepada perbuatan-per­buatan jahat yang pernah kami lakukan dulu. Maka sewaktu mereka memaksa dan menganiaya kami, dan menggencet hidup kami, dan menghalangi kami dari Agama kami, kami keluar hijrah ke negeri paduka, dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan terhindar dari perbuatan-perbuatan aniaya mereka. . . .”.

Ja’far mengucapkan kata-kata yang mempesona ini laksana cahaya fajar. Kata-kata itu membangkitkan perasaan dan ke haruan pada jiwa Negus, lalu sambil menoleh pada Ja’far baginda bertanya:
“Apakah anda ada membawa sesuatu (wahyu) yang diturunkan atas Rasulmu itu?”
Jawab Ja’far: “Ada”.
Tukas Negus lagi: “Cobalah bacakan kepadaku”.

Lalu Ja’far langsung membacakan bagian dari surat Maryam dengan irama indah dan kekhusyu’an yang m‘emikat. Men­dengar itu, Negus lalu menangis dan para pendeta serta pembesar­-pembesar agama lainnya sama menangis pula. Sewaktu air mata lebat dari baginda sudah berhenti, ia pun berpaling kepada kedua utusan Quraisy itu, seraya berkata:
“Sesungguhnya apa yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa a.s. sama memancar dari satu pelita. Kamu keduanya dipersilah­kan pergi! Demi Allah kami tak akan menyerahkan mereka kepada kamu!”

Pertemuan itu pun bubar sudah. Allah telah menolong hamba-hamba-Nya dan menguatkan mereka, sementara kedua utusan Quraisy mendapat kekalahan yang hina. Tetapi Amr bin ‘Ash adalah seorang lihai yang ulung dan penuh dengan tipu muslihat licik, tidak hendak menyerah kalah begitu saja, apalagi berputus asa. Demikianlah, begitu ia kembali bersama temannya ke tempat tinggalnya, tak habis-habisnya ia berfikir dan memutar otak, dan akhirnya berkata kepada temannya:
“Demi Allah, besok aku akan kembali menemui Negus, akan kusampaikan kepada baginda keterangan-keterangan yang akan memukul Kaum Muslimin dan membasmi urat akar mereka!” Jawab kawannya: “Jangan lakukan itu, bukankah kita masih ada hubungan keluarga dengan mereka, sekalipun mereka berselisih paham dengan kita!”

Jawab Amr: “Demi Allah, akan kuberitakan kepada Negus, bahwa mereka mendakwakan Isa anak Maryam itu manusia biasa seperti manusia yang lain”.

Inilah rupanya suatu tipu muslihat baru yang telah diatur oleh utusan Quraisy terhadap Kaum Muslimin, untuk memojok­kan mereka ke sudut yang sempit, dan untuk menjatuhkan mereka ke lembah yang curam. Seandainya orang Islam terang­terangan mengatakan, bahwa Isa itu salah seorang hamba Allah seperti manusia lainnya, pasti hal ini akan membangkitkan kemarahan dan permusuhan Raja dan kaum agama …. Sebalik­nya jika mereka meniadakan pada Isa ujud manusia biasa, niscaya keluarlah mereka dari ‘aqidah agama mereka … !

Besok paginya kedua utusan itu segera menghadap Raja, dan berkata kepadanya:
“Wahai Sri Paduka! Orang-orang Islam itu telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa …”. Para pendeta dan kaum agama menjadi geger dan gempar …. Gam­baran dari kalimat pendek itu eukup menggoncangkan Negus dan para pengikutnya. Mereka memanggil orang-orang Islam sekali lagi, untuk menanyai bagaimana sebenarnya pandangan Agama Islam tentang Isa al-Masih … .

Tahulah orang-orang Islam sekarang bahwa akan ada per­‘Musyawaratan baru. Mereka duduk berunding, dan akhirnya .memperoleh kata sepakat, untuk menyatakan yang haq saja, sebagaimana yang mereka dengar dari Nabi, mereka. Mereka tak hendak menyimpang serambut pun daripadanya, dan biarlah terjadi apa yang akan terjadi ….

Bersambung ke Bagian (2)..... 
UBADAH BIN SHAMIT - TOKOH YANG GIGIH MENENTANG PENYELEWENGAN

Ubadah bin Shamit termasuk salah seorang tokoh Anshar. Mengenai Kaum Anshar, Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Sekiranya orang-orang Anshar menuruni lembah atau celah bukit pasti aku akan mendatangi lembah dan celah bukit orang-orang Anshar . . . , dan kalau bukanlah karena hijrah, tentulah aku akan menjadi salah seorang warga Anshar…!


