ZAID BIN TSABIT; PENGHIMPUN AL-QURAN
ZAID
BIN TSABIT; PENGHIMPUN KITAB SUCI AL-QURAN
Bila
anda membawa al-Quran dengan tangan kanan anda, dan menghadapkan wajah anda
kepada-Nya dengan sepenuh hati, dan selanjutnya menelusuri lembaran demi
lembaran, surat demi surat atau ayat demi ayat, maka ketahuilah bahwa di antara
orang-orang yang telah berjasa besar terhadap anda, hingga anda dapat bersyukur
dan mengenal karya besar ini, adalah seorang manusia utama namanya Zaid bin
Tsabit.
Dan
dalam mengikuti peristiwa-peristiwa pengumpulan al-Quran sampai menjadi satu
mushaf (buku), akan selalulah diingat orang bahkan tak dapat dilupakan nama
shahabat besar ini.
Dan
di kala diadakan penaburan bunga sebagai penghormatan dan kenang-kenangan
terhadap mereka yang mendapat berkat karena jasa mereka yang tak ternilai dalam
menghimpun, menyusun, menertibkan dan memelihara kesucian al-Quran, maka Zaid
bin Tsabit merupakan pribadi yang mempunyai hak atau jatah terbesar dalam
menerima bunga-bunga penghormatan dan penghargaan itu.
*******
Ia
adalah seorang Anshar dari Madinah …. Sewaktu Rasulullah saw. datang berhijrah
ke Madinah, umurnya baru 11 tahun. Anak kecil ini ikut masuk Islam bersama-sama
keluarganya yang lain yang menganut Islam, dan ia mendapat berkat karena
didoakan oleh Rasulullah saw.....
Ia
dibawa oleh orang tuanya berangkat bersama-sama ke perang Badar tapi Rasulullah
menolaknya ikut, karena umur dan tubuhnya yang masih kecil.
Di
perang Uhud ia menghadap lagi bersama teman-teman sebayanya kepada Rasul.
Dengan berhiba-hiba, mereka memohon agar dapat diterima Rasul dalam barisan
Mujahidin, bahkan para keluarga anak-anak ini menyokong permintaan itu dengan
gigih, penuh pengharapan . . . .
Rasul
melayangkan pandangannya ke pasukan berkuda cilik itu dengan pandangan terima
kasih. Tapi kelihatannya beliau masih keberatan untuk membawa mereka dalam
barisan memsela dan mempertahankan Agama Allah.
Tetapi
salah seorang di antara mereka yaitu Rafi’ bin Khudaij tampil ke hadapan
Rasulullah saw. dengan membawa tombaknya Serta mempermainkannya dengan gerakan
yang mengagumkan, lalu katanya kepada Rasulullah saw.: “Sebagaimana anda lihat
ya Rasulullah, aku. adalah seorang pelempar tombak yang mahir, maka mohon aku
diidzinkan untuk ikut … !”
Rasul
mengucapkan selamat terhadap pahlawan muda yang baru naik ini dengan satu
senyuman manis dan ramah, lalu mengidzinkannya turut.
Melihat
itu teman-temannya yang lain pun bangkit semangatnya. Maka tampil lagi ke depan
anak muda yang kedua, namanya Samurah bin Jundub, dan dengan penuh sopan
diperlihatkannya kedua lengannya yang kuat kekar, sementara sebagian
keluarganya mengatakan kepada Rasul: “Samurah mampu merebahkan badan orang
yang tinggi sekalipun … !”
Rasul
pun berkenan pula melontarkan senyumannya yang menawan dan menerimanya dalam
barisan . . .. Kedua anak muda itu masing-masing telah berumur lima selas tahun
di samping mempunyai pertumbuhan badan yang kuat.
Dari
kelompok anak-anak itu masih tinggal enam orang lagi, di antaranya Zaid bin
Tsabit dan Abdullah bin Umar …. Mereka terus Saja berusaha dengan segala upaya
minta ikut, kadang-kadang dengan merendah-rendah dan mengharap, kadang-kadang
dengan menangis dan lain kali dengan memamerkan otot-otot lengan mereka. Tetapi
karena umur mereka yang masih terlalu muda dan tulang tubuh mereka yang masih
lemah, Rasul lalu menjanjikan mereka untuk pertahanan di masa mendatang….
