SA’AD BIN ABI WAQQASH SINGA YANG MENYEMBUNYIKAN KUKUNYA BAG(2)
SA’AD
BIN ABI WAQQASH
SINGA
YANG MENYEMBUNYIKAN KUKUNYA. Lanjutan....
Pesan
dari Umar dilaksanakan oleh Sa’ad. Dikirimnya serombongan di antara
shahabat-shahabatnya sebagai utusan kepada Rustum panglima tentara Persia untuk
menyerunya iman kepada Allah dan Agama Islam.
Soal
jawab di antara mereka dengan Panglima Persi itu berlangsung lama, dan akhirnya
mereka tidak diperbolehkan lagi berbicara, karena salah seorang di antara
mereka mengatakan:
“Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebas kan
hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari pemujaan berhala kepada pengabdian
terhadap Allah Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia kepada keluasaannya, dan
dari kedhaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam …. Maka siapa-siapa yang
bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami biarkan
mereka. Tetapi siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka hingga kami
mencapai apa yang telah dijanjikan Allah … ! ” “Apa janji yang telah dijanjikan
Allah itu?” tanya Rustum. Jawab pembicara: “Surga bagi kami yang mati syahid,
dan kemenangan bagi yang masih hidup . . .! “
Para
utusan kembali kepada panglima pasukan Islam Sa’ad dan menyampaikan bahwa tak ada pilihan lain
daripada perang. Dan airmata Sa’ad berlinang-linang …. la berharap seandainya
saat pertempuran itu dapat diundurkan atau dimajukan sedikit waktu. Ketika itu
ia sedang sakit parah hingga ia sulit untuk bergerak. Bisul-bisul bertonjolan
di sekujur tubuhnya hingga ia tak dapat duduk, apalagi akan menaiki punggung
kudanya dan menerjuni pertempuran yang sengit berkuah darah!
Seandainya
saat pecah perang itu terjadi sebelum ia jatuh ia akan menunjukkan prestasi
tinggi . . . . Adapun sekarang ini . . *. Tetapi tidak, Rasulullah saw. telah
mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya”, karena
kata-kata itu menunjukkan kelemahan, sedang orang Mu’min yang kuat tidak
kehabisan akal dan tidak pernah lemah!
Ketika
itu bangkitlah “singa yang menyembunyikan kukunya” itu, lalu berdiri di
hadapan tentara menyampaikan pidato dengan tak lupa mengutip ayat mulia berikut
ini:
Bis millahirrah ma nirrahim
Telah Kami cantumhan dalam Zabur setelah sebelumnya Kami
catat dalam (Lauh Mahfudh) peringatan bahwa: Bumi itu diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang shalih – . – .
(Q.S. 21 al-Ambiya:105)
Setelah
menyampaikan pidatonya Sa’ad melakukan shalat dhuhur bersama tentaranya,
kemudian sambil menghadap kepada mereka, ia mengucapkan takbir empat kali:
Allaahu Akbar , Allaahu Akbar . . . , Allaahu Akbar. . . , Allaahu Akbar ….
Alam
pun gemuruh dan bergema dengan suara takbir, dan sambil mengulurkan tangannya
kemuka bagai anak panah yang sedang melepas laju menunjuk ke arah musuh, Sa’ad
berseru kepada anak buahnya: “Ayohlah maju dengan barkat dari Allah … !”
Dengan
menabahkan diri menanggung sakit yang dideritanya, Sa’ad naik ke anjung rumah
yang ditinggalinya dan yang diambilnya sebagai markas komandonya. Sambil
telungkup di atas dadanya yang dialasi bantal sementara pintu anjung itu
terbuka lebar . . . . Sedikit saja serangan dari orang-orang Persi ke rumah
itu, akan menyebabkan panglima Muslimin jatuh ke tangan mereka, hidup atau mati
Tetapi ia tidak gentar dan tidak merasa takut ….
Bisul-bisul
pecah berletusan, tetapi ia tidak perduli, hanya terus berseru dan bertakbir
serta mengeluarkan perintah kepada anak buahnya:
“Majulah
ke kanan . . .”., dan kepada yang lain: “Tutup pertahanan sebelah kiri awas di depanmu hai Mughirah ke belakang
mereka hai Jarir pukul hai
Nu’man …. serbu hai Asy’ats . . , hantam hai Qa’qa’ majulah semua hai
shahabat-shahabat Muhammad saw …
Suaranya
yang berwibawa, penuh dengan kemauan dan semangat baja, menyebabkan
masing-masing prajurit itu berubah menjadi kesatuan yang utuh. Maka
berjatuhanlah tentara Persi, tak ubah bagai lalat-lalat yang berkaparan, dan
rubuhlah bersama mereka keberhalaan dan pemujaan api!
Dan
setelah melihat tewasnya panglima bestir dan prajurit prajurit pilihan mereka,
sisa-sisa musuh tunggang-langgang melarikan diri. Mereka dikejar dan dihalau
oleh tentara Islam sampai ke Nahawand lalu ke Mada-in. Ibu kota itu mereka
masuki untuk merampas kursi singgasana dan mahkota Kisra yang menjadi lambang
keberhalaan.
Di
pertempuran Mada-in Sa’ad mencapai prestasi tinggi . . . . Pertempuran ini
terjadi kira-kira dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah, sementara
perang berlangsung secara keeil-keeilan antara Persi dan Kaum Muslimin.
Akhirnya semua sisa tentara Persi ini berhimpun di kota-kota Mada-in saja,
bersiap-siap untuk menghadapi pertempuran terakhir dan menentukan….
Sa’ad
menyadari bahwa situasi medan dan musim menguntungkan pihak penentang Islam,
karena antara pasukannya dan Madain terbentang sungai Tigris yang lebar,
alirannya sangat deras karena sedang banjir meluap-luap.Walaupun demikian
dengan teguh hati ia tetap memutuskan untuk memulai serangan umum itu pada waktu
itu juga, dengan perhitungan bahwa mental pasukan musuh sedang menurun.
Nah,
di antaranya peristiwa inilah yang membuktikan bahwa Sa’ad betul-betul sebagai
dilukiskan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, “singa yang menyembunyikan kukunya”.
Keimanan sa’ad dan kepekatan hatinya akan tampak menonjol ketika menghadapi
bahaya, hingga dapat mengatasi barang mustahil berkat keberanian yang luar
biasa!
Demikianlah
Sa’ad mengeluarkan perintah kepada pasukannya untuk menyeberangi sungai
Tigris, dan disuruhnya menyelidiki yang dangkal dari sungai yang dapat
dijadikan tempat penyeberangan ini. Dan akhirnya mereka menemukan tempat
tersebut, walaupun untuk menyeberanginya tidak luput dari bahaya yang
mengancam.
Sebelum
tentara memulai penyeberangan, panglima besar Sa’ad menyadari pentingnya
pengamanan pinggiran seberang sungai yang hendak dicapai, yakni daerah yang ada
dalam kekuasaan dan pengawasan musuh.
Ketika
itu disiapkannya dua kompi tentara: Pertama yang dinamakannya “kompi sapu
jagat”, sebagai komandannya diangkatnya “Ashim bin ‘Amr. Dan yang kedua
disebutnya “kompi gerak cepat”, sebagai pemimpinnya diangkatnya Qa’qa bin ‘Amr.
Adapun
tugas dari kedua kompi ini ialah menerjuni bahaya dan menetas jalan yang aman
menuju pinggir sebelah musuh dan melindungi induk pasukan yang akan mengiringi
mereka dari belakang. Dan mereka telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran
yang mena’jubkan .. .
Hingga
siasat yang dilakukan Sa’ad ketika itu mencapai hasil yang mengagumkan bagi
para ahli sejarah, bahkan bagi diri
Sa’ad bin Abi Waqqash sendiri ….
Salman
al-Farisi, yakni teman dan kawan seperjuangannya dalam pertempuran itu, juga
hampir-hampir tak percaya akan hasil yang telah dicapai. la menepukkan kedua
belah tangannya karena ta’jub dan bangga, katanya:
“Agama Islam masih baru ….
Tetapi lautan telah dapat mereka taklukkan,
sebagai halnya daratan telah mereka kuasai ….
Demi Allah yang nyawa Salman berada dalam tangan Nya,
pastilah mereka akan dapat keluar dengan selamat daripadanya
berbondong-bondong, sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong bondong …
!”
Dan
benarlah apa yang dikatakannya itu ….
Sebagaimana
mereka telah terjun ke dalam sungai gelombang demi gelombang, demikianlah pula
mereka keluar dari dalamnya dan mencapai seberang sana gelombang demi gelombang
pula. Tak seorang pun dari mereka kehilangan prajurit, bahkan tak sedikit pun
tentara Persi yang mampu mengunjukkan giginya . .!
Mangkok
tempat minumannya seorang prajurit jatuh ke dalam air. Maka ia tak ingin jadi
satu-satunya orang yang kehilangan barang waktu penyeberangan itu. Kepada
teman-temannya diserukannya agar menolongnya untuk menclapatkan barang itu
kembali. Kebetulan suatu ombak besar melemparkan mangkok itu ke dekat
rombongan hingga dapat mereka pungut ….
Salah
satu riwayat tentang sejarah melukiskan bagaimana dahsyatnya suasana ketika
penyeberangan sungai Tigris itu, katanya:
“Sa’ad memerintahkan Kaum Muslimin agar membaca:
Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil — cukuplah bagi kita Allah, dan Dialah
sebaik-baik pemimpin — Lalu dikerahkanlah kudanya menerjuni sungai yang diikuti
oleh orang-orangnya, hingga tak seorang pun di antara anggota pasukan yang
tinggal di belakang.
Maka
berjalanlah mereka dalam air, tak ubah bagai berjalan di darat juga, hingga
dari pinggir yang satu ke pinggir lainnya telah dipenuhi oleh prajurit, dan
permukaan air tak kelihatan lagi disebabkan amat banyaknya anggota angkatan
berkuda serta pasukan pejalan kaki. Orang-orang bercakap-cakap sesamanya ketika
berada dalam air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di darat. Sebabnya
tidak lain karena mereka merasa aman tenteram, serta percaya akan ketentuan
Allah dan pertolongan-Nya, akan janji dan bantuan-Nya … ! “
Tatkala
Sa’ad diangkat Umar sebagai amir wilayah Irak, ia mulai melakukan pembangunan
dan perluasan kota. Kota Kufah diperbesar, dan diumumkanlah hukum Islam serta
dilaksanakan di daerah yang luas dan lebar itu.
Pada
suatu hari rakyat Kufah mengadukan Sa’ad sebagai wali negerinya kepada Amirul
Mu’minin, rupanya mereka sedang dipengaruhi oleh tabi’at yang mudah dihasut,
cepat resah, gelisah dan suka memberontak, hingga mereka mengemukakan tuduhan
yang bukan-bukan dan mentertawakan. Kata mereka: “Sa’ad tidak baik shalatnya …
! “
Mendengar
itu Sa’ad hanya tertawa terbahak-bahak, ujarnya:
“Demi
Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka sebagai
shalat Rasulullah, yaitu memanjangkan dua raka’at yang mula-mula dan
memendekkan dua raka’at yang akhir”.
Sa’ad
dipanggil Umar ke Madinah untuk menghadap. Sa’ad tidak marah, bahkan segera
dipenuhi panggilan itu secepatnya. Setelah beberapa lama, Umar bermaksud untuk
mengembalikannya ke Kufah, tapi sambil tertawa Sa’ad menjawab:
‘Apakah
anda hendak mengembalikan saya kepada kaum yang menuduh bahwa shalat saya tidak
baik … ?
Demikianlah
ia memilih tinggal di Madinah.
Ketika
Amirul Mu’minin dicederai orang, dipilihnyalah enam orang di antara
shahabat-shahabat Rasulullah saw. yang akan mengurus soal pemilihan khalifah
baru, dengan mengemukakan alasan bahwa keenam orang yang dipilihnya itu adalah
terdiri dari orang-orang yang diridlai Rasulullah saw. sewaktu beliau hendak
berpulang ke rahmatullah. Maka di antara shahabat yang berenam itu terdapatlah
Sa’ad bin Abi Waqqash. Bahkan dari kalimat-kalimat Umar yang akhir terdapat
kesan bahwa seandainya ia hendak memilih salah seorang di antara mereka, maka
pilihannya akan jatuh pada Sa’ad ….
sewaktu
memberi wasiat dan mengucapkan selamat perpisahan dengan shahabat-shahabatnya,
Umar berkata: “Jika khalifah dijabat oleh Sa’ad, demikianlah sebaiknya . . .!
Dan seandainya dijabat oleh lainnya, hendaklah ia menjadikan Sa’ad sebagai
pendampingnya … !”
Sa’ad
mencapai usia lanjut . . . dan tibalah saat terjadinya fitnah besar, dan Sa’ad
tak hendak mencampurinya, bahkan kepada keluarga dan putera-puteranya
dipesankan agar tidak menyampaikan suatu berita pun mengenai hal itu kepadanya.
Pada
suatu ketika perhatian orang sama-sama tertuju kepadanya, dan anak saudaranya
yang bernama Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash datang mendapatkannya, seraya
berkata: “Paman, di sini telah siap seratus ribu bilah pedang, yang menganggap
bahwa pamanlah yang lebih berhak mengenai urusan khilafah ini!”
Ujar
Sa’ad:
“Dari seratus ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah
pedang saja . I . , jika saya tebaskan kepada orang Mu’min maka takkan mempan
sedikit pun juga, tetapi bila saya pancungkan kepada orang kafir pastilah putus
batang lehernya … !”
Mendengar
jawaban itu anak saudaranya maklum akan maksudnya dan membiarkannya dalam sikap
damai dan tak hendak bercampur tangan.
Dan
tatkala akhirnya khilafah itu jatuh ke tangan Mu’awiyah dan kendali kekuasaan
tergenggam dalam tangannya, ditanyakan kepada Sa’ad:
“Kenapa anda tidak ikut berperang di pihak kami?”
Ujarnya: “Saya sedang lewat di suatu tempat yang dilanda
taufan berkabut gelap. Maka kataku: Hai saudara …. hai saudaraku! Lalu saya
hentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali …”
Kata Mu’awiyah: “Bukankah dalam al-Quran tak ada: Hai
saudara, hai saudara! Hanya firman Allah Ta’ala:
Jika di antara orang-orang Mu’min ada dua golongan yang
berbunuhan, maka damaikanlah mereka! Seandainya salah satu di antara kedua
golongan itu berbuat aniaya kepada yang lain, maka perangilah yang berbuat
aniaya itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. . .!
(Q.S.49 al-Hujurat:9)
Maka
anda bukanlah di pihak yang aniaya terhadap pihak yang benar, dan bukan pula di
pihak yang benar terhadap golongan yang aniaya … !”
Sa’ad
menjawab sebagai berikut:
“Saya
tak hendak memerangi seorang laki-laki — maksudnya Ali — yang mengenai dirinya
Rasulullah pernah bersabda:
Engkau
di sampingku, tak ubahnya seperti kedudukan Harun di samping Musa, tetapi
(engkau bukan Nabi) tak ada lagi Nabi sesudahku!”
Suatu
hari pada tahun 54 H, yakni ketika usia Sa’ad telah lebih dari 80 tahun . . . ,
ia sedang berada di rumahnya di ‘Aqiq, sedang bersiap-siap hendak menemui Allah
Ta’ala ….
Saatnya
yang akhir itu diceritakan puteranya kepada kita sebagai berikut:
“Kepala
bapakku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal itu. Aku menangis, maka
katanya: Kenapa kamu menangis wahai anakku . . . ? Sungguh Allah tiada akan
menghukumku . . . , dan sesungguhnya aku termasuk salah seorang penduduk surga
… !”
Kekebalan
imannya tak tergoyahkan oleh apapun juga, bahkan tidak oleh goncangan maut dan
kengeriannya! Bukankah Rasulullah saw. telah menyampaikan kabar gembira
kepadanya sedang ia iman dan percaya penuh akan kebenaran Rasulullah saw. itu!
Jadi apa yang akan ditakutkannya lagi … ?
“Sungguh,
Allah tiada akan menyiksaku dan Sungguh aku termasuk penduduk surga …
Hanya
ia hendak menemui Allah dengan membawa kenang-kenangan yang paling manis dan
mengharukan, yang telah menghubungkan dengan Agamanya dan mempertemukan dengan
Rasul-Nya …. Itulah sebabnya ia memberi isyarat ke arah peti simpanannya, yang
ketika mereka buka dan keluarkan isinya, ternyata sehelai kain tua yang telah
usang dan lapuk. Disuruhlah keluarganya mengafani mayatnya nanti dengan kain
itu, katanya:
“Telah
kuhadapi orang-orang musyrik waktu perang Badar dengan memakai kain itu dan
telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan seperti pada hari ini … ! “
Memang,
kain usang yang telah lapuk itu tak dapat dianggap sebagai kain biasa! Ia
adalah panji-panji yang senantiasa berkibar di puncak kehidupan tinggi dan
panjang yang dilalui pemiliknya dengan Lulus dan bariman serta gagah berani … !
Dan
sosok tubuh dari salah seorang yang terakhir meninggal di antara orang-orang
Muhajirin ini dipikul di atas pundak orangorang yang membawanya ke Madinah,
untuk ditempatkan dengan aman di dekat sekelompok tokoh-tokoh suci dari pars
shahabat yang telah mendahuluinya menemui Allah, dan jasadjasad mereka yang
dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan tempatnya di bumi dan tanah Baqi’.
Selamat
jalan wahai Sa’ad …
Selamat
jalan wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Madain dan pemadam api pujaan di Persi
untuk selama-lamanya … !
*******
ditukil dari Khalid Muh. Khalid,
Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung
Wallahu ‘Alam [Sahabat Nabi]
Category: Recent Post, SAHABAT NABI
0 komentar