ABU DZAR AL-GHIFARI (1)
ABU DZAR AL-GHIFARI [Tokoh
Gerakan Hidup Sederhana]
Ia datang ke Mekah
terhuyung-huyung letih tetapi matanya bersinar bahagia….. Memang, sulitnya
perjalanan dan panasnya telah menyengat badannya dengan rasa sakit
udarapadangpasir dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya telah
meringankan penderitaan dan meniupkan semangat serta rasa gembira dalam
jiwanya.
Ia memasuki
kotadengan menyamar seolah-olah ia seorang yang hendak melakukan thawaf
keliling berhala-berhala besar di Ka’bah atau seolah-olah musafir yang sesat
dalam perjalanan atau lebih tepat orang yang telah menempuh
jarak amat jauh, yang merlukan istirahat dan manambah perbekalan.
Padahal seandainya
orang-orang Mekah mengetahui babwa kedatangannya itu untuk menemui Muhammad
shallallahu alaihi wasalam dan mendengar keterangannya, pastilah mereka akan
membunuhnya!
Tetapi ia tak
perduli akan dibunuh asal saja setelah melintasipadangpasir luas, ia dapat
menjumpai laki-laki yang dicarinya dan menyatakan iman kepadanya. Kebenaran dan
da’wah yang diberikan Muhammad shallallahu alaihi wasalam dapat memuaskan
hatinya.
Ia terus melangkah
sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang
memperkatakan Muhammad shallallahu alaihi wasalam , ia pun mendekat dan
menyimak dengan hati-hati; hingga dari cerita yang tersebar di sana-sini,
diperolehnya petunjuk yang dapat menunjukkan tempat persembunyian Muhammad
shallallahu alaihi wasalam , dan mempertemukannya dengan beliau.
Di pagi suatu hari
ia pergi ke tempat itu, didapatinya Muhammad shallallahu alaihi wasalam sedang
duduk seorang diri. Didekatinya Rasulullah, katanya: “Selamat pagi wahai kawan
sebangsa!” “Alaikum salam, wahai shahabat”, ujar Rasulullah.
Kata Abu Dzar: “Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!” “Ia bukan sya’ir
hingga dapat digubah, tetapi adalah Quran yang mulia!”, Ujar Rasulullah. “Bacakanlah
oleh Rasulullah, sedang Abu Dzar mendengarkan dengan penuh perhatian, hingga
tidak berselang lama iapun berseru: “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu
anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh”.
Anda dari mana,
saudara sebangsa?”, tanya rasulullah. “Dari Ghitar”, ujarnya. Maka terbukalah
senyum lebar di kedua bibir Rasulullah, sementara wajahnja diliputi rasa kagum
dan ta’jub. Abu dzar tersenyum pula, karena ia mengetahui rasa terpendam di
balik rasa kagum Rasulullah demi mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam
di hadapannya secara terus terang itu, seorang laki-laki dari Ghifar.
Ghifar adalah
suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka
jadi tamsil perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang
kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka, dan celakalah orang yang
kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam!
Sekarang, dikala
agama Islam yang baru saja lahir dan berjalan sembunyi-sembunyi, mungkinkah ada
diantara orang-orang Ghifar itu seorang yang sengaja datang untuk masuk Islam?
Berkatalah Abu Dzar dalam menceritakan sendiri kisah itu: “Maka pandangan
Rasulullah pun turun naik, tak putus ta’jub memikirkan tabi’at orang-orang
Ghifar, lalu sabdanya :
” Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang disukainya…!
Benar, Allah
menunjuki,siapa yang Ia kehendaki ! Abu dzar salah seorang yang,
dikehendaki Allah beroleh petunjuk , orang yang dipilihNya akan mendapat
kebaikan.
Dan memang, Abu
Dzar ini seorang yang tajam pengamatannya tentang kebenaran. Menurut riwayat,
ia termasuk salah seorang yang menentang pemujaan berhala di zaman jahiliyah,
mempunyai kepercayaan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan Yang Maha Esa lagi
Perkasa, maka iapun menyiapkan bekal dan segera mengayunkan langkahnya.
*****
Abu Dzar telah
masuk Islam tanpa ditunda-tunda lagi….! urutannya dikalangan Muslimin adalah
yang kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agam itu pada hari-hari pertama,
bahkan pada saat-saat pertama agama Islam, hingga keIslamannya termasuk dalam
barisan terdepan.
Ketika ia masuk
Islam, Rasulullah masih menyampaikan da’wahnya secara berbisik-bisik.
Dibisikkannya kepada Abu Dzar begitupun kepadalimaorang lainya yang telah iman
kepadanya. Dan bagi Abu Dzar, tak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain
memendam keimanan itu dalam dada, lalu meninggalkankotaMekah secara diam-diam
dan kembali kepada kaumnya.
Tetapi Abu Dzar
yang nama aslinya Jundub bin Janadah, seorang radikal dan revolusioner. Telah
menjadi watak dan tabi’atnya menentang kebathilan dimanapun ia berada. Dan
sekarang kebathilan itu berada dihadapannya serta disaksikannya dengan kedua
matanya sendiri….Batu-batu yang ditembok, yang dibentuk oleh para pemujanya,
disembah oleh orang-orang yang menundukkan kepala dan merendahkan akal mereka,
dan diseru mereka dengan ucapan yang muluk : Inilah kami , kami datang demi
mengikuti titahmu!
memang, ia melihat
Rasulullah memilih cara bisik-bisik pada hari-hari tersebut, tetapi tidak dapat
tidak harus ada suatu teriakan keras yang akan dikumandangkan pemberontak ulung
ini sebelum ia pergi. Baru saja masuk Islam, ia telah menghadapkan pertanyaan
kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, apa yang saya kerjakan menurut anda?” “Kembalillah
kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!”, ujar Rasulullah. “Demi Tuhan yang
menguasai nyawaku”, kata Abu Dzar pula, “saya takkan kembali sebelum
meneriakkan Islam dalam masjid!”
Bukankah telah
saya katakan kepada kalian…..?
Jiwa yang radikal
dan revolusioner! Apakah Abu Dzar pada saat terbukanya alam baru secara
gamblang, yang jelas terlukis pada Rasulullah yang diimaninya, sertada’wah yang
uraiannya disampaikan dengan lisannya…, apakah pada saat seperti itu ia mampu
kembali kepada keluarganya dalam keadaan membisu seribu bahasa ? Sunguh, hal
itu diluar kesanggupan dan kemampuannya!
Abu Dzar pergi
menuju masjidil haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya suaranya: “Asyhadu
Alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah”. Setahu kita,
teriakan ini merupakan teriakan pertama tentang Agama Islam yang menentang
kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telinga mereka…., diserukan oleh
seorang perantau asing yang diMekkah tidak mempunyai bangsa, sanak keluarga
maupun pembela. Dan sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya
telah dimaklumi akan ditemuinya…. Orang-orang musyrik mengepung dan memukulnya
hingga rubuh.
Berita mengenai
peristiwa yang dialami Abu Dzar itu akhirnya sampai juga kepada paman Nabi,
Abbas. Ia segera mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut, tapi
dirasanya ia tidak dapat melepaskan Abu Dzar dari cengkeraman mereka kecuali
dengan menggunakan diplomasi halus, maka katanya kepada mereka : “Wahai kaum
Quraisy! Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat
dikampung Bani Ghifar. Dan orang ini salah seorang warganya, bila ia bertindak
akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu nanti!” merekapun
sama menyadari hal itu, lalu pergi meniggalkannya.
Tetapi Abu Dzar
yang telah mengenyam manisnya penderitaan dalam membela Agama Allah, tak hendak
meninggalkan Mekkah sebelum beroleh tambahan dari darma baktinya.
Demikianlah pada
hari berikutnya, tampak olehnya dua orang wanita sedang thawaf keliling
berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil memohon padanya. Abu Dzar segera
berdiri menghadangnya, lalu dihadapan mereka berhala-berhala itu dihina
sejadi-jadinya.
Kedua wanita itu
memekik berteriak, hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana belalang,
lalu menghujani Abu Dzar dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. Ketika ia
siuman, maka yang diserunya tiada lain hanyalah “bahwa tiada Tuhan yang haq
diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah”.
Maklumlah sudah
Rasulullah shallallahu alaihi wasalam akan watak dan tabi’at murid barunya yang
ulung ini serta keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya
sayang saatnya belum lagi tiba, maka diulanginyalah perintah agar dia pulang,
sampai bila telah didengarnya nanti Islam lahir terang-terangan ia dapat
kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya……
******
Abu Dzar kembali
mendapatkan keluarga serta kaumnya dan menetapkan kepada mereka tentang Nabi
yang baru diutus Allah, -yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa
dan membimbing mereka supaya berakhlaq mulia. Seorang demi seorang kaumnya
masuk Islam; Bahkan usahanya tidak terbatas pada kaumnya
semata, tapi dilanjutkannya pada,suku lain – yaitu suku Aslam:-di tengah-tengah
mereka: dipancarkan cahaya islam…..
Hari-hari
berlalu mengikuti peredaran , Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan
menetap disanabersama Kaum Muslimin. Pada suatu hari, suatu barisan panjang
yang, terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota,
meninggalkan kepulan debu belakang mereka, Kalau bukanlah bunyi suara takbir
mereka yang gemuruh tentulah yang melihat akan menyangka mereka itu suatu
pasukan tentara musyrik yang hendak menyerang kota.
Rombongan besar
itu semakin dekat….. lalu masuk ke dalamkota dan menujukan
langkah mereka ke masjid Rasulullah dan tempat kediamannya.
Ternyata rombongan
itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan semuanya
oleh Abu Dzar dan tanpa kecuali telah masuk Islam; laki-laki, perempuan, orang
tua, remaja dan anak-anak.
Sudah
selayaknyalah Rasulullah semakin ta’jub dan kagum! Belum lama berselang, ia
ta’jub ada seorang Iaki-laki dari Ghifar yang menanyakan keislamannya di
hadapannya. Sabdanya menunjukkan keta’juban itu:
“Sungguh Allah
memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya”
Maka sekarang yang
datang itu adalah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keIslaman mereka. Telah
beberapa tahun lamanya mereka menganut Agama itu, semenjak mereka diberi
hidayah Allah di tangan Abu Dar. Dan ikut pula bersama mereka suku Aslam.
Raksasa garong dan
komplotan syetan telah beralih rupa menjadi raksasa kebajikan dan pendukung
kebenaran ! Nah, tidaklah sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ?
Rasulullah
melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang
diliputi rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, ia
bersabda:
” Suku Ghifar
telah di-ghafar — diampuni — oleh Allah.”
Kemudian sambil
menghadap kepada suku Aslam, sabdanya
” Suku Aslam telah
disalam – diterima dengan damai – oleh Allah.”
Dan mengenai Abu
Dzar, muballigh ulung yang berjiwa bebas dan bercita- cita mulia itu, tidakkah
Rasulullah akan menyampaikan ucapan istimewa kepadanya? Tidak pelak lagi,
pastilah ganjarannya tidak terhingga, serta ucapan kepadanya dipenuhi berkah!
Dan tentulah pada dadanya akan tersemat bintang terfinggi, begitu pun riwayat
hidupnya akan penuh dengan medali. Turunan demi turunan serta generasi demi
generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan selalu mengulang-ulang apa
yang disabdakan oleh Rasulullah saw. mengenai Abu Dzar ini:·
Takhan pernah lagi
dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar …!
*******
Lebih benarkah
ucapannya dari Abu Dzar …?
Sungguh,
Rasulullah saw. bagai telah membaca hari depan shahabatnya itu, dan manyimpulkan
kesemuanya pada kalimat tersebut. Kebenaran yang disertai keberanian, itulah
prinsip hidup Abu Dzar secara keseluruhan!
Benar bathinnya,
benar pula lahirnya.
Benar ‘aqidahnya,
benar pula ucapannya.
Ia akan menjalani
hidupnya secara benar, tidak akan melakukan kekeliruan. Dan kebenarannya itu
bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu Dzar, kebenaran yang
bisu bukanlah kebenaran! Yang dikatakan benar ialah menyatakan secara terbuka
dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan menentang yang bathil,
menyokong yang betul dan meniadakan yang salah.
Benar itu
kecintaan penuh terhadap yang haq, mengemukakannya secara berani dan melaksanakannya
secara terpuji.
Dengan
penglihatannya yang tajam, bagai menembus ke alam ghaib yang jauh tidak
terjangkau atau samudera yang tidak terselami, Rasulullah saw. menampakkan
segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran
dan ketegasannya. Maka selalu dipesankan kepadanya agar melatih diri dengan
keshabaran dan tidak terburu nafsu.
Pada suatu hari
Rasulullah mengemukakan Irepadanya pertanyaan berikut ini:
“Wahai Abu Dzar,
bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti
untuk diri mereka pribadi?” Jawab Abu Dzar: “Demi yang telah mengutus anda
dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!” Sabda Rasulullah
pula: Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu….? Ialah bershabar
samapai kamu menemuiku ”
Tahukah anda
kenapa Rasulullah mengajukan pertanyaan seperti itu? Itulah persoalan pembesar
dan harta …!
Nah itulah
persoalan pokok bagi Abu Dzar dan untuk itu ia harus membaktikan hidupnya,
suatu kemusykilan menyangkut masyarakat ummat dan masa depan yang harus
dipecahkannya!
Hal itu telah
dimaklumi oleh Rasululiah, dan itulah sebabnya kepada beliau mengajukan
pertanyaan seperti demikian, yaitu untuk membekalinya dengan nasihat yang amat
berharga: “Bershabarlah sampai kamu menemuiku”
Maka Abu Dzar akan
selalu ingat kepada wasiat guru dan Rasul ini. Ia tiadalah akan menggunakan
ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengaut kekayaan dari harta rakyat
sebagai ancamannya dulu …,tetapi juga ia tidak akan bungkam atau berdiam diri
walau agak sesaat pun terhadap mereka!
Memang, seandainya
Rasulullah saw. melarangnya menggunakan senjata untuk menebas leher mereka,
tetapi beliau tidak melarangnya menggunakan lidah yang tajam demi membela kebenaran.
Dan wasiat itu akan dilaksanakannya …!
Masa Rasulullah
berlalulah sudah, disusul kemudian oleh masa Abu Bakar, kemudian masa Umar.
Dalam kedua Khilafah ini masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya godaan hidup dan
unsur-unsur fitnah pemecah belah, hingga nafsu angkara yang haus dahaga tidak
beroleh angin atau mendapatkan jalan.
Ketika itu tidak
terdapat penyelewengan-penyelewengan yang akan mengakibatkan Abu Dzar bangkit
menentang dengan suaranya yang lantang dan kecamannya yang pedas. Telah lama
berlaku dalam pemerintahan Amirul Mu’minin Umar keharusan hidup sederhana dan
menjauhi kemewahan serta menegakkan keadilan bagi setiap pejabat dan pembesar
Islam. Begitu pun para hartawan di mana mereka berada, telah melaksanakan
disiplin ketat yang hampir saja tidak terpikul oleh kemampuan manusia.
Tiada seorang pun
di antara pejabatnya, baik di Irak, di Syria, Shan’a, atau di negeri yang jauh
letaknya sekalipun, yang memakan panganan mahal yang tidak terjangkau oleh
rakyat biasa, kecuali selang beberapa hari berita itu akan sampai kepada Umar
dan perintah keras pun akan memanggil pejabat yang bersangkutan menghadap
Khalifah di Madinah untuk menjalani pemeriksaan ketat.
Akan tenanglah Abu
Dzar kalau demikian …tenteram dan damai, selama al-Faruqul ‘adhim’) masih
menjabat Amirul Mu’minin …. Dan selama Abu Dzar dalam kehidupannya tidak
diganggu oleh kepincangan-kepincangan seperti penumpukan harta dan
penyalahgunaan kekuasaan, maka dengan pengawasan Umar ibnul Khatthab’ yang
ketat terhadap fihak penguasa dan pembagian yang merata terhadap harta, berarti
telah memberikan kepuasan dan kelegaan kepada dirinya …. Dan dengan demikian
dapatlah ia memusatkan perhatiannya dalam beribadat kepada Allah penciptanya
dan berjihad di jalan-Nya, tanpa sedikitpun hendak berdiam diri jika melihat
kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu memang jarang terjadi ….
Akan tetapi
setelah khalifah terbesar yang teramat adil dan paling mengagumkan di antara
tokoh kemanusiaan telah pergi, terasa adanya kehampaan dalam kepemimpinan.
Bahkan hal tersebut menimbulkan kemunduran yang tak dapat dikuasai dan dibatasi
oleh tenaga manusia. Sementara itu meluasnya ajaran al-Islam ke berbagai
pelosok dunia menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang yang tidak dapat menahan
godaan dunia banyak yang terjerwmus ke daiam kemewahan yang melebihi batas.
Abu Dzar melihat
bahaya ini ….
Panji-panji
kepentingan pribadi hampir saja menyeret dan mendepak orang-orang yang tugasnya
sehari-hari menegakkan panji-panji Allah. Dan dunia, dengan daya tarik serta
tipu muslihatnya yang mempesona, hampir pula memperdayakan orang-orang yang
mengemban risalah untuk menpergunakannya sebagai wadah untuk menyemai dan
menanamkan kebajikan!
Dan harta yang
dijadikan Allah sebagai pelayan yang harus tunduk kepada manusia, cenderung
berubah mupa, menjadi tuan yang mengendalikan manusia.
Al-Faruqul ‘adhim,
yakni pemisah antara haq dan bathil yang perkssa. Al-Faruq, ialah gelar
kepahlawanan Umar ibnul Khatthab yang dianugerahkan oleh RasululIah saw.
Dan kepada siapa..
.?
Tiada lain kepada
shahabat-shahabat Muhammad saw., yang di waktu wafatnya baju besinya
sedang tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk
di bawah telapak kakinya!
Hasil kekayaan
bumi yang sengaja diperuntukkan Allah bagi semua ummat manusia, dengan
menjadikan mereka mempunyai hak yang sama, hampir berubah menjadi suatu
keistimewaan dan hak monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan.
Dan jabatan, yang
merupakan amanat untuk dipertanggungjawabkan kelak di hadapan pengadilan ilahi,
beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan kemewahan yang
menghancur binasakan.
Abu Dzar melihat
semua ini. Ia tidak memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan tanggung
jawabnya. Hanya ia langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan
membedahnya.
Kemudian ia
bangkit berdiri dan menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran
islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Tetapi secepatnya bergemalah
dalam kalbunya bunyi wasiat yang telah disampaikan Rasulullah ke padanya dulu.
Maka dimasukkannya kembali pedang itu ke dalam sarungnya, karena tiada
sepantasnya ia akan mengacungkannya ke wajah seorang Muslim.
Dan tidak
ada haq bagi seorang Mu ‘min untuk membunuh Mu ‘min lainnya kecuali karena
keliru (tidak sengaja). (Q,S. an-Nisa : 92)
Bukankah dulu
Rasulullah telah menyatakan di hadapan para shakabatnya bahwa di bawah langit
ini takkan pernah lagi muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar?
Orang yang
memiliki bemampuan seperti ini, berupa kata-kata tepat dan jitu, tidak
memerlukan lagi senjata lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya, akan lebih
tajam dan banyak hasilnya daripada pedang walau sepenuh bumi.
Maka dengan
senjata kebenarannya ia akan pergi mendapatkan para pembesar, kaum hartawan;
pendeknya kepada dunia manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang
membahayakan Agama, yakni Agama yang sengaja datang untuk memberikan bimbingan
dan bukan untuk memungut upeti, sebab kenabian bukan suatu kerajaan, menjadi
rahmat karunia bukan adab sengsara, mengajarkan kerendahan hati bukan
kesombongan diri, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan keserakahan,
kesederhanaan bukan keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup
bukan terpedaya dan mati-matian dalam mengejarnya…..!
Baiklah ia pergi
mendapatkan mereka semua, dan biarlah Allah menjadi hakim diantaranya dengan
mereka, dan dialah sebaik-baik hakim!.
******
Maka pergilah Abu
Dzar menemui pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang
tajam dan benar merubah sikap mental mereka satu persatu. Dalam beberapa hari
saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat
banyak dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya
selama itu belum pernah melihatnya.
Nama Abu Dzar
bagaikan terbang kesana…, dan tak satu daerah pun yang dilaluinya — bahkan
walau barn namanya yang sampai ke sans — menimbulkan rasa takut dan ngeri hati
fihak penguasa dan golongan berharta yang beulaku curang.
Seandainya
penggerak hidup sederhana ini hendak mengambil suatu panji bagi diri pribadi
dan gerakannya, maka lambang yang akan terpampang pada panji-panji itu tiada
lain dari sebuah seterika dengan baranya yang merah menyala. Sedang yang akan
menjadi semboyan dan lagi yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat,
dan diulang-ulang pula oleh para pengikutnya seolah-olah suatu lagu perjuangan,
ialah kalimat-kalimat ini:
“Beritakanlah
kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan diseterika
dengan seterika api neraka, menyeterika hening dan pinggang mereka di hari
qiamat”
Setiap ia mendaki
bukit, menuruni lembah memasuki kota; dan setiap ia berhadapan dengan seorang
pembesar, selalu kalimat itu yang menjadi buah mulutnya. Begitu pun setiap
orang melihatnya datang berkunjung, mereka akan menyambutnya dengan ucapan:
“Beritakan kepada para penumpuk harta…!”
Kalimat ini
benar-benar telah menjadi panji-panji suatu missi yang menjadi
tekad serta pendorong dalarfi membaktikan hidupnya, demi dilihatnya harta itu
telah ditumpuk dan dimonopoli, serta jabatan disalahgunakan untuk memupuk
kekuatan dan mengaut keuntungan; serta disaksikannya bahwa cinta dunia telah
merajalela dan hampir saja melumari hasil yang telah dicapai di tahun-tahun
kerasulan, berupa keutamaan dan keshalihan, kesungguhan dan keikhlasan.
Abu Dzar menujukan
sasarannya yang pertama terhadap poros utama kekuasaan dan gudang raksasa
kekayaan, yaitu Syria, tempat bercokolnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memerintah
wilayali Islam paling subur, paling banyak hasil bumi dan paling kaya dengan
barang upetinya. Mu’awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa
perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan
berpengaruh, dan demi terjaminnya masa depan yang masih dirindukannya,
didambakan oleh keinginannya yang luas tidak terbatas ….
Di sana
tanah-tanah luas, gedung-gedung tinggi dan harta berlimpah telah menggoda
sisa-sisa yang tinggal dari pemikul da’wah, maka Abu Dzar cepat mengatasinya,
sebelum hal itu berlarut-larut, sebelum pertolongan datang terlambat hingga
nasi telah menjadi bubur.
Pemimpin gerakan
hidup sederhana ini pun berkemas-kemas, dan secepat kilat berangkat ke Syria.
Dan demi berita itu didengar oleh rakyat jelata, mereka pun menyambut
Kedatangannya dengan semangat menyala penuh kerinduan, dan mengikuti ke mana
perginya.
“Bicaralah, wahai
Abu Dzar!” kata mereka: “bicaralah, wahai shahabat Rasulullah!” Abu Dzar
melepaskan pandang menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumun. Dilihatnya
kebanyakan mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Lalu
dilayangkan pandangnya ke arah tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh
letaknya dari sana, maka tampaklah olehnya gedung-gedung dan mahligai tinggi.
Berserulah ia kepada orang-orang yang berhimpun sekelilingnya itu:
“Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya,
kenapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya!”
Tetapi segera pula
teringat olehnya wasiat Rasulullah yang menyuruhnya memilih cara evolusi
daripada cara revolusi, menggunakan kata-kata tandas daripada senjata pedang.
Maka ditinggalkannyalah bahasa perang dan kembali menggunakan bahasa logika dan
kata-kata jitu. Diajarkannyalah kepada orang-orang itu bahwa mereka sama tak
ubah bagai gigi-gigi sisir …, bahwa semua mereka berserikat dalam rizqi …,
bahwa tak ada kelebihan seseorang dari lainnya kecuali dengan taqwa…, dan bahwa
pemimpin serta pembesar dari suatu golongan, haruslah yang pertama kali
menderita kelaparan sebelum anak buahnya, sebaliknya yang paling belakang
menikmati kekenyangan setelah mereka…!
Dengan ucapan
serta keberaniannya. Abu Dzar telah memutuskan untuk membentuk suatu pendapat
umum di setiap negeri Islam; hingga dengan kebenaran, kekuatan dan ketangguhannya
menjadi kekangan eerhadap para pembesar dan kaum hartawan, dan dapat mencegah
munculnya suatu golongan yang menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta
kekayaan.
Selanjutnya Klik,,, ABU DZAR AL-GHIFARI (2) Habis
Category: SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar