Imam Al-Ghazalli menjelaskan bahwasanya di dalam al-Quran terdapat empat gambaran karakter dari seorang Istri, yaitu sebagai berikut:
Beberapa karakter seorang Istri yang dikisahkan dalam al-Qur'an
Pertama, jenis ideal isteri Musa. walaupun al-Quran tidak menyebut namanya, namun isteri Musa ini dikenali sebagai Safura anak perempuan Syuaib. Safura digambarkan seorang gadis murni. Dia tertarik dengan Musa. Cintanya kepada calon suami, tidak hanya demi kebahagiaan keluarga, iaitu membantu ayahnya. Al-Quran menggambarkan cinta mulia dan halus Safura melalui ayat 26 surah al-Qashash yang bermaksud:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata “Ya bapaku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), kerana sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercayai”
Dan sesungguhnya perkahwinan yang ideal ialah perempuan yang mulia serta setia berpasangan dengan suami yang kuat lagi amanah. Inilah pasangan romantis sebenar.

Kedua, jenis isteri Abu Lahab iaitu perempuan jahat berganding dengan suami terkutuk. Dalam surah al-Lahab ayat 3 dan 4 yang bermaksud:
“Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar”
Isteri Abu Lahab bernama Ummu Jamil tidak disebut dalam al-Quran. Abu Lahab memiliki akhlak buruk dan dikatakan pernah mencuri emas yang terdapat di Kaabah kerana tamak dan rakusnya. Isterinya pula seorang penyombong dan memiliki perasaan hasad dengki yang kuat. Jadi, tugasnya ialah pembantu setia kejahatan suaminya.
Kalau Abu Lahab merupakan penentang utama terhadap nabi s.a.w, maka isterinya adalah pendorong utama yang turut aktif di dalam kegiatan jenayah suaminya.
Jadi jika suami diumpamakan terbakar dalam kejahatan nafsu, isteri pula pembawa kayu api – iaitu pengobar kejahatan suami. Maknanya isteri aktif dalam kegiatan jahat suami.

Ketiga, isteri baik dalam genggaman suami yang jahat. Watak ini menyebut isteri Firaun sebagai contohnya. Walaupun Firaun melalui al-Quran merupakan seorang Raja Besar yang dikutuk Allah, namun isterinya disanjung tinggi dalam al-Quran.
Isteri Firaun yang kononnya bernama Asiah ini juga tidak diberikan nama oleh al-Quran. Ia disebut sebagai “imraatu Firaun” atau perempuan Firaun sahaja. Walaupun Asiah ditakdirkan berpasangan sebagai suami isteri dengan Firaun, namun tindakan akhlaknya sangat bertentangan dengan suaminya yang zalim itu.
Asiah menyelamatkan Musa, sebaliknya Firaun ingin menghapuskan Musa. Dia berkenan dan beriman dengan ajaran Islam yang dibawa Musa. Semua manusia dilingkungannya menyembah Firaun sebagai Tuhan, tetapi dia diam-diam menyembah Allah.

Keempat ialah perempuan Nuh dan Lut. Isteri dua orang nabi a.s ini dinyatakan Allah melalui al_Quran surah at-Tahriim ayat 10 yang bermaksud:
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang salih di antara hamba-hamba Kami;lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun, dari (seksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya);”masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”
Isteri Lut kononnya bernama Wa’ilah, tetapi isteri Nuh tidak diketahui namanya. Namun kedua perempuan ini juga tidak disebut dalam al-Quran siapakah nama mereka.
Keduanya adalah isteri kepada dua lelaki pilihan Allah, namun mereka disifatkan oleh Allah sebagai pengkhianat dan menjadi ahli neraka.
Demikianlah gambaran watak isteri dalam al-Quran. Wallahu ‘alam (sumber)


Bismillahirrahmanirrahim
Abu Nu’aim al-Ashbahani mencatat dalam kitab Hilyatul Auliya’, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Hafalkanlah lima hal dari saya; yang mana seandainya kalian mengendarai unta untuk mencarinya, pasti unta itu sudah binasa sebelum kalian mendapatkannya yaitu, 
1.  janganlah seorang hamba mengharapkan selain Tuhannya,
2. janganlah ia merasa takut kecuali kepada dosanya sendiri,
3. jangan sampai orang bodoh merasa malu untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui,
4. jangan sampai orang ‘alim merasa malu untuk mengatakan ‘Allah lebih tahu (wallahu a’lam)’ tatkala ia ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui; dan
5. kesabaran (bila dikaitkan dengan) iman adalah bagaikan kedudukan kepala dari tubuh, dan tidak ada keimanan bagi orang yang tidak memiliki kesabaran.”

Pesan pertama adalah berharap hanya kepada Allah dan percaya penuh kepada-Nya. Inilah inti dari sikap zuhud. Oleh karenanya, seorang ahli ibadah dari generasi Tabi’in, Yunus bin Maisarah bin Halbas al-Jublani, berkata, “Kezuhudan di dunia itu bujan dengan mengharamkan yang halal, tidak pula dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi kezuhudan di dunia adalah jika kepercayaanmu kepada apa yang ada di tangan Allah lebih kuat dibanding kepercayaanmu kepada apa yang ada di tanganmu; jika keadaanmu ketika tertimpa musibah dan keadaanmu ketika tidak tertimpa adalah sama; dan jika orang yang mencelamu maupun menyanjungmu dalam kebenaran adalah sama.” (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Akan tetapi, dewasa ini betapa banyak orang yang “merasa mampu” sehingga lalai dari berdoa, semata-mata mengandalkan rekadayanya sendiri, dan benar-benar lupa kepada Allah. Ini bukan berarti kita disuruh tidak berupaya dan semata-mata bersandar pada “kepercayaan”, karena Rasulullah sendiri menganjurkan umatnya untuk berusaha mencari yang halal, serta mencela orang yang mengemis, malas dan hanya menjadi beban orang lain. Masalahnya tidak boleh dikacaukan dan dicampuradukkan.
Pesan kedua adalah senantiasa meneropong diri sendiri, ber-muhasabah dan bertaubat. Sebagai manusia biasa, kita tidak ditakdirkan untuk ma’shum (terpelihara dari dosa), dan Allah pun tidak membebani kita melebihi kemampuan kita. Namun, adalah berbeda antara mereka yang sengaja berkubang dalam kemaksiatan dan tenggelam dalam kedurjanaan, dengan mereka yang berusaha sekuat tenaga menaati Allah dan menjauhi dosa-dosa, lalu tersandung kesalahan-kesalahan tanpa disengaja. Kelompok pertama itu tidak pernah menyesal, tetapi yang kedua selalu beristighfar dan memperbaiki diri. Tentu saja, Allah tidak akan memperlakukan mereka secara sama.
Pesan ketiga adalah anjuran untuk tidak segan-segan bertanya dan belajar, ketika kita tidak tahu. Bukankah kebanyakan penyimpangan dan kesesatan bersemi dari benih-benih kebodohan, prasangka, dan kemalasan mencari ilmu? Sebagian besar pengikut aliran sesat adalah orang-orang bodoh yang tidak mau belajar, lalu menuruti hawa nafsunya yang telah dihias oleh syetan. Mereka bukan tidak bersekolah, tetapi tidak mengerti urusan agamanya, walau sangat mahir dalam urusan duniawi. Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang keras-kasar-angkuh tabiatnya, gemar mengumpulkan harta namun pelit, suka berteriak-teriak di pasar-pasar, seperti bangkai di malam hari dan seperti keledai di siang hari, sangat mengerti urusan dunia tetapi tidak tahu-menahu urusan akhirat.” (Riwayat Ibnu Hibban dari Abu Hurairah, dengan sanad shahih ‘ala syarthi muslim).
Pesan keempat adalah tidak malu mengakui ketidaktahuan kita, jika ditanya atas sesuatu yang tidak kita mengerti. Penyakit “segan” seperti ini mudah menghinggapi para ulama, profesor, guru, trainer, penceramah, dan tokoh-tokoh terpandang. Apalagi jika sudah terkenal dan dikagumi oleh banyak pengikut. Dalam hal ini, ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Betapa sejuknya di hati, ketika saya ditanya tentang sesuatu yang saya sendiri tidak mempunyai ilmu tentangnya, kemudian saya katakan: Allahu a’lam.” (Riwayat Darimi, dengan sanad lemah).
Dikisahkan pula, bahwa seseorang datang kepada Ibnu ‘Umar lalu bertanya kepada beliau tentang sesuatu hal. Beliau menjawab, “Saya tidak punya ilmunya.” Beliau kemudian berpaling setelah orang itu beranjak pergi, dan berkata, “(Inilah) sebaik-baik ucapan yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar! Ia ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui, lalu ia menjawab: saya tidak punya ilmunya.” (Riwayat Darimi, dengan isnad hasan).
Pesan kelima adalah berpegang kepada kesabaran. Sungguh, kesabaran dan menahan diri merupakan akhlak yang sangat sering dipesankan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam wahyu-wahyu yang mula-mula turun kepada Rasulullah, baik secara tersirat maupun tersurat. Perhatikanlah isi kandungan surah-surah al-‘Alaq, al-Qalam, al-Muddatsir dan al-Muzzammil; disana terpampang pesan-pesan kesabaran secara nyata. Bahkan, dalam surah al-‘Ashr, Allah menjadikan “saling berpesan dengan kesabaran” sebagai bagian dari sifat orang-orang yang tidak merugi di dunia ini, digandengkan dengan beriman, beramal shalih, serta saling berpesan dengan kebenaran. Rasulullah pun pernah ditanya, “Bagian manakah yang paling utama dari iman?” Beliau menjawab, “Kesabaran dan lapang dada.” (Dikutip oleh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, dari Jabir, dan menurut beliau isnad-nya hasan).
Inilah lima pesan ‘Ali bin Abi Thalib yang sangat berharga. Semoga kita dapat mengambil manfaat darinya. Amin. Wallahu a’lam.

[*] Alimin Mukhtar, 02 Rabi’ul Awwal 1433 H. Pernah dimuat dalam Lembar Tausiyah BMH Malang. (sumber)


Syarah Hadits Arbain No. ke-9 tentang anjuran Melaksanakan Perintah yang telah Allah berikan Kepada kita harus Sesuai Kemampuan dengan kemampuan yang kita miliki. karena Islam tidak mempersulit atau memberatkan umatnya.
Matahari Taat Kepada Allah Untuk Selalu Menyinari Alam in
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Dari Abu Hurairah, 'Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu 'anh, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda : "Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh)" [Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337]

Penjelasa Hadits”
Hadits ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia, Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang bertanya : Wahai Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana “ya” niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya, kemudian beliau bersabda lagi :Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.

Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama, apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya. Hadits ini dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?” sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata “Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya wajib dilakukan satu kali seumur hidup.

Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli fiqh.

Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib” menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan wahyu.

Kalimat, “apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan kalimat yang singkat namun padat dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam, termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung banyaknya, diantaranya adalah sholat, contohnya pada ibadah sholat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu. Begitu pula dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya, juga dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas banyaknya.

Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab fiqh. Hadits diatas sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan 3:102, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas. Sebagian ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah berfirman, QS. Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya” dan firman Allah dalam QS. Al-Hajj 22:78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan agama”

Kalimat, “apasaja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali apabila seseorang mengalami rintangan /udzur dibolehkan melanggarnya, seperti dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan. Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan tersebut dalam selang waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadits ini mengandung berbagai macam pembahasan fiqh.

Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu” maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.
Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya.

Pelajaran dari hadits ini:
1.       Wajibnya menghindari semua apa yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam.
2.       Siapa yang tidak mampu melakukan perbuatan yang diperintahkan secara keseluruhan dan dia hanya mampu sebagiannya saja maka dia hendaknya melaksanakan apa yang dia mampu laksanakan.
3.       Allah tidak akan membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya.
4.       Perkara yang mudah tidak gugur karena perkara yang sulit.
5.       Menolak keburukan lebih diutamakan dari mendatangkan kemaslahatan.
6.       Larangan untuk saling bertikai dan anjuran untuk bersatu dan bersepakat.
7.       Wajib mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, ta’at dan menempuh jalan keselamatan dan kesuksesan.
8.        Al-Hafiz berkata: Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk menyibukkan diri dengan perkara yang lebih penting yang dibutuhkan saat itu ketimbang perkara yang saat tersebut belum dibutuhkan.