KENAPA KITA HARUS PUASA ASYURA' ?
Hari sabtu ini merupakan hari ke-8 dari bulan Muharram,
dan hari minggu – senin merupakan hari yang Rasulullah saw sunahkan untuk
melaksanakan ibadah puasa sunah. Yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharran atau
bertepatan dengan tanggal 2 dan 3 November 2014. Lalu bagaimana sejarah
disunahkannya puasa pada hari tersebut, mari kita simak bersama.
SEJARAH PUASA ‘ASYURA (hari ke-10)
Hari
‘Asyura atau 10 Muharram adalah hari yang agung, pada hari tersebut Allah
menyelamatkan nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salam dan Bani Israil dari
pengejaran Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah. Untuk mensyukuri nikmat
yang agung tersebut, kaum Yahudi diperintahkan untuk melaksanakan shaum
‘Asyura.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ
تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ
صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الله بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ
مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi
shallallalhu ‘alaihi wa salam tiba di Madinah, maka beliau melihat orang-orang
Yahudi berpuasa hari ‘Asyura. Beliau bertanya kepada mereka: “Ada apa ini?”
Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini
Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka Nabi Musa berpuasa pada
hari ini.”
Nabi shallallalhu ‘alaihi wa salam bersabda, “Saya lebih
layak dengan nabi Musa dibandingkan kalian.” Maka beliau berpuasa ‘Asyura
dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa ‘Asura.”(HR. Bukhari no. 2204
dan Muslim no. 1130)
Kaum
musyrik Quraisy sendiri juga telah melaksanakan shaum ‘Asyura pada zaman
jahiliyah. Mereka menganggap hari tersebut adalah hari yang agung sehingga
mereka melakukan penggantian kain Ka’bah (kiswah) pada hari tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam juga telah melakukan puasa ‘Asyura
sejak sebelum diangkat menjadi nabi sampai saat beliau berhijrah ke Madinah.
Hal ini mengindikasikan, wallahu a’lam, puasa ‘Asyura diwarisi oleh kaum
Quraisy dari ajaran nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَالَتْ: كَانُوا
يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ، وَكَانَ يَوْمًا تُسْتَرُ
فِيهِ الكَعْبَةُ، فَلَمَّا فَرَضَ الله رَمَضَانَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ، وَمَنْ شَاءَ
أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ»
Dari Aisyah radiyallahu ‘anha berkata: “Mereka biasa melakukan
puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan.
Pada hari tersebut Ka’bah diberi kain penutup (kiswah). Ketika Allah mewajibkan
puasa Ramadhan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
“Baarangsiapa ingin berpuasa ‘Asyura, silahkan ia berpuasa. Dan barangsiapa
ingin tidak berpuasa ‘Asyura, silahkan ia tidak berpuasa.” (HR. Bukhari no.
1592)
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا، قَالَتْ: «كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ
قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ،
فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ،
وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ»
Dari Aisyah radiyallahu ‘anha berkata: “Kaum musyrik Quraisy
mengerjakan puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) sejak zaman jahiliyah.
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengerjakan puasa
‘Asyura. Ketika beliau tiba di Madinah, maka beliau berpuasa ‘Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Kemudian ketika puasa Ramadhan
diwajibkan, beliau meninggalkan puasa hari ‘Asyura. Maka barangsiapa ingin, ia
boleh berpuasa ‘Asyura. Dan barangsiapa ingin, ia boleh tidak berpuasa.” (HR.
Bukhari no. 2002 dan Muslim no. 1125, dengan lafal Bukhari)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam pada waktu di Madinah mewajibkan umat Islam untuk
melaksanakan shaum ‘Asyura.
عَنْ
سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ الله عَنْهُ، قَالَ: أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ: ” أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ:
أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ
أَكَلَ فَلْيَصُمْ، فَإِنَّ اليَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
“
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan seseorang dari suku Aslam:
“Umumkanlah kepada masyarakat bahwa barangsiapa tadi pagi telah makan, maka
hendaklah ia berpuasa pada sisa harinya. Dan barangsiapa belum makan tadi pagi,
maka hendaklah ia berpuasa. Karena hari ini adalah hari Asyura’.” (HR. Bukhari
no. 2007 dan Muslim no. 1824)
عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ:
أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى
قُرَى الأَنْصَارِ: «مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ
وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَليَصُمْ»، قَالَتْ: فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ،
وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا
بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ
الإِفْطَارِ
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengirimkan seorang pemberi pengumuman
pada pagi hari ‘Asyura ke kampung-kampung Anshar, untuk mengumumkan
“Barangsiapa siapa tadi pagi telah makan, hendaklah ia menyempurnakannya sampai
akhir hari ini (berpuasa) dan barangsiapa telah berpuasa sejak tadi pagi, maka
hendaklah ia berpuasa.”
Sejak saat itu kami selalu berpuasa ‘Asyura dan kami jadikan
anak-anak kecil kami berpuasa ‘Asyura. Kami membuatkan mainan boneka untuk
mereka dari bulu domba. Jika salah seorang di antara mereka menangis karena
lapar, maka kami berikan kepadanya mainana itu, begitulah sampai datangnya
waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960 dan Muslim no. 1136)
Dengan
turunnya kewajiban puasa Ramadhan, maka status hukum puasa ‘Asyura berubah dari
wajib menjadi “sekedar” sunah.
SEJARAH PUASA TASU’A (hari ke-9)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ
صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa salam melakukan puasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk
berpuasa ‘Asyura, maka para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, ia adalah hari
yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.”
Maka
beliau bersabda, “Jika begitu, pada tahun mendatang kita juga akan berpuasa
pada hari kesembilan, insya Allah.”
Ternyata
tahun berikutnya belum datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah
wafat.” (HR. Muslim no. 1134)
NABI
DALAM BERPUASA ‘ASYURA MENGALAMI EMPAT FASE[1];
Fase pertama:
Beliau berpuasa di Mekkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Aisyah
menuturkan: “Dahulu orang Quraisy berpuasa A’syuro pada masa jahiliyyah. Dan
Nabi-pun berpuasa ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau hijrah ke
Madinah, beliau tetap puasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia juga untuk
berpuasa. Ketika puasa Ramadhon telah diwajibkan, beliau berkata: “Bagi yang
hendak puasa silakan, bagi yang tidak puasa, juga tidak mengapa”.[2]
Fase kedua:
Tatkala beliau datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa
‘Asyura, beliau juga berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa. Sebagaimana
keterangan Ibnu Abbas di muka. Bahkan Rasulullah menguatkan perintahnya dan
sangat menganjurkan sekali, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka
untuk puasa ‘Asyura.
Fase ketiga:
Setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhon, beliau tidak lagi memerintahkan
para sahabatnya untuk berpuasa A’syuro, dan juga tidak melarang, dan membiarkan
perkaranya menjadi sunnah[3]
sebagaimana hadits Aisyah yang telah lalu.
Fase keempat:
Pada akhir hayatnya, Nabi bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari A’syuro
saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9 A’syuro agar berbeda dengan
puasanya orang Yahudi.
Ibnu
Abbas berkata: “Ketika Nabi puasa A’syuro dan beliau juga memerintahkan para
sahabatnya untuk berpuasa. Para sahabat berkata: “Wahai Rasululloh, hari Asyura
adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashoro!! Maka Rasululloh berkata:
“Kalau begitu, tahun depan Insya Allah kita puasa bersama tanggal sembelilannya
juga”. Ibnu Abbas berkata: “Belum sampai tahun depan, beliau sudah wafat
terlebih dahulu”.[6]
KEUTAMAAN
PUASA TASU’A DAN ‘ASYURA
1. Wujud syukur kepada
Allah yang telah menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dari kejahatan
orang-orang kafir, yaitu selamatnya Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salam
bersama Bani Israil dari kejahatan Fir’aun dan bala tentaranya. Hadits yang
menyebutkan hal ini telah disebutkan di atas.
2. Meneladani
nabi Musa, Harun dan Muhammad ‘alaihimus shalatu was salam, yang berpuasa pada
hari ‘Asyura. Hadits yang menyebutkan hal ini telah disebutkan di atas.
3. Meneladani
para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang melakukan puasa ‘Asyura, bahkan melatih
anak-anak mereka untuk melakukan puasa ‘Asyura. Hadits yang menyebutkan hal ini
telah disebutkan di atas.
4. Menghapuskan
dosa-dosa kecil selama setahun sebelumnya, selama kesyirikan dan dosa-dosa
besar dijauhi.
Dari Abu Qatadah Al-Anshari
radhiyallahu ‘anhu bahwasanya:
وَسُئِلَ
عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ: «يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ»
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, maka beliau
bersabda: “Ia dapat menghapuskan dosa-dosa kecil setahun yang lalu.”(HR. Muslim
no. 1162)
5.
Menghapus dosa satu tahun yang lalu
Rasululloh
bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ
عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Puasa ‘Asyura aku memohon kepada Allah
agar dapat menghapus dosa setahun yang lalu.[4]
Imam an-Nawawi berkata: “Keutamaannya menghapus semua
dosa-dosa kecil. Atau boleh dikatakan menghapus seluruh dosa kecuali dosa
besar”.[5]
6. Nabi sangat bersemangat untuk berpuasa pada hari
itu
Ibnu Abbas berkata:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ
هَذَا الْيَوْمَ: يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Aku tidak pernah melihat Nabi
benar-benar perhatian dan menyengaja untuk puasa yang ada keutamaannya daripada
puasa pada hari ini, hari ‘Asyura dan puasa bulan Ramadhon.[6]
7. Hari dimana Allah menyelamatkan Bani Isroil
Ibnu Abbas berkata: “Nabi tiba di Madinah dan dia
mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa A’syuro. Nabi bertanya: “Puasa apa
ini?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah telah
menyelamatkan Bani Israil dari kejaran musuhnya, maka Musa berpuasa sebagai
rasa syukurnya kepada Allah. Dan kami-pun ikut berpuasa. Nabi berkata: “Kami
lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”. Akhirnya Nabi berpuasa dan
memerintahkan manusia untuk berpuasa juga”.[7]
8. Puasa ‘Asyura dahulu diwajibkan
Dahulu puasa ‘Asyura diwajibkan sebelum turunnya
kewajiban puasa Ramadhan. Hal ini menujukkan keutamaan puasa ‘Asyura pada awal
perkaranya.
Ibnu Umar berkata: “Nabi dahulu puasa ‘Asyura dan
memerintahkan manusia agar berpuasa pula. Ketika turun kewajiban puasa
Ramadhan, puasa ‘Asyura ditinggalkan”.[8]
9. Jatuh pada bulan haram
Nabi bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ
شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
Puasa yang paling afdhol setelah puasa
Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharrom.[9]
[3] Bahkan para ulama telah sepakat bahwa puasa ‘Asyura sekarang
hukumnya sunnah tidak wajib. Ijma’at Ibnu Abdil Barr 2/798, Abdullah Mubarak Al Saif, Shahih Targhib
wa Tarhib, al-Albani 1/438, Tuhfatul Ahwadzi, Mubarak Fury 3/524, Aunul Ma’bud, Syaroful Haq Azhim Abadi 7/121
Category: Artikel Islam, Peristiwa Penting, Recent Post
0 komentar