HARGA DIRI REFLEKSI HIJRAH TAHUN BARU 1436 H
Tulisan ini merupakan salah satu tulisan ulama besar Islam
Sayyid Sabiq dalam bukunya Anashirul
Quwwah fil Islam (Unsur-Unsur Kekuatan Islam; Dasar terciptanya kemuliaan hidup
& kokohnya kepemimpinan Umat). Saya pikir sangat bagus kalau tulisan ini disebarkan ke
teman-teman generasi masa depan, sebagai refleksi dari tahun baru hijriah 1436 h.
dari hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah.
Islam
mengajarkan bahwa “harga diri” itu merupakan suatu hal yang paling utama dan
paling baik. Hargadiri adalah hal terpentung dalam memperoleh kebajikan, dalam
menyingkirkan kejahatan, dalam berpegang pada sifat –sifat mulia, dan dalam
menelaah masalah-masalah yang bernilai tinggi, dlam menjauhi hawa nafsu, dalam
membersihkan diri dari keinginannburuk dan perbuatan-perbuatan keji, dan dalam
menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak benar (bohong) serta akhlak yang
rendah.
Sifat-sifat
tersebut merupakan sifat-sifat utama yang patut dimiliki seseorang. Apabila sifat
tersebut tidak dimilikinya, jatuhlah nilai-nilai kemanusiaan seseorang dan
menurunlah derajat manusia yang tinggi itu.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa ingin menjadi
orang yang paling mulia, hendaklah ia bertakwa kepada Allah. Barangsiapa yang
ingin menjadi orang yang paling takwa hendaklah ia bertawakal kepada Allah. Barangsiapa
ingin menjadi ornag yang kaya, haruslah ia merasa bahwa harta yang dimiliki
Allah lebih besar daripada harta yang ada padanya.”
Betapa mulia dan agungnya jiwa seseorang yang berusaha
memperoleh keutamaan dan menjauhi perbuatan hina. Allah menykai hambanya yang
mulia dengan perbuatan yang agung dan utama.
Rasulullah bersabda, “Allah menyukai hal-hal yang
agung dan mulia dan membenci hal-hal yang sebaliknya (hina).”
Sebagaimanifestasi harga diri seseorang, dapat kita
lihat pada kerelaan memperjuangkan kebenaran dan memberantas kezaliman serta
marah apabila dihina dan melawannya dengan jalan yang wajar serta rasional. Keberanian
merupakan tameng “harga diri” yang mulia yang menjaga setiap penghinan yang
dilontarkan kepada seseorang. Juga sebagai tanda-tanda kepribadian yang kuat
ialah berani menentang kezaliman dan ketidakadilan, sekalipun untuk itu ia
ditimpa bencana.
Imam Syafi’i merasa dirinya mulia dan bangga dengan
keberniannya. Ia tidak peduli dengan apa ia akan mempertahankan kemuliaan itu. Ia
melukiskan perasaannya itu dalam sebuah syair:
Di waktu hidup, aku tidak akan
kehilangan kekuatan dan diwaktu mati, aku tidak akan kehilangan kuburan.
Cita-citaku bagaikan cita-cita para
raja, diriku adalah merdeka, melihat kehinaan seperti keingkaran.
Rasulullah saw melihat seorang yang menerima dan rela
direndahkan begitu saja oleh orang lain, yang dalam Islam dilarang, kemudian
Rasulullah bersabda, “Seseorang yang cita-citanya itu tidak ada nilainya di
sisi Allah. Barangsiapa tidak mementingkan kepentingan kaum Muslim, ia tidak
tergolong dalam ornag-orang Islam. Barangsiapa rela dirinya direndahkan orang
lain tanpa merasa kesal sedikit pun, ia bukan umatku.”
Islma mendidik seseorang menjadi berani, berani
bertarung, sekalipun maut mengancamnya. Dalam suatu hadis disebutkan, “Ada
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah. Kemudian ia bertanya, “Wahai
Rasulullah bagaimana kalau ada seseorang yang akan mengambil (merampas)
hartaku?, Rasulullah menjawab, “Jangan kamu berikan. Laki-laki itu bertanya
lagi, “Bagaimana kalu ia akan membunuhku? Rasulullah menjawab, “Lawanlah dia.
Laki-laki itu bertanya kemabali, bagaimana kalau aku terbunuh?, Rasulullah
menjawab, “Engakau masuk surga. Namun bagaimana kalau ia terbunuh? Rasulullah
menjawab, “Ia masuk neraka.”
Sesuatu yang paling hina yang terdapat pada seseorang
adalah sifat pengecut. Sifat ini dapat menggoyahkan sendi-sendi kehormatan
seseorang dan dapat mengakibatkan sempitnya sumber kihidupan. Dalam sebuah
syair dikatakan:
Bila seseorang diperlakukan tidak
adil, hal itu merupakan penghinaan, aib hidup.
Ia akan terbenam hancur
porak-poranda menjadi keping-keping yang tak seorang pun mau mempedulikannya.
Dalam suatu bangsa, kalau banyak yang pengecut,
berarti Allah telah menimpakan sesuatu yang hina pada bangsa itu sebagai akibat
yang nyata dari tingkah laku mereka yang tercela. Perasaan hina dan lemah
adalah jalan menuju perbudakan, bahakan dapat mendatangkan maut dan kehancuran.
Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ
دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا
ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاس لا يَشْكُرُونَ (٢٤٣)
Artinya: Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang
mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; Maka Allah berfirman kepada
mereka: "Matilah kamu"[154], [1]kemudian
Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap
manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. QS. Al-Baqarah [2] : 243
Maut yang dimaksud adalah suatu bangsa telah
kehilangan keagungan, kebesaran, dan kemerdekaan. Mereka telah menjadi bangsa
terbelakang dan bahkan mudah ditimpa bencana kelaparan serta selalu kecut
menghadapi sesuatu. Kemudian, Allah membangkitkan kekuatan dan kebesarn mereka
dengan menjadikan anak-anak (keturunan) para pengecut tersebut sebagai pendobrak
pintu keadilan dan pemberantas sifat-sifat hina. Dengan begitu, mereka menghendaki menjadi
bangsa yang mulia. Mereka bangkit terus berjuang, tidak mempedulikan apa yang
telah diperbuat oleh nenek moyang mereka yang menjadikan hina itu. Yang penting
mereka dapat menghidupkan bangsanya dengan mereka dan menjadikannya mulia dan
besar.
Allah menceritakan kepada kita tentang kisah kaum Nabi
Musa as ketika Nabi Musa minta kaumnya memasuki tanah suci. Mereka enggan masuk
karena takut dan merasa lemah. Alhasil, Allah menghukum mereka dengan siksaan,
lagi pula tersesat selama empat puluh tahun. Allah mengkategorikan mereka
sebagai kaum fasik yang keluar dari agama Allah. Allh berfirman:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا
لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (٢٠)يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الأرْضَ
الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلا تَرْتَدُّوا عَلَى
أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (٢١)قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا
قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ
يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ (٢٢)قَالَ رَجُلانِ مِنَ الَّذِينَ
يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا
دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٣)قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا
دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلا إِنَّا هَا هُنَا (٢٤)قَالَ
رَبِّ إِنِّي لا أَمْلِكُ إِلا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ
الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (٢٥)قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ
سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الأرْضِ فَلا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (٢٦)
Artinya:
20. dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya:
"Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat Nabi Nabi
diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya
kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara
umat-umat yang lain".
21. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina)
yang telah ditentukan Allah bagimu[2],
dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu
menjadi orang-orang yang merugi.
22. mereka berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya dalam
negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, Sesungguhnya Kami sekali-kali
tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar
daripadanya, pasti Kami akan memasukinya".
23. berkatalah dua orang diantara orang-orang yang
takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya:
"Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu
memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu
bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".
24. mereka berkata: "Hai Musa, Kami sekali sekali
tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena
itu Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya
Kami hanya duduk menanti disini saja".
25. berkata Musa: "Ya Tuhanku, aku tidak
menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara
Kami dengan orang-orang yang Fasik itu".
26. Allah berfirman: "(Jika demikian), Maka
Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun,
(selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu.
Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang Fasik
itu." QS. Al-Maidah [5] : 20-26.
Rasulullah
saw menilai, kehidupan umatnya bagaikan taruhan keagungan dan keberaniannya. Apabila
sifat-sifat mulia yang dimiliki itu telah digrogoti, Allah akan menghancurkan
dan mencabut semua kebesaran yang mereka miliki.
Rasulullah
bersabda, “Apabila umatku tidak mau lagi mengatakan kepada orang yang
berbuat zalim, ‘Hai, engkau berbuat zalim!’ aku ucapkan selamat tinggal padamu.”
Hadis tersebut
memberikan pengertian bahwa umat Muhammad bila tidak berani lagi mengecam atau
mengoreksi orang yang berbuat zalim, patutlah mereka ditinggalkan.
Merajalelanya
kezaliman itu sama dengan terlepas daripasangan agama dan berkurangnya unsur
kemerdekaan. Ini berarti kesesatan dan penyimpangan dari jalan yang ditentukan
Allah. Sedangkan rela dengan berkurangnnya kemerdakaan dan kemuliaan itu
berarti rela menerima penghinaan dan perbudakan.
Memilih
jalan sesat dan perbudakan adlah dibenci oleh Allah dan terlarang dalam Islam. Oleh
karena itu, Islam mengharuskan perlawanan apabila seseorang dipaksa meninggalkan
prinsip-prinsip ajaran agama dan kemerdekaan, kalau ia tidak mampu mengadakan
perlawanan, ia diharuskan pindah ke tempat lain yang aman baginya untuk
menjalankan agamanya dan mempertahankan kemerdekaanya. Allah berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (١٠)
Artinya: Katakanlah: "Hai
hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang
berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka
tanpa batas. QS.
Az-Zumar [39] : 10.
Apabila seseorang rela ditekan dalam menjalankan agama
dan menggunakan kemerdakaannya, berarti ia mempertontonkan berbagai macam siksa
dan bencana yang paling hebat dan paling keras. Allah berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ
ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي
الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا
فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧)إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ
مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا
يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨)فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ
وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا (٩٩)
Artinya:
97. Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri[3], (kepada
mereka) Malaikat bertanya : "Dalam Keadaan bagaimana kamu ini?".
mereka menjawab: "Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri
(Mekah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". orang-orang itu tempatnya
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,
98. kecuali mereka yang tertindas
baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan
tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),
99. mereka itu, Mudah-mudahan Allah
memaafkannya. dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. QS. An-Nisa [4]
: 97-99.
Hijrah para Nabi, para Rasul dan orang-orang saleh
disebabkan mereka menolak untuk meninggalkan prinsip dan pendapat mereka. Mereka
disiksa dan ditelantarkan karena tetap mempertahankan keyakinan, kehormatan dan
kemerdekaannya. Islam menghimbau hal ini menyeru-kannya meskipun untuk itu akan
mengakibatkan maut.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa terbunuh karena
membela agamanya, ia mati sahid, barangsiapa terbunuh karena mempertahankan
kehormatannya, ia mati syahid dan barangsiapa terbunuh karena karena membela
hartanya, ia mati syahid.
Jiwa yang mulia terletak di antara dua sifat, yaitu
kesombongan dan kehinaan. Yang pertama, rasa tinggi hati sementara yang kedua
rasa rendah diri. Keduanya tercela dan dilarang.
Rasulullah bersabda, “Tidak masuk surga orang yang
sombong, sekalipun kesombongan itu sebesar biji sawi dan tersembunyi dalam
hatinya.” Lalu, berkata seorang laki-laki, “Sesungguhnya aku ini menykai baju
bagus dan sandal bagus, apakah hal inj merupakan kesombongan?’ Rasulullah
menjawab, “Tidak, sesungguhnya Allah itu indah. Ia suka pada yang indah. Kesombongan
adalah mengingkari keberatan serta mendustai manusia.”
Ali bin Abdil Aziz berkata, “Mereka
berkata kepadaku, ‘Engkau adalah orang yang menjauhkan diri dari kemewahan tapi
sebenarnya mereka melihat seseorang yang enggan kepada kerendahan (kehinaan).”
Aku melihat seseorang yang berteman
dengan mereka itu hina, tapi orang yang mulia itu tetap mulia.
Aku tidak tahu persis, mengapa
demikian nampak hasratnya denganku, tidak setiap kilat yang melintas di
hadapanku itu menakutkan bagiku dan tidak pula setiap orang yang aku jumpai
menyenangkan bagiku.
Apabila diberitahukan di sini ada
mata air, aku jawab, “Aku tahu, namun setiap yang bebas itu pasti menjumpai
kehausan.”
Kami kekang sebagian kebebasan jiwa
kami supaya tidak menjadi memburuk demi untuk menjaga celaan musuh yang datang
dari segala penjuru.
Tidak ada malu dalam hatiku demi
ilmu. Aku mengabdi kepada siapa saja yang kujumpai dalam hal itu.
Apakah tanaman ilmuku itu membuat
aku berduka sehingga aku memetik kehinaan? Kalau begitu, justru orang-orang
yang bodohlah yang lebih sempit (terbatas).
Seandainya para cendikiawan itu bisa
memlihara ilmu mereka, niscaya ilmu itu akan tetap melekat dan dikuasainya dan
andaikata mereka menghormatinya, niscaya mereka akan menjadi terhormat
karenanya.
Namun, mereka menganggap remeh ilmu
sehingga mereka menjadi rendah, dan mereka mengotori sumber-sumber ilmu itu
dengan kerakusan akan harta sehingga mereka menjadi hina karenanya.”
[Semoga kita bisa berhijrah ke perjalanan yang lebih baik. Amien]
Wallahu
‘Alam Bish-Shoab. [Kawani, 1 November 2014 m.- 8 Muharram 1436 h.- @ciawi]
[1] Sebahagian ahli tafsir (seperti Al-Thabari dan Ibnu
Katsir) mengartikan mati di sini dengan mati yang sebenarnya; sedangkan
sebahagian ahli tafsir yang lain mengartikannya dengan mati semangat.
[2] Maksudnya: tanah
Palestina itu ditentukan Allah bagi kaum Yahudi selama mereka iman dan taat
kepada Allah.
[3] Yang dimaksud dengan
orang yang Menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah
yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. mereka ditindas
dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar;
akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
Category: Artikel Islam, MUHASABAH, Peristiwa Penting, Recent Post
0 komentar