HAKIKAT PENDIDIKAN
HAKIKAT
PENDIDIKAN
Pendidikan
pada hakikatnya mempunyai jangkauan makna yang sangat luas, dalam rangka
mencapai kesempurnaannya, memerlukan waktu dan tenaga yang tidak kecil. Dalam
khazanah keagamaan dikenal dengan ungkapan minal mahd ilal lahd (dari buaian
hingga liang lahad atau pendidikan seumur hidup), sebagaimana dikenal pula
pernyataan ilmu kepada peserta didik: “Berilah aku seluruh yang engkau miliki,
maka akan kuberikan kepadamu sebagaian yang aku punya.”
Yang
pasti, ungkapan dan pernyataan itu belum sepenuhnya kita laksanakan. Hanya
sedikit waktu yang disediakan oleh peserta didik dan kecil sekali dana dan
tenaga yang diberikan oleh mereka yang memilikinya untuk pengembangan
pendidikan. Bahkan diduga keras,
sebagian di antara kita, mengabaikan tigas-tugas kependidikan dan mersa bahwa
sekolah sebagai satu-satunya sarana pendidikan. Padahal, sekolah – walaupun
mampu melaksanakan tugasnya dengan baik – tidak akan mampu mendewasakan
manusia, lebih-lebih untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini akan semakin
jauh dari tujuan jika upaya yang dilakukannya hanya terbatas pada pengajaran
dan latihan.
Diduga
keras pula, sebagaian diantara kita melupakan bahwa pendukung dan pelaksana
pendidikan bukan hanya tenaga, dana, dan sarana yang disediakan pemerintah.
Tetapi, lebih dari itu, juga yang tersedia dan disediakan oleh keluarga,
masyarakat, dan peserta didik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Di sisi lain, diduga keras pula bahwa sebagian tenaga kependidikan tidak melakasanakan fungsinya secara baik.
Yang saya maksud dengan tenaga kependidikan di sini adalah kita semua, bukan
hanya guru dan dosen, karena kita semua seharusnya berfungsi sebagai pendidik.
Marilah
kita ambil contoh sederhana menyangkut pelaksanaan pendidikan anak di kalangan
keluarga. Pembentukan kepribadian anak bermula di sini dan sejak ia masih di
buaian. “ketika itu, pikiran-pikiran pendidik, perasaan dan jiwanya dapat
diserap oleh anak bagaikan pasir menyerap tetesan air,” demikian tulis Alexis
Carrel.
Ummu
Al-Fadhl bercerita: “Suatu ketika aku menimang-nimang seorang bayi. Rasul saw.
kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi pipis
membasahi pakaian Rasul. Segera saja kurenggut dengan keras bayi itu dari
gendongan Rasul. Rasul saw. pun menegurku, “Air dapat membersihkan pakaianku.
Tetapi apa yang dapat menjernihkan persaan sang bayi yang dikeruhkan oleh
sikapmu yang kasar itu?”
Nabi
saw. sadar bahwa perlakuan demikian dapt berbekas dalam jiwa sang bayi yang
dapat menimbulkan rasa rendah diri yang dibawa hingga dewasa. Bukankah sebagian
besar komplek kejiwaan dapat dikembalikan penyebabnya pada pengalaman negatif
masa kanak-kanak?
Berapa
banyakkah di antara kita yang memperlakukan anak atau peserta didik seperti
perlakuan Ummu Al-Fadhl? Berapa banyak diantara kita yang tidak membantu
terwujudnya iklim pendidikan yang sehat, baik dalam keluarga, sekolah, maupun
masyarakat luas?. Wallahu ‘alam Semoga bermanfaat...[yang lagi sakit].
Dikutip
dari M. Quraish Shihab. Lentera Al-Qur’an; Kisah dann Hikmah Kehidupan.
Category: Artikel Islam, MUHASABAH, Pendidikan
0 komentar