BILAL BIN RABAH (1)
BILAL
BIN RABAH; MUADZIN RASULLULAH & LAMBANG PERSAMAAN DERAJAT MANUSIA.
Bila
disebut nama Abu Bakar, maka Umar akan berkata: “Abu Bakar adalah pemimpin
kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita”. Maksudnya ialah Bilal ….
seorang
yang diberi gelar oleh Umar “pemimpin kita”, tentulah suatu pribadi besar yang
layak memperoleh kehormatan seperti itu! Tetapi setiap menerima pujian yang
ditujukan kepada dirinya, maka laki-laki yang berkulit hitam, kurus kerempeng,
tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis — sebagai dilukiskan oleh
ahli-ahli riwayat — akan menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan
air mata mengalir membasahi pipinya, akan berkata: “Saya ini hanyalah seorang
Habsyi, dan kemarin saya seorang budak belian!”
Nah,
siapakah kiranya orang Habsyi yang kemarin masih jadi budak belian ini … ?
Itulah dia Bilal. bin Rabah, muaddzin Islam dan penggoncang berhala yang dipuja
Quraisy sebagai tuhan! la merupakan salah satu keajaiban iman dan kebenaran!
Salah satu mujizat Islam yang maka besar!
Dari
tiap sepuluh orang, semenjak munculnya Agama itu sampai sekarang, bahkan sampai
kapan saja dikehendaki Allah, kita akan menemukan sedikitnya tujuh orang yang
kenal terhadap Bilal. Artinya dalam lintasan kurun dan generasi, terdapat
jutaan manusia yang mengenal Bilal; hafal akan namanya dan tahu riwayatnya
secara lengkap, sebagaimana mereka kenal akan dua Khalifah terbesar dalam Islam
(Abu Bakar dan Umar).
Anda
akan dapat menanyakan kepada setiap anak yang masih merangkak pada tahun-tahun
pelajaran dasarnya; baik di Mesir, Pakistan, Indonesia atau Cina . . . di
Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan Asia … di Irak, Syria, Turki, Iran
dan Sudan . . . di Tunisia, Aljazair, dan Maroko … pendeknya di seluruh
permukaan bumi yang didiami oleh Kaum Muslimin …. anda akan dapat menanyakan
kepada setiap remaja Islam: “Siapakah Bilal itu, wahai buyung?” Tentulah akan
keluar jawabannya yang lancar: “Ia adalah muaddzin Rasul. Asalnya seorang
budak, yang disiksa oleh tuannya dengan batu pangs, agar ia meninggalkan Islam,
tetapi jawabnya: “. . . Ahad … Ahad . . Allah Yang Maha Tunggal … Allah Yang
Maha Tunggal … ! “
Dan
setelah anda lihat keabadian yang telah dianugerahkan Islam kepada Bilal . . .
, bahwa sebelum Islam, Bilal ini tidak lebih dari seorang budak belian; yang
menggembalakan unta milik tuannya dengan imbalan dua genggam kurma! Tanpa
Islam, pastilah ia takkan luput dari kenistaan perbudakan — sampai maut datang
merenggutnya — setelah itu orang melupakannya….
Tetapi
kebenaran iman dan keagungan Agama yang diyakini-nya telah meluangkan baginya
dalam kehidupan dan riwayat hidup, suatu kedudukan tinggi pada deretan
tokoh-tokoh Islam dan orang-orang sucinya . . .! Banyak di antara orang-orang
terkemuka — golongan berpengaruh dan mempunyai harta —yang tidak berhasil
mendapatkan agak sepersepuluh dari keharuman nama yang diperoleh Bilal si
Budak Habsyi ini . . . ! ‘Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh sejarah yang tidak
mencapai separoh kemasyhuran yang dicapai oleh Bilal!
Kehitaman
warna kulit; kerendahan kasta dan bangsa, serta kehinaan dirinya di antara
manusia selama itu sebagai budak belian, sekali-kali tidaklah menutup pintu
baginya untuk menempati kedudukan tinggi yang dirintis oleh kebenaran,
keyakinan, kesucian dan kesungguhannya setelah ia memasuki Agama Islam.