Dan di samping ia seorang warga Kaum Anshar, Ubadah bin Shamit merupakan salah seorang pemimpin mereka yang dipilih Nabi saw. sebagai utusan yang mewakili keluarga dan kaum kerabat mereka.

Ubadah r.a. termasuk perutusan Anshar yang pertama datang ke Mekah untuk mengangkat bai’at kepada Rasulullah saw, untuk masuk Islam, yakni bai’at yang terkenal sebagai “baiatul ‘Aqabah pertama”. la termasuk salah seorang dari 12 orang beriman yang segera menyatakan keislaman dan meng­angkat bai’at, serta menjabat tangannya, menyatakan sokongan dan kesetiaan kepada Rasulullah saw.

Dan ketika datang musim haji tahun berikutnya, yakni saat terjadinya “Bai’atul ‘Aqabah kedua” yang dilakukan oleh per­utusan Anshar Anshar terdiri dari 70 orang beriman — pria dan wanita – maka ‘Ubadah menjadi tokoh perutusan dan wakil orang-orang Anshar itu ….

Kemudian, ketika peristiwa berturut-turut silih berganti, saat-saat perjuangan, kebaktian dan pengorbanan susul-menyusul tiada henti, maka ‘Ubadah tak pernah absen dari setiap peristiwa, dan tak ketinggalan dalam memberikan sahamnya ….

Semenjak ia menyatakan, Allah dan Rasul sebagai pilihan.. nya, maka dipikulnya segala tanggung jawab akibat pilihannya itu dengan sebaik-baiknya ….

Segala cinta kasih dan kethaatannya hanya tertumpah kepada Allah . . . . dan segala hubungan baik dengan kaum kerabat, dengan sekutu-sekutu maupun dengan musuh-musuhnya, hanya sesuai dan menuruti pola yang dibentuk oleh keimanan dan norma-norma yang dikehendaki oleh keimanan ini.

Semenjak dulu, keluarga ‘Ubadah telah terikat dalam suatu perjanjian dengan orang-orang yahudi suku qainuqa’di Madinah. Ketika Rasulullah saw. bersama para shahabatnya hijrah ke kota ini, orang-orang yahudi memperlihatkan sikap damai dan persahabatan terhadapnya.

Tetapi pada hari-hari yang mengiringi perang Badar dan mendahului perang Uhud, orang-orang yahudi di Madinah mulai menampakkan belangnya. Salah satu qabilah mereka yaitu Bani Qainuqa’ membuat ulah untuk menimbulkan fitnah dan keribut­an di kalangan Kaum Muslimin.

Demi dilihat oleh ‘Ubadah sikap dan pendirian mereka ini, secepatnya ia melakukan tindakan yang setimpal dengan jalan membatalkan perjanjian dengan mereka, katanya:
“Saya hanya akan mengikuti pimpinan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.... !
Dan tidak lama antaranya turunlah ayat al-Quran memuji sikap, dan kesetiaannya ini; firman Allah swt.:
Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin, maka sungguh, partai atau golongan Allahlah yang beroleh kemenangan ….
(Q.S. 5 al-Maidah:56)

Ayat Quran yang mulia telah mema’lumkan berdirinya partai Allah. Dan partai itu ialah golongan orang-orang beriman yang berdiri sekeliling Rasulullah saw. Mereka membawa bendera kebenaran dan petunjuk, merupakan lanjutan yang penuh barkah dari orang-orang beriman yang telah mendahului mereka dalam gelanggang sejarah. Mereka sigap berdiri sekeliling Nabi-nabi dan Rasul-rasul siap mengemban tugas yang sama, yakni menyampaikan di masa dan di zaman mereka masing-­masing Kalimat Allah yang Maha Hidup lagi Maha Pengatur.

Dan kali ini hizbullah atau partai Allah itu tidak hanya terbatas pada para shahabat Muhammad saw. belaka. Tugas ini akan berkelanjutan sampai generasi-generasi dan masa-masa mendatang, hingga bumi dan tiap penduduknya diwarisi oleh orang-orang yang iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta ter­gabung di dalam barisan-Nya ….

Demikianlah, tokoh di mana ayat yang mulia sengaja diturun­kan untuk menyambut baik pendiriannya serta memuji kesetiaan dan keimanannya, bukan hanya menjadi juru bicara tokoh-tokoh Anshar di Madinah semata, tetapi tampil sebagai seorang juru bicara para tokoh Agama yang akan meliputi seluruh pelosok dunia ….

Sungguh, ‘Ubadah bin Shamit yang mulanya hanya menjadi wakil kaum keluarganya dari suku Khazraj, sekarang meningkat menjadi salah seorang pelopor Islam, dan salah seorang pemimpin Kaum Muslimin. Namanya tak ubah bagai bendera yang berkibar di sebagian besar penjuru bumi, bukan hanya untuk satu atau dua generasi belaka, tetapi akan berkepanjangan bagi setiap generasi dan seluruh masa yang dikehendaki Allah Ta’ala …. !

Pada suatu hari Rasulullah saw. menjelaskan tanggung jawab seorang amir atau wali. Didengarnya Rasulullah menyatakan nasib yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan kewajiban di antara mereka atau memperkaya dirinya dengan harta . . . , maka tubuhnya gemetar dan hatinya berguncang. la bersumpah kepada Allah tidak akan menjadi kepada walau atas dua orang sekalipun ….

Dan sumpahnya ini dipenuhi sebaik-baiknya dan tak pernah dilanggarnya ….

Di masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar r.a., tokoh yang bergelar al-Faruq ini pun tidak berhasil mendorongnya untuk menerima suatu jabatan, kecuali dalam mengajar ummat dan memperdalam pengetahuan mereka dalam soal Agama . . . .

Memang, inilah satu-satunya usaha yang lebih diutamakan ‘Ubadah dari lainnya, menjauhkan dirinya dari usaha-usaha lain yang ada sangkut-pautnya dengan harta benda dan kemewahan serta kekuasaan, begitu pun dari segala marabahaya yang di­khawatirkan akan merusak Agama dan karir dirinya ….

Oleh sebab itu ia berangkat ke Syria dan merupakan salah seorang dari tiga sekawan: ia sendiri, Mu’adz bin Jabal dan Abu Darda, menyebarluaskan ilmu, pengertian dan cahaya bimbingan di negeri itu.

‘Ubadah juga pernah berada di Palestina untuk beberapa waktu dalam melaksanakan tugas sucinya, sedang yang men­jalankan pemerintahan ketika itu atas nama khalifah adalah Mu’awiyah ….

Sementara ‘Ubadah bermukim di Syria, walaupun badannya terkurung di sana, tapi pandangan matanya bebas lepas dan merenung jauh, nun ke sana melewati tapal betas, yaitu ke Madinah al-Munawwarah. Di saat itu Madinah sebagai ibu kota Islam dan tempat kedudukan khalifah, yakni Umar bin Khatthab, seorang tokoh yang tak ada duanya dan tamsil bandingan …!

Kemudian pandangannya kembali ke bawah pelupuk mata­nya, yakni ke Palestine tempat ia bermukim. Tampaklah olehnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, seorang pecinta dunia dan haws kekuasaan ….

Sedangkan ‘Ubadah sebagai kita ma’lumi termasuk rombongan perintis yang telah menjalani sebagian besar dari hari-hari terbaiknya, saat terpenting dan paling berkesan bersama Rasul mulia …Rombongan pelopor yang bergelimang dalam kancah perjuangan dan ditempa oleh pengurbanan. La menganut Islam karena kemauan pribadi dan bukan karena menjaga ke­selamatan diri, pendeknya yang telah menjual harta benda dan dirinya kepada Ilahi Rabbi ….

‘Ubadah termasuk rombongan perintis yang telah dididik oleh Muhammad saw, dengan tangannya sendiri, yang telah beroleh limpahan mental, cahaya dan kebesarannya ….

Dan seandainya di kalangan orang-orang yang masih hidup ada yang dapat ditonjolkan untuk percontohan luhur sebagai kepada pemerintahan yang dikagumi oleh ‘Ubadah dan diper­cayainya, maka orang itu tidak lain tokoh terkemuka yang sedang berkuasa di Madinah, ialah Umar bin Khatthab ….

Maka sekiranya ‘Ubadah melanjutkan renungannya dan  membanding-bandingkan tindak-tanduk Mu’awiyah dengan apa yang dilakukan oleh khalifah, jurang pemisah di antara keduanya menganga lebar, dan sebagai akibatnya akan terjadilah bentrok­an dan memang telah terjadi … !

Berkata ‘Ubadah bin Shamit r.a.:
“Kami telah bai’at kepada Rasulullah saw. tidak takut akan ancaman siapa pun dalam mentaati Allah …. !” Dan ‘Ubadah adalah seorang yang paling teguh memenuhi bai’at. Dan jika demikian, maka ia tidak akan takut kepada Mu’awiyah ,dengan segala kekuasaannya, dan ia akan tegak mengawasi segala kesalahannya …Sungguh, waktu itu penduduk Palestine menyaksikan peris­tiwa luar biasa . . . , dan tersiarlah berita ke sebagian besar negeri Islam perlawanan berani yang dilancarkan ‘Ubadah erhadap Mu’awiyah, hingga menjadi contoh teladan bagi mereka….

Dan bagaimana pun juga terkenalnya Mu’awiyah sebagai orang yang gigih dan ulet, tetapi sikap dan pendirian ‘Ubadah  tidak urung menyebabkannya sesak nafas. Hal itu dipandang­nya sebagai ancaman langsung terhadap wibawa dan kekuasaan­nya….

Dan di pihak ‘Ubadah, dilihatnya jarak pemisah di antaranya dengan Mu’awiyah kian sertambah lebar, akhirnya berkata kepada Mu’awiyah: “Demi Allah, saya tak hendak tinggal sekediaman denganmu untuk selama-lamanya!” Lalu ditinggalkannya Palestine dan berangkat ke Madinah ….

Amirul Mu’minin Umar adalah seorang yang memiliki ke­cerdasan tinggi dan pandangan jauh. Ia selalu menginginkan kepala-kepala daerah tidak hanya mengandalkan kecerdasannya semata dan menggunakannya tanpa reserve. Maka terhadap orang seperti Mu’awiyah dan kawan-kawannya, tidak dibiarkan begitu saja tanpa didampingi sejumlah shahabat yang zuhud dan shalih, Serta penasihat yang tulus ikhlas. Mereka bertugas membendung keinginan-keinginan yang tidak terbatas, dan selalu mengingatkan mereka akan hari-hari dan masa Rasulullah saw.

Oleh sebab itu demi dilihat oleh Amirul Mu’minin bahwa ‘Ubadah telah berada di kota Madinah, ditanyalah: “Apa yang menyebabkan anda ke sini, wahai ‘Ubadah . . . ?” Dan tatkala diceritakan ‘Ubadah peristiwa yang terjadi antaranya dengan Mu’awiyah, maka kata Umar: “Kembalilah segera ke tempat anda! Amat jelek sekali jadinya suatu negeri yang tidak punya orang seperti anda . . .”. Lalu kepada Mu’awiyah dikirim pula Surat yang di antara isinya terdapat kalimat:
“Tak ada wewenangmu sebagai amir terhadap ‘Ubadah”.

Memang, ‘Ubadah menjadi amir bagi dirinya …. Dan jika Umar al-Faruq sendiri telah memberikan penghormatan kepada seseorang setinggi ini, tak dapat tiada tentulah dia seorang besar      ! Dan sungguh, ‘Ubadah adalah seorang besar, baik karena keimanan, maupun karena keteguhan hati dan lurus jalan hidupnya!

Dan pada tahun 34 Hijriah, wafatlah is di Ramla di bumi Palestine; wakil ulung di antara wakil-wakil Anshar khususnya dan Agama Islam pada umumnya, dengan meninggalkan teladan yang tinggi dalam arena kehidupan ….

Semoga Allah memberi kita kemampuan mencontoh amal bakti para Assabiqunal-awwalun dan dapat melaksanakannya dalam diri pribadi sendiri sehingga kita menjadi syuhada’a ‘alan naas.
******

ditukil dari Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung

Wallahu ‘Alam [Sahabat Nabi]
Hadit dibawah ini merupakan salah satu hadits yang termuat dalam kumpulan hadits-hadits yang disusun oleh Imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah, yaitu hadits no. Ke 30. Hadit ini menurut ulama termasuk kedalam hadits dho’if, namun tidak salah kita untuk mengetahuinya sebagai sebuah pelajaran, mari kita simak haditsnya;



عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِي جُرْثُوْمِ بْنِ نَاشِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْداً فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوا عَنْهَا. [حديث حسن رواه الدارقطني وغيره] .

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani, jurtsum bin Nasyir radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa perkara, maka janganlah kamu meninggalkannya dan telah menetapkan beberapa batas, maka janganlah kamu melampauinya dan telah mengharamkan beberapa perkara maka janganlah kamu melanggarnya dan Dia telah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat bagimu bukan karena lupa, maka janganlah kamu membicarakannya”. (HR. Daraquthni, Hadits hasan). [Daruquthni dalam Sunannya no. 4/184]

(Hadits ini dikatagorikan sebagai hadits dho’if). Lihat Qowa’id wa Fawa’id Minal Arbain An Nawawiah, karangan Nazim Muhammad Sulthan, hal. 262. Lihat pula Misykatul Mashabih, takhrij Syaikh Al Albani, hadits no. 197, juz 1. Lihat pula Jami’ Al Ulum wal Hikam, oleh Ibnu Rajab).


Penjelasan Hadits
Larangan membicarakan hal-hal yang didiamkan oleh Allah sejalan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Biarkanlah aku dengan apa yang telah aku biarkan kepada kamu sekalian, karena sesungguhnya hancurnya umat sebelum kamu disebabkan mereka banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka”.

Sebagian ulama berkata : “Bani Israil dahulu banyak bertanya, lalu diberi jawaban dan mereka diberi apa yang menjadi keinginan mereka, sampai hal itu menjadi fitnah bagi mereka , karena itulah mereka menjadi binasa. Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memahami hal tersebut dan menahan diri untuk tidak bertanya kecuali hal-hal yang sangat penting. Mereka heran menyaksikan orang-orang Arab gunung bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu mereka mendengarkan jawabannya dan memperhatikannya dengan seksama.

Ada suatu kaum yang sikapnya berlebih-lebihan, sampai mereka berkata : “Tidak boleh bertanya kepada ulama mengenai suatu kasus sampai kasus tersebut benar-benar terjadi”. Ulama salaf ada juga yang berpendapat seperti itu. Mereka berkata : “Biarkanlah suatu masalah sampai benar-benar telah terjadi”. Akan tetapi, ketika para ulama merasa khawatir ilmu agama ini lenyap, maka mereka kemudian membahas masalah-masalah ushul (pokok), menguraikan masalah-masalah furu’ (cabang), memperluas dan menjelaskan berbagai hal.

Para ulama berselisih pendapat dalam banyak perkara yang agama belum menetapkan hukumnya. Apakah perkara tersebut termasuk yang haram atau mubah atau didiamkan. Ada tiga pendapat dalam hal ini, dan semuanya itu dibicarakan dalam kitab-kitab Ushul.
******
SYARH HADITS ARBAIN AN-NAWAWIYYAH NO. 30

Wallahu ‘Alam [Syarh Hadits ‘Arba’in]

QEIS BIN SA’AD BIN ‘UBADAH - KALAU TIDAKLAH KARENA ISLAM,MAKA IA LAH AHLI TIPU MUSLIHAT ARAB YANG PALING LIHAI … !

Walaupun usianya masih muda, orang-orang Anshar me­mandangnya seperti seorang pemimpin …. Mereka mengatakan: “Seandainya kami dapat membelikan janggut untuk Qeis dengan harta kami, niscaya akan kami lakukan”. Sebabnya is berwajah licin, tak ada suatu pun kekurangan dari sifat-sifat kepemimpin­annya yang lazim terdapat pada adat kebiasaan kaumnya, selain soal janggut yang oleh para pria dijadikan sebagai tanda ke­jantanan pada wajah-wajah mereka.

Nah, siapakah kiranya pemuda yang sangat dicintai kaumnya ini, sampai-sampai mereka siap mengurbankan harta untuk membelikan janggut yang akan menghiasi mukanya, sebagai penyempurnaan  bentuk luarnya bagi kebesaran hakiki dan kepemimpinan yang    tinggi yang sudah dimilikinya … ?

Itulah dia Qeis bin Sa’ad bin ‘Ubadah!

Berasal dari keluarga Arab yang paling dermawan dari turunan­nya yang mulia . . . . suatu keluarga yang Rasulullah saw. pernah berkata terhadapnya:

“Kedermawanan menjadi tabi’at anggota keluarga ini!”

Ia adalah seorang lihai yang banyak tipu muslihat, seorang Yang mahir, licin dan cerdik, dan orang yang terus terang mengatakan secara jujur tentang dirinya:

“Kalau bukan karena Islam, saya sanggup membikin tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab mana pun!” Sebabnya, karena ia adalah seorang yang tinggi kecerdasannya, banyak akal dan encer otaknya.

Pada peristiwa Shiffin ia berdiri di fihak Ali menentang Mu’awiyah . . . . Maka duduklah ia merencanakan sendiri tipu muslihat yang mungkin akan membinasakan Mu’awiyah dan para pengikutnya di suatu hari atau pada suatu ketika kelak. Namun ketika ia menyaring macam-macam muslihat yang telah memeras kecerdasannya. Namun, ketika ia menyaring itu disadarinya bahwa itu adalah suatu muslihat jahat yang membahayakan. Maka teringatlah ia akan firman Allah swt.:

“Dan tipu days jahat itu akan hembali menimpa orangnya sendiri!”   (Q.S. 35 al-Fathir:43)

Maka ia pun segera bangkit, lalu membatalkan cara-cara tersebut sambil memohon ampun kepada Allah, serta mulutnya seakan-akan hendak mengatakan: “Demi Allah, seandainya Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena keshalehan dan ketaqwaan kita . . . . “.

Sesungguhnya pemuda Anshar suku Khazraj ini, adalah dari suatu keluarga pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia dari seorang pemimpin besar kepada pemimpin besar pula . . . . Ia anak dari Sa’ad bin ‘Ubadah, seorang pemimpin Khazraj, yang akan kita temui riwayatnya di belakang kelak.

Sewaktu Sa’ad masuk Islam, ia membawa anaknya Qeis dan menyerahkannya kepada Rasul sambil berkata: “Inilah khadam anda ya Rasulallah!” Rasul dapat melihat pada diri Qeis segala tanda-tanda keutamaan dan ciri-ciri kebaikan . . .  Maka dirangkul dan didekatkannya ke dirinya dan senantiasalah Qeis menempati kedudukan di sisi Nabi ….

Anas, shahabat Rasulullah pernah mengatakan: “Kedudukan  Qeis bin Sa’ad di sisi Nabi, tak ubah seperti ajudan”.

Selagi Qeis memperlakukan orang-orang lain sebelum ia masuk Islam dengan segala kecerdikannya, mereka tak tahan akan kelihaiannya. Dan tak ada seorang pun di kota Madinah dan sekitarnya yang tidak memperhitungkan kelihaiannya ini secara hati-hati. Maka setelah ia memeluk Islam, Islam mengajarkan kepadanya untuk memperlakukan manusia dengan kejujuran, tidak dengan kelicikan. Ia adalah seorang anak muda yang banyak – amalnya untuk Islam, karena itu di kesampingkannya kelihaiannya, dan tidak hendak mengulangi lagi tindakan-tin­dakan liciknya masa silam. Setiap ia menghadapi suatu kejadian yang sukar, ia ingat kepada prakteknya yang lama, segera sadar­kan diri lalu diucapkannyalah kata-katanya yang bersayap:

“Kalau bukan karena Islam, akan kubuat tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh bangsa Arab . . .!”

Tak ada perangai lain pada dirinya yang lebih menonjol dari kecerdikannya kecuali kedermawanannya . . . . Dermawan dan pemurah bukanlah merupakan perangai baru bagi Qeis, karena ia adalah dari keluarga yang turun-temurun terkenal dermawan dan pemurah.

Bagi Qeis sebagai telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang paling dermawan dan suka membantu di antara suku-suku Arab, ada petugas yang Bering berdiri di tempat ketinggian memanggil para tamu untuk makan Siang bersama mereka …. atau sengaja menyalakan api di malam hari untuk menjadi petunjuk bagi para musafir yang lewat. Orang-orang di zaman itu mengatakan: “Siapa yang ingin memakan lemak dan daging, silahkan mampir ke benteng perkampungan Dulaim bin Hari­tsah . . . !” Dulaim bin Haritsah adalah kakek kedua dari Qeis. Di rumah bangsawan inilah Qeis mendapat didikan kedermawan­an dan kepemurahan ….

Di suatu hari Umar dan Abu Bakar bercakap-cakap sekitar kedermawanan dan kepemurahan Qeis sambil. berkata: “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kepemurahannya, niscaya akan habis licin harta orang tuanya … !” Pembicaraan tentang anaknya itu, sampai kepada Sa’ad bin ‘Ubadah, maka serunya: “Siapa dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar …?

Diajarnya anakku kikir dengan memperalat namaku … !”

Pada suatu hari pernah ia memberi pinjaman pada salah seorang kawannya yang kesukaran dengan jumlah besar . . . . Pada hari yang telah ditentukan guna melunasi utang, pergilah orang itu untuk membayarnya kepada Qeis. Ternyata Qeis tidak bersedia menerimanya, ia hanya berkata: “Kami tak hendak menerima kembali apa-apa yang telah kami berikan!”

Fithrah manusia mempunyai kebiasaan yang tak pernah berubah, dan sunnah (hukum) yang jarang berganti-ganti yaitu.: di mana terdapat kepemurahan, terdapat pula keberanian …. Benarlah . . – , sesungguhnya dermawan sejati dan keberanian sejati adalah dua saudara kembar yang tak pernah berpisah satu dari lainnya untuk selama-lamanya. Dan bila anda menemukan kedermawanan tanpa keberanian, ketahuilah bahwa yang anda temukan itu bukanlah sebenarnya kepemurahan …. tetapi suatu gejala kosong dan bohong dari gejala-gejala melagakkan diri dan membusungkan dada. Demikian pula bila bertemu keberanian yang tidak disertai kepemurahan, ketahuilah pula bahwa itu bukanlah keberanian sejati, ia tak lain serpihan dari berani membabi buta dan kecerobohan!

Maka tatkala Qeis bin Sa’ad memegang teguh kendali ke­pemurahan dengan tangan kanannya, ia pun memegang kuat tali keberanian dan kepeloporan dengan tangan kirinya. Seolah-­olah ialah yang dimaksud dengan ungkapan sya’ir:

“Apabila bendera kemuliaan telah dikibarkan. Maka segala kekejian berubah menjadi kebaikan”.

Keberaniannya telah termashur pada semua medan tempur yang dialaminya beserta Rasulullah saw. selagi beliau masih hidup …. Dan kemasyhuran itu bersambung pada pertempuran­pertempuran yang diterjuninya sesudah Rasul meninggal dunia. Keberanian yang selalu berlandaskan kebenaran dan kejujuran sebagai ganti kelihaian dan kelicikan … dengan mempergunakan cara terbuka dan terus terang secara berhadap-hadapan, bukan dengan menyebarkan isyu dari belakang dan tidak pula dengan tipu muslihat busuk, tentu saja membebani dirinya dengan ke­sukaran dan kesulitan yang menekan. Semenjak Qeis membuang jauh kemampuannya yang luar biasa dalam berdiplomasi licik dan bersilat lidah curang, dan ia membawakan diri dengan perangai berani secara terbuka dan terus terang, maka ia merasa puas dengan pembawaan yang baru ini, dan bersedia memikul akibat dan kesukaran yang silih berganti dengan hati yang rela ….

sesungguhnya keberanian sejati memancar dari kepuasan pribadi orang itu sendiri . . . . Kepuasan ini bukan karena dorong­an hawa nafsu dan keuntungan tertentu, tetapi disebabkan oleh ketulusan diri pribadi dan kejujuran terhadap ke­benaran – - – .

Demikianlah, sewaktu timbul pertikaian di antara Ali dan Mu’awiyah, kits lihat Qeis bersunyi-sunyi memencilkan dirinya. Dan terus berusaha mencari kebenaran dari celah-celah kepuasan­nya itu. Hingga akhirnya demi dilihatnya kebenaran itu berada pada pihak Ali, bangkitlah ia dan tampil ke sampingnya dengan gagah berani, teguh hati dan berjuang secara mati-matian. Di medan perang Shiffin, Jamal dan Nahrawan, Qeis merupakan salah seorang pahlawannya yang berperang tanpa takut mati …. Dialah yang membawa bendera Anshar dengan meneriakkan:

“Bendera inilah bendera persatuan ….
Berjuang bersama Nabi dan Jibril pembawa bantuan.
Tiada gentar andaikan hanya Anshar pengibarnya.
Dan tiada orang lain menjadi pendukungnya”.

Dan sesungguhnya Qeis telah diangkat oleh Imam Ali sebagai gubernur Mesir . . . . Tapi sudah semenjak lama Mu’awiyah selalu mengincerkan matanya ke wilayah ini. la memandangnya sebagai permata berlian yang paling berharga pada suatu mahkota yang amat didambakannya . . . . Oleh karena itu tidak lama setelah Qeis memangku jabatan sebagai Kepala Daerah itu, hampir terbit gilanya karena takut Qeis akan menjadi halangan bagi cita-citanya terhadap Mesir sepanjang masa, bahkan sekalipun ia beroleh kemenangan nanti atas Imam Ali dengan ke­menangan yang menentukan ….

Begitulah Mu’awiyah berusaha dengan tipu daya dan mus­lihat yang tidak terbatas pada suatu corak saja, membangkitkan kemarahan yang tidak terbatas dari Imam Ali terhadap Qeis, sampai akhirnya Imam Ali memanggilnya dari Mesir ….

Di sini Qeis memperoleh kesempatan yang menguntungkan untuk mempergunakan kecerdasannya dengan berencana. la telah mengetahui berkat kecerdasannya bahwa Mu’awiyahlah yang memegang peranan dalam memfitnahnya, setelah ia gagal menarik Qeis ke pihaknya untuk memusuhi Imam Ali dan mempergunakan kepemimpinannya untuk membantunya.

Maka untuk mematahkan tipu daya tersebut, Qeis mem­perkuat sokongannya terhadap Ali dan terhadap kebenaran yang diwakili Ali. seorang pemimpin yang saat itu tempat tersangkut­nya kesetiaan dan kepercayaan teguh dari Qeis bin Sa’ad bin Tbadah . . . .

Demikianlah, tidak sedikit pun dirasakannya bahwa Imam Ali telah memecatnya dari Mesir …. Bagi Qeis, tak ada artinya wilayah kekuasaan, tak ada artinya pangkat kepemimpinan dan jabatan. Semuanya itu baginya hanyalah sekedar sarana guna mengabdikan diri bagi aqidah dan Agamanya . . . . Sekalipun jabatan Kepala Daerah di Mesir itu merupakan suatu jalan untuk mengabdikan diri kepada yang haq, namun kedudukan di dekat Imam Ali di medan laga adalah suatu jalan lain yang tak kurang penting dan menggairahkan ….

Keberanian Qeis mencapai puncak kejujurannya dan kema­tangannya sesudah syahidnya Ali dan dibai’atnya Hassan . . . Sesungguhnya Qeis memandang Hassan r.a. sebagai tokoh yang cocok menurut syari’at untuk jadi Imam (Kepala Negara), maka berjanji setialah ia kepadanya, dan berdiri di sampingnya sebagai pembela, tanpa memperdulikan bahaya yang akan menimpa.

Dan di kala Mu’awiyah memaksa mereka untuk menghunus pedang, bangkitlah Qeis memimpin lima ribu prajurit dari orang­-orang yang telah mencukur kepala mereka sebagai tanda ber­kabung atas wafatnya Ali. Hassan mengalah dan lebih suka membalut luka-luka Muslimin yang telah sedemikian parah, maka disuruhnya menghentikan perang yang telah menghabiskan nyawa dan harta itu, lalu berunding dengan Mu’awiyah dan kemudian bai’at kepadanya.

Di sinilah Qeis mulai merenungkan lagi masalah tersebut, maka menurut pendapatnya, sekalipun pendirian Hassan adalah benar, maka pasukan Qeis tetap menjadi tanggung jawabnya dan pilihan terakhir terletak atas hasil keputusan musyawarah. Maka semua mereka dikumpulkannya, lalu ia berpidato di hadapan mereka sambil berkata:

“Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut lebih dulu! Tapi jika kalian memilih perdamaian maka aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu . . . “.

Pasukan tentaranya memilih yang kedua maka dimintanya keamanan dari Mu’awiyah yang memberikannya dengan penuh sukacita, karena dilihatnya taqdir telah membebaskannya dari musuhnya yang terkuat, paling gigih serta berbahaya … !

Pada tahun 59 H. di kota Madinah al-Munawwarah, telah pulang ke Rahmatullah seorang pahlawan, yang dengan ke­islamannya dapat mengendalikan kecerdikan dan keahlian tipu muslihatnya serta menjadikannya obat penawar bisa.

Telah berpulang tokoh yang pernah berkata:
“Kalau tidaklah aku pernah mendengar Rasulullah, bersabda:
“Tipu daya dan muslihat licik itu di dalam neraka”
Niscaya akulah yang paling lihai di antara ummat ini …

Ia telah tiada dalam kedamaian, dengan meninggalkan nama harum sebagai seorang laki-laki yang jujur, terus terang, der­mawan dan berani ….

Benar . .. , ia telah berpulang dengan mewariskan pusaka nama baik seorang laki-laki yang terpercaya, baik tentang watak keislamannya maupun tentang tanggung jawab dan menepati janji…
******

ditukil dari Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung

Wallahu ‘Alam [Sahabat Nabi]