ABU DARDA' SEORANG BUDIMAN DAN AHLI HIKMAT

Unknown | 4/23/2014 | 0 komentar

ABU DARDA; SEORANG BUDIMAN DAN AHLI HIKMAT YANG LUAR BIASA

Selagi balatentara Islam berperang kalah menang di beberapa penjuru bumi, sementara itu di kota Madinah berdiam seorang ahli hikmat dan filosof yang mengagumkan, yang dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.


la senantiasa mengucapkan kata-kata kepada masyarakat sekelilingnya, : “Maukah anda sekalian, aku kabarkan amalan­-amalan yang terbaik, amalan yang terbersih di siai Allah dan paling meninggikan derajat anda, lebih baik daripada memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang leher anda, dan malah lebih baik dari uang mas dan Perak. . . ?”

Para pendengarnya sama menjulurkan kepala mereka ke muka karena ingin tahu, lalu segera menanyakan: “Apakah itu wahai Abu Darda’ . . . ?” Abu Darda’ memulai bicaran‘ya dengan wajah berseri-seri, di bawah cahaya iman dan hikmat, lalu men­jawab: “‘Dzikrullah .. .. ” — menyebut Serta mengingat nama. Allah — “Wa-ladzikrullahi akbar” — dan sesungguhnya dzikir kepada Allah itu lebih utama —.

Bukanlah maksud ahli hikmat yang mengagumkan ini meng­anjurkan orang menganut filsafat memencilkan diri, dan bukan Pula dengan kata-katanya itu ia menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak Pula agar mengabaikan hasil Agama yang baru ini, yakni hasil yang telah dicapai dengan jihad atau kerja mati­-matian.

Benar . . . , Abu Darda’ bukanlah tipe orang yang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad mempertahankan Agama ber­sama Rasulullah saw. sampai datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Mekah …

Tetapi ia adalah dari golongan orang yang setiap merenung dan menyendiri, atau bersamadi di relung hikmah, dan mem­baktikan hidupnya untuk mencari hakikat dan keyakinan, menemukan dirinya dalam suatu wujud yang padu, penuh dengan sari hayat dan gairah kehidupan ….

Dan Abu Darda’ r.a. ahli hikmat yang besar di zamannya itu, adalah seorang insan yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat sangat untuk melihat hakikat dan menemukan­nya….

Dan karena ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang teguh, maka ia merasa yakin dan percaya pula bahwa iman ini dengan segala tindak lanjutnya berupa kewajiban dan pengertian, merupakan jalan yang utama dan satu-satunya untuk mencapai hakikat itu ….

Demikianlah ia tetap berpegang dan secara bulat menyerah­kan dirinya kepada Allah, dan dengan teguh hati, dengan petun­juk dan kebesaran ditempanya kehidupannya sesuai dengan cetakan dan patokannya. la terus menelusuri jejak hingga akhirnya menemukannya . . .. dan berada di atas jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh . . . . dan menempati kedudukan yang tinggi beserta orang-orang yang benar secara sempurna, yakni di saat ia menyeru Tuhannya dengan membaca ayat-Nya:

“Sesungguhnya shalatku dan ibadatku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah semata, Tuhan alam semesta . . . . “• (Q.S. 6 al-An’am: 162)

Abu Darda’ dalam melawan hawa nafsu dan mengekang dirinya untuk memperoleh mutiara bathin yang sempurna telah mencapai tingkatan yang tertinggi . . . tingkatan tafani rabbani — memusatkan fikiran, perhatian dan amaliahnya kepada pengabdian — menjadikan seluruh kehidupannya semata bagi Allah Rabbul ‘alamin ….

Dan sekarang marilah kita mendekati ahli hikmat dan orang suci itu! Tidakkah anda perhatikan sinar yang bercahaya-cahaya di sekeliling keningnya . . . ? Dan tidakkah anda mencium bau yang semerbak yang bertiup dari arahnya . . . ? Itulah dia cahaya hikmat dan harumnya iman . . . !

Dan sesungguhnya iman dan hikmat telah bertemu pada laki-laki yang rindu kepada Tuhannya ini, suatu pertemuan bahagia, kebahagiaan tiada taranya … !!

Pernah ibunya ditanyai orang, tentang amal yang sangat diaenangi Abu Darda’, lalu dijawabnya: “Tafakkur dan meng­ambit i’tibar atau pelajaran!”

Sungguh benar, ia telah meresapi dengan sempurna firman Allah di dalam ayat-ayatnya yang tidak sedikit:

“Hendaklah kamu mengambil ibarat … pelajaran, per­bandingan dan sebagainya …wahai orang-orang yang mempunyai fikiran!”          (Q.S. 59 al-Hasyr: 2)

la selalu mendorong kawan-kawannya untuk merenung dart memikir-mikirkan, katanya kepada mereka: “Berfikir… tafakkur … satu jam, lebih baik daripada beribadat satu malam … ! ” Dan sesungguhnya beribadat dan Serta tafakkur dan mencari hakikat telah menguasai seluruh dirinya dan seluruh kehidupannya.

Di saat Abu Darda’ rela mengambil Islam sebagai Agamanya, dan ia bai’at kepada Rasulullah saw. akan melaksanakan Agama yang mulia ini, pada waktu itu ia adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara saudagar-saudagar kota Madinah. Dan sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam dunia perniagaan, bahkan sampai saat Rasulullah dan Kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama kemudian setelah ia masuk Islam, dan Islam menjadi arah hidupnya ….

Marilah kita dengarkan saat ia sendiri menceriterakan riwayat itu kepada kita: “Aku mengIslamkan diriku kepada Nabi saw. sewaktu aku menjadi saudagar . .  . Keinginanku agar ibadat dan perniagaanku dapat berhimpun pada diriku jadi satu, tetapi hal itu tidak berhasil …. Lalu aku kesampingkan perniagaan, dan menghadapkan diri kepada ibadat . . . . Dan aku tidak akan merasa gembira sedikit pun jika sekarang aku berjual beli dan beruntung setiap harinya tiga ratus dinar, sekalipun tokoku itu terletak di muka pintu mesjid … !

Perhatikan, aku tidak menyatakan kepada kalian, bahwa Allah mengharamkan jual beli . . .. Hanya aku pribadi lebih menyukai agar aku termasuk ke dalam golongan orang yang perniagaan dan jual beli itu tidak melalatkannya daripada dzikir kepada Allah Apakah anda perhatikan kalimat-kalimat yang berisikan hikmat dan bersumberkan kejujuran . . . ?, ucap­annya yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya … ? Ia telah menerangkan sesuatu sebelum kita sempat menanyakan kepadanya, “Apakah Allah mengharamkan niaga wahai Abu Darda’…?”

Uraiannya itu melenyapkan kesangsian yang ada dalam fikiran kita. Diiayaratkannya kepada kita tujuan yang lebih tinggi yang hendak dicapainya, menyebabkannya ia meninggalkan dagang sekalipun ia berhasil dalam hal ini. Ia sebenarnya mencari keistimewaan ruhani dan keunggulan yang menuju derajat kesempurnaan tertinggi yang dapat tercapai oleh anak manusia . . . . Ia menghendaki agar ibadat itu laksana tangga yang akan mengangkatnya ke alam kebaikan yang tinggi, hingga ia dapat menengok yang haq dalam kebesarannya, dan hakikat pada sumbernya. Seandainya yang dikehendaki hanyalah semata-mata ditunaikannya perintah dan ditinggalkannya larangan, niscaya ia sanggup menghimpun antaranya dengan dagang dan usaha­-usahanya yang lain …. Berapa banyaknya para pedagang yang shaleh, atau sebaliknya orang shaleh yang jadi pedagang ….

Dan sesungguhnya banyak terdapat di antara shahabat­-shahabat Rasulullah saw. orang-orang yang perniagaan dan jual belinya tak melalatkan mereka dari mengingat Allah .. . bahkan mereka giat mengembangkan perniagaan dan hartanya untuk dibaktikannya kepada tujuan Islam dan mencukupi kepentingan Muslimin . – - – Akan tetapi jalan yang ditempuh para shahabat yang lain itu tidak mengurangkan arti jalan hidup

Abu Darda’, dan sebaliknya jalan yang ditempuhnya tidak pula mengurangkan ma’na jalan mereka, maka setiap orang dimudah­kan Allah untuk mengikuti jalan hidup yang telah ditetapkan bagi masing masing …

Abu Darda’ merasakan sendiri dengan sebenar-benarnya bahwa ia diciptakan bagi sesuatu yang memang sedang hendak dicapainya itu, yaitu mengkhususkan diri mencari hakikat dengan mengalami dan melalui latihan-latihan berat dalam menjauhi kesenangan dunia sesuai dengan keimanan yang dipimpinkan Allah kepadanya, digariskan Rasul dan Agama Islam.

Jika anda suka, sebutlah itu tashawwuf ….

Akan tetapi itu adalah tashawwuf seorang laki-laki yang telah melengkapi kecerdasan seorang mu’min, kemampuan filosof, dan pengalaman seorang pejuang serta yang menjadikan tashawwufnya suatu gerakan lincah membina ruhani, bukan hanya sekedar bayang-bayang yang baik dari bangunan ini. Benar . . . itulah ia Abu Darda’, shahabat Rasulullah saw. dan murid­nya! Itulah ia Abu Darda’ seorang suci dan ahli hikmat … se­orang laki-laki yang telah menolak dunia dengan kedua telapak tangannya dan melindunginya dengan dadanya ….

Seorang laki-laki yang mengasah jiwa dan mensucikannya, sehingga menjadi cermin yang memantulkan hikmat, kebenaran dan kebaikan, yang menjadikan Abu Darda’ sebagai seorang maka guru dan ahli hikmat yang lurus. Berbahagialah mereka yang datang menemuinya dan sedia mendengarkan ajarannya. Ayohlah, mari kita mendekatkan diri kepada hikmat­nya, wahai orang yang mempunyai fikiran ….

Kita mulai dengan filsafatnya terhadap dunia, terhadap kesenangan dan kemewahan …. Ia amat terkesan sekali sampai ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat al-Quran yang berisi bantahan terhadap:         Al

“Orang yang menguinpul-ngumpul harta dan menghitung­hitungnya …. diaangkanya hartanya dapat mengekalkannya  ( Al humazah 2 – 3)

Dan ia sangat terkesan pula sampai lubuk hatinya akan sabda Rasul:

“Yang sedikit mencukupi, lebih baik dari yang banyak membawa rugi… “.

Dan bersabda Rasulullah saw.:

“Lepaskanlah dirimu dari keserakahan akan dunia sekuasa kamu, sebab siapa yang dunia menjadi tujuan utamanya, Allah akan mencerai-beraikan miliknya yang telah ter­kumpul, lalu dijadikannya kemiskinan dalam pandangan matanya. Dan siapa yang menjadikan akhirat tujuan dan cita-citanya, Allah akan menghimpunkan miliknya yang bercerai-berai, lalu dijadikan-Nya kekayaan dalam hatinya, dan dimudahkannya mendapatkan segala kebaikan “.

(H.R. Thabarani Mu’jam al-Kabir)

Oleh karena itulah ia menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan dan berkata: “0 Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang… !” Ditanya orang: ‘Dan apakah pula hati yang bercabang-cabang itu wahai Abu Darda’. . – ?”

Dijawabnya: “Memiliki harta benda di setiap lembah … Dan ia menghimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat kepadanya . . . . Itulah cara pemilikan yang hakiki! Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah tak akan pernah ada kesudahannya, maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak perhambaan diri, dan perbudakan! Ketika itu ia berkata pula:

“Barang siapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya …!”

Harta baginya hanya sebagai alat bagi kehidupan yang ber­sahaja dan sederhana, tidak lebih. Bertolak dari sana, maka menjadi kewajibanlah bagi manusia mengusahakannya dari yang halal dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, tidak dengan kerakusan dan mati-matian.

Maka katanya pula:

“Jangan engkau makan, kecuali yang baik …. Jangan engkau usahakan, kecuali yang baik . . . , dan jangan engkau masukkan ke rumahmu, kecuali Yang baik … !”

Pernah ia menyurati shahabatnya dengan kata-kata sebagai berikut:

“Arkian ….. tidak satu pun harta kekayaan dunia yang kamu miliki, melainkan sudah ada orang lain memilikinya sebelum kamu . . . dan akan ada terus orang lain memilikinya sesudah kamu! Sebenarnya yang kamu miliki dari dunia, hanyalah sekedar yang telah kamu manfaatkan untuk dirimu …. Maka utamakanlah diri itu dari orang yang untuknya kamu kumpulkan harta itu yaitu anak-anakmu yang bakal mewariaimu.

Karena dalam mengumpul-ngumpul harta itu kamu akan memberikan­nya kepada salah satu di antara dua: Adakalanya kepada anak yang shaleh yang beramal dengannya guna mentaati Allah, maka ia berbahagia atas segala penderitaanmu .. .. Dan ada­kalanya pula kepada anak durhaka yang mempergunakan untuk maksiat, maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah kamu kumpulkan untuknya itu …. Maka percayakanlah nasib mereka kepada rizqi yang ada pada Allah, dan selamatkanlah dirimu sendiri … !”

Menurut pandangan Abu Darda’, dunia seluruhnya hanya sernata-mata titipan. Sewaktu Ciprus ditaklukkan, dan harta rampasan perang dibawa ke Madinah, orang melihat Abu Darda’ menangis . . . . Mereka dengan terharu mendekatinya dan mereka meminta Jubair bin Nafir untuk menanyainya:

“Wahai Abu Darda’, apakah sebabnya anda menangis pada saat Islam telah dimenangkan Allah bersama ahlinya … ! Pertanyaan tersebut dijawab oleh Abu Darda’ dengan suatu untaian kata yang sangat berharga dan pengertian yang mendalam: “Aduh …. wahai Jubair! Alangkah hinanya makhluq di siai Allah, bila mereka meninggalkan kewajiban­nya terhadap Allah …. Selagi ia sebagai suatu ummat yang perkasa, berjaya mempunyai kekuatan, lalu mereka tinggal­kan amanat Allah, maka jadilah mereka seperti yang engkau lihat… !”

Benarlah demikian …

Menurut Abu Darda’, keruntuhan cepat yang dijumpai bala­tentara Islam pada negeri-negeri yang dibebaskan, sebabnya ialah karena negeri-negeri tersebut kehilangan pegangan ruhani yang benar yang melindunginya dan Agama yang betul yang menghubungkannya dengan Allah.

Dan karena itu pula ia mengkhawatirkan keadaan Kaum Muslimin di seat ikatan iman mereka mengendor, hubungan mereka dengan Allah menjadi lemah, dengan yang haq dan dengan kebaikan, maka berpindahlah titipan itu dari tangan mereka dengan mudah sebagaimana dulu berpindah kepada mereka dengan mudah pula ….

Sebagaimana menurut keyakinannya dulu dunia seluruhnya hanya semata-mata pinjaman, begitu juga ia menjadi jembatan untuk menyeberang kepada kehidupan yang abadi dan lebih mengasyikkan ….

Pada suatu kali para shahabatnya menjenguknya sewaktu ia sedang sakit, mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit . . . . Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk …. Tawaran ini dijawabnya sambil memberi iayarat dengan telunjuknya, sedang kedua matanya yang bercahaya-cahaya menatap jauh ke depan: “Kampung kita nun jauh di sana . . . untuknya kita mengumpulkan bekal, dan ke sana kita akan kembali . . . kita akan berangkat kepadanya . . . dan beramal untuk bekal di sana … !”

Pandangan terhadap nilai dunia ini bagi Abu Darda’ bukan hanya sekedar arah pandangan saja, tetapi lebih dari itu ia me­rupakan suatu jalan hidup . . . !

Yazid bin Mu’awiyah putera Khalifah pernah melamar anaknya dan ditolaknya. Ia tidak hendak menerima lamaran tersebut. Kemudian ia dilamar oleh salah seorang Muslim yang shaleh tetapi miakin, maka puterinya itu dinikahkannya kepadanya. Orang-orang pada tercengang dengan tindakannya itu. Abu Darda’ memberitahu mereka alasan-alasannya, katanya:

“Bagaimana kiranya nanti dengan si Darda’ bila ia telah dikelilingi para pelayan dan inang pengasuh dan terpedaya oleh kemewahan istana . . . di mana letak agamanya waktu itu…?”

Ia seorang yang bijaksana berjiwa lurus dengan hati yang mulia. Semua kesenangan harta benda dunia yang sangat diingini nafsunya dan didambakan kalbunya, dituduhkan . . . . Dengan sifat ini, berarti ia bukan lari dari kebahagiaan, malah sebalik­nya. Maka kebahagiaan sejati baginya, ialah menguasai dunia, bukan dikuasai dunia. Bilamana manusia hidup dalam batas bersahaja dan sederhana, dan bilamana mereka telah meng­gunakan hakikat dunia hanya sebagai jembatan yang menye­berangkannya ke kampung halaman yang tetap dan abadi, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan sejati yakni kebahagiaan yang lebih sempurna dan lebih agung ….

Ia juga berkata: “Kebaikan bukanlah karena banyak harta dan anak-pinakmu tetapi kebaikan yang sesungguhnya ialah bila semakin besar rasa santunmu, semakin Sertambah banyak ilmu­mu, dan kamu berpacu menandingi manusia dalam mengabdi kepada Allah Ta’ala!”

Pada masa Khalifah Utsman r.a. Muawiyah menjadi gubernur di Syria, dan Abu Darda’ menjabat hakim atas kehendak Kha­lifah. Di sanalah, di Syria ia menjadi tonggak penegak yang mengingatkan orang akan jalan yang ditempuh Rasulullah dalam hidupnya, zuhudnya, dan jalan hidup para pelopor Islam yang pertama dari golongan syuhada dan shiddiqin. Negeri Syria waktu itu adalah negeri yang makmur penuh dengan nikmat dan ke­mewahan hidup. Penduduk yang mabuk dengan kesenangan dunia dan tenggelam dalam kemewahan ini, seolah-olah merasa dibatasi dengan peringatan dan nasihat Abu Darda’ . . . Abu Darda’ mengumpulkan mereka dan berdiri berpidato di hadapan mereka, demikian katanya:

“Wahai penduduk Syria ….

Kalian adalah saudara seagama, tetangga dalam rumah tangga, dan pembela melawan musuh bersama ….

Tetapi saya merasa heran melihat kalian semua, kenapa kalian tak punya rasa malu?

Kalian kumpulkan apa yang tidak kalian makan.

Kalian bangun semua yang tidak akan kalian diami.

Kalian harapkan apa yang tidak akan kalian capai.

Beberapa kurun waktu sebelum kalian, mereka pun mengum­pulkan dan menyimpannya ….

Mereka mengangan-angankan, lalu mereka berkepanjangan dengan angan-angannya

….

Mereka membina, lalu mereka teguhkan bangunanya . . . . Tetapi akhirnya semua itu jadi binasa ….

Angan-angan mereka jadi fatamorgana ….

Dan rumah-rumah mereka jadi kuburan belaka ….

Mereka itu ialah kaum ‘Ad, yang memenuhi daerah antara Aden dan Oman dengan anak-pinak dan harta benda … !”

Kemudian terbayang di antara kedua bibirnya suatu senyum­an lebar yang mengejek, ia melambaikan tangannya kepada khalayak yang penuh berdesakan dan dengan kelakar sinis yang menusuk ia pun berteriak:

“Ayo, siapa yang mau membeli harta peninggalan kaum ‘Ad daripadaku dengan harga dua dirham … ?”

Seorang pria yang berwibawa, anggun, dan menyinarkan cahaya, hikmatnya meyakinkan, sikap tingkah wara, logikanya benar dan cerdas … ! Ibadat menurut Abu Darda’ bukan sekedar formalitas dan ikut-ikutan; sebenarnya adalah suatu ikhtiar mencari kebaikan dan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan rahmat dan ridla Allah, senantiasa rendah hati, dan mengingatkan manusia akan kelemahannya serta kelebihan Tuhan atasnya. Ia pun berkata:

“Carilah kebaikan sepanjang hidupmu . . . dan majulah mencari embusan karunia Allah, sebab sesungguhnya Allah mempunyai tiupan rahmat yang dapat mengenai siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya …!”

Mohonlah kepada Allah agar Ia menutupi malu atau cela dan kejahatanmu serta menghilangkan rasa ketidak tentraman­mu … !”

Ahli hikmat ini matanya selalu terbuka meneliti dan me­neropong ibadat imitasi diingatkannya setiap orang akan kepalsuannya. Kepalsuan inilah yang banyak menimpa sebagian besar orang-orang yang berwatak lemah dalam iman mereka, rnereka ‘ujub atau membanggakan diri dengan ibadat mereka, lalu mereka merasa dirinya lebih dari orang lain dan menyom­bong . . . . Marilah Kita simakkan lagi apa katanya: “Kebaikan sebesar atom (dzarrah) dari orang yang taqwa dan yakin, lebih berat dan lebih bernilai daripada ibadatnya seumpama gunung orang-orang yang menipu diri sendiri. . .

Ia berkata lagi:

“Jangan kalian bebani orang dengan yang tidak sanggup dipikulnya . .. dan jangan kalian menghisab mereka dengan mengambil alih pekerjaan Tuhannya … ! Jagalah diri kalian sendiri, sebab siapa yang selalu mengingini apa yang di­punyai orang lain, niscaya akan berkepanjangan nestapa­nya … ! “

Ia tidak menghendaki seseorang ‘abid atau ahli ibadat bagai­mana juga tinggi pengabdiannya, mengaku dirinyalah secara mutlaq lebih sempurna dari hamba-hamba Allah yang lain. Sewajarnya ia memuji syukur kepada Allah atas taufiq-Nya, dan menolong mendu’akan orang lain yang belum mendapatkan taufiq itu dengan ketinggian ibadat dan keikhlasan niatnya.

Nah, pernahkah anda mengenai hikmah yang daya sorot dan daya sinarnya melebihi hikmah budiman ini … ?

Seorang shahabatnya bernama Abu Qalabah berceritera sebagai berikut: “Suatu hari Abu Darda’ melihat orang-orang sedang mencaci-maki seseorang yang terperosok pada perbuatan dosa, ia berseru: “Bagaimana pendapat kalian bila menemukan­nya terperosok ke dalam lobang . . . ? bukankah seharusnya kalian berusaha menolong mengeluarkannya dari lobang tersebut … ?”

Jawab mereka: “Tentu saja . . . !” Katanya: “Kalau begitu jangan kalian cela dia, tetapi hendaklah kalian memuji syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian!”

Tanya mereka pula: “Apakah anda tidak membencinya Jawabnya: “Yang kubenci adalah perbuatannya, bila ditinggal­kannya maka ia adalah saudaraku ……

Seandainya apa yang telah kami kemukakan di atas bagi Abu Darda’ merupakan salah satu wajah dari kedua wajah ibadah, maka wajahnya yang lain ialah ilmu dan ma’rifat ….

Sungguh, Abu Darda’ benar-benar mengkuduskan ilmu dengan setinggi-tinggi kedudukan, disucikannya selaku ia seorang budiman, dan disucikannya selaku ia seorang ‘abid. Perhatikanlah ungkapannya tentang ilmu:

“Orang tidak mungkin mencapai tingkat muttaqin, apabila tidak berilmu, apa guna ilmu, apabila tidak dibuktikan dalam, per­buatan”.

Ilmu baginya ialah: pengertian dari hasil penelitian, jalan dalam mencapai tujuan, ma’rifat untuk membuka tabir hakikat, landasan dalam berbuat dan bertindak, daya fikir dalam mencari kebenaran dan motor kehidupan yang disinari iman, dalam melaksanakan amal bakti kepada Allah ar-Rahman.

Dalam mengkuduskan ilmu seorang budiman menganggap:

“Pendidik dan penuntut ilmu sama mempunyai kedudukan yang mulia, masing-masing mempunyai kelebihan dan pa­hala. . . “

Ia melihat pula bahwa kebesaran hidup ini yang banyak sangkut pautnya dengan segala sesuatu tergantung kepada ilmu yang baik. Resapkan ucapannya ini:

“Aku tak tabu mengapa ulama kalian pergi berlalu, sedang orang-orang jahil kalian tidak mau mempelajari ilmu? Ketahuilah bahwa guru yang baik dan muridnya, serupa pahalanya …. Dan tak ada lagi kebaikan yang lebih utama dari kebaikan mereka . . . . “.

Katanya pula:

“Manusia itu tiga macam: orang yang berilmu, orang yang belajar . . . , dan yang ketiga orang yang goblok tidak mem­punyai kebaikan apa-apa. . . .”.

Dan sebagaimana telah kami jelaskan di atas, ilmu dan amal tak pernah berpisah dari hikmat Abu Darda’ r.a. Ia berkata: “Yang paling kutakutkan nanti di hari qiamat ialah bila di­tanyakan orang di muka khalayak: “Hai ‘Uwaimir, apakah eng­kau-berilmu?, maka akan kujawab: “Ada …… Lalu ditanyakan orang lagi kepadaku: “Apa saja yang engkau amalkan dengan ilmu yang ada itu?”

Ia selalu memuliakan ulama yang mengamalkan ilmunya, menghormati mereka dengan penghormatan besar, bahkan beliau berdoa kepada Tuhannya dengan katanya: “Ya. Allah, aku ber­lindung kepada-Mu dari kutukan hati ulama . . . . .. Lalu ia ditanyai: “Bagaimana dapat hati mereka mengutuki anda?” Jawabnya r.a.; “Dibencinya aku . . . !”

Adakah anda perhatikan . . . ? Bahwa ia memandang suatu laknat yang tak tertanggungkan bila terdapat kebencian orang alim kepadanya. Oleh karena itulah ia dengan rendah hati berdoa kepada Tuhannya, agar Ia melindunginya daripadanya ….

Hikmah Abu Darda’ mengajarkan berbuat baik dalam per­saudaraan dan membina hubungan manusia dengan manusia atas dasar kejadian tabiat manusia itu sendiri, maka berkatalah ia: “Cacian dari seorang saudara, lebih baik daripada kehilang­annya …. Siapakah mereka bagimu, kalau bukan saudara atau teman? Berilah saudaramu dan berlunak lembutlah kepadanya … ! Dan jangan engkau ikut-ikutan mendengki saudaramu, nanti engkau akan seperti orang itu pula . . . ! Besok engkau akan dijelang maut, maka cukuplah bagi engkau kehilangannya …. Bagaimana anda akan menangisinya sesudah mati, sedang selagi hidup tak pernah anda memenuhi haknya… !”

Pengawasan Allah terhadap hamba-Nya menjadi dasar yang kuat bagi Abu Darda’, untuk membangun hak-hak persaudaraan di atasnya. Berkatalah Abu Darda’ r.a.:

“Aku benci menganiaya seseorang . . . , dan aku lebih benci lagi, jika sampai menganiaya seseorang yang tidak mampu meminta pertolongan dari aniayaanku, kecuali kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar … !”

Alangkah besar jiwamu, dan terang pancaran ruhmu, wahai Abu Darda’!

Ia selalu memberi peringatan keras terhadap masyarakat dari fikiran keliru yang menyangka bahwa kaum lemah mudah saja mereka perlakukan sewenang-wenang dengan menyalah. gunakan kekuasaan dan kekuatan. Diperingatkannya, bahwa di dalam kelemahan orang-orang itu, terdapat kekuatan yang ampuh, yakni jeritan hati dan memohon kepada Allah karena kelemahan mereka, lalu menyerahkan nasib mereka ke hadapan­Nya atas perlakuan orang yang menindasnya itu ….

Nah inilah dia Abu Darda’ yang budiman itu            Inilah dia.
Abu Darda’ yang zuhud, ahli ibadah dan yang selalu merindukan kembali hendak bertemu dengan Tuhannya . . . . Inilah dia., ‘Abu Darda’, yang bila orang terpesona oleh ketaqwaannya, lalu mereka meminta du’a restunya, dijawabnya dengan kerendahan’ hati yang teguh, katanya:

“Aku bukan ahli berenang . . . . hingga aku takut akan teng­gelam. . . .”.

Demikianlah Abu Darda’ benarlah ia tak pandai bere­nang? Tetapi apa pula yang akan diherankan, karena bukankah ia hasil tempaan Rasulullah saw…. , murid al-Quran …. putera Islam yang pertama . . . , dan teman sejawat Abu Bakar dan Umar, Serta tokoh-tokoh utama lainnya ...
*******
ditukil dari Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung

Wallahu ‘Alam [Sahabat Rasulullah]

Category: ,

About wandibudiman.blogspot.com:
Blog ini merupakan blog yang dikelola oleh Wandi Budiman, seorang manusia lemah yang selalu mencari keridhaan dari Tuhannya (Allah swt). Terimaksih sudah berkunjung ke Blog ini Semoga apa yang sudah di posting di Blog ini menjadi Sesuatu yang bermanfaat.Amin..

0 komentar