TAFSIR TARBAWI QS ALU IMRAN 102

Unknown | 6/30/2013 | 0 komentar

TAFSIR TARBAWI (TAFSIR AYAT-AYAT PENDIDIKAN) AL-QUR’AN SURAT ALU-IMRAN AYAT 102.

يَـآءَيُّها الَّـذِ ينَ امَنُوا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

“hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.[QS. Ali-Imaran Ayat 102]

B.    Kosa kata (mufrodat)

1. يَآ : wahai
2. امَنُوْا : orang-orang yang beriman
3. إتَّقُوْا : bertakwalah
4. لاَ : janganlah
5. تَمُوْتُنَّ : mati
6. مُسْلِمُوْنَ : orang-orang muslim

C.    Analisis Bahasa

وَ : واو عطف
لَا : الام الناهى
تَمُوْتُنَّ : فعل مضارع
إِلَّا : حرف إستثناء
وَ : واو حال
أَنْتُمْ : ضمير متصل
مُّسْلِمُوْنَ : أفعل الخمسة بثبة النون
يَـآءَيُّها : حرف الندى
الَّـذِ ينَ : اسم موصول
امَنُوا : فعل ماضى مبنى
اتَّقُوْا : فعل أمر مبنى
اللهَ : مفعول به
حَقَّ تُقَاتِهِ، : مضاف مضاف إليه

D.     Analisa Ayat /Syarhul Ayat

يَـآءَيُّها الَّـذِ ينَ امَنُوا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”( Q.S. Ali Imran ayat 102)

Takwa secara etimologis berarti waspada diri dan takut. Takwa kepada Allah secara terminologis adalah melaksanakan perintah Allah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan Allah sebagaimana yang dilarang oleh Allah. Sementara sahabat nabi memahami arti “haqqa tuqatih” sebagaimana sabda nabi, yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawai dari Abdullah Ibn Mas’ud:

Artinya: “Ittaqullah haqqa tuqatihi” ialah hendaknya Dia ditaati tidak dimaksiati, disyukuri tidak diingkari dan diingat tidak dilupakan”. (H.R. Al-Hakim)

Penggalan ayat “haqqa tuqatih” juga dapat bermakna“bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan maksimal yang dimilikinya, ini  didasarkan pada Surat At-Taqhabun;

فَـاتَّقُوا اللهَ مَـا اسْتَطَعْتُمْ

Artinya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Q.S. At-Taghabun: 16)

Yang dimaksud dengan “Walatamutunna illa wa antum muslimuun” antara lain adalah “Janganlah seseorang itu meninggal melainkan ia berbaik sangka kepada Allah”, sesuai hadits Nabi: yang artinya: “Janganlah seorang diantara kamu mati melainkan ia berbaik sangka terhadap Allah” (H.R. Muslim)

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: yang artinya: “Allah berfirman: Aku berada pada prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku. Jika ia berprasangka baik maka ia adalah untuk dirinya sendiri dan jika ia berburuk sangka terhadap diri-Ku maka itu adalah untuk dirinya sendiri”.

“Walatamutunna wa antum muslimuun” bias juga dipahami bahwa “janganlah seseorang muslim meninggal dunia sebelum semua aspek aktifitas lahir dan bathinnya sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya.[1]

Adapun pengertian takwa dari akar kata yang bermakna ”menghindar, menjauhi, atau menjaga diri”, M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kalimat perintah ”ittaqullah” yang secara harfiah berarti ”hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah”, tentu makna ini tidak lurus dan bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Sebab, bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan ”Dia (Allah) bersama kamu dimana pun kamu berada”.

Karena itu, perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya, kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah, baik di dunia maupun akhirat.[2]

Dibawah ini adalah beberapa perbedaan pendapat mengenai takwa, antara lain:

1. Al-Hasan al-Bashri mengatakan bahwa orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang takut dan menghindari apa yang diharamkan Allah, serta menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah.[4]

2. Athiyah as-Saddi mengatakan:

لاَ يَبْلُغُ الْعَبْدُ اَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَى مَا لاَ بَأْسُ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسُ

(رواه الترمذي وابن ماجه).

“seorang hamba tidak termasuk golongan orang-orang yang bertakwa sebelum dia meninggalkan hal yang mengandung dosa semata-mata karena khawatir terjerumus ke dalam (perbuatan) dosa.” (H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah)[5]

3. Ibnul Mu’taz, dalam bait-bait syairnya mengatakan bahwa: “tinggalkan semua dosa yang kecil maupun yang besar, itulah takwa.[6]

4. Syayyidina Ali K.W mendefinisikan takwa sebagai berikut:

a. Takut (kepada Allah) yang diiringi rasa cinta, bukan takut karena adanya neraka.

b. Beramal dengan Al-Qu’an yaitu bagaimana Al-Qur’an menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari seorang menusia.

c. Orang yang menyiapkan diri untuk “perjalanan panjang”, maksudnya hidup sesudah mati.[7]

E.    Asbab Nuzul

Sebab-sebab turunnya surat ali-Imran ayat 102 ini yaitu pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun-temurun selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus; yakni kaum Anshar dan Suku Khazraj hidup berdampingan, secara damai dan penuh keakraban.

Suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban  dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perang “Bu’ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing,  saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW yang mendengar perestiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka: Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpalukan. Sungguh peristiwa itu adalah seburuk-buruk sekaligus sebaik-baik peristiwa. Demkianlah asbabun nuzul Q.S. Ali Imran ayat 102 menurut sahabat.[3]

F.  Ayat dan Hadis terkait

1. Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada dan ikutilah perbuatan buruk dgn perbuatan baik niscaya menghapusnya. Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang luhur. {HR.Tirmidzi}

2. Cukup berdosa orang yang jika diingatkan agar bertakwa kepada Allah dia marah. {HR.Ath-Thabrani}

3. Tiap orang yang bertakwa termasuk keluarga Muhammad . {HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi}

4. Rasulullah Saw ditanya tentang sebab-sebab paling banyak yang memasukkan manusia ke surga.

Beliau menjawab Ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik. Beliau ditanya lagi Apa penyebab banyaknya manusia masuk neraka? Rasulullah Saw menjawab Mulut dan kemaluan.

Simpulan Penulis

Melihat pengertian takwa yang diuraikan beberapa tokoh islam diatas, selaku penulis saya sependapat dengan Al-Hasan al-Bashri yang mendefinisikan bahwa orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang takut dan menghindari apa saja yang diharamkan Allah, serta menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah.

Penulis setuju dengan pendapat tersebut karena orang yang bertakwa itu adalah orang yang takut dengan azab Allah dan mempunyai dorongan untuk tetap selalu beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Hal ini bertentangan dengan pendapat Ibnul Mu’taz, dalam bait-bait syairnya mangatakan bahwa “tinggalkan semua dosa yang kecil maupun yang besar, itulah takwa.”dan pendapat dari Syayyidina Ali K.W yang mendefinisikan takwa sebagai rasa takut (kepada Allah) yang diiringi rasa cinta, bukan takut karena adanya neraka. Penulis tidak sependapat dengan dua tokoh ini, karena takwa sesungguhnya bukan hanya rasa takut kepada Allah, tapi juga keimanannya sangat kuat dalam menjalani kehidupannya sebagai umat Allah yang sesungguhnya telah dijanjikan tempat yang indah untuk orang-orang yang senantiasa bertakwa kepada Allah swt.

Takwa itu mengetahui dengan akal, memahami dengan hati dan melakukan dengan perbuatan. Bertakwa kepada Allah artinya. Mengetahui bahwa Allah itu ada dengan akal, memahami tentang keberadaan dan kedudukan Allah sebagai Tuhan manusia dan melakukan perbuatan sesuai pemahaman kita terhadap pengetahuan akan Allah. makanya bertakwa itu ada derajatnya masing-masing karena tingkat pengetahuan dan pemahaman orang beda-beda.

Takwa bukan sekedar membuat yang disuruh dan meninggalkan apa yang dilarang. Itu baru taat dan patuh tetapi belum tentu takwa. Takwa adalah intipati ibadah. Ia roh dan jiwa ibadah. Tanpa roh, sesuatu amalan tidak menambah takwa. Amalan takwa sahajalah yang dipertimbangkan di Akhirat kelak sebagai amalan kebajikan. Bahkan takwa adalah buah dari keimanan seseorang.

F.    RELEVANSI Q.S. Al-IMRAN : 102

Analisa surat ali-Imran ayat 102 yang menyebutkan tentang ketakwaan seseorang terhadap Allah swt. Dapat penulis gambarkan bahwa sesungguhnya ayat ini bukan hanya membahas tenteng takwa semata, tapi juga ada nilai-nilai pendidikan yang dapat kita analisa lebih jauh dalam ayat ini.

Pendidikan dalam hal ini sangat berperan penting dalam membina seseorang menuju akhlak yang baik sehingga dapat selalu bertakwa kepada Allah swt.

Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk menjadi pendidik bagi umatnya, memperbaiki keadaan dan situasi budaya masyarakatnya serta menyempurnakan akhlak, agar terwujud nyata kebenaran yang didapatkannya. Nabi Muhammad dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, beliau menerima petunjuk-petunjuk dan instruksi dari Allah tentang apa dan bagaiman berbuat untuk melaksanakan tugasnya tersebut. Petunjuk dan instruksi tersebut terdapat dalam Al-Qur’an (Q.S. al-Alaq :1-5). Selanjutnya turun pula wahyu yang kedua yaitu QS. Al-Mudatsir:

يا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3) وَثِيابَكَ فَطَهِّرْ (4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5) وَلا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ (6) وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ (7)

Artinya: hai orang yang berkemul (berselimut). Bengunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu Agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (Q.S.74 :1-7).

Dari ayat diatas menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW telah diberi tugas oleh Allah Swt. Supaya bersegera memberi peringatan dan pengajaran kepada kaumnya sebagai tugas suci, tugas mendidik dan mengajarkan agama Islam, agar umatnya tidak jauh dari kebenaran.[8]

Dari uraian tersebut telah jelas bahwa kita sebagai manusia memerlukan pendidikan dan pengajaran, dengan tujuan agar kita tahu sebenarnya apa yang harus kiat lakukan dan apa yang tidak semestinya kita lakukan. Adapun tujuan dari pendidikan islam adalah pada hakikatnya merupakan realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah Swt, lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Rumusan lain tentang tujuan pendidikan Islam oleh Oemar al-Toumy al-Syaibani sebagai berikut: “tujuan pendidikan Islam adalah perubahan yang diinginkan dan diusahakan dalam proses pendidikan dan usaha pendidikan untuk mencapainya, baik tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya tau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar dimana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu tindakan kegiatan asasi dan sebagai proporsi diantara profesi asasi dalam masyarakat.[9]

Pendidikan islam identik dengan tujuan hidup seorang muslim. Bila pendidikan dianggap sebagai suatu proses, maka prosese tersebut akan berakhir pada tercapainya apa yang kita inginkan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan. Niali-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kehidupan manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriahnya, dengan kata lain perilaku lahiriah adalah cermin yang memproyeksikan nilai-nilai ideal memacu didalam jiwa manusia sebagai produk dari proses pendidikan. Pendidikan Islam adalah mengandung tentang nilai-niali ideal yang Islami. Hal ini mengandung bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah : Tujuan merealisasikan idealitas Islami. Sedangkan idealitas Islami itu sendiri pada hakikatnya mengandung nilai perilaku manusia yang disadari atau dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan yang ditaati.

Selanjutnya al-Gazali berpendapat bahwa pendidikan Islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub kepada Allah Swt, dari kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan dunia dan akhirat.[10]

Takwa adalah satu diantara kerangka pola ajaran Islam. Semua ayat tentang takwa tersebut menerangkan petunjuk-petunjuk dan pengarahan, dalam garis besarnya, sedang rinciannya diungkapkan dalam hadits-hadits nabawy.

Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an mengenai akhlak itu terbagi dalam enam bidang penerapan, yaitu antara lain: akhlak terhadap Allah dan Rasulnya, akhlak terhadap diri sendiri, ahlak terhadap kaum keluarga, akhlak terhadap masyarakat, akhlak terhadap mahluk selain manusia, dan akhlak terhadap alam. Semua ini ditempuh semata-mata untuk bertakwa dan mengharapkan ridha dari Allah Swt.

“Saya tidaklah disuru (diutus) keuali hanya untuk menyempurnakan akhlak”. (Hadits Nabi Muhammad SAW)

“Sesungguhnya beruntunglah (menanglah) orang-orang yang mensucikan jiwanya dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotori jiwanya”. (As-Syams : 9-10)

Pendidikan islam sebagai salah satu aspek dari ajaran Islam, dasarnya adalah Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW Dari kedua sumber tersebut, para intelektual muslim kemudian mengembangkan dan mengklasifikasikannya kedalam dua bagian yaitu : pertama, akidah untuk ajaran yang berkaitan dengan keimanan ; kedua, adalah syariah untuk ajaran yang berkaitan dengan amal nyata. Oleh karena itu pendidikan termasuk amal nyata dan hal tersebut menggariskan prinsip-prinsip dasar materi pendidikan islam yang terdiri atas masalah iman, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan.

Dalam hal ini pula dapat kita kaitkan antara martabat dan peran manusia mencapai ketakwaan. Ayat-ayat Alqur’an yang bertemakan takwa tersebut pada umumnya sangat berhubungan erat dengan “martabat” dan “peran” yang harus dimainkan manusia di dunia, sebagai bukti keimanan dan pengabdian kepada Allah. Misalnya, ayat Alqur’an yang berkaitan dengan masalah ini terungkap dalam Surat Alhujarat/49: 13 sebagai berikut :

”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam ayat tersebut, takwa dipahami sebagai “yang terbaik menunaikan kewajibannya”. Maka, manusia “yang paling mulia dalam pandangan Allah” adalah “yang terbaik dalam menjalankan perintah dan meninggalkan laranganNya”. Inilah yang menjadi salah satu dasar kenapa Allah menciptakan langit dan bumi yang menjadi tempat berdiam makhluk-Nya serta tempat berusaha dan beramal, agar nyata di antara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah.

Istilah dan penggunaan kata takwa selalu diawali atau bergandengan dengan kata ”iman”, seperti surat Ali Imran/3:102 di atas, juga perintah puasa. Ini menunjukkan bahwa orang bisa melaksanakan ketakwaan karena atas dasar keimanannya. Sehingga, dalam konteks ketakwaan inilah maka kita bisa memahami, mengapa keimanan sesorang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu, dengan beriman dan bertakwa, Allah menjanjikan hilangnya ketakutan dan kekhawatiran untuk melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya. Dalam surat Al-Anfaal/8:29 ditegaskan Allah :

”Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

Maka, orang yang bertakwa (muttaqin), adalah orang yang selalu menjaga dirinya dari perbuatan dosa dengan satu pedoman dan petunjuk Alqur’an sehingga bisa mengembangkan kemampuan rohani dan kesempurnaan diri. Mirza Nashir Ahmad dalam terjemahan the Holy Qur’an-nya, menyebut orang yang bertakwa adalah orang yang memiliki mekanisme atau daya penangkal terhadap kejahatan yang bisa merusak diri sendiri dan orang lain. Sementara, dalam ayat lain muttaqin menunjukkan kepada orang bijak, soleh, jujur, dan bertanggung jawab.

Perintah Allah berbuat baik dan menjauhi larangan, adalah sejalan dengan potensi yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya : ”sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” ,sehingga memiliki kemungkinan-kemungkinan yang besar untuk maju dan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya : ”Tiap-tiap orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya” .

Ada beberapa ciri orang bertakwa, diantaranya : 1) beriman dan meyakini tanpa keraguan bahwa Alqur’an sebagai pedoman hidupnya; 2) beriman kepada perkara-perkara yang gaib; 3) mendirikan sembahyang; 4) orang yang selalu membelanjakan sebahagian dari rezeki yang diperolehnya; 5) orang yang selalu mendermakan hartanya baik ketika senang maupun susah; 6) orang yang bisa menahan amarahnya, dan mudah memberi maaf; 7) mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya, karena Allah mengasihani orang-orang yang selalu berbuat kebaikan; takut melanggar perintah Allah; 9) oleh karena itu, tempat mereka adalah surga sesuai dengan yang dijanjikan Allah, dan tempatnya tidak jauh dari mereka.

Adapun nilai-nilai kemanusiaan sebagai akibat ketaqwaan itu diantaranya :

1.    Berilmu; dalam Alqur’an pada prinsipnya takwa berarti mentaati segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Setiap perintah Allah adalah ’kebaikan’ untuk dirinya; sebaliknya setiap larangan Allah apabila tetap dilanggar maka ’keburukan’ akan menimpa dirinya. Maka, dalam konteks ini, takwa menjadi ukuran baik tidaknya seseorang, dan seseorang bisa mengetahui ”baik” dan ”tidak baik” itu memerlukan pengetahuan (ilmu) melalui pendidikan.

2.    Kepatuhan dan disiplin; takwa menjadi indikator beriman tidaknya seseorang kepada Allah. Sebab, setiap ”perintah” dan ”larangan” dalam Alqur’an selalu dalam konteks keimanan kepada Allah. Oleh karena itu, secara sederhana, setiap orang yang mengamalkan takwa kepada Allah pasti ia beriman; tapi, tidak setiap orang beriman bisa menjalani proses ketaqwaannya, yang diantaranya disebabkan oleh faktor ”ketidaktahuan” dan ”pembangkangan”. Maka, iman, islam, dan takwa dalam beberapa ayat selalu disebut sekaligus, untuk menunjukkan integralitas dan mempribadi dalam diri seseorang.

3.    Sikap hidup dinamis; takwa pada dasarnya merupakan suatu proses dalam menjaga dan memelihara ”hubungan baik” dengan Allah, sesama manusia, dan alam. Karena berhadapan dengan situasi yang berkembang dan berubah-ubah, maka dari proses ini manusia takwa membentuk suatu cara dan sikap hidup. ”Cara” dan ”sikaphidup” yang sudah dibentuk ini, secara antropologis-sosiologis menghasilkan etika, norma dan sistem kemasyarakatan ( kebudayaan).

4.    Kejujuran, keadilan, dan kesabaran; tiga hal ini merupakan bagian yang ditonjolkan dalam ayat-ayat takwa. Kejujuran, keadilan, dan kesabaran merupakan dasar-dasar kemanusiaan universal. Dalam konteks ini, kesabaran dipahami sebagai keharmonisan dan keteguhan diri dalam menghadapi segala cobaan hidup.

5. Empat poin di atas, merupakan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang terrdapat dalam nilai-nilai takwa. Dengan demikian, takwa merupakan dasar-dasar kemanusiaan universal yang nilai-nilainya tidak mutlak dimiliki oleh Muslim, tetapi oleh seluruh manusia yang berada pada jalur atau fitrah kemanusiaannya. Karena memiliki nilai-nilai kemanusiaan universal, maka takwa bisa dikorelasikan kepada seluruh sektor dan kepentingan hidup manusia, termasuk didalamnya sektor pendidikan.

Atas dasar itu, setiap pendidikan yang sedang berlangsung untuk mengembangkan potensi diri dan memperbaiki peradabannya itu, sudah barang tentu memiliki paradigma, yaitu suatu ’cara pandang’ pendidikan dalam memahami dunia’ (world view). Setiap paradigma mencerminkan ’cara pandang’ masyarakat dimana pendidikan itu berlangsung. Oleh karena itu, setiap masyarakat, bangsa, maupun negara, masing-masing memiliki paradigma pendidikan sesuai dengan ’cara pandang’ masyarakat atau negara bersangkutan terhadap dunianya. Berkenaan dengan paradigma pendidikan itu, maka bangsa Indonesia adalah bangsa atau masyarakat relijius yang diakumulasikan dalam rumusan Pancasila dan UUD’45. ”Seharusnya”, dari paradigma inilah sistem pendidikan Indonesia terumuskan.

Dengan merujuk kepada beberapa prinsip dasar takwa dan hakekat serta tujuan pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, maka takwa bukan saja hanya memiliki nilai implikatif kepada proses pendidikan, tetapi takwa harus menjadi paradigma pendidikan, baik dalam dasar-dasar filosofisnya, proses, maupun tujuannya. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip takwa yang berimplikasi kepada pendidikan, diantaranya :

Pertama; Dasar takwa adalah Alqur’an yang berfungsi sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Rasulullah bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk itu, dengan menyucikan dan mengajarkan manusia. Menurut Qurais Shihab, menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu beribadah.

Kedua; berkenaan dengan hakekat dan tujuan pendidikan, maka, pada dasarnya takwa merupakan hakekat dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu membina manusia sehingga mampu menjalankan fungsinya dalam membangun peradaban manusia. Di sini, takwa mendorong manusia untuk memperoleh ilmu sebagai modal dalam mengembangkan potensi dirinya dan bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dengan baik dan harmonis sesuai dengan kapasitas serta keahliannya.

Ketiga; oleh karena itu, nilai-nilai taqwa bukan saja sejalan dengan hakekat dan tujuan pendidikan, tetapi sekaligus juga takwa harus menjadi paradigma pendidikan. Paradigma ini adalah menyangkut dasar filosofi, arah, proses, dan tujuan pendidikan. Maka, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berparadigma takwa.

Keempat; sejalan dengan paradigma takwa itu, maka tujuan ideal pendidikan Islam adalah manusia sempurna (insan kamil), yaitu manusia yang memiliki keunggulan jasmani, akal, dan kalbu. Ketiga aspek potensi manusia ini tiada lain adalah manusia takwa, yang secara serasi dan seimbang mesti dikembangkan melalui pendidikan.

Paradigma takwa yang dikembangkan Pendidikan Islam, secara konseptual prinsip-prinsipnya dapat dikemukakan di bawah ini :

•Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan perintah kewajiban agama, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran menjadi fokus yang sangat bermakna dan bernilai dalam kehidupan manusia.

•Seluruh pola rangkaian kegiatan pendidikan dalam konsep Islam adalah merupakan ibadah kepada Allah. Dengan demikian, pendidikan menjadi kewajiban individual dan kolektif yang pelaksanaannya dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal. Kerena bernilai ibadah, maka pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman nilai-nilai Ilahiyah dalam seluruh bangunan watak, perilaku, dan kepribadian para peserta didik.

•Islam memberikan posisi dan derajat yang sangat tinggi kepada orang-orang terdidik, terpelajar, sarjana, dan ilmuwan. Dengan demikian, kegiatan pendidikan memegang peranan penting dan kunci strategis dalam menghasilkan orang-orang tersebut.

•Seluruh proses kegiatan pembelajaran dan aktivitas pendidikan dalam konsep dan struktur ajaran Islam berlangsung sepanjang hayat (life long education).

•Seluruh proses prembelajaran dan pola pendidikan dalam konstruk ajaran Islam adalah bersipat dialogis, inovatif, dan terbuka. Artinya, Islam dapat menerima khazanah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari mana saja.

Pendidikan nasional adalah berdasarkan Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan yang maha esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.  Wallahu A'lam.................

DAFTAR PUSTAKA
Permadi, K.1994. Iman dan Takwa Menurut Al-Qur’an, Bineka Cipta, Jakarta.
Arif, muh.2006. Ilmu Pendidikan Islam, Yayasan Pendidikan Makassar, Makassar.
Bahreisy, Salim, dan Bahreisy, Said.2004. Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier, Cet.IV;Bina Ilmu, Surabaya.
http://blogeqosim.blogspot.com/2010/01/definisi-taqwa-menurut-sayyidina-ali-kw.html
http://amgy.wordpress.com/2008/02/22/taqwa-dan-implikasinya-terhadap-pendidikan/
http://www.muhammadiyahtabligh.or.id/

Category: ,

About wandibudiman.blogspot.com:
Blog ini merupakan blog yang dikelola oleh Wandi Budiman, seorang manusia lemah yang selalu mencari keridhaan dari Tuhannya (Allah swt). Terimaksih sudah berkunjung ke Blog ini Semoga apa yang sudah di posting di Blog ini menjadi Sesuatu yang bermanfaat.Amin..

0 komentar