BILAL BIN RABAH (2) HABIS
Dan
setelah Rasulullah saw. bersama Kaum Muslimin hijrah dan menetap di Madinah,
beliau pun mensyari’atkan adzan untuk melakukan shalat. Maka siapakah kiranya
yang akan menjadi muaddzin untuk shalat itu sebanyak lima kali dalam sehari
semalam . . . yang suara takbir dan tahlilnya akan berkumandang ke seluruh
pelosok … ? Ialah Bilal . . . , yang telah menyerukan: “Ahad . . . ! Ahad . . .
! Allah Maha Tunggal . . . ! Allah Maha Tunggal . . .!” semenjak 13 tahun yang
lalu, sementara siksaan membantai dan menyelai tubuhnya.
Pada
hari itu pilihan Rasulullah jatuh atas dirinya sebagai muaddzin pertama dalam
Islam. Dan dengan suaranya yang merdu dan empuk diisinya hati dengan keimanan
dan telinga dengan keharuan, sementara seruannya menggemakan:
“Allahu
Akbar. . . Allahu Akbar Allahu Akbar … Allahu Akbar Asyhadu allailaha illallah
Asyhadu
allailaha illallah
Asyhadu
anna Muhammadar Rasulullah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Hayya ‘alas
shalah
Hayya
‘alas shalah
Hayya
‘alal falah
Hayya
alai falah
Allahu
Akbar.. . Allahu Akbar La ilaha illallah. . . “.
Antara
Kaum Muslimin dan tentara Quraisy yang datang menyerang Madinah terjadi
peperangan . . . . Pertempuran berkecamuk dengan amat sengit dan dahsyat . . .
, sementara Bilal maju dan menerjang dalam perang pertama yang diterjuni Islam
itu, yaitu Bakar . . . , yang sebagai semboyannya dititahkan oleh Rasulullah
menggunakan ucapan: “Ahad … ! Ahad … ! “
Dalam
peperangan ini Quraisy mengerahkan tenaga intinya, dan pemuka-pemukanya terjun untuk akhirnya
menemui tempat pembantaian mereka . . .! Pada mulanya Umayah bin Khalaf, yaitu
bekas majikan Bilal yang telah menyiksanya secara kejam dan biadab, tak hendak
ikut dalam peperangan itu. Tetapi demi mendengar keengganan dan sifat
pengecutnya itu, maka salah seorang di antara kawannya yang bernama ‘Uqbah bin
Abi With mendatanginya sambil di tangan kanannya membawa sebuah mijmar —
pedupaan yang dipergunakan wanita untuk mengasapi tubuhnya dengan kayu wangi —.
Setelah
sampai dan ia berhadapan muka dengan Umayah Yang ketika itu sedang duduk di
tengah-tengah anak buahnya, ditaruhlah pedupaan itu di hadapannya seraya
berkata: “Hai Abu Ali! Terimalah dan pergunakanlah pedupaan ini. Karena kamu
tak lebih dari seorang wanita!”
“Keparat!
apa yang kau bawa ini?, teriak Umayah dengan seramnya. Tetapi tak dapat
mengelak terpaksa akhirnya ia turut dalam peperangan itu bersama kawan-kawannya
….
Amboi,
rahasia taqdir apakah kiranya yang tersembunyi di balik peristiwa ini . . .?
Uqbah bin Mu’ith adalah seorang yang paling gigih mendorong Umayah untuk
melakukan siksaan terhadap Bilal dan orang-orang tak berdaya lainnya dari Kaum
Muslimin Dan sekarang, ia pulalah yang
mendesaknya
supaya
ikut dalam Perang Badar, tempat ia akan menemui ajalnya . . .! Tetapi juga
tempat tewasnya ‘Uqbah itu sendiri tanpa kecuali …
Mulanya
Umayah keberatan dan enggan untuk ikut dalam peperangan . . . , dan kalau
bukanlah karena desakan Uqbah dengan cara sebagai kita ketahui itu, tidaklah ia
hendak mengambil bagian di dalamnya …
Tetapi
rencana Allah pasti berlaku!
Umayah
harus ikut. Ada piutang lama antara dirinya dengan salah seorang hamba Allah
yang datang saatnya untuk diselesaikan. Allah tak pernah mati, dan sebagaimana
kalian memperlakukan orang demikianlah pula kalian diperlakukan orang!
Dan
taqdir ini gemar sekali mempermainkan orang sombong dan aniaya! Uqbah yang
kata-katanya didengar oleh Umayah dan kemauannya untuk menyiksa orang-orang
Mu’min yang tak berdosa diturutnya, justeru yang menyeretnya ke liang kubur … !
Kemudian
di tangan siapakah Di tangan Bilal. . . , tidak lain di tangan Bilal sendiri!
Tangan yang oleh Umayah dulu diikat dengan rantai, sedang pemiliknya didera dan
disiksa.
Maka
tangan inilah pula pada hari itu — ya’ni di waktu perang Badar — suatu saat
yang tepat dan diatur oleh taqdir, yang telah menyelesaikan utang-piutang dan
membuat perhitungan dengan algojo-algojo Quraisy yang telah menimpakan
penghinaan dan kedhaliman terhadap orang-orang Mu’min … ! Peristiwa ini terjadi
secara sempurna, tanpa ditambah atau dibumbui … !
Ketika
pertempuran di antara dua pihak telah mulai, dan barisan Kaum Muslimin maju
bergerak dengan semboyannya: “Ahad . ..! Ahad … !’,’maka jantung Umayah pun
bagai tercabut dari urat akarnya dan rasa takut mengancam dirinya. . . Kalimat
yang kemarin diulang-ulang oleh hambanya di bawah tekanan siksa dan dera,
sekarang telah menjadi semboyan dari suatu Agama secara utuh, dan dari suatu
ummat yang baru secara keseluruhan . . . ! “Ah ad ! Ahad . . .!” Demikianlah
dan dengan kecepatan seperti ini . . . , serta pertumbuhan yang demikian besar
… ?
Pertempuran
telah berkecamuk dan pedang bertemu pedang
Ketika
perang telah hampir usai, kelihatanlah oleh Umayah, abdurrahman bin ‘Auf,
seorang shahabat Rasulullah saw. Maka segera ia melindungkan diri kepadanya,
dan meminta untuk menjadi tawanannya; dengan harapan akan dapat menyelamatkan
nyawanya ….
Permintaan
itu dikabulkan oleh Abdurrahman yang bersedia melindunginya, dan di
tengah-tengah hiruk-pikuknya perang dibawanyalah Umayah ke tempat orang-orang
tawanan. Di tengah jalan ia kelihatan oleh Bilal, yang segera berseru: “Ini dia
.. . gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf! Biar aku mati daripada orang ini
selamat … ! “
Sambil
menyatakan itu diangkatlah pedangnya hendak memenggal kepala yang selama ini
menjadi besar disebabkan kecongkakan dan kesombongan. “Hai Bilal, ia tawananku!
” seru Abdurrahman. “Tawanan – . . ? ” ujar bilal, ‘padahal pertempuran masih
berkobar dan roda
peperangan
masih berputar . . . ? ” la diterima sebagai tawanan . . . , padahal belum lama
berselang senjatanya terhunjam di tubuh Kaum Muslimin yang sampai sekarang
masih meneteskan darahnya … ? Tidak . . .! bagi Bilal itu artinya berolok-olok
dan penindasan. Dan cukuplah selama ini Umayah berolok-olok dan melakukan
penindasan. la telah menindas demikian rupa, hingga hari ini tak ada lagi
kesempatan tersisa, dalam keadaan segawat ini . . . dalam akibat yang
menentukan ini!
orang
kafir, Umayah bin Khalaf … ! Biar aku mati daripada dia lolos … ! “
Berdatanganlah
serombongan Kaum Muslimin dengan pedang penyebar maut di tangan mereka dan
mengepung Umayah bersama puteranya — yang berperang di pihak Quraisy —
sementara Abdurrahman bin Auf tak dapat berbuat apa pun, bahkan juga tidak
dapat melindungi bajunya yang telah terkoyak-koyak oleh desakan orang banyak.
Bilal
memandangi tubuh Umayah yang telah rubuh oleh tebasan pedang-pedang itu dengan
lama sekali, kemudian ia bergegas meninggalkan tempat itu, sementara suaranya
yang nyaring mengumandangkan: “Ahad … ! Ahad
Menurut
hemat saya, bukanlah haq kita untuk membahas keutamaan toleransi dari pihak
Bilal dalam suasana seperti itu …. Tetapi seandainya pertemuan antara Bilal
dengan Umayah terjadi pada suasana lain, maka bolehlah kita meminta kepadanya
agar memberi ma’af, yang tak mungkin ditolak oleh orang yang seperti Bilal
keimanan dan ketaqwaannya.
Hanya
sebagai kita ketahui, mereka bertemu di medan laga, masing-masing pihak
mendatanginya dengan tujuan untuk menghancurkan pihak. lawannya . . . . Pedang
dan tombak herkelebatan … para korban berguguran – – – , dan maut merajalela
berseliweran . . .! Tiba-tiba pada saat seperti itu Bilal melihat Umayah, yang
tak sejengkal pun dari tubuhnya luput dari bekas kekejaman dan adzab siksa
Umayah!
Lalu
di manakah dan betapa tampak olehnya … ? Dilihatnya dalam kancah pertempuran;
memenggal kepala Kaum Muslimin yang ditemui Umayah, dan seandainya ia beroleh
kesempatan untuk memenggal kepala Bilal pada saat itu, tentulah tidak akan
disia-siakannya! Nah, dalam keadaan seperti demikianlah kedua laki-laki itu
berhadapan muka! Maka tidaklah adil menurut logika, bila kita bertanya kepada
Bilal, kenapa ia tak hendak memberi ma’af dengan sebaik-baiknya . . .!
Hari-hari
berlalu . . . dan Mekah dibebaskan . . . . Dengan mengepalai sepuluh ribu Kaum
Muslimin, Rasulullah memasuki kota itu, bersyukur dan mengucapkan takbir.
Beliau langsung menuju Ka’bah yang telah dipadati berhala oleh Quraisy dengan
jumlah bilangan hari dalam setahun, ialah tidak kurang dari 360 buah berhala.
Yang benar telah datang, hancur luluhlah kebathilan ….
Mulai
hari itu tak ada lagi Lata .
‘Uzza … atau. Hubal
,
dan semenjak itu manusia tidak lagi menundukkan kepalanya kepada batu atau
berhala – . . , dan tak ada lagi yang mereka puja sepenuh hati kecuali Allah
yang tak ada tara atau bandingan-Nya; Tuhan yang Maha Tunggal lagi Esa, Maha
Tinggi dan Maha Besar ….
Rasulullah
memasuki Ka’bah dengan membawa Bilal sebagai teman . . .! Baru saja masuk,
beliau telah berhadapan dengan sebuah patung pahatan, menggambarkan Ibrahim
‘alaihissalam sedang berjudi dengan menggunakan anak panah. Rasulullah amat
murka, sabdanya:
“Semoga
mereka dihancurkan Allah! Tak pernah nenek moyang kita melakukan perjudian
demikian . . .. Dan Ibrahim itu bukanlah seorang yahudi, bukan pula seorang
nasrani, tetapi seorang yang beragama suci dan seorang Muslim, dan sekali-kali
bukan dari golongan musyrik “.
Rasulullah
menyuruh Bilal naik ke bagian atas masjid untuk mengumandangkan adzan. Maka
Bilal pun adzanlah . . ‘ dan amboi . . . , alangkah mengharukan saat itu,
tempat itu dan suasana kala itu … ! Gerakan kehidupan di Mekah terhenti, dan
dengan jiwa yang satu, ribuan Kaum Muslimin dengan hati khusyu’ dan secara
berbisik mengulangi kalimat demi kalimat yang diucapkan Bilal.
Orang-orang
musyrik di rumahnya masing-masing hampir tak percaya dan bertanya-tanya dalam
hatinya:
— Inikah dia Muhammad dengan orang-orang
miskinnya yang
kemarin
terusir meninggalkan kampung halamannya … ?
— Betulkah dia, yang mereka usir, mereka
perangi, dan mereka bunuh keluarga yang paling dicintainya serta kerabat yang
paling dekat kepadanya … ?
— Dan betulkah dia, yang beberapa saat yang
lalu, nyawa mereka berada di tangannya, memaklumkan kepada mereka: “Pergilah
kalian . . . , kalian semua bebas … !”
Tiga
orang bangsawan Quraisy sedang duduk-duduk di pekarangan Ka’bah. Mereka tampak
terpukul menyaksikan panorama itu, yaitu ketika Bilal menginjak-injak
berhala-berhala mereka dengan kedua telapak kakinya, kemudian di atas
reruntuhannya yang telah hancur luluh, menyenandungkan suara adzannya yang
berkumandang di seluruh pelosok Mekah yang tak ubahnya bagai tiupan angin di
musim bunga ….
Ketiga
orang itu ialah: Abu Sufyan bin Harb — yang telah masuk Islam beberapa saat
yang lalu — dan ‘Attab bin Useid serta Harits bin Hisyam — kedua mereka belum
lagi masuk Islam —. Sementara matanya tertuju kepada Bilal yang sedang menyuarakan
adzan, ‘Attab berkata: “Sungguh Useid dimuliakan Allah, ia tidak mendengar
sesuatu yang amat dibencinya!” Berkata pula Harits: “Demi Allah, seandainya
saya tahu bahwa Muhammad saw. itu di pihak yang benar, pastilah saya paling
dahulu akan mengikutinya . . .! Sedang Abu Sufyan yang diplomat itu menukas
pembicaraan kedua shahabatnya dengan katanya: “Saya tak hendak mengatakan
sesuatu, karena seandainya saya berkata pastilah akan disebarkan oleh kerikil
kerikil ini!”
Ketika
Nabi saw. meninggalkan Ka’bah tampaklah mereka olehnya, lalu dalam sekejap
waktu dibacanya wajah-wajah mereka. Kemudian dengan kedua matanya yang bersinar
dengan Nur Hahi, sabdanya kepada mereka: “Saya tahu apa yang telah kalian
katakan tadi . . …. Lalu diceriterakannyalah apa yang mereka katakan itu. Maka
Harits dan ‘Attab pun berseru: “Kami menyaksikan bahwa anda adalah Rasulullah.
Demi Allah tak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami, hingga kami dapat
menuduh bahwa ia telah menyampaikannya kepada anda … !”
Sekarang
mereka menghadapi Bilal dengan pandangan baru
.
Dalam lubuk hati mereka bergema kembali kalimat-kalimat yang mereka dengar
dalam pidato Rasulullah sewaktu mula-mula masuk Mekah.
Hai
golongan Quraisy . . Allah telah
melenyapkan daripada kalian kesombongan jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek
moyang… , Manusia itu dari Adam …. sedang Adam dari tanah … !
Bilal
melanjutkan hidupnya kini bersama Rasulullah saw. dan ikut mengambil bagian
dalam semua perjuangan bersenjata yang dialaminya. la tetap menjadi muaddzin,
menjaga serta menyemarakkan syi’ar Agama besar ini, yang telah membebaskan
dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan kepada kemerdekaan … !
Kedudukan
Agama Islam semakin tinggi, demikian pula halnya Kaum Muslimin, taraf dan
derajat mereka ikut naik; dan Bilal semakin lama semakin dekat di hati
Rasulullah saw. yang menyatakannya sebagai “seorang laki-laki penduduk surga”.
Tetapi
sikapnya tidak berubah, tetap seperti biasa; mulia dan besar hati, yang selalu
memandang dirinya tidak lebih dari “seorang Habsyi yang kemarin menjadi budak
belian”.
Pada
suatu hari ia pergi meminang dua orang wanita untuk diperisterikannya dan
diperisterikan saudaranya, maka katanya kepada bapa wanita itu: “Saya ini
Bilal, dan ini saudaraku, kami berasal dari budak bangsa Habsyi. . . . Pada
mulanya kamiberada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk oleh Allah, dahulu
kami budak-budak belian lalu dimerdekakan oleh Allah
. .
. . Jika pinangan kami anda terima alhamdulillah — segala puji bagi Allah, dan
seandainya anda tolak, maka Allahu Akbar, Allah Maha Besar … !
Rasulullah
saw. pergi meninggalkan alam fana dan .naik ke rafiqul a’la dalam keadaan ridla
dan diridlai, dan penanggung jawab Kaum Muslimin sepeninggal beliau dibebankan
di atas pundak khalifahnya Abu Bakar as-Shiddiq
Bilal
pergi mendapatkan khalifah Rasulullah, menyampaikan isi hatinya.
Wahai
Khalifah Rasulullah, saya mendengar Rasulullah bersabda:
Aural
orang Mu’min yang utama adalah berjihad fi sabilillah.
“Jadi
apa maksudmu, hai Bilal?” tanya Abu Bakar. “Saya ingin berjuang di jalan Allah
sampai saya meninggal dunia”, ujar Bilal. “Siapa lagi yang akan menjadi
muaddzin bagi kami?”, tanya Abu Bakar pula. Dengan air mata berlinang Bilal
menjawab: “Saya takkan menjadi muaddzin lagi bagi orang lain setelah Rasulullah”.
“Tidak” kata Abu Bakar, “tetaplah tinggal di sini hai Bilal, dan menjadi
muaddzin kami!” Jawab Bilal pula: “seandainya anda memerdekakan saya dulu
adalah untuk kepentingan anda, baiklah saya terima permintaan anda itu. Tetapi
bila anda memerdekakan saya karena Allah, biarkanlah diri saya untuk Allah
sesuai dengan maksud baik anda itu!” “Tak lain saya memerdekakanmu itu, hai
Bilal, semata-mata karena Allah!”
Kemudian
mengenai kelanjutannya terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli riwayat. Sebagian meriwayatkan bahwa ia
pergi ke Syria dan menetap di sana sebagai pejuang dan mujahid. Sementara
menurut lainnya, ia menerima permintaan Abu Bakar untuk tinggal bersamanya di
Madinah. Kemudian setelah Abu Bakar wafat dan Umar diangkat sebagai khalifah, barulah
Bilal minta idzin dan mohon diri kepadanya, lalu berangkat ke Syria.
Bagaimanapun
juga, Bilal telah menadzarkan sisa hidup dan usianya untuk berjuang menjaga
benteng-benteng Islam di perbatasan, dan membulatkan tekadnya untuk dapat
menjumpai Allah dan Rasul-Nya, sewaktu ia sedang melakukan aural yang paling
disukai oleh keduanya . . . . Dan suaranya yang syandu, dalam dan penuh wibawa
itu, tidak lagi mengumandangkan adzan seperti biasa. Sebabnya ialah karena demi
ia membaca “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah “, maka kenangan lamanya
bangkit kembali, dan suaranya tertelan oleh kesedihan, digantikan oleh cucuran
tangis dan air mata ….
Adzannya
yang terakhir, ialah ketika Umar sebagai Amirul Mu’minin datang ke Syria.
Orang-orang menggunakan kesempatan tersebut dengan memohon kepada khalifah
untuk meminta Bilal menjadi muaddzin bagi satu shalat saja. Amirul Mu’minin
memanggil Bilal; ketika waktu shalat telah tiba, maka dimintanya ia menjadi
muaddzin.
Bilal
pun, naik ke menara dan adzanlah . . . . Shahabat shahabat yang pernah
mendapati Rasulullah di waktu Bilal menjadi muaddzinnya sama-sama menangis
mencucurkan air mata, yang tak pernah mereka lakukan selama ini …. sedang yang
paling keras tangisnya di antara mereka ialah Umar …
Bilal
berpulang ke rahmatullah di Syria sebagai pejuang di jalan Allah seperti
diinginkannya. Dan di bawah bumi Damsyiq, sekarang terpendam kerangka dan
tulang-belulang suatu pribadi yang besar di antara pribadi-pribadi manusia,
yang amat teguh dan tangguh pendiriannya dalam mempertahankan ‘aqidah dan
keimanan ….
Semoga
Rahmat dan Karunia Allah melimpah rush kepada Bilal dan kepada kita semua.
Wallahu 'Alam [...]
ditukil dari Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Enam
Puluh Sahabat Rasulullah.
Baca Juga bagian Pertama Bilal bin Rabah (1)
Category: SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar