ABU DARDA' SEORANG BUDIMAN DAN AHLI HIKMAT
ABU
DARDA; SEORANG BUDIMAN DAN AHLI HIKMAT YANG LUAR BIASA
Selagi
balatentara Islam berperang kalah menang di beberapa penjuru bumi, sementara
itu di kota Madinah berdiam seorang ahli hikmat dan filosof yang mengagumkan,
yang dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.
la
senantiasa mengucapkan kata-kata kepada masyarakat sekelilingnya, : “Maukah
anda sekalian, aku kabarkan amalan-amalan yang terbaik, amalan yang terbersih
di siai Allah dan paling meninggikan derajat anda, lebih baik daripada
memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas
batang leher anda, dan malah lebih baik dari uang mas dan Perak. . . ?”
Para
pendengarnya sama menjulurkan kepala mereka ke muka karena ingin tahu, lalu
segera menanyakan: “Apakah itu wahai Abu Darda’ . . . ?” Abu Darda’ memulai bicaran‘ya
dengan wajah berseri-seri, di bawah cahaya iman dan hikmat, lalu menjawab:
“‘Dzikrullah .. .. ” — menyebut Serta mengingat nama. Allah — “Wa-ladzikrullahi
akbar” — dan sesungguhnya dzikir kepada Allah itu lebih utama —.
Bukanlah
maksud ahli hikmat yang mengagumkan ini menganjurkan orang menganut filsafat
memencilkan diri, dan bukan Pula dengan kata-katanya itu ia menyuruh orang
meninggalkan dunia, dan tidak Pula agar mengabaikan hasil Agama yang baru ini,
yakni hasil yang telah dicapai dengan jihad atau kerja mati-matian.
Benar
. . . , Abu Darda’ bukanlah tipe orang yang semacam itu, karena ia telah ikut
berjihad mempertahankan Agama bersama Rasulullah saw. sampai datangnya
pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Mekah …
Tetapi
ia adalah dari golongan orang yang setiap merenung dan menyendiri, atau
bersamadi di relung hikmah, dan membaktikan hidupnya untuk mencari hakikat dan
keyakinan, menemukan dirinya dalam suatu wujud yang padu, penuh dengan sari
hayat dan gairah kehidupan ….
Dan
Abu Darda’ r.a. ahli hikmat yang besar di zamannya itu, adalah seorang insan
yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat sangat untuk melihat hakikat dan
menemukannya….
Dan
karena ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang teguh, maka
ia merasa yakin dan percaya pula bahwa iman ini dengan segala tindak lanjutnya
berupa kewajiban dan pengertian, merupakan jalan yang utama dan satu-satunya
untuk mencapai hakikat itu ….
Demikianlah
ia tetap berpegang dan secara bulat menyerahkan dirinya kepada Allah, dan
dengan teguh hati, dengan petunjuk dan kebesaran ditempanya kehidupannya
sesuai dengan cetakan dan patokannya. la terus menelusuri jejak hingga akhirnya
menemukannya . . .. dan berada di atas jalan lurus hingga mencapai tingkat
kebenaran yang teguh . . . . dan menempati kedudukan yang tinggi beserta
orang-orang yang benar secara sempurna, yakni di saat ia menyeru Tuhannya
dengan membaca ayat-Nya:
“Sesungguhnya
shalatku dan ibadatku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah semata, Tuhan alam
semesta . . . . “• (Q.S. 6 al-An’am: 162)
Abu
Darda’ dalam melawan hawa nafsu dan mengekang dirinya untuk memperoleh mutiara
bathin yang sempurna telah mencapai tingkatan yang tertinggi . . . tingkatan
tafani rabbani — memusatkan fikiran, perhatian dan amaliahnya kepada pengabdian
— menjadikan seluruh kehidupannya semata bagi Allah Rabbul ‘alamin ….
Dan
sekarang marilah kita mendekati ahli hikmat dan orang suci itu! Tidakkah anda
perhatikan sinar yang bercahaya-cahaya di sekeliling keningnya . . . ? Dan
tidakkah anda mencium bau yang semerbak yang bertiup dari arahnya . . . ?
Itulah dia cahaya hikmat dan harumnya iman . . . !
Dan
sesungguhnya iman dan hikmat telah bertemu pada laki-laki yang rindu kepada
Tuhannya ini, suatu pertemuan bahagia, kebahagiaan tiada taranya … !!
Pernah
ibunya ditanyai orang, tentang amal yang sangat diaenangi Abu Darda’, lalu
dijawabnya: “Tafakkur dan mengambit i’tibar atau pelajaran!”
Sungguh
benar, ia telah meresapi dengan sempurna firman Allah di dalam ayat-ayatnya
yang tidak sedikit:
“Hendaklah
kamu mengambil ibarat … pelajaran, perbandingan dan sebagainya …wahai
orang-orang yang mempunyai fikiran!”
(Q.S. 59 al-Hasyr: 2)
la
selalu mendorong kawan-kawannya untuk merenung dart memikir-mikirkan, katanya
kepada mereka: “Berfikir… tafakkur … satu jam, lebih baik daripada beribadat
satu malam … ! ” Dan sesungguhnya beribadat dan Serta tafakkur dan mencari
hakikat telah menguasai seluruh dirinya dan seluruh kehidupannya.
Di
saat Abu Darda’ rela mengambil Islam sebagai Agamanya, dan ia bai’at kepada
Rasulullah saw. akan melaksanakan Agama yang mulia ini, pada waktu itu ia
adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara saudagar-saudagar kota
Madinah. Dan sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar
umurnya dalam dunia perniagaan, bahkan sampai saat Rasulullah dan Kaum Muslimin
lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama kemudian setelah ia masuk Islam, dan
Islam menjadi arah hidupnya ….
Marilah
kita dengarkan saat ia sendiri menceriterakan riwayat itu kepada kita: “Aku
mengIslamkan diriku kepada Nabi saw. sewaktu aku menjadi saudagar . . . Keinginanku agar ibadat dan perniagaanku
dapat berhimpun pada diriku jadi satu, tetapi hal itu tidak berhasil …. Lalu
aku kesampingkan perniagaan, dan menghadapkan diri kepada ibadat . . . . Dan
aku tidak akan merasa gembira sedikit pun jika sekarang aku berjual beli dan
beruntung setiap harinya tiga ratus dinar, sekalipun tokoku itu terletak di
muka pintu mesjid … !
Perhatikan,
aku tidak menyatakan kepada kalian, bahwa Allah mengharamkan jual beli . . ..
Hanya aku pribadi lebih menyukai agar aku termasuk ke dalam golongan orang yang
perniagaan dan jual beli itu tidak melalatkannya daripada dzikir kepada Allah
Apakah anda perhatikan kalimat-kalimat yang berisikan hikmat dan bersumberkan
kejujuran . . . ?, ucapannya yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya … ?
Ia telah menerangkan sesuatu sebelum kita sempat menanyakan kepadanya, “Apakah
Allah mengharamkan niaga wahai Abu Darda’…?”
Uraiannya
itu melenyapkan kesangsian yang ada dalam fikiran kita. Diiayaratkannya kepada
kita tujuan yang lebih tinggi yang hendak dicapainya, menyebabkannya ia
meninggalkan dagang sekalipun ia berhasil dalam hal ini. Ia sebenarnya mencari
keistimewaan ruhani dan keunggulan yang menuju derajat kesempurnaan tertinggi
yang dapat tercapai oleh anak manusia . . . . Ia menghendaki agar ibadat itu
laksana tangga yang akan mengangkatnya ke alam kebaikan yang tinggi, hingga ia
dapat menengok yang haq dalam kebesarannya, dan hakikat pada sumbernya.
Seandainya yang dikehendaki hanyalah semata-mata ditunaikannya perintah dan
ditinggalkannya larangan, niscaya ia sanggup menghimpun antaranya dengan dagang
dan usaha-usahanya yang lain …. Berapa banyaknya para pedagang yang shaleh,
atau sebaliknya orang shaleh yang jadi pedagang ….
Dan
sesungguhnya banyak terdapat di antara shahabat-shahabat Rasulullah saw.
orang-orang yang perniagaan dan jual belinya tak melalatkan mereka dari
mengingat Allah .. . bahkan mereka giat mengembangkan perniagaan dan hartanya
untuk dibaktikannya kepada tujuan Islam dan mencukupi kepentingan Muslimin . –
- – Akan tetapi jalan yang ditempuh para shahabat yang lain itu tidak
mengurangkan arti jalan hidup
Abu
Darda’, dan sebaliknya jalan yang ditempuhnya tidak pula mengurangkan ma’na
jalan mereka, maka setiap orang dimudahkan Allah untuk mengikuti jalan hidup
yang telah ditetapkan bagi masing masing …
Abu
Darda’ merasakan sendiri dengan sebenar-benarnya bahwa ia diciptakan bagi
sesuatu yang memang sedang hendak dicapainya itu, yaitu mengkhususkan diri
mencari hakikat dengan mengalami dan melalui latihan-latihan berat dalam
menjauhi kesenangan dunia sesuai dengan keimanan yang dipimpinkan Allah
kepadanya, digariskan Rasul dan Agama Islam.
Jika
anda suka, sebutlah itu tashawwuf ….
Akan
tetapi itu adalah tashawwuf seorang laki-laki yang telah melengkapi kecerdasan
seorang mu’min, kemampuan filosof, dan pengalaman seorang pejuang serta yang
menjadikan tashawwufnya suatu gerakan lincah membina ruhani, bukan hanya
sekedar bayang-bayang yang baik dari bangunan ini. Benar . . . itulah ia Abu
Darda’, shahabat Rasulullah saw. dan muridnya! Itulah ia Abu Darda’ seorang
suci dan ahli hikmat … seorang laki-laki yang telah menolak dunia dengan kedua
telapak tangannya dan melindunginya dengan dadanya ….
Seorang
laki-laki yang mengasah jiwa dan mensucikannya, sehingga menjadi cermin yang
memantulkan hikmat, kebenaran dan kebaikan, yang menjadikan Abu Darda’ sebagai
seorang maka guru dan ahli hikmat yang lurus. Berbahagialah mereka yang datang
menemuinya dan sedia mendengarkan ajarannya. Ayohlah, mari kita mendekatkan
diri kepada hikmatnya, wahai orang yang mempunyai fikiran ….
Kita
mulai dengan filsafatnya terhadap dunia, terhadap kesenangan dan kemewahan ….
Ia amat terkesan sekali sampai ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat al-Quran yang
berisi bantahan terhadap: Al
“Orang
yang menguinpul-ngumpul harta dan menghitunghitungnya …. diaangkanya hartanya
dapat mengekalkannya ( Al humazah 2 – 3)
Dan
ia sangat terkesan pula sampai lubuk hatinya akan sabda Rasul:
“Yang
sedikit mencukupi, lebih baik dari yang banyak membawa rugi… “.
Dan
bersabda Rasulullah saw.:
“Lepaskanlah
dirimu dari keserakahan akan dunia sekuasa kamu, sebab siapa yang dunia menjadi
tujuan utamanya, Allah akan mencerai-beraikan miliknya yang telah terkumpul,
lalu dijadikannya kemiskinan dalam pandangan matanya. Dan siapa yang menjadikan
akhirat tujuan dan cita-citanya, Allah akan menghimpunkan miliknya yang
bercerai-berai, lalu dijadikan-Nya kekayaan dalam hatinya, dan dimudahkannya
mendapatkan segala kebaikan “.
(H.R.
Thabarani Mu’jam al-Kabir)
Oleh
karena itulah ia menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan dan
berkata: “0 Tuhan, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang… !”
Ditanya orang: ‘Dan apakah pula hati yang bercabang-cabang itu wahai Abu
Darda’. . – ?”
Dijawabnya:
“Memiliki harta benda di setiap lembah … Dan ia menghimbau manusia untuk
memiliki dunia tanpa terikat kepadanya . . . . Itulah cara pemilikan yang
hakiki! Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah tak akan pernah ada
kesudahannya, maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak perhambaan diri,
dan perbudakan! Ketika itu ia berkata pula:
“Barang
siapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya
…!”
Harta
baginya hanya sebagai alat bagi kehidupan yang bersahaja dan sederhana, tidak
lebih. Bertolak dari sana, maka menjadi kewajibanlah bagi manusia
mengusahakannya dari yang halal dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana,
tidak dengan kerakusan dan mati-matian.
Maka
katanya pula:
“Jangan
engkau makan, kecuali yang baik …. Jangan engkau usahakan, kecuali yang baik .
. . , dan jangan engkau masukkan ke rumahmu, kecuali Yang baik … !”
Pernah
ia menyurati shahabatnya dengan kata-kata sebagai berikut:
“Arkian
….. tidak satu pun harta kekayaan dunia yang kamu miliki, melainkan sudah ada
orang lain memilikinya sebelum kamu . . . dan akan ada terus orang lain
memilikinya sesudah kamu! Sebenarnya yang kamu miliki dari dunia, hanyalah
sekedar yang telah kamu manfaatkan untuk dirimu …. Maka utamakanlah diri itu
dari orang yang untuknya kamu kumpulkan harta itu yaitu anak-anakmu yang bakal
mewariaimu.
Karena
dalam mengumpul-ngumpul harta itu kamu akan memberikannya kepada salah satu di
antara dua: Adakalanya kepada anak yang shaleh yang beramal dengannya guna
mentaati Allah, maka ia berbahagia atas segala penderitaanmu .. .. Dan
adakalanya pula kepada anak durhaka yang mempergunakan untuk maksiat, maka
engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah kamu kumpulkan untuknya itu ….
Maka percayakanlah nasib mereka kepada rizqi yang ada pada Allah, dan
selamatkanlah dirimu sendiri … !”
Menurut
pandangan Abu Darda’, dunia seluruhnya hanya sernata-mata titipan. Sewaktu
Ciprus ditaklukkan, dan harta rampasan perang dibawa ke Madinah, orang melihat
Abu Darda’ menangis . . . . Mereka dengan terharu mendekatinya dan mereka
meminta Jubair bin Nafir untuk menanyainya:
“Wahai
Abu Darda’, apakah sebabnya anda menangis pada saat Islam telah dimenangkan
Allah bersama ahlinya … ! Pertanyaan tersebut dijawab oleh Abu Darda’ dengan
suatu untaian kata yang sangat berharga dan pengertian yang mendalam: “Aduh ….
wahai Jubair! Alangkah hinanya makhluq di siai Allah, bila mereka meninggalkan
kewajibannya terhadap Allah …. Selagi ia sebagai suatu ummat yang perkasa,
berjaya mempunyai kekuatan, lalu mereka tinggalkan amanat Allah, maka jadilah
mereka seperti yang engkau lihat… !”
Benarlah
demikian …
Menurut
Abu Darda’, keruntuhan cepat yang dijumpai balatentara Islam pada
negeri-negeri yang dibebaskan, sebabnya ialah karena negeri-negeri tersebut
kehilangan pegangan ruhani yang benar yang melindunginya dan Agama yang betul
yang menghubungkannya dengan Allah.
Dan
karena itu pula ia mengkhawatirkan keadaan Kaum Muslimin di seat ikatan iman
mereka mengendor, hubungan mereka dengan Allah menjadi lemah, dengan yang haq
dan dengan kebaikan, maka berpindahlah titipan itu dari tangan mereka dengan
mudah sebagaimana dulu berpindah kepada mereka dengan mudah pula ….
Sebagaimana
menurut keyakinannya dulu dunia seluruhnya hanya semata-mata pinjaman, begitu
juga ia menjadi jembatan untuk menyeberang kepada kehidupan yang abadi dan
lebih mengasyikkan ….
Pada
suatu kali para shahabatnya menjenguknya sewaktu ia sedang sakit, mereka
mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit . . . . Mereka menawarkan
kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk ….
Tawaran ini dijawabnya sambil memberi iayarat dengan telunjuknya, sedang kedua
matanya yang bercahaya-cahaya menatap jauh ke depan: “Kampung kita nun jauh di
sana . . . untuknya kita mengumpulkan bekal, dan ke sana kita akan kembali . .
. kita akan berangkat kepadanya . . . dan beramal untuk bekal di sana … !”
Pandangan
terhadap nilai dunia ini bagi Abu Darda’ bukan hanya sekedar arah pandangan
saja, tetapi lebih dari itu ia merupakan suatu jalan hidup . . . !
Yazid
bin Mu’awiyah putera Khalifah pernah melamar anaknya dan ditolaknya. Ia tidak
hendak menerima lamaran tersebut. Kemudian ia dilamar oleh salah seorang Muslim
yang shaleh tetapi miakin, maka puterinya itu dinikahkannya kepadanya.
Orang-orang pada tercengang dengan tindakannya itu. Abu Darda’ memberitahu
mereka alasan-alasannya, katanya:
“Bagaimana
kiranya nanti dengan si Darda’ bila ia telah dikelilingi para pelayan dan inang
pengasuh dan terpedaya oleh kemewahan istana . . . di mana letak agamanya waktu
itu…?”
Ia
seorang yang bijaksana berjiwa lurus dengan hati yang mulia. Semua kesenangan
harta benda dunia yang sangat diingini nafsunya dan didambakan kalbunya,
dituduhkan . . . . Dengan sifat ini, berarti ia bukan lari dari kebahagiaan,
malah sebaliknya. Maka kebahagiaan sejati baginya, ialah menguasai dunia,
bukan dikuasai dunia. Bilamana manusia hidup dalam batas bersahaja dan
sederhana, dan bilamana mereka telah menggunakan hakikat dunia hanya sebagai
jembatan yang menyeberangkannya ke kampung halaman yang tetap dan abadi, maka mereka
akan memperoleh kebahagiaan sejati yakni kebahagiaan yang lebih sempurna dan
lebih agung ….
Ia
juga berkata: “Kebaikan bukanlah karena banyak harta dan anak-pinakmu tetapi
kebaikan yang sesungguhnya ialah bila semakin besar rasa santunmu, semakin Sertambah
banyak ilmumu, dan kamu berpacu menandingi manusia dalam mengabdi kepada Allah
Ta’ala!”
Pada
masa Khalifah Utsman r.a. Muawiyah menjadi gubernur di Syria, dan Abu Darda’
menjabat hakim atas kehendak Khalifah. Di sanalah, di Syria ia menjadi tonggak
penegak yang mengingatkan orang akan jalan yang ditempuh Rasulullah dalam
hidupnya, zuhudnya, dan jalan hidup para pelopor Islam yang pertama dari
golongan syuhada dan shiddiqin. Negeri Syria waktu itu adalah negeri yang
makmur penuh dengan nikmat dan kemewahan hidup. Penduduk yang mabuk dengan
kesenangan dunia dan tenggelam dalam kemewahan ini, seolah-olah merasa dibatasi
dengan peringatan dan nasihat Abu Darda’ . . . Abu Darda’ mengumpulkan mereka
dan berdiri berpidato di hadapan mereka, demikian katanya:
“Wahai
penduduk Syria ….
Kalian
adalah saudara seagama, tetangga dalam rumah tangga, dan pembela melawan musuh
bersama ….
Tetapi
saya merasa heran melihat kalian semua, kenapa kalian tak punya rasa malu?
Kalian
kumpulkan apa yang tidak kalian makan.
Kalian
bangun semua yang tidak akan kalian diami.
Kalian
harapkan apa yang tidak akan kalian capai.
Beberapa
kurun waktu sebelum kalian, mereka pun mengumpulkan dan menyimpannya ….
Mereka
mengangan-angankan, lalu mereka berkepanjangan dengan angan-angannya
….
Mereka
membina, lalu mereka teguhkan bangunanya . . . . Tetapi akhirnya semua itu jadi
binasa ….
Angan-angan
mereka jadi fatamorgana ….
Dan
rumah-rumah mereka jadi kuburan belaka ….
Mereka
itu ialah kaum ‘Ad, yang memenuhi daerah antara Aden dan Oman dengan anak-pinak
dan harta benda … !”
Kemudian
terbayang di antara kedua bibirnya suatu senyuman lebar yang mengejek, ia
melambaikan tangannya kepada khalayak yang penuh berdesakan dan dengan kelakar
sinis yang menusuk ia pun berteriak:
“Ayo,
siapa yang mau membeli harta peninggalan kaum ‘Ad daripadaku dengan harga dua
dirham … ?”
Seorang
pria yang berwibawa, anggun, dan menyinarkan cahaya, hikmatnya meyakinkan,
sikap tingkah wara, logikanya benar dan cerdas … ! Ibadat menurut Abu Darda’
bukan sekedar formalitas dan ikut-ikutan; sebenarnya adalah suatu ikhtiar
mencari kebaikan dan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan rahmat dan
ridla Allah, senantiasa rendah hati, dan mengingatkan manusia akan kelemahannya
serta kelebihan Tuhan atasnya. Ia pun berkata:
“Carilah
kebaikan sepanjang hidupmu . . . dan majulah mencari embusan karunia Allah,
sebab sesungguhnya Allah mempunyai tiupan rahmat yang dapat mengenai siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya …!”
Mohonlah
kepada Allah agar Ia menutupi malu atau cela dan kejahatanmu serta
menghilangkan rasa ketidak tentramanmu … !”
Ahli
hikmat ini matanya selalu terbuka meneliti dan meneropong ibadat imitasi
diingatkannya setiap orang akan kepalsuannya. Kepalsuan inilah yang banyak
menimpa sebagian besar orang-orang yang berwatak lemah dalam iman mereka,
rnereka ‘ujub atau membanggakan diri dengan ibadat mereka, lalu mereka merasa
dirinya lebih dari orang lain dan menyombong . . . . Marilah Kita simakkan
lagi apa katanya: “Kebaikan sebesar atom (dzarrah) dari orang yang taqwa dan
yakin, lebih berat dan lebih bernilai daripada ibadatnya seumpama gunung
orang-orang yang menipu diri sendiri. . .
Ia
berkata lagi:
“Jangan
kalian bebani orang dengan yang tidak sanggup dipikulnya . .. dan jangan kalian
menghisab mereka dengan mengambil alih pekerjaan Tuhannya … ! Jagalah diri
kalian sendiri, sebab siapa yang selalu mengingini apa yang dipunyai orang
lain, niscaya akan berkepanjangan nestapanya … ! “
Ia
tidak menghendaki seseorang ‘abid atau ahli ibadat bagaimana juga tinggi
pengabdiannya, mengaku dirinyalah secara mutlaq lebih sempurna dari hamba-hamba
Allah yang lain. Sewajarnya ia memuji syukur kepada Allah atas taufiq-Nya, dan
menolong mendu’akan orang lain yang belum mendapatkan taufiq itu dengan ketinggian
ibadat dan keikhlasan niatnya.
Nah,
pernahkah anda mengenai hikmah yang daya sorot dan daya sinarnya melebihi
hikmah budiman ini … ?
Seorang
shahabatnya bernama Abu Qalabah berceritera sebagai berikut: “Suatu hari Abu
Darda’ melihat orang-orang sedang mencaci-maki seseorang yang terperosok pada
perbuatan dosa, ia berseru: “Bagaimana pendapat kalian bila menemukannya
terperosok ke dalam lobang . . . ? bukankah seharusnya kalian berusaha menolong
mengeluarkannya dari lobang tersebut … ?”
Jawab
mereka: “Tentu saja . . . !” Katanya: “Kalau begitu jangan kalian cela dia,
tetapi hendaklah kalian memuji syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan
kalian!”
Tanya
mereka pula: “Apakah anda tidak membencinya Jawabnya: “Yang kubenci adalah
perbuatannya, bila ditinggalkannya maka ia adalah saudaraku ……
Seandainya
apa yang telah kami kemukakan di atas bagi Abu Darda’ merupakan salah satu
wajah dari kedua wajah ibadah, maka wajahnya yang lain ialah ilmu dan ma’rifat
….
Sungguh,
Abu Darda’ benar-benar mengkuduskan ilmu dengan setinggi-tinggi kedudukan,
disucikannya selaku ia seorang budiman, dan disucikannya selaku ia seorang
‘abid. Perhatikanlah ungkapannya tentang ilmu:
“Orang
tidak mungkin mencapai tingkat muttaqin, apabila tidak berilmu, apa guna ilmu,
apabila tidak dibuktikan dalam, perbuatan”.
Ilmu
baginya ialah: pengertian dari hasil penelitian, jalan dalam mencapai tujuan,
ma’rifat untuk membuka tabir hakikat, landasan dalam berbuat dan bertindak,
daya fikir dalam mencari kebenaran dan motor kehidupan yang disinari iman,
dalam melaksanakan amal bakti kepada Allah ar-Rahman.
Dalam
mengkuduskan ilmu seorang budiman menganggap:
“Pendidik
dan penuntut ilmu sama mempunyai kedudukan yang mulia, masing-masing mempunyai
kelebihan dan pahala. . . “
Ia
melihat pula bahwa kebesaran hidup ini yang banyak sangkut pautnya dengan
segala sesuatu tergantung kepada ilmu yang baik. Resapkan ucapannya ini:
“Aku
tak tabu mengapa ulama kalian pergi berlalu, sedang orang-orang jahil kalian
tidak mau mempelajari ilmu? Ketahuilah bahwa guru yang baik dan muridnya,
serupa pahalanya …. Dan tak ada lagi kebaikan yang lebih utama dari kebaikan
mereka . . . . “.
Katanya
pula:
“Manusia
itu tiga macam: orang yang berilmu, orang yang belajar . . . , dan yang ketiga
orang yang goblok tidak mempunyai kebaikan apa-apa. . . .”.
Dan
sebagaimana telah kami jelaskan di atas, ilmu dan amal tak pernah berpisah dari
hikmat Abu Darda’ r.a. Ia berkata: “Yang paling kutakutkan nanti di hari qiamat
ialah bila ditanyakan orang di muka khalayak: “Hai ‘Uwaimir, apakah
engkau-berilmu?, maka akan kujawab: “Ada …… Lalu ditanyakan orang lagi
kepadaku: “Apa saja yang engkau amalkan dengan ilmu yang ada itu?”
Ia
selalu memuliakan ulama yang mengamalkan ilmunya, menghormati mereka dengan
penghormatan besar, bahkan beliau berdoa kepada Tuhannya dengan katanya: “Ya.
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kutukan hati ulama . . . . .. Lalu ia
ditanyai: “Bagaimana dapat hati mereka mengutuki anda?” Jawabnya r.a.;
“Dibencinya aku . . . !”
Adakah
anda perhatikan . . . ? Bahwa ia memandang suatu laknat yang tak tertanggungkan
bila terdapat kebencian orang alim kepadanya. Oleh karena itulah ia dengan
rendah hati berdoa kepada Tuhannya, agar Ia melindunginya daripadanya ….
Hikmah
Abu Darda’ mengajarkan berbuat baik dalam persaudaraan dan membina hubungan
manusia dengan manusia atas dasar kejadian tabiat manusia itu sendiri, maka
berkatalah ia: “Cacian dari seorang saudara, lebih baik daripada kehilangannya
…. Siapakah mereka bagimu, kalau bukan saudara atau teman? Berilah saudaramu
dan berlunak lembutlah kepadanya … ! Dan jangan engkau ikut-ikutan mendengki
saudaramu, nanti engkau akan seperti orang itu pula . . . ! Besok engkau akan
dijelang maut, maka cukuplah bagi engkau kehilangannya …. Bagaimana anda akan
menangisinya sesudah mati, sedang selagi hidup tak pernah anda memenuhi haknya…
!”
Pengawasan
Allah terhadap hamba-Nya menjadi dasar yang kuat bagi Abu Darda’, untuk
membangun hak-hak persaudaraan di atasnya. Berkatalah Abu Darda’ r.a.:
“Aku
benci menganiaya seseorang . . . , dan aku lebih benci lagi, jika sampai
menganiaya seseorang yang tidak mampu meminta pertolongan dari aniayaanku,
kecuali kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar … !”
Alangkah
besar jiwamu, dan terang pancaran ruhmu, wahai Abu Darda’!
Ia
selalu memberi peringatan keras terhadap masyarakat dari fikiran keliru yang
menyangka bahwa kaum lemah mudah saja mereka perlakukan sewenang-wenang dengan
menyalah. gunakan kekuasaan dan kekuatan. Diperingatkannya, bahwa di dalam kelemahan
orang-orang itu, terdapat kekuatan yang ampuh, yakni jeritan hati dan memohon
kepada Allah karena kelemahan mereka, lalu menyerahkan nasib mereka ke
hadapanNya atas perlakuan orang yang menindasnya itu ….
Nah
inilah dia Abu Darda’ yang budiman itu Inilah dia.
Abu
Darda’ yang zuhud, ahli ibadah dan yang selalu merindukan kembali hendak
bertemu dengan Tuhannya . . . . Inilah dia., ‘Abu Darda’, yang bila orang
terpesona oleh ketaqwaannya, lalu mereka meminta du’a restunya, dijawabnya
dengan kerendahan’ hati yang teguh, katanya:
“Aku
bukan ahli berenang . . . . hingga aku takut akan tenggelam. . . .”.
Demikianlah
Abu Darda’ benarlah ia tak pandai berenang? Tetapi apa pula yang akan
diherankan, karena bukankah ia hasil tempaan Rasulullah saw…. , murid al-Quran
…. putera Islam yang pertama . . . , dan teman sejawat Abu Bakar dan Umar,
Serta tokoh-tokoh utama lainnya ...
*******
ditukil dari Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup
Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung
Wallahu ‘Alam [Sahabat Rasulullah]
Category: Recent Post, SAHABAT NABI
0 komentar