Begitulah
Zaid bersama kawan-kawannya baru mendapat giliran mengikuti barisan Rasulullah
sebagai prajurit pemsela Agama Allah dalam perang Khandaq, yakni pada tahun
yang kelima dari hijrah.
Kepribadiannya
selaku seorang Muslim yang beriman terus tumbuh dengan cepat dan menakjubkan.
Ia bukan hanya terampil sebagai pejuang, tapi juga sebagai ilmuwan dengan
bermacam-macam bakat dan kelebihan. Ia tak henti-hentinya menghapal al-Quran,
menuliskan wahyu untuk Rasulnya, dan meningkatkan diri dalam ilmu dan hikmat.
Dan sewaktu Rasul mulai menyampaikan da’wahnya ke luar negeri secara merata,
dan mengirimkan surat-surat kepada raja-raja dan kaisar-kaisar dunia, maka
diperintahkannyalah Zaid mempelajari sebagian bahasa asing itu yang berhasil
dilaksanakannya dalam waktu yang singkat . . . .
Demikianlah
kepribadian Zaid bin Tsabit menjadi cemerlang, dan ia dapat menempatkan diri
dalam lingkungan pergaulan yang baru pada kedudukan yang tinggi, hingga ia pun
jadi tumpuan penghormatan dan penghargaan masyarakat Islam.
Berkata
Sya’bi:
“Pada suatu kali Zaid hendak pergi berkendaraan, maka
Ibnu Abbas lalu memegangkan tali kendali kudanya . . . . Kata Zaid kepadanya:
“Tak usahlah, wahai putera paman Rasulullah . . . !” yang segera dijawab oleh
Ibnu Abbas: “Tidak, memang beginilah seharusnya kami lakukan terhadap ulama
kami … !”
Berkata
pula Qabishah:
“Zaid di Madinah mengepalai peradilan urusan fatwa,
qira’at dan soal pembagian pusaka . . . . “. Dan berkata pula Tsabit bin Ubeid:
“Jarang aku melihat seseorang yang jenaka di rumahnya, tetapi paling disegani
di majlisnya seperti Zaid”. Dan kata Ibnu Abbas pula: “Tokoh-tokoh terkemuka
dari shahabat-shahabat Muhammad saw. tabu betul bahwa Zaid bin Tsabit adalah
orang yang dalam ilmunya … !”
Puji-pujian
tentang kelebihannya itu yang dikemukakan secara berulang-ulang oleh
shahabat-shahabatnya, dapatlah menambah pengertian kita terhadap tokoh yang
oleh taqdir telah disediakan baginya tugas terpenting di antara semua tugas
dalam sejarah Islam, yaitu tugas menghimpun al-Quran.
******
Semenjak
wahyu mulai turun, dan mengambil tempat di hati Rasul agar beliau termasuk
golongan orang-orang yang menyampaikan peringatan dan perhatian, mengemukakan
dan melaksanakan al-Quran dengan menyampaikan ayat-ayat yang mempesonakan ini:
“Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah, yang telah mengajar dengan pena. Mengajari manusia apa-apa yang tidak
diketahuinya … !”
(Q.S. 96 al-’Alaq: 1 — 5)
Sejak
permulaan itu, wahyu turun menyertai Rasulullah saw. setiap beliau berpaling
menghadapkan wajahnya ke hadlirat Allah sambil mengharapkan nur dan
petunjuk-Nya. Wahyu turun berangsur-angsur sedikit demi sedikit, seayat demi
seayat . . . . Dan turunnya wahyu itu selama jangka waktu kerasulan, di
Sela-Sela peristiwa di mana Nabi selesai menghadapi suatu peperangan, kembali
menghadapi peperangan yang lain . ” di kala ia menggagalkan suatu tipu muslihat
perang musuh, beralih menghadapi muslihat mereka yang lain, dan yang lain lagi.
‘ ” dan di saat beliau membina dunia baru, yakni baru dengan arti seluas kata .
. . wahyu itu tetap turun, sedang Rasul membacakan dan menyampaikannya ….
Maka
di sanalah ada satu kelompok yang diberkati yang menumpahkan segala minat dan
perhatian mereka terhadap al-Quran sejak hari-hari pertama . . . . Sebagian
tampil menghapalkannya sekuasanya, dan sebagian yang lain mempunyai
keterampilan menulis, memelihara ayat-ayat tersebut dengan tulisan-tulisan
mereka.
Dalam
jangka waktu lebih kurang duapuluh satu tahun, di mana al-Quran turun ayat demi
ayat, atau beberapa ayat disusul oleh beberapa ayat, sesuai dengan tuntutan
keadaan dan sebab-sebabnya, maka mereka yang ahli menghafal dan menuliskannya
itu, dalam melaksanakan amal pekerjaan mereka, mendapat taufik yang besar dari
Allah Ta’ala ….
Al-Quran
tidak turun sekaligus atau sekali onggok, karena ia bukanlah kitab yang
dikarang atau artikel yang disusun …. Sesungguhnya ia adalah suatu dalil dan
pedoman bagi suatu ummat baru yang dibangun secara alamiah, sebingkaih demi
sebingkaih dan hari demi hari, hingga bangkitlah ‘aqidah dan keyakinan,
terbentuk perasaan hatinya, akal pikiran dan iradat kemauannya menurut kehendak
Ilahi. la tidak memerlukan alasan, tetapi menuntun dan menggembleng manusia
dari ummat ini untuk menempuh jalan ketaatan yang sempurna menuruti kehendak
Allah swt.
Oleh
karena itu al-Quran datang secara berkala dan terba-gibagi, sesuai dengan
keperluan yang terjadi dalam perjalanannya yang terus berkembang dan situasi
yang selalu berubah serta kendali yang berbeda arah ….
Sebagaimana
telah kami utarakan dahulu, tidak sedikit ahli baca dan ahli hafal al-Quran
yang mencatat atau menuliskannya. Di antara pemimpin-pemimpinnya ialah Ali bin
Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas, serta
seorang yang mempunyai kepribadian yang mulia yang sedang kita bicarakan
sekarang ini, Zaid bin Tsabit, semoga Allah ridla kepada mereka semua . . . .
Sesudah
sempurna turun wahyu, dan pada masa-masa yang terakhir dari turunnya Rasul
mengulang membacakannya kepada Muslimin, dengan menertibkan susunan Surat-Surat
dan ayat-ayat nya . . . . Dan sesudah wafatnya saw. Kaum Muslimin segera
disibukkan oleh peperangan menghadapi kaum yang murtad …. Dalam pertempuran
Yamamah yang telah kita bicarakan dahulu, yakni di kala membicarakan Khalid bin
Walid dan Zaid bin Khatthab, banyak qurban berjatuhan sebagai syuhada’ dari
golongan ahli baca dan ahli hafal al-Quran . Keadaan itu mengkhawatirkan. Dan
belum lagi api kemurtadan padam, maka Umar dengan rasa cemas, segera menghadap
Khalifah Abu Bakar Shiddiq r.a. dan dengan gigih memohon kepada beliau agar
para qari’ dan huffadh segera diperintahkan menghimpun alQuran sebelum mereka
keburu gugur atau mati syahid ….
Khalifah
pun bershalat istikharah kepada Tuhannya . . . lalu berunding dengan para
shahabatnya dan kemudian memanggil Zaid bin Tsabit, sembari berkata kepadanya:
“Kamu adalah seorang anak muda yang cerdas, kami tidak meragukan kamu . . . !”
Lalu diperintahkannya untuk segera memulai untuk menghimpun al-Quranul Karim,
dengan meminta bantuan para ahli yang berpengalaman dalam soal ini.
Maka
bangkitlah Zaid melakukan amal bakti yang kepadanya tergantung masa depan Islam
seluruhnya sebagai suatu Agama…! Dalam melaksanakan tugas yang sangat besar dan
penting ini Zaid berhasil dengan amat gemilang. Tiada henti-hentinya ia bekerja
menghimpun ayat-ayat dan Surat-Surat dari dada para penghafal dan dari catatan
serta tulisan, dengan meneliti dan mempersamakan serta memperbandingkan satu
dengan lainnya, hingga akhirnya dapatlah dihimpun al-Quran yang tersusun dan
teratur rapi ….
Amal
karyanya ini dinilai bersih oleh kata sepakat para shahabat semoga ridla Allah
kepada mereka yang hidup semasa dengan Rasul dan selalu mendengarkannya dari
beliau selama tahun-tahun kerasulan, teristimewa para ulama, para penghafal dan
penulisnya ….
Dan
berkatalah Zaid di waktu ia melukiskan kesukaran besar yang dihadapinya
mengingat kesucian tugas dan kemuliaannya: “Demi Allah, seandainya mereka
memintaku untuk memindahkan gunung dari tempatnya, akan lebih mudah kurasa
dari perintah mereka menghimpun al-Quran … !”
