ABU DZAR AL-GHIFARI (2) HABIS
Dalam beberapa
hari saja daerah Syria seakan berubah menjadi sel-sel lebah yang tiba-tiba
menemukan ratu yang mereka ta’ati. Dan seandainya Abu Dzar
memberikan isyarat untuk berontak, pastilah api pemberontakan akan
berkobar. Tetapi sebagai telah kita katakan tadi, niatnya hanya terbatas untuk
membentuk suatu pendapat umum yang harus dihormati, dan agar ucapan-ucapannya
menjadi buah bibir di tempat-tempat pertemuan, di masjid dan di jalan-jalan.
Bahaya terhadap
perbedaan-perbedaan yang timbul itu mencapai puncaknya, ketika ia mengadakan
dialog dengan Mu’awiyah di hadapan umum, di mana yang hadir menyampaikan kepada
yang tidak hadir dan beritanya bagaikan terbang dibawa angin. Abu Dzar tampil
sebagai orang yang paring jitu ucapannya sebagai telah dilukiskan oleh Nabi
sebagai gurunya.
Dengan tidak
merasa gentar dan tanpa tedeng aling-aling ditanyainya Mu’awiyah tentang
kekayaannya sebelum menjadi wall negeri dan kekayaannya sekarang …. Mengenai
rumah yang dihuninya di Mekah dulu, dan mahligai-mahligainya yang terdapat di
Syria dewasa ini ….
Kemudian
dihadapkannya pertanyaan kepada para shahabat yang duduk di sekelilingnya,
yaitu yang ikut bersama Mu’awiyah ke Syria dan telah memiliki gedung-gedung
serta tanah-tanah pertanian yang luas pula. Lain ia berseru kepada semua yang
hadir: “Apakah tuan-tuan yang sewaktu Quran diturunkan kepada Rasulullah,
ia berada di lingkungan tuan-tuan”. Jawaban pertanyaan itu diberikannya
sendiri, katanya: “Benar, kepada tuan-tuanlah al-Quran diturunkan, dan
tuan-tuanlah yang telah mengalami sendiri berbagai peperangan!”
Kemudian diulangi
pertanyaannya: “Tidakkah tuan-tuan jumpai dalam al-Quran ayat ini”:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafqahhannya dijalan Allah, bahura mereka akan
menerima sihsa yang pedih. Yhifu hetika emas dan
perak dipanaskan dalam api neraka, lain diseterikahan he kening,
ke pinggang dan kepunggung mereka – sambil dikatakan
: Nah, inilah dia yang kalian simpan untuk din
kalian itu, maha rasailah akibatnya!”
(Q.S. At Taubah:
Mu’awiyah memotong jalan pembicaraannya, katanya: “Ayat
ini diturunkan kepadaAhlul Kitab!”, “tidak!”, seru Abu Dzar;
“bahkan ia diturunkan kepada kita dan kepadamereka!”
Abu Dzar melanjutkan ucapannya, menasihati Mu’awiyah
dan para anak-buahnya agarmelepaskan gedung, tanah serta
harta kekayaan itu; dan tidak menyimpan untuk dirimasing-masing kecuali sekedar keperluan sehari-hari.
Berita tcntang Abu Dzar dan seal jawab ini tersebar dari
mulut ke mulut, dari orangbanyak ke orang banyak. Semboyannya semakin nyaring terdengar di rumah-rumahdan di jalan
jalan: “Sampaikan kepada para penumpuk
harta akan seterika seterikaapi neraka!”
Mu’awiyah sadar akan adanya bahaya, ia cemas akan akibat
ucapan tokoh ulung ini.Tetapi ia pun mengerti akan pengaruh
dan kedudukannya, hingga tidak akanmelakukan hal-hal yang
menyakitkannya. Hanya dengan segera ditulisnya suratkepada
Khalifah Utsman r.a. mennaaaakin: “Abu Dzar telah merusakorang-orang diSyria!”
Sebagai Jawabannya Utsman mengirim surat meminta Abu
Dzar datang ke Madinah.Kembali Abu Dzar berkemas-kemas
menyingsingkan kaki celananya, lain berangkat keMadinah. Dan
pada hari keberangkatannya itu, Syria menyaksikan saat-saat
perpisahan dan ucapan selamat jalan dari khalayak ramai, suatu
peristiwa yang luarbiasa yang belum pernah disaksikannya
selama ini…!
“Aku tidak memerlukan dunia tuan-tuan ‘”
Demikianlah jawaban yang diberikan oleh Abu Dzar kepada
Utsman setelah ia tiba di Madinah, yakni setelah berlangsung
diskusi yang lama antara mereka. Dari
pembicaraan dengan shahabatnya itu, dan berita-berita yang berdatangan kepadanya
dari seluruh pelosok yang menyatakan dukungan sebagian besar
rakyat terhadappendapat Abu Dzar, Utsman menyadari sepenuhnya bahaya gerakan ini dan
kekuatannya. Dari itu ia mengambil
keputusan akan membatasi langkahnya, yaitudengan menyuruh
Abu Dzar tinggal di dekatnya di Madinah.
Keputusan itu disampaikan dan ditawarkan oleh Khalifah
secara lunak lembut danbijaksana, katanya: “Tinggallah di
sini di sampingku! Disediakan bagimu unta yanggemuk, yang
akan mengantarkan susu pagi dan sore!” “Aku tak perlu akan
duniatuan-tuan!”, ujar Abu Dzar.
Benar, ia tidak memerlukan dunia manusia…, karena ia
termasuk golongan orang suciyang mencari kekayaan ruhani dan
menjalani kehidupas untuk memberi dan bukan
untuk menerima! Dimintanyalah kepada khalifah Utsman r.a. agar ia diberi
idzin tinggaldi Rabadzah, maka diperkenankannya.
Dalam hangat-hangatnya gerakan revolusi itu Abu Dzar
tetap memelihara amanat Allah dan Rasul-Nya, dan meresapkan
sampai ke tulang sum-sumnya nasihat yangdiberikan oleh Nabi
saw. agar tidak menggunakan senjata. Dan seolah-olah Rasulullahtelah melihat semua yang ghaib; terutama mengenai Abu
Dzar dan masa depannya,maka disampaikannyalah nasihat
amat berharga itu.
Oleh sebab itu Abu Dzar tak hendak menyembunyikan rasa
terkejutnya mendengar sebagian orang yang gemar menyalakan
fitnah, telah menggunakan ucapan dan da’wahnya
untuk memenuhi keinginan dan siasat licik mereka. Pada suatu harisewaktu
ia sedang berada di Rabadzah, datanglah perutusan dari Kufah
memintanyauntuk mengibarkan bendera pemberontakan terhadap khalifah. Maka disemburnyamereka dengan kata-kata
tegas sebagai berikut:
“Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di
tiang kayu yang tertinggi ataudi atas bukit sekalipun,
tentulah saya dengar titahnya dan saya taati, saya bershabardan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian
adalah yang sebaik-baiknyabagiku …!”
“Dan seandainya ia menyuruhku berkelana dari ujung
ke ujung dunia, tentulah akansaya dengar dan taati,
saya bershabar dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa
demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku .. .!”
“Begitu pun jika ia meyuruhku pulang ke rumahku,
tentulah akan saya dengar dantaati, saya bershabar dan
sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian adalah
yang sebaik-baiknya bagiku .. .!”
Itulah dia seorang pahlawan yang tidak menginginkan sesuatu
tujuan duniawi; dankarena itu Allah melimpahinya “pandangan
tembus” hingga sekaii lagi ia melihatbahaya dan bencana yang
tersembunyi di balik pemberontakan bersenjata makadijauhinya.
Sebagaimana ia telah meiihat apa akibatnya bila ia membisu dan
tidak buka suarayang tidak lain dari bahaya dan bencana, maka
dihindarinya pula. Lalu ditariklahsuaranya bukan pedangnya,
menyerukan ucapan benar dan kata-kata tegas, tanpasuatu
keinginan pun yang mendorong atau
akibat yang akan menghalanginya.
Abu Dzar telah mencurahkan segala tenaganya untuk melakukan perlawanan secaradamai dan menjauhkan diri dari
segala godaan kehidupan dunia. Ia akan
menghabiskan sisa umurnya untuk melakukan penyelidikan yang lebih dalam
tentangharta dan kekuasaan, karena keduanya mempunyai
daya tarik dan pangkal fitnahyang dikhawatirkan Abu Dzar
terhadap kawan-kawannya yang telah memikul panji-panji
Islam bersama Rasulullah saw dan yang harus tetap memikulnya untuk
seterusnya.
Di samping itu kekuasaan dan harta merupakan urat nadi
kehidupan bagi ummat danmasyarakat, hingga bila keduanya
telah beres, maka nasib manusia pun akanmenghadapi bahaya
besar.
Abu Dzar
berkeinginan agar tak seorang pun di antara shahabat Rasul menjadi pejabat atau
pengumpul harta, tetapi hendaklah mereka tetap menjadi pelopor kepada hidayah
Allah dan pengabdi bagi-Nya. Ia telah mengenali benar tipu daya dunia dan harta
ini, dan menyadari pula bahwa Abu Bakar dan Umar tak mungkin bangkit kembali.
Telah pula didengarnya Nabi shallallahu alaihi wasalam memperingatkan
shahabat-shahabatnya akan daya tarik dari jabatan ini dan dinasihatkannya:
” Ia merupakan
amanat, dan di hari kiamat menyebabkan kehinaan dan penyesalan …, kecuali orang
yang mengambilnya secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan
kepadanya”
Demikian ketatnya
Abu Dzar mengenai hal ini, sampai-sampai ia menjauhi saudara dan handai
taulannya, jika tak boleh dikatakan memutuskan hubungan dengan mereka,
disebabkan mereka telah menjadi pejabat yang dengan sendirinya memiliki harta
dan berkecukupan.
Pada suatu hari ia
ditemui oleh Abu Musa al-Asy’ari, dan demi dilihatnya Abu Dzar, maka
dibentangkan kedua tangannya sambil berseru kegirangan dengan pertemuan itu.
“Selamat wahai Abu Dzar …selamat wahai saudaraku!”; tetapi Abu Dzar bertiak,
katanya: “Aku bukan saudaramu lagi! Kita bersaudara dulu sebelum kamu menjadi
pejabat dan gubernur”
Demikian pula
ketika pada suatu hari ia ditemui oleh Abu Hurairah yang memeluknya sambil
mengucapkan selamat, Abu Dzar menolakkan dengan tangan, katanya: “Menyingkirlah
daripadaku, bukankah kamu telah menjadi seorang pejabat; hingga terus-menerus
mendirikan gedung, memelihara ternak dan mengusahakan pertanian!” Abu Hurairah
menyanggah dengan gigih dan menolak semua desas-desus itu.
Yah, mungkin Abu
Dzar bersikap keterlaluan dalam pandangannya terhadap harta dan kekuasaan.
Tetspi ia mempunyai logika yang harus dikukuhkan dengan kebenaran dan
keimanannya. Maka Abu Dzar berdiri dengan cita-cita dan karyanya, dengan
fikiran dan perbuatannya, mengikuti pola yang telah dicontohkan bagi mereka
oleh Rasulullah dan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar …
Dan seandainya
sebagian orang melihat, bahwa ukuran itu terlalu ideal yang tak mungkin dapat
dicapai, tetapi Abu Dzar menyaksikannya sebagai contoh nyata; yang telah
menggariskan jalan hidup dan usaha, terutama bagi pribadi yang hidup di masa
Rasulullah; yakni yang melakukan shalat di belakangnya, berjihad bersamanya dan
telah mengambil bai’at akan patuh dan mentaatinya.
Lagi pula,
sebagaimana telah kita kemukakan, dengan penglihatannya yang tajam ia melihat
bahwa harta dan kekuasaan itu mempunyai pengaruh menentukan terhadap nasib
manusia.
Oleh sebab itu,
setiap kebobrokan yang menimpa amanat tentang keadilan dan kekuasaan dalam seal
harta, akan menimbulkan bahaya hebat yang harus segera disingkirkan!
Sepanjang hayatnya,
dengan sekuat tenaga Abu Dzar memikul panji contoh utama dari Rasulullah dan
kedua shahabatnya, menjadi penyangga dan sebagai orang terpercaya
memeliharanya. Dan ia menjadi maha guru dalam-seni menghindarkan diri dari
godaan jabatan dan harta kekayaan.
Pada suatu kali
ditawarkan orang kepadanya:sebuah jabatan sebagai amir(pemimpin) di Irak,
katanya: “Demi Allah, tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan dunia tuan-tuan
itu untuk selama-lamanya!”
Kali yang lain,
seorang kawan ‘melihatnya memakai jubah usang, maka katanya: “Bukankah anda
masih punya baju yang lain? Beberapa hari yang lewat saya lihat anda punya dua
helai baju baru!”
Jawab Abu Dzar:
‘Wahai putera saudaraku! Kedua baju itu telah kuberikan kepada orang yang lehih
membutuhkannya daripadaku!” Kata kawan itu pula: “Demi Allah! Anda juga
membutuhkannya!” Menjawablah Abu Dzar: “Ampunilah ya Allah ! Kamu terlalu
membesarkan dunia! Tidakkah kamu lihat burdah yang saya pakai ini? Dan saya
punya satu lagi untuk shalat Jum’at. saya punya seekor kambing untuk diperah
susunya, dan seekor keledai untuk ditunggangi! Ni’mat apa lagi yang lebih besar
dari yang kita miliki ini …?”
Pada suatu hari ia
duduk menyampaikan sebuah Hadits, katanya:
“Aku diberi wasiat oleh junjunganku dengan tujuh perkara: Disuruhnya
aku agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri
kepada mereka. Disuruhnya aku melihat hepada orang yang di dibawahku dan bukan
kepada orang yang di atasku …. Disuruhnya aku agar tidak meminta sesuatu kepada
oran lain ,… Disuruhnya aku agar menghubungkan tali shilaturahmi …. Disuruhnya
aku mengatakan yang haq walaupun pahit Disuruhnya aku agar dalam menjalankan
Agama Allah, tidak takut celaan orang. Dan disuruhnya agar memperbanyak
menyebut: “Laa haula Walaa quwwata illaa billah“.
Sungguh, ia hidup
menjalani wasiat itu, dan ditempanya corak hidupnya sesuai dengan wasiat itu,
hingga ia pun menjadi hati nurani masyarakat dari ummat dan bangsanya. Berkata
Imam Ali: “Tak seouang pun tinggal sekarang ini yang tidak memperdulikan celaan
orang dalam menegakkan Agama Allah, kecuali Abu Dzar …!”
Hidupnya
dibaktikan untuk menentang penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan harta! Untuk
menjatuhkan yang salah dan menegakkan yang benar! Mengambil alih tanggung jawab
untuk menyampaikan nasihat dan peringatan!
Mereka larang ia
memberikan fatwa, tapi suaranya bertambah lantang, katanya kepada yang melarang
itu:
“Demi Tuhan yang nyawaku berada di tangan-Nya!
Seandainya tuan-tuan menaruh pedang di atas pundakku, sedang menurut rasa
hatiku masih ada kesempatan untuk menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar
daripadanya, pastilah akan kusampaikan juga sebelum tuan-tuan menebas batang
leherku…!”
Wahai …. kenapa
Kaum Muslimin tak hendak mendengarkan nasihat dan tutur katanya waktu itu …!
Seandainya mereka dengarkan, pastilah fitnah yang berkobar dan berlarut-larut;
yang menjerumuskan pemerintah dan masyarakat Islam pada bahaya, padam dan mati
dalam kandungan..,
Sekarang Abu Dzar
sedang menghadapi sakaratul maut di Rabadzah …, suatu tempat yang dipilihnya
sebagai tempat kediaman setelah terjadi perbedaan pendapat dengan Utsman
radhiallahuanhu. Nah, marilah kita mendapatkannya, untuk melepas kepergian
orang besar ini, dan menyaksikan akhir kesudahan dari kehidupannya yang luar
biasa!
Seorang perempuan
kurus yang berkulit kemerah-merahan dan duduk dekatnya menangis. Perempuan itu
adalah isterinya. Abu Dzar bertanya kepadanya: “Apa yang kamu tangiskan padahal
maut itu pasti datang?” Jawabnya: “karena anda akan meninggal, padahal pada
kita tak ada kain untuk kafanmu!”
Abu Dzar tersenyum
dengan amat ramah — seperti halnya orang yang hendak merantau jauh — lain
berkata kepada isterinya itu:
“Janganlah menangis! Pada suatu hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah
bersama beberapa orang shahabatnya, saya dengar beliau bersabda: “Pastilah ada
salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar, yang
akan disaksikan nanti oleh serombongan orang-orang beriman.. .!”
Semua yang ada di Majlis Rasulullah itu telah meninggal di kampung dan di
hadapan jama’ah Kaum Mus~imin, tak ada lagi yang masih hidup di antara mereka
kecuali daku…. Nab, inilah daku sekarang menghadapi maut di padang pasir, maka
perhatikanlah olehmu jalan ….siapa tahu kalau-kalau rombongan orang-orang
beriman itu sudah datang! Demi Allah saya tidak bohong, dan tidak pula
dibohongi!”
Dan ruhnya pun kembali ke hadlirat Allah ….
Dan benarlah, tidak salah ….
Kafilah yang
sedang berjalan cepat di padang sahara itu terdiri atas rombongan Kaum Mu’minin
yang dipimpin oleh Abdullah bin Mas’ud, shahabat Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam . Dan sebelum sampai ke tempat tujuan, Ibnu Mas’ud telah melihat
sesosok tubuh; sesosok tubuh yang terbujur seperti tubuh mayat, sedang di
sisinya seorang wanita tua dengan seorang anak, kedua-duanya menangis.
Dibelokkannya
kekang kendaraan ke tempat itu, diikuti dari belakang oleh anggota rombongan.
Dan demi pandangannya jatuh ke tubuh mayat, tampak olehnya wajah shahabatnya;
saudaranya seagama dan saudaranya dalam membela Agama Allah, yakni Abu Dzar.
Air matanya mengucur lebat, dan di hadapan tubuh mayat yang suci itu ia
berkata:
“Benarlah ucapan Rasulullah ….
Anda berjalan sebatang kara ….
mati sebatang kara ….
dan dibangkitkan nanti sebatang kara … ! ”
Ibnu Mas’ud
radhiallahu anhu pun duduklah, lalu diceritakan kepada para shahabatnya maksud
dari pujian yang diucapkannya itu:
“Anda berjalan
seorang diri, mati seorang diri dan dibangkitkan nanti seorang diri!”
Ucapan itu terjadi
di waktu perang Tabuk tahun kesembilan Hijrah …. Rasulullah saw. telah
menitahkan untuk maju memapak dan menghadang pasukan Romawi yang telah
berkumpul di suatu tempat, telah slap perang akan menggempur ummat Islam.
Kebetulan waktu
Nabi menyerukan Kaum Muslimin untuk berjihad itu, di saat musim susah dan panas
terik. Tempat yang akan dituju jaraknya amat jauh, sedang musuh menakutkan
pula. Sebagian Kaum Muslimin ada yang enggan ikut serta karena berbagai alasan.
Rasulullah dan
para shahabatnya berangkatlah diikuti oleh sebahagian orang setengah terpaksa
karena enggan. Dan bertambah jauh perjalanan mereka, bertambah pula kesulitan
dan kesusahan yang diderita.
Bila ada orang
yang tertinggal di belakang, mereka berkata:
“Wahai Rasulullah! si anu telah tertinggal”. Maka
ujarnya:
“Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Dan andainya tidak, maka Allah telah membebaskan kalian daripadanya!”
“Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Dan andainya tidak, maka Allah telah membebaskan kalian daripadanya!”
Pada suatu kali,
mereka melihat berkeliling, kiuanya tiada tampak oleh mereka Abu Dzar. Maka
kata mereka kepada Rasulullah saw.: “Abu Dzar telah tertinggal,
keledainya menyebabkan ia terlambat”. Rasulullah mengulangi jawabannya tadi.
Keledai Abu Dzar
memang telah amat lelah disebabkan lapar dan haus serta terik matahari, hingga
langkahnya menjadi gontai. Ada dicobanya dengan berbagai akal menghalaunya agar
berjalan cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya. Abu Dzar merasa bahwa
jika demikian ia akan ketinggalan jauh dari Kaum Muslimin hingga tak dapat
mengikuti jejak mereka. Maka ia pun turun dari punggung kendaraannya,
diambilnya barang-barang dan dipikul di atas punggungnya, lalu diteruskannya
perjalanan dengan berjalan kaki. Dipercepatlah langkahnya di tengah-tengah
padang pasir yang panas bagai menyala itu, agar dapat menyusul Rasulullah
shallallahu alaihi wasalam dan para shahabatnya.
Di waktu pagi,
ketika Kaum Muslimin telah menurunkan barang-barang mereka untuk beristirahat,
tiba-tiba salah seorang dari anggota rombongan melihat dari kejauhan debu naik
ke atas, sedang di belakangnya kelihatan sosok tubuh seorang laki-laki yang
mempercepat langkahnya.
“Wahai Rasulullah!”
kata orang yang melihat itu, ” itu ada seorang laki-laki berjalan seorang
diri!” Ujar Rasulullah shallallahu alaihi wasalam :
“Mudah-mudahan
orang itu Abu Dzar…!” Mereka melanjutkan pembicaraan sambil menunggu pendatang
itu selesai menempuh jarak yang memisahkan mereka, di saat mana mereka akan
mengetahui siapa dia.
Musafir mulia itu
mendekati mereka secara lambat, langkahnya bagai disentakkan dari pasir lembut
yang membara, sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun ia
tetap gembira penuh harapan, karena
berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi barkah, dan tidak ketinggalan
dari Rasulullah saw. dan saudara-saudaranya seperjuangan. Setelah ia sampai
dekat rombongan, seorang berseru: “Wahai Rasulullah! demi Allah ia Abu Dzar”.
Sementara itu Abu Dzar menujukan langkahnya ke arah Rasulullah. Dan demi
Rasulullah melihatnya, tersungginglah senyuman di kedua bibir beliau, sebuah
senyuman yang penuh santun dan belas kasihan sabdanya:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar.. .!
la berjalan sebatang kara ….
Meninggal sebatang hara….
Dan dibangkitkan nanti sebatang kara … .!”
Setelah berlalu
masa dua puluh tahun atau lebih dari hari yang kita sebutkan tadi, Abu Dzar
wafat di padang pasir Rabadzah sebatang kara …,setelah sebatang kara pula ia
menempuh hidup yang luar biasa yang tak seorangpun dapat menyamainya. Dan dalam
lembaran sejarah, ia muncul sebatang kara – yakni orang satu-satunya – baik
dalam keagungan zuhud maupun keluhuran cita…, dan kemudian di sisi Allah ia akan
dibangkitkan nanti sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tumpukan
jasa-jasanya yang tidak terpemadai banyaknya, tak ada lowongan bagi orang lain
untuk berdampingan…! ....Wallahu 'Alam. Ke ABU DZAR AL-GHIFARI (1)
Sumber:
Khalid Muh. Khalid. 2006. Karakteristik Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Terj. Mahyuddin Syaf.dkk. Bandung: Diponogoro. h. 75-100
Category: SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar