THALHAH BIN UBAIDILLAH PAHLAWAN UHUD
THALHAH
BIN UBAIDILLAH PAHLAWAN PERANG UHUD
“Di antara orang-orang Mu’min itu terdapat sejumlah
laki-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka
ada yang memberikan nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya.
Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikit pun juga … !”
(QS. Al-Ahzab: 23)
Setelah Rasulullah saw. membacakan ayat yang mulia ini, beliau menatap wajah para shahabatnya sambil menunjuk kepadaThalhah sabdanya:
“Siapa yang suka melihat seorang laki-laki yang masih
berjalan di muka bumi, padahal ia telah
memberikan nyawanya, maka hendaklah ia memandang Thalhah …
Tak
ada satu kegembiraan yang paling didambakan oleh shahabat Rasul, di mana hati
mereka terbang merindukannya, melebihi kedudukan seperti yang disandangkan
Rasul kepada Thalhah bin Ubaiaillah ini! Karena itu, tidak heran bila Thalhah
hatinya tenteram mendengar akhir hayatnya serta kesudahan nasibnya dalam hidup
ini . . . . Ia akan hidup dan mati dan termasuk salah seorang dari mereka yang
menepati benar apa, yang telah mereka janjikan kepada Allah, dan ia tak terkena
fitnah dan tidak mendapat kesukaran …. la telah digembirakan Rasul akan beroleh
surga. Nah, bagaimanakah riwayat kehidupannya, orang yang telah diramalkan akan
berbahagia itu …. ?
*******
Dalam
perjalanannya berniaga ke kota Bashra, Thalhah sempat berjumpa dengan seorang
pendeta yang amat baik. Di waktu itu sang pendeta memberi tahu padanya, bahwa
Nabi yang akan muncul di tanah Haram, sebagaimana telah diramalkan oleh para
Nabi yang shaleh, masanya telah datang menampakkan diri . . . .
Diperingatkannya Thalhah agar tidak ketinggalan menyertai kafilah kerasulan
itu, yaitu kafilah pembawa petunjuk rahmat dan pembebasaan ….
Dan
sewaktu Thalhah tiba kembali di negerinya Mekah sesudah berbulan-bulan
dihabiskannya di Bashra dan dalam perjalanan, ia menangkap bisik-bisik penduduk
. .. dan mendengar percakapan tentang “Muhammad al-Amin” . . . dan tentang
wahyu yang datang kepadanya . . . begitu pun tentang kerasulan yang dibawanya
kepada seluruh ummat manusia . . . .
Orang
yang mula-mula ditanyakan Thalhah ialah Abu Bakar. Maka diketahuinyalah bahwa
ia baru saja pulang dengan kafilah beserta barang perniagaannya, dan bahwa ia
berdiri di samping Muhammad saw. selaku Mu’min, sebagai pembela yang
menyerahkan dirinya kepada Tuhan.
Thalhah
berbicara kepada dirinya sendiri: ‘Muhammad saw. dan Abu Bakar? Demi Allah, tak
mungkin kedua orang ini akan bersekongkol dalam kesesatan kapan pun!”
Muhammad
saw. telah mencapai usia 40 tahun. Kita belum pernah mengenal kebohongannya
sekalipun dalam jangka usianya yang sekian lama itu …. Apakah mungkin ia
berdusta hari ini terhadap Allah, . . .. lalu mengatakan bahwa Tuhan telah
mengutusnya dan mengirimkan wahyu kepadanya . . . ? Suatu hal yang tidak masuk
akal … !
Thalhah
mempercepat langkahnya menuju rumah Abu Bakar. Tak berlangsung lama pembicaraan
di antara keduanya, maka rindunya hendak menemui Rasulullah saw. dan hasratnya
hendak berjanji setia kepadanya serasa semakin cepat dari debar jantungnya
sendiri . . . . Ia ditemani Abu Bakar pergi kepada Rasulullah saw. di mana ia
menyatakan keislamannya dan mengambil tempat dalam kafilah yang diberkati ini …
dari angkatan pertama. Begitulah Thalhah termasuk orang yang memeluk Islam pada
angkatan terdahulu
******
Sekalipun
ia orang yang terpandang dalam kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan
perniagaannya yang selalu meningkat, namun ia tidak luput menderitakan
penganiayaan dari orang-orang Quraisy karena Islam. Untunglah ia dan Abu Bakar
mendapat perlindungan dari Naufal bin Khuwailia, si Singa Quraisy paman
Khadijah istri Rasul …. Sehingga penganiayaan terhadap keduanya tidak
berlangsung lama, karena orang-orang musyrik Quraisy merasa Segan kepadanya
serta takut pula akan akibat perbuatan mereka . . . .
Thalhah
hijrah ke Madinah sewaktu orang-orang Islam diperintahkan hijrah. Kemudian ia
selalu menyaksikan semua peperangan bersama Rasulullah saw. kecuali perang
Badar, karena waktu itu, Rasul mengutusnya bersama Sa’ia bin Zaia untuk suatu
keperluan penting keluar kota Madinah ….
Sewaktu
keduanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik, dan kembali ke Madinah,
kebetulan Nabi dengan para shahabatnya yang lain sedang kembali pula dari
perang Badar. Alangkah sedih dan perih perasaan keduanya kehilangan pahala
karena tidak menyertai Rasulullah saw. berjihad dalam peperangan yang pertama
itu.
Tetapi
Rasul telah menenteramkan hati mereka hingga tenang dan mantap dengan
memberitahukan bahwa mereka tetap memperoleh pahala dan ganjaran yang sama
seperti orang-orang yang berperang. Bahkan Rasul membagikan rampasan perang
kepada keduanya tidak kurang dari yang didapat oleh mereka yang menyertainya ….
Sekarang
datanglah masa perang Uhud yang akan memperlihatkan segala kebengisan dan
kekejaman Quraisy, yang tampil hendak membalas dendam atas kekalahannya di
perang Badar dan untuk mengamankan tujuan terakhirnya dengan menimpakan
kekalahan yang menentukan atas Muslimin yang menurut. perkiraan mereka suatu
soal mudah dan pasti dapat terlaksana … !
Peperangan
dahsyat pun berlangsunglah dan korban-korban yang berjatuhan segera menutupi
muka bumi … serta kekalahan tampak berada di fihak kaum musyrikin …. Kemudian
sewaktu Kaum Muslimin melihat musuh mengundurkan diri, mereka sama meletakkan
senjata, dan para pemanah turun meninggalkan kedudukan mereka, pergi
memperebutkan harta rampasan ….
Tiba-tiba
sewaktu mereka lengah pasukan Quraisy menyerang kembali dari belakang hingga
berhasil merebut prakarsa dan menguasai kendali pertempuran ….
Sekarang
peperangan mulai berkecamuk lagi dengan segala kekejaman dan kedahsyatannya.
Serangan mendadak yang tiba-tiba itu, rupanya telah mengkucar-kacirkan barisan
Kaum Muslimin . . . . Thalhah memperhatikan daerah peperangan tempat Rasulullah
saw. berdiri.
Dilihatnya
Rasulullah menjadi sasaran empuk serbuan pasukan penyembah berhala dan musyrik,
maka ia pun dengan cepat segera ke arah Rasul …. Thalhah r.a. terus maju
menebas jalan yang walaupun pendek tetapi terasa panjang . setiap jengkal jalan
dihadang puluhan pedang yang bersilang dan tombak-tombak yang mencari
mangsanya….
Dari
jauh dilihatnya Rasulullah saw. bercucuran darah dari pipinya, sedang beliau
menahan kesakitan yang amat sangat. Ia naik pitam dan berang, lalu diambilnya
jalan pintas, dengan satu atau dua lompatan dahsyat dari kudanya, dan benarlah
.. . di hadapan Rasul sekarang ia menemukan apa yang ditakutinya . . .
pedang-pedang musyrikin menyambar-nyambar ke arah Rasul, mengepung dan hendak
membinasakannya ….
Bagaikan
satu peleton tentara jua, Thalhah berdiri kukuh, dan mengayunkan pedangnya yang
ampuh ke kiri dan ke kanan. Ia dapat melihat darah Rasul yang mulia menetes dan
mendengar rintihan kesakitannya. Maka diraihnya Nabi dengan tangan kiri dari
lobang tempat kakinya terperosok. Sambil memapah Rasul yang mulia dengan
dekapan tangan kiri ke dadanya, ia mengundurkan diri ke tempat yang aman,
sementara tangan kanannya , Allah memberkati tangan kanannya mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan kilat
menusuk dan menyabet orang-orang musyrik yang hendak mengerumuni Rasul bagaikan
belalang memenuhi medan pertempuran ….
Marilah
kita dengarkan Abu Bakar Shiadiq r.a. menggambarkan keadaan medan tempur kala
itu: Kata Aisyah:
Bila
disebutkan perang Uhud, maka Abu Bakar selalu berkata: “Itu semuanya adalah
hari Thalhah . . . ! Aku adalah orang yang mula-mula mendapatkan Nabi saw.,
maka berkatalah Rasul kepadaku dan kepada Abu Ubaidah ibnul Jarrah: “Tolonglah
saudaramu itu . . . . (Thalhah)!” Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada
sekujur tubuhnya terdapat lebih dari tujuh puluh luka berupa tusukan tombak,
sobekan pedang dan tancapan panah, dan ternyata pula anak jarinya putus . . .
maka kami segera merawatnya dengan baik”.
Di
semua medan tempur dan peperangan Thalhah selalu berada di barisan terdepan
mencari keridaan Allah dan membela bendera Rasulnya. Thalhah hidup di
tengah-tengah jama’ah Muslimin, mengabdi kepada Allah bersama mereka yang
beribadat, dan berjihad pada jalan-Nye bersama mujahidin yang lain. Dengan
tangannya dikukuhkanlah bersama kawan-kawan yang lain tiang-tiang Agama yang
baru ini, Agama yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya
yang terang benderang ….
Dan
Bila ia telah melaksanakan haq Tuhannya, ia pergi berusaha di muka bumi,
mencari keridaan Allah, dengan mengembangkan perniagaannya yang memberi laba,
dan usaha-usaha lain yang membawa hasil. Thalhah r.a. adalah seorang Muslim
yang terbanyak hartanya dan paling berkembang kekayaannya …. Semua harta
bendanya dipergunakannya untuk berkhidmat kepada Agama Islam, yang benderanya
dipanggulnya, bersama Rasulullah saw . . . . Dinafqahkannya hartanya tanpa
batas . . . dan oleh sebab itu pula Allah menambahkan untuknya secara tak
berhingga pula.
Rasulullah
saw. memberinya gelar “Thalhah si Baik Hati atau “Thalhah si Pemurah” dan
“Thalhah si Dermawan”, sebagai pujian atas kedermawanannya yang
melimpah-limpah. Dan setiap kali ia mengeluarkan hartanya sebegitu banyak, maka
ternyata Allah yang Maha Pemurah menggantinya berlipat ganda.
Istrinya
Su’da bin Auf menceriterakan kepada kita, katanya: “Suatu hari saya menemukan
Thalhah berdukacita, saya bertanya kepadanya: “Ada apa dengan kanda … ?”
Maka
jawabnya: “Soal harta yang ada padaku ini semakin banyak juga, hingga
menyusahkanku dan menyempitkanku . . !” Kataku: “Tidak jadi soal, bagi-bagikan
saja … !” Ia lalu berdiri memanggil orang banyak, kemudian membagi-bagikannya
kepada mereka, hingga tidak ada yang tinggal lagi walau satu dirham pun. . . .
Di
suatu saat setelah ia menjual sebidang tanah dengan harga yang tinggi, maka
dilihatnya tumpukan harta, lalu mengalirlah air matanya, kemudian katanya:
“Sungguh, Bila seseorang dibebani harta
yang begini banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pasti akan
mengganggu ketenteraman ibadah kepada Allah . . . !” Kemudian dipanggilnya
sebagian shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa hartanya itu berkeliling
melalui jalan-jalan kota Madinah dan rumah-rumahnya sambil membagi-bagikannya
sampai Siang sehingga tak ada pula yang tinggal lagi walau satu dirham pun ….
Jabir
bin Abdullah menggambarkan pula kepemurahan Thalhah dengan berkata: “Tak pernah
aku melihat seseorang yang lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang
banyak tanpa diminta lebih dulu, daripada Thalhah bin Ubaidillah …!” Ia adalah
seorang yang paling banyak berbuat baik kepada keluarga dan kaum kerabatnya;
ditanggungnya nafqah mereka semua sekalipun demikian banyaknya . . . . Mengenai
itu dikatakan orang tentang dirinya: “Tak seorang pun dari Bani Taira yang
mempunyai tanggungan, melainkan dicukupinya perbelanjaan keluarganya.
Dinikahkannya anak-anak yatim mereka, diberinya pekerjaan keluarga mereka dan
dilunasinya hutang-hutang mereka …. !.
As-Sa’ib
bin Zaia, lain pula ceriteranya tentang Thalhah: “Aku telah menemui Thalhah
baik dalam perjalanan maupun waktu menetap, maka tak pernah kujumpai seseorang
yang lebih merata kepemurahannya, baik mengenai uang atau makanan daripada
Thalhah . . .!”
Timbul
fitnah yang terkanal dalam masa Khilafat Utsman r.a. Thalhah menyokong alasan
mereka yang menentang Utsman dan membenarkan sebagian besar tuntutan mereka
mengenai perubahan dan perbaikan …. Tetapi dengan pendirian itu, apakah ia
mengajak orang membunuh Utsman atau ia merestuinya . . . ? Oh, seandainya ia
tahu bahwa fitnah itu akan berlarut-larut dan membawa kepada permusuhan dan
saling menuduh serta menimbulkan dendam kebencian yang menyala-nyala hingga
akhirnya jatuh qurban menemui ajalnya “Dzun Nurain” Utsman bin ‘Affan dalam
peristiwa berdarah dan kejam itu ….
Kita
katakan: “Seandainya ia mengetahui bahwa fitnah itu akan berakhir dengan
pembunuhan seperti itu, pastilah ia akan menentangnya bersama shahabat-shahabat
yang mula-mula menyokong, karena anggapan dan dugaan bahwa gerakan itu hanyalah
sebagai gerakan perbaikan dan peringatan semata tidak lebih … !”
Maka
pendirian Thalhah ini berubah menjadi kemelut hidupnya, yakni sesudah
terjadinya cara kekerasan dan kekejaman di mana Utsman dikepung lalu dibunuh
orang ….
Tak
lama setelah Imam Ali menerima bai’at dari Kaum Muslimin di Madinah di
antaranya Thalhah dan Zubair, keduanya telah meminta izin pergi melaksanakan
‘umrah ke Mekah. Dari Mekah mereka menuju Bashrah dan di sana telah berhimpun
banyak kekuatan yang hendak menuntutkan bela kematian Utsman ….
*******
“Waq’atul
Jammal” atau peristiwa perang Berunta adalah perang, di mana bertempur dua
pasukan, yang satu menuntut bela atas terbunuhnya Utsman dan yang lain pasukan
pemerintah di bawah Khalifah Ali ….
Adapun
Imam Ali dalam memikirkan situasi sulit yang sedang melanda Agama Islam dan
Kaum Muslimin, timbullah murung hatinya, melelehlah air matanya, dan terdengar
isak tangianya . . .!!
Ia
telah dipaksa untuk bertindak keras. Dalam kedudukannya selaku Khalifah
Muslimin, tak ada jalan lain, dan tidak sepantasnya ia bersikap lunak terhadap
pembangkangan atas pemerintahan, atau terhadap setiap pemberontakan bersenjata
melawan Khalifah yang telah dikukuhkah syari’at.
Di
kala ia bangkit untuk memadamkan pemberontakan semacam ini, maka ia selalu
mencari jalan untuk menghindarkan tertumpahnya darah saudara-saudaranya, para
shahabat dan teman-temannya, para pengikut Rasul yang seagama, yaitu mereka
yang semenjak lama telah berperang bersamanya melawan tentara syirik, menerjuni
pertempuran bahu-membahu di bawah bendera tauhid yang mempersatukan mereka
sebagai satu keluarga, bahkan menjadikan mereka sebagai saudara kandung yang
saling membela.
Bencana
apakah ini . . . ? Dan ujian sulit apa lagi yang lebih dari itu . . . ? Dalam
mencari jalan ke luar dari bencana ini, dan untuk menjaga jangan sampai
tertumpah darahnya Muslimin, Imam Ali selalu mempergunakan setiap cara yang
dapat dipakai dan harapan yang dapat diandalkan. Tetapi orang-orang yang dahulu
pernah menjadi intrik-intrik Romawi dan kekaisaran Persi yang dahulu telah
menemui kehancurannya di saat kejayaan Islam di bawah Khalifah Utsman nan
bijaksana, dengan sikap munafik telah menyebar luaskan fitnah dan hasutan, maka
kekalutan tambah menjadi-jadi.
Ali
menangis mengucurkan air mata sewaktu ia melihat Ummul Mu’minin Aisyiah dalam
sekedup untanya, bertindak mengepalai balatentara yang hendak memeranginya . .
. . Dan ketika dilihatnya pula Thalhah dan Zubair, pembela-pembela Rasulullah
itu berada di tengah-tengah pasukan, Ali lalu memanggil Thalhah dan Zubair agar
keduanya muncul menghadapnya; keduanya pun tampillah hingga leher kuda-kuda
mereka bersentuhan, Ali berkata kepada Thalhah: “Hai Thalhah, pantaslah engkau
membawa-membawa istri Rasulullah untuk berperang, sedangkan istrimu sendiri kau
tinggalkan di rumah . . . !’ Kemudian katanya kepada Zubair: “Hai Zubair, aku
minta kau jawab karena Allah! Tidakkah engkau ingat, di suatu hari Rasulullah
lewat di hadapanmu sedang ketika itu kita sedang berada di tempat Anu. Beliau
berkata kepadamu: “Wahai Zubair, tidakkah engkau cinta kepada Ali. . . !’ Maka
jawabmu: “Masa kan aku tidak akan cinta kepada saudara sepupuku, anak bibi dan
anak pamanku, serta orang yang satu Agama denganku . . . !’ Waktu itu beliau
berkata lagi: “Hai Zubair demi Allah, bila engkau memeranginya, jelas engkau
berlaku dhalim kepadanya . . . !” Waktu itu berkatalah Zubair r.a.: -“Yah,
sekarang aku ingat, hampir aku melupakannya! Demi Allah aku tak akan
memerangimu … !”
Thalhah
dan Zubair menarik diri dari perang saudara ini. Mereka menghentikan
perlawanan, segera setelah mengetahui duduk persoalan, dan demi melihat Ammar
bin Yasir berperang di fihak Ali. Mereka teringat akan sabda Rasulullah saw.
kepada Ammar: “Yang akan membunuhmu ialah golongan orang durhaka . ..
!”Seandainya Ammar terbunuh dalam peperangan yang disertai Thalhah ini,
tentulah ia termasuk golongan orang yang durhaka … !
*******
Thalhah
dan Zubair mengundurkan diri dari peperangan, dan mereka terpaksa membayar
harga pengunduran itu dengan nyawa mereka. Tetapi mereka beruntung dapat
menemui Allah mereka dengan hati yang senang dan tenteram, disebabkan karunia
yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, berupa petunjuk dan fikiran yang
benar ….
Adapun
Zubair ia telah diikuti seorang laki-laki bernama Amru bin Jarmuz yang
membunuhnya di kala ia sedang lengah, yakni sewaktu ia sedang bershalat … ! Dan
mengenai Thalhah, ia dipanah oleh Marwan bin Hakam yang menghabisi hayatnya….
Peristiwa
terbunuhnya Utsman telah mendatangkan keresahan pada jiwa Thalhah, hingga
sebagaimana telah kami katakan dahulu menyebabkan kemelut hidupnya. Padahal, ia
tidaklah ikut dalam pembunuhan, tidak ‘pula menghasut orang untuk membunuhnya,
ia hanya membela orang yang menentang Utsman, di waktu belum ada tanda-tanda
bahwa penentangan itu akan berlanjut dan berlarut-larut hingga berubah menjadi
kejahatan atau tindak pidana yang kejam …
Dan
sewaktu ia ikut mengambil bagian dalam perang Jamal bersama pasukan yang
menentang Ali bin Abi Thalib menuntut bela kematian Utsman, maka tujuannya
dengan tindakan itu, ialah untuk menebus dosa yang akan membebaskannya dari
tekanan bathinnya.
Sebelum
memulai pertempuran, dengan suara yang tersekat oleh air mata, ia berdu’a dan
merendahkan diri, katanya: “Ya Allah ambillah sekarang balasan kesalahanku
terhadap Utsman hingga Engkau ridha kepadaku . . . . “. Maka tatkala ia ditemui
Ali seperti yang telah kita ceriterakan, kata-kata Ali telah menerangi
hatinya, sehingga bersama Zubair mereka melihat kebenaran lalu meninggalkan
medan perang.
Tetapi
mati sebagai syahid telah disediakan untuk mereka ber dua! Benar . . . ! Mati
syahid adalah hak Thalhah yang dikejarnya dan mengejar dirinya, di mana pun ia
berada … karena bukanlah Rasulullah telah bersabda tentang hal ini: “Inilah dia
orang yang akan mengurbankan nyawanya! Siapa yang ingin menyaksikan seorang
syahid yang berjalan di muka bumi, maka lihatlah Thalhah … !”
Karena
itulah ia menemukan syahid, tempat kembalinya yang agung dan yang telah
ditentukan, dan dengan demikian berakhir pula perang Jamal . . . . Ummul
Mu’minin Aisyiah menyadari bahwa ia telah tergesa-gesa dalam menghadapi
persoalan itu, karena itu ditinggalkannya Bashrah menuju Baitul Haram dan
terns ke Madinah, tak hendak campur tangan lagi dalam pertarungan itu. la
dibekali oleh Imam Ali dalam perjalanannya dengan segala perbekalan dan
diiringi penghormatan ….
*******
Sewaktu
Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syuhada di medan tempur, semua
mereka dishalatkannya, baik yang bertempur di fihaknya maupun yang menentangnya.
Dan tatkala selesai memakamkan Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya
dengan kata-kata indah dan mulia, yang disudahinya dengan kalimat-kalimat
berikut ini:
“Sesungguhnya aku amat mengharapkan agar aku bersama
Thalhah dan Zubair dan Utsman, termasuk di antara orangorang yang difirmankan
Allah:
“Dan Kami cabut apa yang bersarang dalam dada mereka dari
kebencian sebagai layaknya orang bersaudara, dan di atas pelaminan mereka
bercengkerama berhadap- hadapan…. “.
(Q.S. 15 al-Hijr: 47)
Kemudian
disapunya makam mereka dengan pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati
bersih dan penuh belas kasih, seraya katanya:
“Kedua telingaku ini telah mendengar sendiri sabda
Rasulullah saw. Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku dalam surga…. “.
********
ditukil dari Khalid Muh.
Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro
Bandung
Wallahu ‘Alam [Sahabat Nabi]
Category: Recent Post, SAHABAT NABI
0 komentar