Benarlah
. . . , sesungguhnya Zaid lebih suka memikul satu atau beberapa gunung di atas
pundaknya, daripada ia sampai tersalah bagaimanapun kecilnya dalam menuliskan
ayat atau menyusunnya menjadi Surat sesuai dengan yang pernah dituntunkan oleh
Rasulullah. Tak ada bahaya atau kecemasan yang lebih besar menimpa hati
nuraninya dan Agamanya . . . . melebihi kesalahan seperti ini, bagaimanapun
juga kecilnya dan tanpa disengaja olehnya ….
Tetapi
taufik Allah mendampinginya, dan selain itu janji-Nya pun bersamanya,
firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan peringatan (al‑Quran), dan sesungguhnya Kamilah yang memeliharanya… !
(Q.S. 15 al-Hijr: 9).
Maka
berhasillah Zaid melaksanakan tugasnya yang penting itu, dan telah
diselesaikannya kewajiban dan tanggung jawabnya sebaik-baiknya ….
******
Ini
merupakan tahap pertama menghimpun al-Quran Tetapi penghimpunan kali ini masih
tertulis dalam banyak mashaf. Dalam mashaf-mashaf itu ada perbedaan-perbedaan
tanda-tanda harakat yang merupakan formalitas selaka, namun pengalaman
meyakinkan para shahabat Rasul saw. keharusan mempersatukan semua dalam satu
mashaf saja.
Maka
di masa Khalifah Utsman r.a. di kala Kaum Muslimin terus-menerus melanjutkan
perjuangannya dalam membebaskan ummat manusia dari penindasan penguasa di
negeri-negeri lain, meninggalkan kota Madinah dan merantau ke pelosok-pelosok
yang jauh . . . di saat setiap harinya orang berbondong-bondong masuk Islam dan
berjanji setia kepadanya, waktu itu tampaklah dengan jelas hal-hal yang
berbahaya yang diakibatkan oleh berbilangnya mashaf, yakni timbulnya perbedaan
bacaan terhadap al-Quran, sampai-sampai di kalangan para shahabat yang
mula-mula dan angkatan pertama ….
Oleh
karena itu, segolongan shahabat r.a. yang dikepalai oleh Hudzaifah ibnul Yaman
tampil menghadap Utsman, dan menjelaskan keperluan yang mendesak untuk
menyatukan mashaf .. .. Khalifah pun melakukan shalat istikharah kepada Tuhannya
dan berunding dengan shahabat-shahabatnya. . . . Dan sebagaimana Abu Bakar dulu
meminta tenaga Zaid bin Tsabit, sekarang Utsman meminta bantuan tenaganya pula.
….
Zaid
lalu mengumpulkan shahabat-shahabat dan orang-orang yang dapat membantunya.
Mereka ambil beberapa mashaf dari rumah Hafshah puteri Umar r.a. yang selama
ini dipelihara dengan baik di sana. Dan mulailah Zaid dan para shahabatnya
menggarap pekerjaan ini ….
Semua
mereka yang membantu Zaid adalah penulis-penulis wahyu dan penghafal-penghafal
al-Quran …. Namun, bila terdapat perbedaan
dan ternyata sedikit sekali terdapat perbedaan. itu mereka selalu
berpegang kepada petunjuk dan. pendapat Zaid dan menjadikannya sebagai alasan
kuat dan kata putus!
*******
Dan
sekarang di kala kita dapat membaca al-Quranul Karim itu dengan mudah . . .
atau kita mendengarnya dibaca orang dengan dilagukan . . . hampir-hampir tidak
terbayang dalam pikiran kita kesukaran-kesukaran hebat yang dialami oleh
orangorang yang telah ditentukan Allah untuk menghimpun dan memeliharanya… !
Sungguh,
tak ada bedanya dengan kedahsyatan yang mereka alami dan nyawa-nyawa yang
mereka qurbankan, di kala mereka berjihad di jalan Allah, untuk mengukuhkan
berdirinya Agama yang benar di muka bumi ini, dan melenyapkan kegelapan dengan
cahayanya yang benderang ….
*******
Wallahu ‘Alam [...]
ditukil dari Khalid Muh. Khalid,
Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung
Category: Recent Post, SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar