ABDULLAH BIN UMAR TEKUN BERIBADAH KEPADA ALLAH BAG(1)

Unknown | 5/17/2014 | 0 komentar

ABDULLAH BIN UMAR
TEKUN BERIBADAH DAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH.

Sewaktu telah berada di puncak usianya yang tinggi, ia ber­bicara:

Saya telah bai’at kepada Rasulullah saw Maka sampai saat ini, saya tak pernahbelot atau mungkir janji . . . . Dan saya tak pernah bai’at kepada pengobar fitnah …. Tidak pula membangunkan orang Mu’min dari tidur­nya….


Dalam kalimat-kalimat di atas tersimpul secara ringkas tapi padat kehidupan seorang laki-laki shalih yang lanjut usia, me­lebihi usia 80 tahun, dan telah memulai hubungannya dengan Rasulullah dan Agama Islam semenjak berusia 13 tahun, yaitu ketika ia ingin menyertai ayahandanya dalam Perang Badar, dengan harapan akan beroleh tempat dalam deretan para pe­juang, kalau tidak ditolak oleh Rasulullah disebabkan usianya yang masih terlalu muda ….

semenjak saat itu bahkan sebelumnya lagi, yakni ketika ia menyertai ayahandanya dalam hijrahnya ke Madinah, hubung­an anak yang cepat matang kepribadiannya itu dengan Rasul­ullah dan Agama Islam, telah mulai terjalin ….

Dan semenjak hari itu, sampai saat ia menemui Allah, yakni setelah ia mencapai usia 85 tahun, akan kita dapati ia se­bagaimana adanya; seorang yang tekun beribadat dan mendekat­kan diri kepada Allah, dan tak hendak bergeser dari pendiriannya walau agak seujung rambut, serta tak hendak menyimpang dari bai’at yang telah diikrarkannya atau melanggar janji yang telah diperbuatnya ….

Keistimewaan-keistimewaan yang memikat perhatian kita terhadap Abdullah bin Umar ini tidak sedikit. Ilmunya, keren­dahan hatinya, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian, keder­mawanan keshalihan dan ketekunannya dalam beribadah serta berpegang teguhnya kepada contoh yang diberikan oleh Rasul­ullah. Semua sifat dan keutamaan itu telah berjasa dalam me­nempa kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang suci lagi benar ….

Dipelajarinya dari bapaknya — Umar bin Khatthab — ber­bagai macam kebaikan; dan bersama bapaknya itu, dipelajarinya pula dari Rasulullah semua macam kebaikan dan semua macam kebesaran . . . . Sebagaimana bapaknya, ia pun telah berhasil mencapai keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, merupakan suatu hal yang amat mena’jubkan ….

Diperhatikannya apa kiranya yang dilakukan oleh Rasul­ullah mengenai sesuatu urusan, maka ditirunya secara cermat dan teliti . . . . Misalnya Rasulullah saw pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya pula di tempat itu. Di tempat lain umpamanya Rasulullah saw. pernah berdu’a sambil berdiri, maka Ibnu Umar berdu’a di tempat itu sambil berdiri pula. Di sana Rasulullah pernah berdu’a sambil duduk, maka Ibnu Umar berdu’a di sana sambil duduk pula. Di sini — di jalan ini — Rasulullah pernah turun dari punggung untanya pada suatu hari dan melakukan shalat dua raka’at, maka Ibnu Umar tak hendak ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia kebetulan lewat di daerah itu dan tempat itu.

Bahkan ia takkan lupa bahwa unta tunggangan Rasulullah berputar dua kali di suatu tempat di kota Mekah sebelum Rasul­ullah turun dari atasnya untuk melakukan shalat dua raka’at, walaupun barangkali unta itu berkeliling dengan suatu maksud untuk mencari tempat baginya yang cocok untuk bersimpuh nanti. Tapi Abdullah ibnu Umar baru saja sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya berputar dua kali kemudian baru bersimpuh, dan setelah itu ia shalat dua raka’at, sehingga persis sesuai dengan perbuatan Rasulullah yang telah disaksi­kannya … !

Kesetiaannya yang amat sangat dalam mengikuti jejak lang­kah Rasulullah ini, telah mengundang pujian dari Ummul Mu’- minin ‘Aisyah r.a. sampai ia mengatakan:

“Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. di tempat-tempat pem­berhentiannya, sebagai dilakukan oleh Ibnu Umar …

Sungguh, usia lanjutnya yang dipenuhi barkah itu telah dijalaninya untuk membuktikan kecintaannya yang mendalam terhadap Rasulullah, hingga pernah terjadi suatu masa, Kaum Muslimin yang shalihnya berdu’a: “Ya Allah, lanjutkanlah kiranya usia Ibnu Umar sebagai Allah melanjutkan usiaku, agar aku dapat mengikuti jejak langkahnya, karena aku tidak me­ngetahui seorang pun yang menghirup dari sumber pertama selain Abdullah bin Umar.

Dan karena kegemarannya yang kuat tak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan jejak langkah Rasulullah, maka Ibnu Umar bersikap amat hati-hati dalam penyampaian Hadits dari Rasulullah. la tak hendak menyampaikan sesuatu Hadits daripadanya, kecuali jika ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah.

Orang-orang yang semasa dengannya mengatakan: “Tak seorang pun di antara shahabat -shah abat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi sehuruh pun dalam menyampaikan Hadits Rasulullah sebagai halnya Ibnu Umar!”

Demikian pula dalam berfatwa, ia amat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri . . . . Pada suatu hari seorang penanya datang kepadanya untuk meminta fatwa. Dan setelah orang itu memajukan pertanyaan, Ibnu Umar menjawab “Saya tak tahu tentang masalah yang anda tanyakan itu . . .” Orang itu pun berlalulah, dan baru beberapa langkah  ia meninggalkannya, Ibnu Umar bertepuk tangan seraya berkata dalam hatinya: “Ibnu Umar ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya, maka dijawabnya bahwa ia tidak tahu . . .”

Ia tidak hendak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut akan berbuat kesalahan. Dan walaupun pola hidupnya mengikuti ajaran dari suatu Agama besar, yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang tersalah dan dua pahala bagi yang benar hasil ijtihadnya, tetapi demi menghindari berbuat dosa menyebabkannya tidak berani untuk berfatwa ….

Juga ia menghindarkan diri dari jabatan qadli atau kehakim­an, padahal jabatan ini merupakan jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan; di samping menjamin pemasukan keuangan, diperolehnya pengaruh dan kemuliaan. Apa perlunya kekayaan, pengaruh dan kemuliaan itu bagi Ibnu Umar… !

Pada suatu hari Khalifah Utsman r.a. memanggilnya dan meminta kesediaannya untuk memegang jabatan kehakiman itu, tetapi ditolaknya. Utsman mendesaknya juga, tetapi Ibnu Umar bersikeras pula atas penolakannya. “Apakah anda tak hendak menta’ati perintahku?” tanya Utsman. Jawab Ibnu Umar:

“Sama sekali tidak . . . , hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam:
Pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan ketiga yang berijtihad sedang hasil ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada anda agar dibebaskan dari jabatan itu . .

Khalifah Utsman menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menyampaikan hal itu kepada siapa pun juga. Sebabnya ialah karena Utsman menyadari se­penuhnya kedudukan Ibnu Umar dalam hati masyarakat, karena jika orang-orang yang taqwa lagi shalih mengetahui keberatan Ibnu Umar menerima jabatan tersebut pastilah mereka akan mengikuti langkahnya, sehingga khalifah takkan menemukan seorang taqwa yang bersedia menjadi qadli atau hakim.

Mungkin pendirian Abdullah bin Umar ini tampaknya sebagai suatu hal negatif yang terdapat pada dirinya. Tetapi tidaklah demikian halnya! Ibnu Umar tidak akan menolak jabatan ter­sebut apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas menduduki jabatan itu, karena masih banyak di antara shahabat-shahabat Rasulullah yang shalih dan wara’ yang juga pantas memegang jabatan kehakiman dan mampu memberikan fatwa secara praktis maka ia menolaknya.

Maka dengan penolakannya itu tidaklah akan menyebabkan lowongnya kursi jabatan tersebut atau mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berwenang. Telah tertanam dalam kehidupan pribadi Ibnu Umar untuk selalu membina dan meningkatkan diri agar lebih sempurna ketaatan dan ibadah­nya kepada Allah.

Apalagi bila dikaji kehidupan Agama Islam di waktu itu, ternyata bahwa dunia telah terbuka pintunya bagi Kaum Mus­limin, harta kekayaan melimpah ruah, pangkat dan kedudukan bertambah-tambah. Daya tarik harta dan kedudukan itu telah merangsang dan mempesona hati orang-orang beriman, me­nyebabkan bangkitnya sebagian shahabat Rasulullah — di antara­nya Ibnu Umar — mengibarkan bendera perlawanan terhadap rangsangan dan godaan itu. Caranya ialah dengan menyediakan diri mereka sebagai contoh teladan dalam yuhud dan keshalihan, menjauhi kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaannya ….

Boleh dikata bahwa Ibnu Umar adalah “Penyerta malam” yang biasa diisinya dengan melakukan shalat …. atau “kawan dinihari” yang dipakainya untuk menangis dan memohon di­ampuni. Di waktu remajanya ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah dita’birkan bahwa qiyamul lail itu nantinya akan menjadi campuran tumpuan cita Ibnu Umar, tempat tersangkut nya kesenangan dan kebahagiaannya. Nah, marilah kita dengar ceritera tentang mimpinya itu:

“Di masa Rasulullah saw. saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingini di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana…

Lalu tampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi seorang Malaikat menghadang mereka, katanya: Jangan ganggu! Maka kedua orang itu pun meluangkan jalan bagiku ….
Oleh Hafshah, yaitu saudaraku, mimpi itu diceriterakannya kepada Rasulullah saw. Maka sabda Rasulullah saw.:

“Akan menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering shalat malam dan banyak melakukan­nya! “

Maka semenjak itu sampai ia pulang dipanggil Allah, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail baik di waktu ia mukim atau musafir. Yang dilakukannya ialah shalat, membaca al-Quran dan banyak berdzikir menyebut nama Allah . . . , dan yang sangat menyerupai ayahnya ialah airmatanya bercucuran bila mendengar ayat-ayat peringatan dari al-Quran .
Berkata ‘Ubeid bin ‘Umeir: “Pada suatu hari saya bacakan ayat berikut ini kepada Abdullah bin Umar:
Betapakah bila Kami hadapkan dari setiap ummat seorang saksi, dan Kami hadapkan pula kamu sebagai saksi atas mereka semua . . . ? Padahari itu orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan tiada pula suatu pembicaraan pun yang dapat mereka sembunyikan dari Allah … ! “
(Q.S. 4 an-Nisa: 41 — 42)
Maka Ibnu Umar pun menangis, hingga janggutnya basah oleh airmata. Pada suatu hari ketika ia duduk di antara kawan­-kawannya, lalu membaca:
Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran! Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka yang menakar atau menimbang untuk orang lain. Makkah mereka merasa bahwa mereka akan di­bangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat… , yaitu ketika manusia sama berdiri di hadapan Tuhan Rabbul ‘alamin … (Q.S. 83 at-Tathfif: 1— 6).

Terus saja ia mengulang-ulang ayat:
Ketika manusia sama berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin sedang airmatanya mengucur bagai hujan …. hingga akhirnya ia jatuh disebabkan duka dan banyak menangis itu ….

Kemurahan, sifat zuhud dan wara’ bekerja sama pada dirinya dalam suatu paduan seni yang agung membentuk corak kepri­badian mengagumkan dari manusia besar ini . . . . Ia banyak memberi karena ia seorang pemurah . . . . Yang diberikannya ialah barang halal karena ia seorang yang wara’ atau shalih . . . . Dan ia tidak peduli, apakah kemurahannya itu akan menyebab­kannya miskin karena ia zahid, tidak ada minat terhadap dunia….

Ibnu Umar termasuk orang yang hidup ma’mur dan berpeng­hasilan banyak. Ia adalah seorang saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian benar dari kehidupannya. Di samping itu gaji­nya dari Baitulmal tidak sedikit pula: Tetapi tunjangan itu tidak sedikit pun disimpannya untuk dirinya pribadi, tetapi dibagi-­bagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang miskin, yang kemalangan dan peminta-minta.

Ayub bin Wa-il ar-Rasibi pernah menceriterakan kepada kita salah satu contoh kedermawanannya. Pada suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak empat ribu dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wa-il melihatnya di pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya secara berutang. Maka pergilah Ibnu Wa-il mendapatkan keluarga­nya, tanyanya: Bukankah kemarin Abu Abdurrahman — maksud­nya Ibnu Umar — menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju dingin? ” “Benar”, ujar mereka.

Kata Ibnu Wa-il:
“Saya lihat ia tadi di pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya dan tidak punya uang untuk mem­bayarnya . . . “
Ujar mereka: “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya. Mengenai baju dingin, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi ke luar. Tapi ketika kembali, baju itu tidak kelihatan lagi; dan ketika kami tanyakan, jawabnya bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin . ! “

Maka Ibnu Wa-il pun pergilah sambil menghempas-hempaskan kedua belah telapak tangannya satu sama lain, dan pergi menuju pasar. Di sana ia naik ke suatu tempat yang tinggi dan berseru kepada orang-orang pasar, katanya: “Hai kaum pedagang …! Apa yang tuan-tuan lakukan terhadap dunia . . . .? Lihat Ibnu Umar, datang kiriman kepadanya se­banyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara utang . . .! “

Memang, seorang yang gurunya Muhammad saw. dan bapak­nya Umar, adalah seorang yang luar biasa dan cocok untuk hal-hal istimewa . . A Sungguh, kedermawanan, sifat zuhud dan wara’, ketika unsur ini membuktikan secara gamblang, bagaimana Abdullah bin Umar menjadi seorang pengikut terpercaya dan seorang putera teladan ….

Bagi orang yang ingin melihat kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, cukuplah bila diketahuinya bahwa Ibnu Umar akan berhenti dengan untanya di suatu tempat itu, karena pada suatu hari dilihatnya Rasulullah berhenti dengan untanya di tempat itu, seraya katanya: “Semoga setiap jejak akan me­nimpa di atas jejak sebelumnya … !”

Begitu pula dalam baktinya kepada orang tua, penghormatan dan kekagumannya, Ibnu Umar mencapai suatu taraf yang mengharuskan agar kepribadian Umar itu diteladani oleh pihak musuh, apatah lagi oleh kaum kerabat, dan kononlah oleh putera-­putera kandungnya sendiri … !

Terlintas pada kita: Tiada masuk akal, orang yang mengaku sebagai pengikut Rasul ini dan penganut ayah yang terkenal al-Faruk . . . , akan menjadi budak atau hamba harta . . . . Me­mang harta itu datang kepadanya secara berlimpah ruah  . . . , tetapi ia hanya sekedar lewat, atau mampir ke rumahnya sebentar saj a … !

Dan kedermawanan ini, baginya bukanlah sebagai alat untuk mencari nama, atau agar dirinya menjadi buah bibir dan sebutan orang. Oleh sebab itu pemberiannya hanya ditujukannya kepada fakir miskin dan yang benar-benar membutuhkan. Jarang sekali makan seorang diri, karena pasti disertai oleh anak-anak yatim dan golongan melarat. Sebaliknya ia seringkali memarahi dan menyalahkan sebagian putera-puteranya, ketika mereka me­nyediakan jamuan untuk orang-orang hartawan, dan tidak mengundang fakir miskin, katanya: “Kalian mengundang orang­orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang yang kelaparan!”

Dan fakir miskin itu kenal benar siapa Ibnu Umar, mengeta­hui sifat santunnya dan merasakan akibat kedermawanan dan budi baiknya. Sering mereka duduk di jalan yang akan dilaluinya pulang, dengan maksud semoga tampak olehnya hingga dibawa­nya ke rumahnya. Pendeknya mereka berkumpul sekelilingnya tak ubah bagai kawanan lebah yang berhimpun mengerumuni kembang demi untuk menghisap sari madunya … !
******
ditukil dari Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung

Category: ,

About wandibudiman.blogspot.com:
Blog ini merupakan blog yang dikelola oleh Wandi Budiman, seorang manusia lemah yang selalu mencari keridhaan dari Tuhannya (Allah swt). Terimaksih sudah berkunjung ke Blog ini Semoga apa yang sudah di posting di Blog ini menjadi Sesuatu yang bermanfaat.Amin..

0 komentar