ABDULLAH BIN UMAR TEKUN BERIBADAH KEPADA ALLAH BAG(1)
ABDULLAH
BIN UMAR
TEKUN
BERIBADAH DAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH.
Sewaktu
telah berada di puncak usianya yang tinggi, ia berbicara:
Saya
telah bai’at kepada Rasulullah saw Maka sampai saat ini, saya tak pernahbelot
atau mungkir janji . . . . Dan saya tak pernah bai’at kepada pengobar fitnah ….
Tidak pula membangunkan orang Mu’min dari tidurnya….
Dalam
kalimat-kalimat di atas tersimpul secara ringkas tapi padat kehidupan seorang
laki-laki shalih yang lanjut usia, melebihi usia 80 tahun, dan telah memulai
hubungannya dengan Rasulullah dan Agama Islam semenjak berusia 13 tahun, yaitu
ketika ia ingin menyertai ayahandanya dalam Perang Badar, dengan harapan akan
beroleh tempat dalam deretan para pejuang, kalau tidak ditolak oleh Rasulullah
disebabkan usianya yang masih terlalu muda ….
semenjak
saat itu bahkan sebelumnya lagi, yakni ketika ia menyertai ayahandanya dalam
hijrahnya ke Madinah, hubungan anak yang cepat matang kepribadiannya itu
dengan Rasulullah dan Agama Islam, telah mulai terjalin ….
Dan
semenjak hari itu, sampai saat ia menemui Allah, yakni setelah ia mencapai usia
85 tahun, akan kita dapati ia sebagaimana adanya; seorang yang tekun beribadat
dan mendekatkan diri kepada Allah, dan tak hendak bergeser dari pendiriannya
walau agak seujung rambut, serta tak hendak menyimpang dari bai’at yang telah
diikrarkannya atau melanggar janji yang telah diperbuatnya ….
Keistimewaan-keistimewaan
yang memikat perhatian kita terhadap Abdullah bin Umar ini tidak sedikit.
Ilmunya, kerendahan hatinya, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian,
kedermawanan keshalihan dan ketekunannya dalam beribadah serta berpegang
teguhnya kepada contoh yang diberikan oleh Rasulullah. Semua sifat dan
keutamaan itu telah berjasa dalam menempa kepribadiannya yang luar biasa dan
kehidupannya yang suci lagi benar ….
Dipelajarinya
dari bapaknya — Umar bin Khatthab — berbagai macam kebaikan; dan bersama
bapaknya itu, dipelajarinya pula dari Rasulullah semua macam kebaikan dan semua
macam kebesaran . . . . Sebagaimana bapaknya, ia pun telah berhasil mencapai
keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu,
kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, merupakan suatu hal yang amat
mena’jubkan ….
Diperhatikannya
apa kiranya yang dilakukan oleh Rasulullah mengenai sesuatu urusan, maka
ditirunya secara cermat dan teliti . . . . Misalnya Rasulullah saw pernah
melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya pula di tempat
itu. Di tempat lain umpamanya Rasulullah saw. pernah berdu’a sambil berdiri,
maka Ibnu Umar berdu’a di tempat itu sambil berdiri pula. Di sana Rasulullah
pernah berdu’a sambil duduk, maka Ibnu Umar berdu’a di sana sambil duduk pula.
Di sini — di jalan ini — Rasulullah pernah turun dari punggung untanya pada
suatu hari dan melakukan shalat dua raka’at, maka Ibnu Umar tak hendak
ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia kebetulan lewat di daerah
itu dan tempat itu.
Bahkan
ia takkan lupa bahwa unta tunggangan Rasulullah berputar dua kali di suatu
tempat di kota Mekah sebelum Rasulullah turun dari atasnya untuk melakukan
shalat dua raka’at, walaupun barangkali unta itu berkeliling dengan suatu
maksud untuk mencari tempat baginya yang cocok untuk bersimpuh nanti. Tapi
Abdullah ibnu Umar baru saja sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya
berputar dua kali kemudian baru bersimpuh, dan setelah itu ia shalat dua
raka’at, sehingga persis sesuai dengan perbuatan Rasulullah yang telah
disaksikannya … !