Semua
itu adalah karena dalam neraca penilaian dan penghormatan yang diberikan
kepadanya, tak ada perhitungan lain kecuali kekaguman; yakni ketika dijumpai
kebesaran yang tidak terduga. Orang menyangka bahwa seorang hamba seperti
Bilal, biasanya asal-usulnya tidak menentu; tidak berdaya dan tidak mempunyai
keluarga, serta tidak memiliki suatu hak pun dari hidupnya. Dirinya adalah
milik tuannya yang telah membeli dengan hartanya, dan kerjanya berada di tengah
hewan ternak, pulang balik di antara unta dan domba tuannya. Menurut dugaan
mereka, makhluq seperti ini takkan mampu melakukan sesuatu, atau menjadi
sesuatu yang berarti!
Kiranya
ia berbeda dengan spa yang disangka dan diper-kirakan itu. Karena ia mampu
mencapai derajat keimanan yang tidak mungkin dicapai oleh lainnya …. lalu
menjadi muaddzin pertama bagi Rasulullah dan Islam; suatu aural yang menjadi
inceran bagi setiap pemimpin dan pembesar Quraisy yang telah masuk Islam dan
menjadi pengikut Rasul.
Benar
. . . , Bilal bin Rabah!
Corak
kepahlawanan apakah, dan bentuk kebesaran manakah yang ditonjolkan oleh ketiga
kata-kata ini, “Bilal bin Rabah .. .?” Ia seorang Habsyi dari golongan orang
berkulit hitam. Taqdir telah membawa nasibnya menjadi budak dari Bani Jumah di
kota Mekah, karena ibunya salah seorang hamba sahaya mereka.
Kehidupannya
tidak berbeda dengan budak biasa. Hariharinya berlalu secara rutin tapi
gersang, tidak memiliki sesuatu pada hari itu, tidak pula menaruh harapan pada
hari esok. Dan berita-berita mengenai Muhammad saw. telah mulai sampai ke
telinganya, yakni ketika orang-orang di Mekah menyampaikan-nya dari mulut ke
mulut. Juga ketika mendengar obrolan majikannya bersama tetamunya; terutama
majikannya Umayah bin khdaf, salah seorang pemuka Bani Jumah, yaitu kabilah
yang menjadi majikan yang dipertuan oleh Bilal.
Lamalah
sudah didengarnya Umayah ketika membicarakan Rasulullah, baik dengan
kawan-kawannya maupun sesama warga sukunya; mengeluarkan kata-kata berbisa;
penuh dengan rasa amarah, tuduhan dan kebencian. Di antara apa yang dapat
ditangkap oleh Bilal dari ucapan kemarahan yang tidak berujung pangkal itu,
ialah sifat-sifat yang melukiskan Agama baru baginya. Dan menurut hematnya,
sifat-sifat itu merupakan hal-hal baru dipandang dari sudut lingkungan di mana ia
tinggal. Sebagaimana juga di antara ucapan-ucapan yang keras penuh ancaman
itu, tapi pula kedengaran olehnya pengakuan mereka akan kemuliaan Muhammad
saw., tentang kejujuran dan keterpercayaannya …
Benar,
didengarnya mereka ta’jub dan keheranan terhadap ajaran yang dibawa oleh
Muhammad saw.! Sebagian mereka mengatakan kepada yang lain: “Tidak pernah
Muhammad saw. berdusta atau menjadi tukang sihir . . . tidak pula sinting atau
berubah akal . . . , walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk membendung
orang-orang yang berlomba-lomba memasuki Agamanya!”
Didengarnya
mereka mempercakapkan kesetiaannya menjaga amanat . . . , tentang kejujuran dan
ketulusannya – . . , tentang akhlaq dan kepribadiannya …. Didengarnya pula
mereka berbisik-bisik mengenai sebab yang mendorong mereka menentang dan
memusuhinya, yaitu: pertama kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang
diwariskan nenek moyangnya; dan kedua kekhawatiran merosotnya kemuliaan
Quraisy, kemuliaan yang mereka peroleh sebagai imbalan kedudukan mereka menjadi
markas keagamaan, sebagai pusat ibadat dan upacara haji di serata jazirah Arab
. . . , kemudian kedengkian terhadap Bani Hasyim, kenapa munculnya Nabi dan
Rasul itu dari golongan ini dan bukan dari fihak mereka ..
Pada
suatu hari, Bilal bin Rabah melihat Nur Ilahi dan mendengar imbauannya dalam
lubuk hatinya yang suci murni. Maka ia mendapatkan Rasulullah saw. dan
menyatakan keislamannya. Dan tidak lama antaranya, berita rahasia keislaman
Bilal terungkaplah …. dan beredar di antara kepala tuan-tuannya dari Bani
Jumah, yakni kepala-kepala yang selama ini ditiup oleh kesombongan dan ditindih
oleh kecongkakan . . . ! Maka setan-setan di muka bumi tampillah bermunculan
dan bersarang dalam dada Umayah bin Khalaf, yang menganggap keislaman seorang hambanya
sebagai tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan mereka semua ….
Apa
. . . ? Budak mereka orang Habsyi itu masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad
. . . ? Walaupun demikian, tidak apa! kata Umayah dalam hatinya. “Matahari yang
terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu … ! ”
Memang, bukan saja sang surya itu tidak tenggelam dengan Islamnya Bilal, tetapi
pada suatu hari kelak matahari akan tenggelam dengan membawa semua
patung-patung dan pembela pembela berhala itu … !
Mengenai
Bilal, tidak saja ia beroleh kedudukan yang merupakan kehormatan bagi Agama
Islam semata — walau Islam memang lebih berhak untuk itu — tetapi juga
merupakan kehormatan bagi perikemanusiaan umumnya … ! la telah menjadi sasaran
berbagai macam siksaan sebagai dialami oleh tokoh-tokoh utama lainnya.
Seolah-olah
Allah telah menjadikannya sebagai tamsil perbandingan bagi ummat manusia,
bahwa hitamnya warna kulit dan perbudakan, sekali-kali tidak menjadi penghalang
untuk mencapai kebesaran jiwa, asal saja ia beriman dan taat kepada Tuhannya
serta memegang teguh haq-haqnya ….
Bilal
telah memberikan pelajaran kepada orang-orang yang semasa dengannya, juga bagi
orang-orang di segala masa; bagi orang-orang yang seagama dengannya, bahkan
bagi pengikutpengikut agama lain; suatu pelajaran berharga yang menjelaskan
bahwa kemerdekaan jiwa dan kebebasan nurani, tak dapat dibeli dengan emas
separuh bumi, atau dengan siksaan bagaimanapun dahsyatnya … !
Dalam
keadaan telanjang ia dibaringkan di atas bara, dengan tujuan agar ia
meninggalkan Agamanya atau mencabut pengakuannya, tetapi ia menolak ….
Maka
budak Habsyi yang lemah tidak berdaya ini telah dijadikan oleh Rasulullah saw.
dan Agama Islam sebagai guru bagi seluruh kemanusiaan dalam soal menghormati
hati nurani dan mempertahankan kebebasan serta kemerdekaannya.
Pada
suatu ketika, di tengah hari bulat; waktu padang pasir berganti rupa menjadi
neraka jahannam, mereka membawanya ke luar, lalu melemparkannya ke pasir yang
bagai menyala dalam keadaan telanjang, kemudian beberapa orang laki-laki
mengangkat batu besar panas laksana bara, dan menjatuhkannya ke atas tubuh dan
dadanya ….
Siksaan
kejam dan biadab ini mereka ulangi setiap hari, hingga karena dahsyatnya
lunaklah hati beberapa orang di antara algojo-algojo yang menaruh kasihan
kepadanya. Mereka berjanji dan bersedia melepaskannya asal saja ia mau menyebut
nama tuhan-tuhan mereka secara baik-baik walau dengan sepatah kata sekalipun —
tak usah lebih — yang akan menjaga nama baik mereka di mata umum, hingga tidak
menjadi buah pembicaraan bagi orang-orang Quraisy bahwa mereka telah mengalah
dan bertekuk lutut kepada seorang budak yang gigih dan keras kepala.
Tetapi,
walau sepatah kata pun yang dapat diucapkan bukan dari lubuk hatinya, dan yang
dapat menebus nyawa dan hidupnya tanpa kehilangan iman dan melepas
keyakinannya, Bilal tak hendak mengucapkannya … !
Memang,
ditolaknya mengucapkan hal itu, dan sebagai gantinya diulang-ulanglah
senandungnya yang abadi: “Ahad … ! Ahad . . .! Allah Yang Maha Tunggal . . . !
Allah Yang Maha Tunggal . . .!” Pendera-pendera itu pun berteriak, bahkan
seakan-akan hendak memohon kepadanya: “Sebutlah Lata dan ‘Uzza!” Tetapi
jawabannya tidak berubah dari: “Ahad … ! Ahad … ! ” “Sebutlah apa yang kami
sebut!”, pinta mereka pula. Tetapi dengan ejekan pahit dan penghinaan yang
mena’jubkan ia menjawab: “lidahku tak dapat mengucapkannya … ! “
Tinggallah
Bilal dalam deraan panas dan tindihan batu, hingga ketika hari petang mereka
tegakkan badannya dan ikatkan tali pada lehernya, lalu mereka suruh anak-anak
untuk mengaraknya keliling bukit-bukit dan jalan-jalan kota Mekah, sementara
Bilal tiada lekang kedua bibirnya melagukan senandung sucinya: “Ahad. . .!
Ahad. . .!”
Berat
dugaan kita, bahwa bila malam telah tiba, orang-orang itu akan menawarkan
padanya: “Esok, ucapkanlah kata-kata yang baik terhadap tuhan-tuhan kami,
sebutlah: tuhanku Lata dan ‘Uzza . . . , nanti kami lepaskan dan biarkan kamu
sesuka hatimu! Telah letih kami menyiksamu, seolah-olah kami sendirilah yang
disiksa!” Tetapi pastilah Bilal akan menggelengkan kepalanya dan hanya
menyebut: “Ahad … ! Ahad . ! “
Karena
tak dapat menahan gusar dan amarah murkanya, Umayah meninju sambil berseru:
“Kesialan apa yang menimpa kami disebabkanmu, hai budak celaka?! Demi tuhan
Lata dan ‘Uzza, akan kujadikan kau sebagai contoh bagi bangsa budak dan
majikan-majikan mereka!” Dengan keyakinan seorang Mu’min dan kebesaran seorang
suci, Bilal menyahut: “Ahad … Ahad…
Orang-orang
yang diserahi tugas berpura-pura menaruh kasihan kepadanya, kembali membujuk
dan mengajukan tawaran, katanya kepada Umayah: “Biarkanlah ia wahai Umayah!
Demi Lata dan ‘Uzza! Mulai saat ini ia takkan disiksa lagi! Bilal ini anak buah
kami, bukankah ibunya sahaya kami . . .? Nah, ia takkan rela bila dengan
keislamannya itu nama kami menjadi ejekan dan cemoohan bangsa Quraisy . . .!”
Bilal
membelalakkan matanya menentang para penipu dan pengatur muslihat licik itu,
tetapi tiba-tiba ketegangan itu menjadi kendur dengan tersunggingnya sebuah
senyuman bagai cahaya fajar dari mulutnya. Dan dengan ketenangan yang dapat
menggoncangkan dan mengarubirukan mereka, katanya: “Ahad…! Ahad . ! “
Waktu
pagi hampir berlalu, waktu dhuhur dekat menjelang, dan Bilal pun dibawa orang
ke padang pasir, tetapi tetap shabar dan tabah, tenang tak tergoyah. Sementara
mereka menyiksanya, tiba-tiba datanglah Abu Bakar Shiddiq, serunya: “Apakah
kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah
Allah?!” Kemudian katanya kepada Umayah bin Khalaf: “Terimalah ini untuk
tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan ia … ! “
Bagai
orang yang hampir tenggelam, tiba-tiba diselamatkan oleh sampan penolong,
demikianlah halnya Umayah saat itu; hatinya lega dan merasa amat beruntung demi
didengarnya Abu Bakar hendak menebus budaknya. la telah berputus asa akan dapat
menundukkan Bilal. Apalagi mereka adalah orang-orang saudagar, dengan dijualnya
Bilal mereka melihat keuntungan yang tidak akan diperoleh dengan jalan
membunuhnya.
Dijualnyalah
Bilal kepada Abu Bakar yang segera membebaskannya, dan dengan demikian Bilal
pun tampillah mengambil tempatnya dalam lingkungan orang-orang merdeka . . . .
Dan ketika as-Shiddiq mengepit Bilal membawanya ke alam bebas, berkatalah
Umayah: “Bawalah ia! Demi Lata dan ‘Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih
dari satu ugia, pastilah ia akan kulepas juga!”
Abu
Bakar ‘arif akan keputusasaan dan pahitnya kegagalan yang tersirat dalam ucapan
itu, hingga lebih baik tidak dilayaninya.
Tetapi
karena ini menyangkut kehormatan seorang laki-laki yang sekarang telah menjadi
saudara yang tak berbeda dengan dirinya, maka jawabnya kepada Umayah: “Demi
Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah
akan kubayar juga!”
Kemudian
pergilah Abu Bakar bersama shahabatnya itu kepada Rasulullah saw. dan
menyampaikan berita gembira tentang kebebasannya, maka saat itu pun tak ubah
bagai hari rays besar juga … !
Selanjutnya, kebagian dua Klik Bilal bin Rabah (2) Habis
Category: SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar