AL BIRUNI MENGUASAI BERAGAM BAHASA (973-1048)

Sipakah Ilmuwan Muslim abad pertengahan yang menguasai banyak sekali bahasa, baik secara lisan maupun tulisan??? Ada yang tahu! Ya jawabannya adalah Abu Rayhan Muhammad bin  Ahmad Al Biruni atau yang lebih dikenal dengan nama al Biruni. Bahasa apa saja yang dikusai oleh al Biruni? Selain bahasa persia sebagai bahasa ibunya, beliau menguasai bahasa Arab, Turki, Sanskrit, Ibrani, dan juga Syiriac. Namun pososinya yang akan dijelaskan disini tidak hanya sebatas dikarenakan ia menguasai banyak bahasa tersebut. Kecermelangannya di berbagai bidang ilmu juga menambah lengkap kebesaran namanya sebagai ilmuwan muslim yang berpengaruh.


IMAM MUSLIM KUAT DAYA INGATNYA (820-870)
Seperti yang telah disampaikan pada pembahasan mengenai Imam Bukhari, selain kitab Shahih Bukhari, terdapat juga kitab Shahih lain yang terkenal diantara beragam buku kumpulan hadis lainnya. Kitab Shahih tersebut adalah Kitab Shahih Muslim, yang ditulis oleh Imam Muslim.

IMAM BUKHARI GURU YANG RAMAH (810-870)

Al Bukhari atau lebih terkenal dengan sebutan Imam Bukhari, perangkum hadis-hadis Nabi yang dianggap paling otoritatif hingga saat ini. Hal ini karena bukunya bersama dengan buku karya Imam Muslim, terkenal memuat hadis-hadis yang memiliki tingkat validitas yang sangat tinggi. Bukunya diberi judul Shahih Bukhari (Shahih adalah klasifikasi dari suatu hadits yang otentik karena hadis itu memiliki kontinuitas mata rantai [isnad] yang terjaga, tidak bertentangan dengan penutur lain, dan tidak ada cacat yang tersembunyi didalamnya).

ALLAH MENGAMPUNI DOSA SELAIN SYIRIK
Hadits penutup dari kumpulan hadits Arba’in An-Nawawiyah ini, menjelaskan tentang begitu besar kasih sayang dan ampunan Allah kepada hamba-Nya. Allah akan mengampuni semua dosa-dosa kita jika kita memohon ampunan-Nya, kecuali dosa syirik (menyekutukan Allah).


IMAM MALIK ULAMA MADINAH (715-795)
Malik bin Anas merupakan salah satu dari Imam Mazhab yang empat. Malik bin Anas merupakan pendiri dari Mazhab Maliki, beliau lebih terkenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau dilahirkan di kota Madinah al Munawwaroh (Saudi Arabia). Semenjak mudanya ia terkenal sebagai individu yang menguasai beragam bidang ilmu. Sebagaimana kakek dan ayahnya yang termasuk ulama hadis terpandang di Madinah, ajarannya juga mengutamakan penggunaaan dan pegambilan hukum berdasarkan hadis dan ant penggunaan qiyas, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya. Oleh karena itulah, sokolah yang didirikannya di madinah terkenal dengan “Sekolah Hadits”.

KETAATAN TERHADAP NABI MUHAMMAD
Hadits Ke-41 merupakan hadits tambahan dari kitab Arba’in An Nawawiyah. Hadits ini menjelaskan tentang kesempurnaan iman seseorang ditinjau dari ketaatan terhadap apa yang telah disampaikan Rasulullah.



JANGANLAH MENUNGGU SORE
Dunia hanyalah panggung sandiwara, begitulah salah satu pepatah dahulu mengataka. Memang demikian dunia hanyalah tempat sementara, tempat singgah sementara manusia sebelum menuju alam abadi. Karena itu janganlan kita tertipu, terpedaya dan terlena oleh dunia dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Ingatlah usia kita semakin hari semakin berkurang dan maut kita tidak tahu kapan akan menemui kita, pergunakanlah waktu sebaik mungkin.

TIDAK SENGAJA ATAU LUPA DIMAAFKAN
Hadits ke-39 dari hadits al-Arbai’in an nawawiyah ini menjelaskan tentang perkaran yang akan diampuni oleh Allah ketika seseorang tidak disengaja, lupa dan karena terpaksa melakukan sesuatu yang dilarang Allah.


عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِي : الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ.حديث حسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما
TERJEMAH HADITS / ترجمة الحديث :
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda : " Sesungguhnya Allah telah mema’afkan kesalahan-kesalahan uamt-Ku yang tidak disengaja, karena lupa dan yang dipaksa melakukannya" (HR. Ibnu Majah, Baihaqi dll, hadits hasan) .
[Ibnu Majah no. 2405, Baihaqi (As-Sunan no. 7/356), dan yang lain]

PENJELASAN HADITS ARBA’IN NO. 39
Hadits ini disebutkan dalam tafsir ayat : “Jika kamu melahirkan apa yang ada dihati kamu atau kamu sembunyikan, maka Allah akan mengadili kamu dengan apa yang kamu lakukan itu” (QS. 2 : 284)

Ayat ini menyebabkan para sahabat merasa tertekan. Oleh karena itu, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Mu’adz bin Jabal beberapa orang mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan mereka berkata : “Kami dibebani amal yang tak sanggup kami memikulnya. Sesungguhnya seseorang di antara kami dalam hatinya ada bisikan yang tidak disenanginya, sekalipun bisikan itu menjanjikan dunia. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam lalu menjawab : “Boleh jadi kamu mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan Bani Israil, yaitu kami mau mendengar tetapi kami akan menentangnya. Karena itu katakanlah : ‘Kami mau mendengar dan mau menaati”. Hal itu membuat mereka merasa tertekan dan mereka diam untuk sementara. Lalu Allah memberikan kelonggaran dan rahmat-Nya dengan berfirman : “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. Ia akan mendapatkan pahala atas usahanya dan mendapatkan siksa atas kesalahannya, (lalu ia berdo’a) : ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah”. (QS. 2 : 286)
Allah memberikan keringanan dan mansukh (terhapus)lah ayat yang pertama di atas. Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafi’i berkata : “Allah berfirman : Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan imannya (maka orang semacam ini tidak berdosa)”.

Ada beberapa hukum bagi sikap kekafiran ketika Allah menyatakan bahwa kekufuran tidak terdapat pada orang yang dipaksa, maksudnya bahwa menyatakan kekufuran secara lisan karena dipaksa tidak dianggap kufur. Jika sesuatu yang lebih berat dianggap gugur, maka yang lebih ringan lebih patut untuk gugur. Kemudian disebutkan adanya riwayat dari Ibnu ‘Abbas dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Sesungguhnya Allah membebaskan umatku (dari dosa) karena keliru atau lupa atau dipaksa”.
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda : “Tidak ada thalaq dan pembebasan budak karena pemaksaan”.
Demikianlah pendapat ‘Umar, Ibnu ‘Umar dan Ibnu Zubai.

Tsabit bin Al Ahnaf menikahi perempuan budak yang melahirkan anak milik ‘Abdurrahman bin Zaid bin Khathab. Lalu ‘Abdurrahman memaksa Tsabit dengan teror dan cemeti untuk menceraikan istrinya pada masa khalifah Ibnu Zubair. Ibnu ‘Umar berkata kepadanya : “Perempuan itu belum terthalaq dari kamu, karena itu kembalilah kepada istrimu”. Saat itu Ibnu Zubair di Makkah, maka ia disusul, lalu ia menulis surat kepada gubernurnya di Madinah. Isi surat tersebut, supaya Tsabit dikembalikan kepada istrinya dan ‘Abdurrahman bin Zaid dikenai hukuman. Kemudian Shafiyah binti Abu ‘Ubaid, istri ‘Abdullah bin ‘Umar, mempersiapkan upacara walimahnya dan ‘Abdullah bin ‘Umar menghadiri walimah ini. Wallaahu a’lam.

PELAJARAN DARI HADITS ARBA’IN NO. 39
1. Allah ta’ala mengutamakan umat ini dengan menghilangkan berbagai kesulitan dan memaafkan dosa kesalahan dan lupa.
2. Sesungguhnya Allah ta’ala tidak menghukum seseorang kecuali jika dia sengaja berbuat maksiat dan hatinya telah berniat untuk melakukan penyimpangan dan meninggalkan kewajiban dengan sukarela .
3. Manfaat adanya kewajiban adalah untuk mengetahui siapa yang ta’at dan siapa yang membangkang.
4. Ada beberapa perkara yang tidak begitu saja dimaafkan. Misalnya seseorang melihat najis di bajunya akan tetapi dia mengabaikan untuk menghilangkannya segera, kemudian dia shalat dengannya karena lupa, maka wajib baginya mengqhada shalat tersebut. Contoh seperti itu banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqh.

[SYARH HADITS ARBA’IN AN-NAWAWIYYAH NO. 39]
ABU HANIFAH – PEMERHATI QIYAS (700-767)
Abu Hanifah merupakan salah satu dari empat Imam Mazhab. Beliau merupakan tokoh ketiga dari Imam mazhab yang empat. Jalan Mazhabnya, beliau terkenal sebagai tokoh yang mementingkan penggunaan Qiyas (analogi-perumpamaan) dalam mengambil suatu keputusan. Karena ajarannya menggunakan qiyas dalam skala luas, tidak mengherankan bila ada yang menyebut sekolah yang didirikannya sebagai “Sekolah Pemerhati Qiyas”.


KEUTAMAAN MELAKSANAKAN PERINTAH ALLAH
Sesungguhnya bagi seorang Muslim tidak ada merasa takut dalam menjalani kehidupan dialam pana ini. Karena mereka yakin bahwa Allah akan selalu bersama mereka, Allah akan selalu melindungi mereka, Allah akan menolong mereka dari semua kesulitan hidup dan kezaliman manusia. Hal tersebut diyakini, karena Allah sendiri yang telah mengatakan kepada Rasulullah saw, sebagaimana sabda beliau;

Allah telah berbuat yang terbaik bagi hamba-Nya dan selalu adil dalam berbuat sesuatu. Namun, terkadang kita sebagai manusia menganggap Allah tidak adil kepada mereka dalam memberikan keputusan, bagian dan sebagainya. Padahal tidak akan mungkin ada yang lebih adil daripada Allah. Dalam memberikan pahala dan siksaan pun Allah memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya. Ketika kita berbuat kebaikan maka Allah akan memberi kita 10 x lipat kabaikan lagi bagi kita, namun ketika kita berbuat kejahatan Allah hanya mencatat 1 kejahatan. Untuk lebih jelasnya mari kita pelajari sabda Rasulullah mengenai hal tersebut.



عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلى الله عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ : فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَةَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ  ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً. رواه البخاري ومسلم في صحيحهما بهذه الحروف

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau meriwayatkan dari Tuhannya, Tabaaraka wa ta’aala. Firman-Nya : “Sesungguhnya Allah telah menetapkan nilai kebaikan dan kejahatan, kemudian Dia menjelaskannya. Maka barangsiapa berniat mengerjakan kebaikan tetapi tidak dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat untuk berbuat kebaikan lalu ia mengerjakannya, Allah mencatatnya sebagai 10 sampai 700 kali kebaikan atau lebih banyak lagi. Jika ia berniat melakukan kejahatan, tetapi ia tidak mengerjakannya, Allah mencatatkan padanya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat melakukan kejahatan lalu dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kejahatan”.
(HR. Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shahihnya dengan lafazh ini) . [Bukhari no. 6491, Muslim no. 131]

Penjelasan Hadits Arba’in No. 37
Pensyarah Hadits ini berkata : Ini adalah Hadits yang sangat mulia dan berharga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan betapa banyak kelebihan yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Di antaranya yaitu orang yang berniat melakukan kebaikan sekalipun belum dilaksanakan mendapat satu pahala, sedangkan orang yang berniat berbuat dosa tetapi tidak jadi dikerjakan, mendapat satu pahala, dan bila ia laksanakan mendapat satu dosa. Orang yang berniat baik kemudian melaksanakannya, Allah tetapkan baginya sepuluh kali pahala. Ini adalah suatu keutamaan yang sangat besar, yaitu dengan melipat gandakan pahala kebaikan, tetapi tidak melipat gandakan siksa atas perbuatan dosa. Allah tetapkan keinginan berbuat baik sebagai suatu kebaikan, karena keinginan berbuat baik itu merupakan perbuatan hati yang ditekadkannya.

Berdasarkan sabda ini ada yang berpendapat, seharusnya orang yang berniat berbuat dosa tetapi belum melaksanakannya dicatat sebagai satu dosa, karena keinginan melakukan sesuatu merupakan bagian dari pekerjaan hati. Ada pula yang berpendapat tidak seperti itu, sebab orang yang mengurungkan berbuat dosa dan menghapus keinginannya untuk berbuat dosa dan menggantinya dengan keinginan lain yang baik. Dengan demikian dia diberi pahala satu kebaikan. Tersebut pada Hadits lain : “ ia meninggalkan niat jeleknya itu karena takut kepada-Ku”
Hadits ini semakna dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Setiap muslim punya shadaqah”. Mereka (para sahabat) bertanya : “Sekalipun dia tidak melakukannya?” Sabda beliau : “Hendaklah dia mengurungkan niat jahatnya, maka hal itu menjadi sadaqah bagi dirinya”. (riwayat Bukhari dalam Kitab Adab)
Adapun orang yang meninggalkan niat jahatnya karena dipaksa atau tidak sanggup menjalankannya, maka tidaklah dicatat sebagai suatu kebaikan (yang mendapat pahala) dan tidak termasuk dalam pembicaraan Hadits ini.

Thabari berkata : “Hadits ini membenarkan pendapat yang mengatakan : ’Pembatalan niat seseorang dalam melakukan kebaikan atau keburukan tetap dicatat oleh malaikat, asalkan dia menyadari apa yang diniatkan itu”. Ia membantah pendapat yang beranggapan bahwa malaikat hanya mencatat pembatalan pada perbuatan-perbuatan yang zhahir atau sesuatu yang dapat didengar. Ini berarti dua malaikat yang ditugasi mengawasi manusia mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang. Boleh juga Allah memberikan cara kepada para malaikat itu untuk mengetahui hal itu sebagaimana Allah telah memberikan jalan kepada sebagian besar nabi-Nya dalam beberapa perkara ghaib. Allah telah berfirman berkenaan dengan Isa ketika ia berkata kepeda Bani Israil : “Aku mengabarkan kepada kamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumah-rumah kamu”. (QS. 3 : 49)

Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam juga telah mengabarkan banyak perkara ghaib. Maka dapat saja Allah memberikan kepada dua malaikat itu cara untuk mengetahui niat baik atau niat buruk seseorang lalu dia mencatatnya, bila orang tersebut telah menjadikannya sebagai tekad. Ada pula yang berpendapat malaikat mengetahuinya dari angin yang keluar dari hati seseorang.

Para ulama salaf berselisih paham tentang dzikir manakah yang lebih baik, dzikir dalam hati atau dzikir dengan lisan. Ini semua adalah pendapat Ibnu Khalaf yang dikenal dengan nama Ibnu Bathal. Pengarang kitab Al Ifshah dalam salah satu pernyataannya mengatakan : Sesungguhnya tatkala Allah mengurangi umur umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Allah mengganti kependekan umurnya itu dengan melipat gandakan pahala amalnya”. Barang siapa berniat berbuat baik maka dengan niatnya itu ia mendapatkan satu kebaikan penuh, sekalipun sekadar niat. Allah jadikan niatnya itu sebagai kebaikan penuh agar orang tidak beranggapan bahwa niat semata-mata mengurangi kebaikan atau sia-sia. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan dengan kata “kebaikan sempurna”. Jika seseorang berniat baik lalu melaksanakannya, hal itu berarti telah keluar dari lingkup niat menjelma kepada amal. Niat baiknya ditulis sebagai suatu kebaikan, kemudian perbuatan baiknya digandakan. Hal ini semua tergantung pada ikhlas atau tidaknya niat pada masing-masing perbuatan.

Selanjutnya pada kalimat “sampai dilipatgandakan banyak sekali” , digunakan bentuk kata nakirah (tidak terbatas) yang maknanya lebih luas daripada bentuk kata ma’rifah (terbatas). Kalimat semacam ini menunjukkan adanya pengertian pembalasan yang tidak terhingga banyaknya.

Kalimat janji Allah semacam ini dapat mencakup pernyataan : “Apabila seorang manusia mengeluarkan sedekah sebutir gandum, maka akan diberi pahala atas perbuatannya itu karena rahmat Allah. Sekiranya butiran gandum tersebut ditaburkan lalu tumbuh di tanah yang subur dan dipelihara, disiangi sesuai dengan kebutuhannya, lalu dipanen, maka akan tampak hasilnya. Kemudian hasilnya dapat ditanam lagi pada tanah yang subur lalu dipelihara seperti tanaman sebelumnya. Kemudian terus berjalan semacam itu pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Kemudian hal ini terus berlangsung sampai hari kiamat, sehingga sebutir gandum, sebutir biji sawi, atau sebatang rumput akhirnya dapat menjadi bertumpuk banyak setinggi gunung. Sekiranya sadaqah yang dikeluarkan hanya sebutir jagung karena iman, maka ia kelak akan melihat keuntungan atas sadaqahnya di waktu itu. Dan dihitung-hitung, jika dijual di pasar yang paling laris di negeri yang paling besar, tentulah barang semacam itu merupakan barang yang sangat laris. Kemudian bertambah berlipat ganda dan terus berjalan sampai hari kiamat, maka sebutir gandum tadi tumbuh sebagai benda yang besarnya sebesar dunia ini seluruhnya. Demikianlah balasan Allah atas semua amal kebaikan yang dilakukan, jika didasarkan pada niat yang ikhlas dan muncul dari hati yang ikhlas”.

Sesungguhnya Allah dengan rahmat-Nya berlipat ganda dalam memberi pahala kepada seseorang yang memberikan shadaqah satu dirham kepada orang fakir, lalu si fakir itu memberikannya kepada fakir lain yang lebih melarat dari dirinya, kemudian fakir lain tersebut memberikannya kepada fakir yang ketiga, dan yang ketiga memberikan kepada yang keempat, dan seterusnya. Dari kejadian seperti di atas, Allah akan memberi pahala kepada pemberi shadaqah pertama, dengan sepuluh kali. Bila fakir pertama yang memberikannya kepada fakir yang kedua, maka fakir pertama ini mendapat pahala sepuluh kali, dan pemberi shadaqah pertama mendapat pahala seratus kali (sepuluh kali sepuluh). Kemudian fakir kedua memberikannya kepada fakir ketiga, maka fakir kedua mendapat pahala sepuluh kali, fakir pertama mendapat pahala seratus kali, sedang pemberi shadaqah pertama pahala seratus kali, sedang pemberi shadaqah pertama mendapat pahala seribu kali. Bila fakir ketiga menshadaqahkan kapada fakir keempat, maka fakir ketiga mendapat sepuluh kali, fakir kedua mendapat pahala seratus kali, pemberi shadaqah pertama mendapat pahala sepuluh ribu kali sampai berlipat ganda sehingga tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah. Oleh karena itu, bila kelak Allah mengadili hamba-Nya yang muslim di hari kiamat, kebaikan mereka bertingkat-tingkat nilai ketinggiannya dan ada pula yang kurang nilainya, maka dengan kemurahan dan rahmat-Nya Allah akan memperhitungkan semua amal kebaikannya lebih besar daripada perbedaan nilai antara dua kebaikan. Allah berfirman : “Sungguh Kami pasti memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan”. (QS. 16 : 97)

Sebagaimana seseorang yang berada di salah satu pasar kaum muslim mengucapkan kalimat “laailaaha illallaah wahdah, laa syariikalah …” dengan suara yang tinggi, maka Allah akan mencatat perbuatannya itu dengan memberi pahala seribu kebaikan dan dihapuskan dari orang itu seribu dosanya, serta ia akan diberi sebuah rumah di surga seperti yang tersebut pada sebuah Hadits. Kami terangkan di sini hanyalah apa yang kami ketahui saja, bukan berdasarkan kadar rahmat Allah yang sebenarnya, sebab Allah itu jauh lebih agung dari apa yang dapat digambarkan oleh makhluk. Wallahu a’lam

Pelajaran Hadits Arba’in No. 37
1. Kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya yang beriman sangat luas dan ampunannya menyeluruh sedang pemberian-Nya tidak terbatas.
2. Sesungguhnya apa yang tidak kuasa oleh manusia, dia tidak diperhitungkan dan dipaksa menunaikannya.
3. Allah tidak menghitung keinginan hati dan kehendak perbuatan manusia kecuali jika kemudian dibuktikan dengan amal perbuatan dan praktik.
4. Seorang muslim hendaklah meniatkan perbuatan baik selalu dan membuktikannya, diharapkan dengan begitu akan ditulis pahalanya dan ganjarannya dan dirinya telah siap untuk melaksanakannya jika sebabnya telah tersedia.
5. Semakin besar tingkat keikhlasan semakin berlipat-lipat pahala dan ganjaran.
[HADITS ARBA’IN AN-NAWAWIYAH NO.37]