Kesetiaannya
yang amat sangat dalam mengikuti jejak langkah Rasulullah ini, telah mengundang
pujian dari Ummul Mu’- minin ‘Aisyah r.a. sampai ia mengatakan:
“Tak
seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. di tempat-tempat
pemberhentiannya, sebagai dilakukan oleh Ibnu Umar …
Sungguh,
usia lanjutnya yang dipenuhi barkah itu telah dijalaninya untuk membuktikan
kecintaannya yang mendalam terhadap Rasulullah, hingga pernah terjadi suatu
masa, Kaum Muslimin yang shalihnya berdu’a: “Ya Allah, lanjutkanlah kiranya
usia Ibnu Umar sebagai Allah melanjutkan usiaku, agar aku dapat mengikuti jejak
langkahnya, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang menghirup dari sumber
pertama selain Abdullah bin Umar.
Dan
karena kegemarannya yang kuat tak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan
jejak langkah Rasulullah, maka Ibnu Umar bersikap amat hati-hati dalam
penyampaian Hadits dari Rasulullah. la tak hendak menyampaikan sesuatu Hadits
daripadanya, kecuali jika ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah.
Orang-orang
yang semasa dengannya mengatakan: “Tak seorang pun di antara shahabat -shah
abat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi
sehuruh pun dalam menyampaikan Hadits Rasulullah sebagai halnya Ibnu Umar!”
Demikian
pula dalam berfatwa, ia amat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri . . . .
Pada suatu hari seorang penanya datang kepadanya untuk meminta fatwa. Dan
setelah orang itu memajukan pertanyaan, Ibnu Umar menjawab “Saya tak tahu
tentang masalah yang anda tanyakan itu . . .” Orang itu pun berlalulah, dan
baru beberapa langkah ia meninggalkannya,
Ibnu Umar bertepuk tangan seraya berkata dalam hatinya: “Ibnu Umar ditanyai
orang tentang yang tidak diketahuinya, maka dijawabnya bahwa ia tidak tahu . .
.”
Ia
tidak hendak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut akan berbuat
kesalahan. Dan walaupun pola hidupnya mengikuti ajaran dari suatu Agama besar,
yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang tersalah dan dua pahala bagi
yang benar hasil ijtihadnya, tetapi demi menghindari berbuat dosa
menyebabkannya tidak berani untuk berfatwa ….
Juga
ia menghindarkan diri dari jabatan qadli atau kehakiman, padahal jabatan ini
merupakan jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan; di
samping menjamin pemasukan keuangan, diperolehnya pengaruh dan kemuliaan. Apa
perlunya kekayaan, pengaruh dan kemuliaan itu bagi Ibnu Umar… !
Pada
suatu hari Khalifah Utsman r.a. memanggilnya dan meminta kesediaannya untuk
memegang jabatan kehakiman itu, tetapi ditolaknya. Utsman mendesaknya juga,
tetapi Ibnu Umar bersikeras pula atas penolakannya. “Apakah anda tak hendak menta’ati
perintahku?” tanya Utsman. Jawab Ibnu Umar:
“Sama sekali tidak . . . , hanya saya dengar para hakim
itu ada tiga macam:
Pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam
neraka. Kedua yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan
ketiga yang berijtihad sedang hasil ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan
berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama
Allah memohon kepada anda agar dibebaskan dari jabatan itu . .
Khalifah
Utsman menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan
menyampaikan hal itu kepada siapa pun juga. Sebabnya ialah karena Utsman
menyadari sepenuhnya kedudukan Ibnu Umar dalam hati masyarakat, karena jika
orang-orang yang taqwa lagi shalih mengetahui keberatan Ibnu Umar menerima
jabatan tersebut pastilah mereka akan mengikuti langkahnya, sehingga khalifah
takkan menemukan seorang taqwa yang bersedia menjadi qadli atau hakim.
Mungkin
pendirian Abdullah bin Umar ini tampaknya sebagai suatu hal negatif yang
terdapat pada dirinya. Tetapi tidaklah demikian halnya! Ibnu Umar tidak akan
menolak jabatan tersebut apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas
menduduki jabatan itu, karena masih banyak di antara shahabat-shahabat
Rasulullah yang shalih dan wara’ yang juga pantas memegang jabatan kehakiman
dan mampu memberikan fatwa secara praktis maka ia menolaknya.
Maka
dengan penolakannya itu tidaklah akan menyebabkan lowongnya kursi jabatan
tersebut atau mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak
berwenang. Telah tertanam dalam kehidupan pribadi Ibnu Umar untuk selalu
membina dan meningkatkan diri agar lebih sempurna ketaatan dan ibadahnya
kepada Allah.
Apalagi
bila dikaji kehidupan Agama Islam di waktu itu, ternyata bahwa dunia telah
terbuka pintunya bagi Kaum Muslimin, harta kekayaan melimpah ruah, pangkat dan
kedudukan bertambah-tambah. Daya tarik harta dan kedudukan itu telah merangsang
dan mempesona hati orang-orang beriman, menyebabkan bangkitnya sebagian
shahabat Rasulullah — di antaranya Ibnu Umar — mengibarkan bendera perlawanan
terhadap rangsangan dan godaan itu. Caranya ialah dengan menyediakan diri
mereka sebagai contoh teladan dalam yuhud dan keshalihan, menjauhi
kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaannya ….
Boleh
dikata bahwa Ibnu Umar adalah “Penyerta malam” yang biasa diisinya dengan
melakukan shalat …. atau “kawan dinihari” yang dipakainya untuk menangis dan
memohon diampuni. Di waktu remajanya ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah
dita’birkan bahwa qiyamul lail itu nantinya akan menjadi campuran tumpuan cita
Ibnu Umar, tempat tersangkut‑ nya kesenangan dan
kebahagiaannya. Nah, marilah kita dengar ceritera tentang mimpinya itu:
“Di
masa Rasulullah saw. saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain
beludru. Tempat mana saja yang saya ingini di surga, maka beludru itu akan
menerbangkanku ke sana…
Lalu
tampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi
seorang Malaikat menghadang mereka, katanya: Jangan ganggu! Maka kedua orang
itu pun meluangkan jalan bagiku ….
Oleh
Hafshah, yaitu saudaraku, mimpi itu diceriterakannya kepada Rasulullah saw.
Maka sabda Rasulullah saw.:
“Akan menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu,
andainya ia sering shalat malam dan banyak melakukannya! “
Maka
semenjak itu sampai ia pulang dipanggil Allah, Ibnu Umar tidak pernah
meninggalkan qiyamul lail baik di waktu ia mukim atau musafir. Yang
dilakukannya ialah shalat, membaca al-Quran dan banyak berdzikir menyebut nama
Allah . . . , dan yang sangat menyerupai ayahnya ialah airmatanya bercucuran
bila mendengar ayat-ayat peringatan dari al-Quran .
Berkata
‘Ubeid bin ‘Umeir: “Pada suatu hari saya bacakan ayat berikut ini kepada
Abdullah bin Umar:
Betapakah
bila Kami hadapkan dari setiap ummat seorang saksi, dan Kami hadapkan pula kamu
sebagai saksi atas mereka semua . . . ? Padahari itu orang-orang kafir dan yang
mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan tiada pula suatu
pembicaraan pun yang dapat mereka sembunyikan dari Allah … ! “
(Q.S.
4 an-Nisa: 41 — 42)
Maka
Ibnu Umar pun menangis, hingga janggutnya basah oleh airmata. Pada suatu hari
ketika ia duduk di antara kawan-kawannya, lalu membaca:
Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam
takaran! Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka yang menakar atau
menimbang untuk orang lain. Makkah mereka merasa bahwa mereka akan
dibangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat… , yaitu ketika manusia
sama berdiri di hadapan Tuhan Rabbul ‘alamin … (Q.S. 83 at-Tathfif: 1— 6).
Terus
saja ia mengulang-ulang ayat:
Ketika manusia sama berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin sedang
airmatanya mengucur bagai hujan …. hingga akhirnya ia jatuh disebabkan duka dan
banyak menangis itu ….
Kemurahan,
sifat zuhud dan wara’ bekerja sama pada dirinya dalam suatu paduan seni yang
agung membentuk corak kepribadian mengagumkan dari manusia besar ini . . . .
Ia banyak memberi karena ia seorang pemurah . . . . Yang diberikannya ialah
barang halal karena ia seorang yang wara’ atau shalih . . . . Dan ia tidak
peduli, apakah kemurahannya itu akan menyebabkannya miskin karena ia zahid,
tidak ada minat terhadap dunia….
Ibnu
Umar termasuk orang yang hidup ma’mur dan berpenghasilan banyak. Ia adalah
seorang saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian benar dari
kehidupannya. Di samping itu gajinya dari Baitulmal tidak sedikit pula: Tetapi
tunjangan itu tidak sedikit pun disimpannya untuk dirinya pribadi, tetapi
dibagi-bagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang miskin, yang kemalangan
dan peminta-minta.
Ayub
bin Wa-il ar-Rasibi pernah menceriterakan kepada kita salah satu contoh
kedermawanannya. Pada suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak empat ribu
dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wa-il melihatnya di
pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya secara berutang. Maka
pergilah Ibnu Wa-il mendapatkan keluarganya, tanyanya: Bukankah kemarin Abu
Abdurrahman — maksudnya Ibnu Umar — menerima kiriman empat ribu dirham dan
sehelai baju dingin? ” “Benar”, ujar mereka.
Kata
Ibnu Wa-il:
“Saya lihat ia tadi di pasar membeli makanan untuk hewan
tunggangannya dan tidak punya uang untuk membayarnya . . . “
Ujar mereka: “Tidak sampai malam hari, uang itu telah
habis dibagi-bagikannya. Mengenai baju dingin, mula-mula dipakainya, lalu ia
pergi ke luar. Tapi ketika kembali, baju itu tidak kelihatan lagi; dan ketika
kami tanyakan, jawabnya bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin
. ! “
Maka
Ibnu Wa-il pun pergilah sambil menghempas-hempaskan kedua belah telapak
tangannya satu sama lain, dan pergi menuju pasar. Di sana ia naik ke suatu
tempat yang tinggi dan berseru kepada orang-orang pasar, katanya: “Hai kaum
pedagang …! Apa yang tuan-tuan lakukan terhadap dunia . . . .? Lihat Ibnu Umar,
datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya
hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara utang . . .!
“
Memang,
seorang yang gurunya Muhammad saw. dan bapaknya Umar, adalah seorang yang luar
biasa dan cocok untuk hal-hal istimewa . . A Sungguh, kedermawanan, sifat zuhud
dan wara’, ketika unsur ini membuktikan secara gamblang, bagaimana Abdullah bin
Umar menjadi seorang pengikut terpercaya dan seorang putera teladan ….
Bagi
orang yang ingin melihat kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah,
cukuplah bila diketahuinya bahwa Ibnu Umar akan berhenti dengan untanya di
suatu tempat itu, karena pada suatu hari dilihatnya Rasulullah berhenti dengan
untanya di tempat itu, seraya katanya: “Semoga setiap jejak akan menimpa di
atas jejak sebelumnya … !”
Begitu
pula dalam baktinya kepada orang tua, penghormatan dan kekagumannya, Ibnu Umar
mencapai suatu taraf yang mengharuskan agar kepribadian Umar itu diteladani
oleh pihak musuh, apatah lagi oleh kaum kerabat, dan kononlah oleh
putera-putera kandungnya sendiri … !
Terlintas
pada kita: Tiada masuk akal, orang yang mengaku sebagai pengikut Rasul ini dan
penganut ayah yang terkenal al-Faruk . . . , akan menjadi budak atau hamba
harta . . . . Memang harta itu datang kepadanya secara berlimpah ruah . . . , tetapi ia hanya sekedar lewat, atau
mampir ke rumahnya sebentar saj a … !
Dan
kedermawanan ini, baginya bukanlah sebagai alat untuk mencari nama, atau agar
dirinya menjadi buah bibir dan sebutan orang. Oleh sebab itu pemberiannya hanya
ditujukannya kepada fakir miskin dan yang benar-benar membutuhkan. Jarang
sekali makan seorang diri, karena pasti disertai oleh anak-anak yatim dan
golongan melarat. Sebaliknya ia seringkali memarahi dan menyalahkan sebagian
putera-puteranya, ketika mereka menyediakan jamuan untuk orang-orang hartawan,
dan tidak mengundang fakir miskin, katanya: “Kalian mengundang orangorang yang
dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang yang kelaparan!”
Dan
fakir miskin itu kenal benar siapa Ibnu Umar, mengetahui sifat santunnya dan
merasakan akibat kedermawanan dan budi baiknya. Sering mereka duduk di jalan
yang akan dilaluinya pulang, dengan maksud semoga tampak olehnya hingga
dibawanya ke rumahnya. Pendeknya mereka berkumpul sekelilingnya tak ubah bagai
kawanan lebah yang berhimpun mengerumuni kembang demi untuk menghisap sari
madunya … !
******
ditukil dari Khalid Muh. Khalid,
Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung
Baca
Selanjutnya. ABDULLAH BIN UMAR TEKUN BERIBADAH KEPADA ALLAH BAG(2)
Category: Recent Post, SAHABAT NABI
0 komentar