FALSAFAH PENDIDIKAN KIMIA JABBIR BIN HAYYAN

Unknown | 6/10/2012 | 0 komentar

FALSAFAH PENDIDIKAN KIMIA JABBIR BIN HAYYAN

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Masa Daulah Islamiyah
Dosen Pembimbing : Drs. Amir Mahrudin, M.Pd.I

Disusun oleh : Wandi Budiman          :           F.1010297

PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS STUDI ISLAM UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR 2011

KATA PENGANTAR

  Segala Puji hanya milik Allah tuhan semesta alam, yang telah memberikan taufik dan hidayahnya kepad kita semua. sehingga pada akhirrnya penyusun dapat menyelesaikan penulisan makalah ini, yang berjudul ”Falsafah Pendidikan Kimia Jabbir bin Hayyan”.

Shalawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Tidak lupa shalawat dan salam semoga tercurah kepada keluarganya, para sahabatnya, para tabiin dan tabiut tabiin serta kepada umatnya yang selalu berpegang teguh menjalankan ajarannya.

Penyusun menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi bahasa maupun dari segi pembahasannya, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan memperbaiki penulisan ini.

Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing, teman-tema dan semua pihak yang telah membantu dan memotivasi penyusun dalam penulisan makalah ini, mudah-mudahan apa yang telah diberikan dibalas dengan pahala yang  berlipat ganda oleh Allah SWT. Amin.

Bogor, 19 November  2011

 Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
C. Tujuan Penulisan
BAB II Pembahasan
A.Biografi Jabir bin Hayyan
A. 1.Kehidupan jabbir bin Hayyan
A. 2. Karya – karya Jabbir bin Hayyan
B. Tinjauan Terminologis Pendidikan Kimia Jabbir bin Hayyan
C. Landasan filosofis Pendidikan kimia Jabir bin hayyan
C.1. Pandangan Jabir bin hayyan tentang ketuhanan
C.2.Pandangan Jabir bin hayyan tentang Alam semesta
C.3. Pandangan Jabir bin hayyan tentang Manusia
C.4. Pandangan Jabir bin hayyan tentang Ilmu Pengetahuan
C.5. Pandangan Jabir bin hayyan tentang Metode Ilmiah

BAB III Penutup
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam.  Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan.  Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golongan.

Para ulama atau Ilmuwan muslim pada masa itu mempunyai banyak andil dalam kehidupan masyarakat baik dalam kegiatan  peribadahan, pendidikan, penelitian dan lain – lain. Mereka berjuang hanya untuk melaksanakan kewajiban mereka kepada Allah yaitu beribadah bukan untuk mendapatkan kehidupan keduniaan. Diantara para ulama atau cendikiawan muslim pada masa itu adalah jabber bin hayyan, beliau merupakan ilmuawan yang sangat terkenal dengan kepandaiannya dibidang kimia sehingga mendapatkan gelar bapak kimia.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari Penulisan makalah yang berjudul perencanaan dan pengembangan karir ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Masa Daulah Islamiyah.
2.      Menambah wawasan keilmuan mengenai Ilmuwan Muslim pada masa daulah umawiyah yitu Jabbir bin Hayyan yang sudah sering terlupakan seiring perkembangan jaman.
3.      Memberikan informasi kepada rekan mahasiswa khususnya dan kepada halayak ramai umumnya, mengenai Ilmuawan Muslim pada masa daulah umayah yaitu Jabbir bin Hayyan, yang pada masa sekarang ini sangat jarang orang mengenalnya bahkan orang – orang muslim pun kadang melupakaanya, karena telah tergantikan oleh ilkmuwan – ilmuawan barat.

BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Jabbir bin Hayyan
A.1. Kehidupan Jabir bin Hayyan
Kajian mengenai ilmu kimia merupakan sumbangan penting yang diwarisi daripada cendekiawan Muslim bagi tamadun moden. Cendekiawan serta ahli sejarah Barat juga mengikuti asas ilmu kimia moden diambil daripada ahli kimia Muslim.

Justeru gelaran Bapa Kimia Moden telah diberikan kepada ahli kimia Muslim Jabir Ibnu Hayyan. Jabir Ibnu Hayyan atau nama penuhnya Abu Musa Ibn Hayyan Al-Azdi lebih dikenali sebagai Geber di dunia Barat. Beliau juga kadang kala dipanggil al-Harrani atau al-Sufi merupakan seorang anak penjual ubat. Jabir dikatakan belajar di bawah seliaan Imam Jaâafar Sadiq dan putera Umayed iaitu Khalid Ibn Yazid. Sebelum itu beliau menuntut ilmu dalam bidang perubatan di bawah naungan Barmaki Vizir semasa zaman Khalifah Abbasyiah Harun al-Rashid. 

Jabir Ibn Hayyan yang lahir pada 721 Masehi di Tus, Iran dan meninggal dunia dalam tahanan rumah di Kufah, Iraq pada 815 Masehi. Seorang ahli kimia Jerman pada abad ke-18, Will Durant dalam bukunya The Story Of Civilization IV: The Age of Faith mengakui kehebatan cendekiawan Muslim semasa zaman khalifah dalam ilmu kimia. Malah Durant berkata, kimia merupakan ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan semasa Tamadun Islam mengalahkan tamadun Yunani yang memberikan hipotesis yang samar-samar. Manakala dalam tamadun Islam, saintisnya telah memperkenalkan pemerhatian yang tepat, eksperimen terkawal, serta catatan atau dokumen yang begitu terperinci. Malah sejarah mencatatkan tamadun peradaban Islam di era kejayaan telah melakukan revolusi dalam bidang kimia.

Cendekiawan Islam telah mengubah teori-teori ilmu kimia menjadi sebuah industri yang penting bagi peradaban dunia. Dengan memanfaatkan ilmu kimia, ilmuwan Islam di zaman kegemilangan telah berhasil menghasilkan sederet produk dan penemuan yang sangat dirasakan manfaatnya hingga kini. Berkat revolusi sains yang dicetuskan cendekiawan Muslim, dunia mengenal pelbagai industri yang melibatkan kimia.. Tidak dinafikan bahawa alkohol, nitrat, sulfur dan natrium dan kalsium merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia moden adalah hasil penemuan cendekiawan Islam.

Revolusi ilmu kimia yang dilakukan cendekiawan Muslim semasa zaman kegemilangan telah melahirkan pelbagai teknik seperti sublimasi, pengkristalan kapur, penyulingan, celupan dan penyucian. Hasil kajian yang dijalankan terhasil teori pengoksidaan-penurunan yang begitu popular hingga ke hari ini. Unsur penting seperti asid hidroklorik, asid nitrat dan asid asetat lahir daripada hasil penelitian dan pemikiran Jabir. Kajian berkenaan merupakan salah satu kejayaan dalam penyulingan alkohol.

Sumbangan terbesar beliau adalah dalam bidang kimia dalam memperkenalkan penyiasatan penyelidikan dalam bidang alkimia yang mengubah dalam bentuk yang lebih moden. Makmalnya menjadi terkenal selama beberapa abad tetapi kemasyhurannya diabadikan pada 100 buah buku ilmiah dan 22 daripadanya berkaitan dengan kimia dan alkimia. Antara dua buah bukunya yang terkenal adalah Kitab al-Kimya dan Kitab al-Sabâeen.

Beliau juga telah menemukan mineral dan asid lain yang disediakan bagi alembicnya yang pertama. Alembic merupakan salah satu ciptaannya yang teragung yang menjadikan proses penyulingan lebih mudah serta bersistematik. Salah satu pencapaian penting lainnya dalam revolusi kimia adalah mendirikan industri minyak wangi. 

A.2. Karya Jabbir bin Hayyan
Daftar karya-karya yang pernah dikarang Jabir, banyak terdapat dalam “Fihrist” yang merujuk pada daftar karangan yang dibuat oleh Jabir sendiri, yang telah dikoreksi secara menyeluruh. Kumpulan tulisan Ibnu Hayyan tersebut terbagi dalam beberapa kumpulan yang sangat penting yaitu:

    Buku-buku yang berisi esei-esei, yang sistematikanya tampak agak kacau, tentang praktek alkemi dengan beberapa acuan yang menunjuk pada alkemi kuno (Zosimus, Democritus, Hermes, Agathodemon).
    Buku-buku yang berupa sebuah eksposisi sistematik tentang pengajaran alkemi oleh Jabir Ibnu Hayyan
    “Kutub al-Mawazin” (“Books of the Balances”, kitab mengenai kesetimbangan-kesetimbangan), sebuah eksposisi mengenai landasan-landasan teori, atau lebih merupakan landasan-landasan filosofi alkemi dan ilmu-ilmu gaib.
    Buku-buku yang terdiri dari naskah-naskah yang menyelidiki secara lebih menyeluruh dan lengkap masalah-masalah tertentu dari kitab “Kutub al-Mawazin”

Keempat kumpulan ini menandai gelanggang ilmu pengetahuan dalam perkembangan doktrin Jabirian dan dalam komposisi kumpulan tulisan. Untuk itu ditambahkan lagi kumpulan tulisan lain, yang lebih kecil, yang membagi alkemi dalam kaitannya dengan komentar-komentar mengenai karya-karya Aristoteles dan Plato, kemudian naskah-naskah tentang filsafat, atronomi, astrologi, matematika, musik, kedokteran, magic dan terakhir karya-karya menyangkut keagamaan.

B. Tinjauan Terminologis Pendidikan Kimia Jabir

Secara terminologis, tulisan-tulisan Jabir bin Hayyan banyak memuat aspek-aspek pendidikan kimia.  Meskipun tidak secara khusus menyebutkan peristilahan pendidikan kimia, namun muatan terminologis yang berkaitan dengan pendidikan secara umum, maupun pendidikan kimia akan banyak ditemukan.  Diantara terminologi yang dapat dikaitkan, misalnya, Jabir banyak  menyebutkan peristilahan ta’lim dan kimia.

Berkaitan dengan terminologi ta’lim, Jabir banyak menyebutkan dalam karya-karyanya, dan secara khusus menulis bab tersendiri tentang adab seorang pelajar dalam menuntut ilmu.   Secara terminologi, kata ta’lim berarti memberitahukan, menerangkan, mengkhabarkan, yaitu memberitahukan atau menerangkan sesuatu (ilmu) yang dilakukan dengan berulang-ulang dan sering sehingga dapat mempersepsikan maknanya dan berbekas pada diri muta’allim.[1] Dalam pandangan Rosyidin (2003:109), ta’lim dapat berkenaan dengan aspek intelektual dan penguasaan keterampilan.  Atau, ta’lim dapat diartikan dengan makna pengajaran dan kadang juga diartikan pendidikan. Dalam hal ini, terminologi ta’lim yang terdapat pada karya-karya Jabir dapat diartikan sebagai proses pengajaran dan atau pendidikan yang berkenaan dengan pengetahuan (aspek informasi) kimia dan penguasaan keterampilan kimia.

Kandungan makna dari ta’lim juga menyiratkan kegiatan yang dilakukan oleh mu’allim dan muta’allim yang menuntut adanya adab-adab tertentu dan sekaligus dapat digolongkan kepada syarat-syarat ta’lim, sebagaimana diungkap oleh Al-Juziy dalam Rosyidin (2003:110).  Berkaitan dengan ini, secara khusus Jabir bin Hayyan juga menjelaskan syarat-syarat dalam pengajaran kimia pada Bâb fî Tartîb Ta’lîm al-Muta’allim,[2] dan juga membahas adab-adab interaksi muta’allim dengan ustadz,[3] sebagaimana akan dijelaskan bagian berikutnya secara tersendiri.

Sementara itu, terminologi yang berkaitan dengan kimia dapat ditelusuri dari kata-kata yang berarti alkhemi atau kimia.  Bila dikaji perkembangan kimia industri yang ada pada peradaban Islam, maka tidak ditemukan perbedaan yang berarti antara alkhemi (alchemy) dan kimia (chemistry). Kata Arab al-Kimya dipakai untuk mendefinisikan alkhemi dan kimia dalam aspek teknologi, yang mencakup proses-proses yang terlibat dalam penyulingan minyak bumi, parfum, dan bahan-bahan lain, maupun dalam pembuatan bahan pencelup, tinta, gula, gelas, dan banyak produk lain.  Secara khusus, sangat sedikit ditemukan penyebutan langsung tentang terminologi kimia.  Di antara sedikit penyebutan lafazh kimia ataupun alkhemi tersebut, misalnya seperti seperti ungkapan Jabir berkaitan dengan proses pencelupan sebagai berikut:

و كذلك الكيمياء  إنما هي إعطاء الأجسام أصباغا لم تكن لها, فاعرف ذلك إنشاء الله تعالى[4]

Demikian ilmu kimia, yang mana (dengan itu) memberikan celupan-celupan yang tidak ada sebelumnya pada suatu benda.  Maka pahamilah hal itu.

Ungkapan Jabir di atas nampaknya dapat diparalelkan dengan pengertian perubahan kimia sebagaimana dikenal pada kimia modern.  Berbeda dengan perubahan fisika yang tidak menghasilkan zat yang baru, perubahan kimia selalu menghasilkan zat yang sifatnya berbeda dari zat-zat sebelum perubahan. Perubahan kimia disebut juga sebagai reaksi kimia.[5]

Minimnya penggunaan lafazh al-kimiyya (alkhemi) dalam tulisan Jabir, diduga dipengaruhi persepsi mistis yang melekat pada istilah alkhemi sejak masa sebelumnya. Meskipun demikian, Jabir banyak menggunakan istilah lain untuk menggambarkan proses yang pada perkembangan ilmu pengetahuan modern dapat dikenali sebagai proses kimia.  Dari analisis terhadap kandungan isinya, serta sumber-sumber lain, dapat disimpulkan bahwa terminologi kimia dapat digunakan untuk istilah الصناغة   yang banyak terdapat dalam buku tersebut, di samping proses-proses yang tidak secara langsung menyebutkan istilah tersebut seperti  التدبير, التكوين , ataupun التركيب .  Misalnya, Jabir menggunakan kalimat  الصناغة  ketika menggambarkan perubahan-perubahan fisik pada fenomena kimiawi.
ينبغي أن تفهم أولا من الصناعة شيئا يسيرا. وهو أن تعلم ما يحمر وما يبيض وما يعقد وما يحل وما يلين وما يخفف, وكل ذلك على طريق الميزان[6].

“Perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa shina’ah (kimia) merupakan hal yang mudah, yaitu mempelajari apa-apa yang membuat jadi merah, memutihkan, mengkristalkan, mengentalkan, mengencerkan, melembutkan, menipiskan. Kesemuanya dapat berlangsung dengan metode mizan (proporsi zat).”[7]

Penggunaan kata الصناغة  dalam konteks fenomena kimiawi dapat dipahami, bahwa pada masa tersebut proses-proses kimiawi yang berkembang pada masa itu sejalan dengan perkembangan bidang kerajinan dan industri.  Karena itu, reaksi-reaksi kimiawi yang dikembangkan oleh Jabir bin Hayyan juga tidak lepas dari hubungannya industri untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat waktu itu.

Adapun istilah kimia sebagai suatu disiplin ilmu, tampaknya dapat diwakili dengan istilah  علم الصنعة,  yang dapat dipadankan juga dengan istilah lain, العلم بالإكسير  yang didefinisikan sebagai ilmu tentang sesuatu zat yang disusun/dibuat dengan bahan pencelup, pereaksi yang merubah zat itu sendiri menjadi zat cair yang lebih baik.[8] Dalam hal ini terlihat inkonsistensi Jabir dalam hal penggunaan istilah علم الصنعة  atau الصناغة .

Analisis penulis untuk mendapatkan kerangka pemikiran pendidikan Jabir bin Hayyan dilakukan berdasarkan telaah dan langkah-langkah sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan.  Berdasarkan penelusuran terhadap acuan utama, yaitu kitab Mukhtâr Rasâ`il volume 1, diperoleh gambaran umum bahwa buku tersebut membahas banyak hal, dalam rentang topik yang cukup luas.  Setidaknya ditemukan bahwa Mukhtâr Rasâ`il volume 1 berisi berbagai pembahasan yang di antaranya berkaitan dengan filsafat, teologi, ilmu kalam, logika, aspek-aspek teknis kebahasaan, anatomi, mineral, tumbuhan dan hewan, serta pendidikan.  Dalam hal ini, berbagai topik tersebut diklasifikasikan pada dua aspek penting, sesuai dengan orientasi bahasan, yaitu aspek kimia dan kependidikan.  Pembahasan tentang kimia sendiri, dalam pengertian menyangkut konsep-kimia secara umum, dan proses pembelajaran kimia juga banyak terdapat.

Berdasarkan identifikasi kandungan isi terlihat bahwa buku Mukhtâr Rasâ`il volume 1 memiliki cakupan bahasan yang luas, meliputi berbagai disiplin ilmu.  Cakupan selengkapnya dari keseluruhan isi buku tersebut cukup sulit untuk diinventarisir secara lengkap karena beberapa hal.  Di antaranya, kerumitan bahasa dan terminologi yang digunakan.  Sebagian kosa kata yang terdapat pada buku tersebut cukup sulit untuk dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia kontemporee, maupun karena kesulitan untuk memastikan arti yang tepat dari berbagai istilah yang sekarang sulit ditemukan.

C. Landasan Filosofis Pendidikan Kimia Jabir bin Hayyan

Sebagaimana lazimnya, pemikiran dan cara pandang seseorang sangat dipengaruhi oleh cara pandangnya terhadap persoalan-persoalan mendasar kehidupan.  Dengan kata lain, cara pandang dan pemikiran seseorang terhadap suatu persoalan, termasuk pendidikan, dipengaruhi oleh pandangan filosofis yang dianut oleh orang tersebut.  Dalam aspek ontologis, Jabir banyak menyoroti hal-hal yang berkenaan dengan pandangan ketuhanan, alam semesta dan keberadaan manusia.

Dalam hal ini, pandangan-pandangan Jabir tidak banyak berbeda dengan pandangan para filosof setelahnya yang lebih banyak dikenal, semisal al-Farabi,  Ibnu Sina, ataupun al-Kindi.  Namun, dalam aspek epistemologis, Jabir terlihat memiliki pandangan yang spesifik dan menarik sebagai suatu pendekatan baru dalam epistemologi pendidikan Islam. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendahuluan, Mujammil Qomar menjelaskan bahwa, dari hasil telaahnya, diperoleh lima macam metode yang secara efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu metode rasional, intuitif, dialogis, komparatif, dan metode kritik.

Dalam konteks epistemologi pendidikan Jabir bin Hayyan, tampak bahwa perlu ditambahkan metode epistemologi lain yang belum dirumuskan oleh Mujammil Qomar (2005).[9] Metode itu adalah metode eksperimen (manhaj tajribiy), yang bila ditelaah berdasarkan metode-metode analisis filsafat, merupakan salah satu metode epistemologi yang cukup penting.  Terlihat dalam berbagai pandangan Jabir, metode eksperimen merupakan metode epistemologis yang penting di samping metode lainnya.

Metode eksperimen ini, sesungguhnya bukan merupakan hal yang asing dalam khazanah kajian filsafat.  Anton Bakker (2004) membedakan metode eksperimen ini dari metode empiris secara tersendiri.[10] David Hume (1711-1776) yang disebut-sebut oleh Bakker sebagai pelopor metode ini, berada jauh di belakang masa kehidupan Jabir bin Hayyan. Karenanya, Jabir dapat dianggap sebagai pelopor sesungguhnya dari metode eksperimen tersebut.

C.1. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang Ketuhanan

Tauhid adalah asas keimanan dalam Islam. Al-Qur’an selalu menyinggung masalah ini dalam setiap suratnya. Manusia sendiri secara naluriah selalu merasakan kebutuhan dan merasakan adanya kekuatan maha besar di luar dirinya, yang menguasai, mengatur, mengarahkan, serta menentukan  arah kehidupannya.  Sebagai Muslim, Jabir menjadikan agamanya sebagai landasan yang kuat bagi gerak langkahnya dalam mengawali berbagai aktivitasnya. Untuk itulah dia pun akan mendahului kegiatannya dengan ibadah. Hal ini tentunya tidak lain agar apa yang dilakukannya itu mendapat ridha dan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jabir baru akan melakukan segala kegiatan ilmiahnya usai melakukan shalat nawafil disertai wirid. Usai shalat, Jabir berkemas lalu mendatangi laboratoriumnya, meskipun laboratoriumnya itu bukanlah seperti laboratorium modern sepeti saat ini yang dipenuhi berbagai peralatan eksperimen.[11]

Prinsip ketauhidan yang kokoh seperti pada deskripsi di atas, kelihatannya cukup menonjol terlihat dalam tulisan-tulisan Jabir.  Pada hampir setiap bab dari karya-karya tulisnya, Jabir seringkali memasukkan kalimat-kalimat yang mengingatkan kebesaran dan keagungan Allah SWT.  Secara integral, dalam setiap pembahasan yang dilakukannya pada hampir setiap bab karyanya, niscaya dapat ditemukan kalimat-kalimat thayyibah.   Nampaknya, suasana aplikasi keimanan seperti ini, termasuk yang ingin ditanamkan oleh Jabir terhadap pembacanya.  Terlihat, meskipun Jabir tidak secara khusus membuat tulisan dan pembahasan yang berkaitan langsung dengan pokok-pokok keimanan dan ajaran agama Islam, Jabir banyak mengintegrasikan nilai-nilai dan muatan keimanan dalam tulisannya.  Dalam beberapa tempat, meskipun tidak dominan, Jabir juga mengutip satu-dua ayat maupun hadits yang berkaitan dengan pembahasan.[12]

Secara khusus, Jabir memandang penting konsep keikhlasan dalam kehidupan. Penjelasan tentang konsep ikhlas ini, dalam beberapa tempat digambarkan dengan deskripsi yang dapat juga ditafsirkan sebagai gambaran proses-proses kimiawi.  Misalnya,

[13]…. والإخلاص هو تفرد المادة و خلولها من الأوصاف المشاركة لها بحال من الأحوال ….

“Keikhlasan berarti menyendirikan materi dan mengosongkannya dari sifat-sifat yang bersekutu dengannya pada suatu keadaan tertentu”

Lebih jauh, Jabir juga mengingatkan dampak negatif dari lemahnya keikhlasan dengan menyatakan bahwa orang yang tidak memperhatikan keikhlasan akan sulit untuk menjadi seorang mujtahid yang obyektif terhadap berbagai pandangan dan pendapat.  Rusaknya keikhlasan akan membawa orang cenderung mencari popularitas, dan hal ini tidak akan membawa pada derajat yang tinggi baik di dunia maupun di akhirat.[14]

C.2. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang Alam Semesta

Alam semesta diciptakan Allah bukan tanpa tujuan (al-Dukhân: 38-39).
38. Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.
39. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Surat al-Nahl: 12-16 mengungkapkan bahwa penciptaan alam semesta adalah untuk kepentingan manusia (li al-taskhīr). Namun di sisi lain, manusia juga dituntut untuk menjaga kesatuan dan keserasiannya dengan memberikan peringatan akan kerusakan ekosistem yang mungkin akan diperbuat oleh manusia, seperti dikemukakan dalam surat al-Rūm: 41. Dengan kata lain, alam semesta diciptakan sejalan dengan tujuan hidup manusia, atau sebagai mitra manusia dalam melaksanakan tugas Allah yang dibebankan kepadanya.

Agar potensi alam itu dapat didayagunakan secara maksimal, manusia harus berusaha untuk mengenalinya, melalui ilmu pengetahuan (Âli ‘Imrân: 190-191). Cara manusia memahami atau mengetahui alam semesta itu ialah dengan mengenali kenyataan-kenyataan dan fenomena-fenomenanya, serta memahami hikmah dari penciptaannya.

Jabir bin Hayyan terlihat menyadari betul hal itu. Karenanya, ia banyak memperingatkan akan pentingnya ilmu dan tujuannya, yaitu demi kebahagiaan dunia dan akhirat (li sa’âdat al-dârain) dan sebagai pemenuhan sebuah kewajiban agama. Ia juga mendorong setiap orang untuk mencarinya, dan menunjukkan fungsinya untuk kehidupan serta peranannya dalam menuju iman yang sejati dan agama yang benar.

Jabir bin Hayyan banyak terdorong untuk senantiasa memperhatikan dan mentafakkuri alam semesta sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT.  Proses tafakkur Jabir, kelihatannya dilakukan juga dalam bentuk observasi sebagaimana dimaksudkan sebagai salah satu ciri khas Ilmu Pengetahuan Alam modern.   Sebagai buah dari tafakkurnya tersebut, Jabir mampu memahami dan menguasi berbagai ilmu-ilmu kealaman.  Pandangan-pandangan dan konsepsinya tentang alam semesta bertebaran sangat banyak dalam karyanya. [15]

Jabir terlihat tidak hanya menguasai alkhemi, tetapi juga teori-teori dan konsep-konsep yang berkaitan dengan disiplin ilmu lain.   Misalnya, pada bagian awal Mukhtâr Rasâ`il, Jabir mengungkapkan klasifikasi alam, yang secara sistematis dan terinci, kemudian diteruskan dengan penjelasan klasifikasi benda-benda langit, tumbuhan dan hewan.  Jabir juga banyak mengungkap fenomena kealaman seperti sifat-sifat dan klasifikasi air, fenomena hujan dan salju, fenomena petir dan kilat, rasi bintang, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut dibicarakan Jabir secara gamblang secara tersendiri, misalnya pada kitab Ikhrâj Mâ fi al-Quwwah. Penguasaannya akan berbagai fenomena alam tersebut tampak jelas terinspirasikan dari tradisi ilmiah yang diwarnai oleh nilai-nilai spiritual.

C.3. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang Manusia

Islam telah memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai manusia, mengenai hakekatnya, mengenai hidup dan perjalanannya, mengenai karakter dan potensinya, serta mengenai hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan lingkungannya. Dalam pandangan Jabir bin Hayyan, kemuliaan seorang manusia akan dicapai manakala manusia memiliki kematangan jiwa, tekun dan bekerja keras untuk menguasai ilmu sampai pada derajat mampu menyampaikan kepada orang lain.[16] Di sini terlihat bahwa Jabir memberikan apresiasi tersendiri pada pemanfaatan akal untuk memahami ilmu.

Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk Allah  yang paling sempurna (al-Thîn: 4). Tidak ada yang lebih tinggi lagi dari manusia kecuali Allah.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

 Al-Qur’an menunjukkan hal itu melalui kisah sujudnya malaikat kepada Adam (al-Baqaraħ: 31).

Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

 Akan tetapi, manusia juga memiliki potensi untuk menjadi makhluk yang paling rendah (al-Thîn: 5), bahkan lebih rendah dari binatang (al-A’râf: 179). Jadi, manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk baik dan jahat sekaligus.[17] Kondisi seperti itu, adalah karena karakter unsur pembentuk manusia itu sendiri. Manusia diciptakan Allah dari turâb (tanah) yang melambangkan kerendahan derajatnya karena ia merupakan unsur jasmani yang tidak memiliki perbedaan dengan asal-asal makhluk hidup yang lain seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Materi asal manusia yang lain adalah ruh yang menjadikan manusia memiliki potensi untuk luhur, atau merupakan lambang keluhurannya.  Jelasnya, komponen utama manusia adalah  ruh dan jasad. Jika jasad (turâb) bersifat materi (jasmani), maka ruh bersifat immateri. Dalam hal ini Jabir mendefinisikan ruh sebagai sesuatu lembut, yang mengalir sepanjang tubuh yang ditempatinya.[18]

Dalam pandangan Jabir, manusia tidak hanya tersusun dari materi, tetapi di samping unsur materi yaitu tubuh, juga unsur immateri yaitu ruh. Dalam pada itu ruh mempunyai dua daya, daya berpikir yang disebut akal dan yang berpusat di kepala dan daya merasa yang disebut kalbu [dari kata Arab Qalb] atau hati nurani yang berpusat di dada.

Jabir bin Hayyan juga mengaitkan kedudukan tinggi seorang manusia dengan ilmu dan pengajaran.  Jabir mengutip Imam Ali yang mengatakan bahwa manusia terbagi 3 golongan, yaitu Alim Rabbaniy yang senantiasa mengatakan kebenaran dan beramal dengannya,  Pelajar yang menuntut ilmu dan mengamalkan apa yang diperoleh, serta Orang Lapar Yang Bodoh yang tidak berilmu dan tidak juga beramal.[19]Terlihat bahwa Jabir memandang tinggi orang yang berilmu dan yang mau menuntut ilmu, sehingga status kemuliaan manusia dihubungkannya dengan kedudukan dan posisinya terhadap ilmu pengetahuan.

Jabir memperhatikan pentingnya memperhatikan watak dan karakter, karena watak itulah yang akan membawa manusia pada kesucian jiwa.  Jabir juga menyarankan tashfiyaħ dan riyâdhaħ dalam rangka pembentukan watak dan karakter manusia tersebut.[20] Jabir juga menyebutkan bahwa jiwa merupakan penyempurna dari akal, yang akan menjadi sumber dari segala perbuatan dan tingkah laku.  Secara esensi, Jabir menekankan jiwa sebagai substansi ilahiy yang akan menghidupkan jasad[21].  Karena itu perlu senantiasa dijaga kesucian dan kebersihannya.

C.4. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang Ilmu Pengetahuan

Sebagai wujud dari kecintaannya kepada ilmu pengetahuan dan sekaligus penggambaran dari keluasan pengetahuanya, Jabir juga berbicara tentang ilmu pengetahuan.  Jabir bin Hayyan  Pandangan Jabir bin Hayyan tentang klasifikasi ilmu pengetahuan cenderung dipengaruhi oleh prinsip dualitas, dan karenanya juga terkesan dikhotomis.   Jabir bin Hayyan membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bagian, yaitu ilmu Agama dan ilmu Dunia.  Ilmu Agama dibagi menjadi 2 kelompok ilmu, yaitu ilmu-ilmu Syar’iyyan dan ilmu-ilmu ‘aqliyan.  Adapun ilmu ‘aqliyan dibagi lagi menjadi ilmu hurûf dan ilmu ma’ani.  Selanjutnya ilmu huruf dibagi lagi menjadi ilmu Thabi’i dan ilmu Ruhani. Ilmu Thabi’i dibagi menjadi empat bagian, yaitu Panas, Dingin, Kering dan Lembab. 

Ilmu yang bersifat Ruhani dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu Nûrâni dan Zhulmânîy. Sementara itu, ilmu Ma’ânî dibagi juga menjadi 2 bagian yaitu ilmu yang bersifat Falsafiyan dan ilmu Ilâhiyan.  Sedangkan ilmu Syar’iyyan terbagi menjadi ilmu-ilmu yang Zâahiran dan Bâthinan.   Sementara itu,  ilmu Dunia juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ilmu Syarifan dan  Wadh’iyan (Buatan).[22]

Berdasarkan uraiannya tentang ilmu pengetahuan, terlihat bahwa Jabir memiliki konsep ilmu pengetahuan yang cukup komprehensif.  Klasifikasi yang dilakukannya, meskipun terkesan mendikhotomikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia, terlihat masih dalam taraf yang dapat diterima.  Klasifikasi ini merupakan pandangan yang sangat maju melampaui zamannya, di tengah belum berkembangnya cabang-cabang ilmu pengetahuan.

Berkaitan dengan ilmu-ilmu yang telah berkembang pada waktu itu, Jabir memasukkan sains kealaman (ilmu Thabî’iyah), ilmu astrologi (ilmu nujum), matematika, dan ilmu teknik ke dalam ilmu falsafi.   Sedangkan ilmu penyamakan kulit, pembuatan parfum, serta pencelupan/pewarnaan termasuk ke dalam industri kerajinan tangan.   Industri kerajinan tangan sendiri juga masih diklasifikasikan lagi oleh Jabir menjadi 2 kelompok, yaitu murâdu linafsihi (yang dimaksudkan untuk industri itu sendiri) dan murâdu lighairihi (yang dikehendaki untuk bidang lain).  Kedalam kelompok murâdu linafsihi dapat disebutkan contohnya adalah elixir untuk pencelupan yang sempurna.  Sedangkan ke dalam kelompok murâdu lighairihi ada dua bentuk, yaitu pengobatan dan reaksi-reaksi kimia.  Pengobatan sendiri, yaitu pengobatan dengan menggunakan batu dan ramuan kimia.  Pengobatan dengan ramuan kimia juga ada yang bersifat batin, dan ada juga yang bersifat pengobatan luar.  Begitupun, pengobatan ramuan ada yang menggunakan ramuan sederhana maupun ramuan yang kompleks.[23]

Demikian, terlihat Jabir berupaya mensistematiskan klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada waktu itu.  Namun, tampaknya klasifikasi yang dibuat oleh Jabir, meskipun terlihat rumit, di sisi lain menunjukkan ketelitian dan kedalaman berfikir Jabir.  Klasifikasi tersebut kelihatannya dapat mengakomodasi ilmu-yang berkembang setelah masa Jabir, seperti astronomi, biologi, dan lain sebagainya.  Tentunya dengan penyesuaian di sana-sini.

Berkaitan dengan klasifikasi ilmu sebagaimana diuraikan di atas, nampaknya Jabir terpengaruh dengan prinsip dualitas, di mana Jabir membagi ilmu pengetahuan menjadi 2 macam, dan masing-masing ilmu tersebut dibagi lagi menjadi 2 bagian, demikian seterusnya.  Prinsip ini hanya dilanggar pada pembagian ilmu Thabi’iyan yang dikelompokkan menjadi 4, yaitu ilmu tentang panas, dingin, kering dan basah.[24]

Di samping itu, Jabir juga secara khusus menulis bab tersendiri tentang ilmu-ilmu yang tertentu.  Jabir menyebutnya Suba’iyah (ilmu yang tujuh), yang terdiri atas Ilmu ketabiban, Ilmu Kimia, Ilmu tentang Khasiat, Ilmu Jampi, Ilmu Astrologi, Ilmu Alam dan Mizan, Ilmu Geometri.  Tentang ilmu-ilmu tersebut, Jabir memberikan gambaran tentang ilmu tersebut, cakupan isinya,dan bagaimana memahami ilmu tersebut.[25] Dalam klasifikasi ini, Jabir bin Hayyan menempatkan Ilmu Kimia sebagai disiplin ilmu tersendiri.  Pembagian seperti ini, lebih bercorak antropsentrik-naturalistik, dan meninggalkan kesan dualistik-dikhotomik yang terdapat pada versi klasifikasi sebelumnya.

Dalam khazanah pemikiran Islam dikenal adanya dua aliran klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang pada abad pertengahan.  Aliran pertama bercorak antroposentrik-naturalistik, yang secara umum mewakili model klasifikasi para filosof seperti al-Farabi dan Ibnu Sina yang memodifikasi pandangan Aristoteles.  Yang kedua, aliran bercorak dualistik-dikhotomik, seperti klasifikasi yang dilakukan oleh al-Khawarizmi dan Ibnu Nadim.[26]

Dalam pandangan Al-Farabi (Kamil Bakri, dalam Anwar : 313), ilmu pengetahuan dibagi secara konsepsional menjadi 8 macam, yaitu ilmu-ilmu lisan, ilmu logika, ilmu-ilmu ta’alim (kognitif, mencakup aritmetika, geometri, retorika, astronomi, musik, dan dialektika), ilmu-fisika, metafisika, ilmu-ilmu sosial, ilmu fiqh dan ilmu kalam.   Klasifikasi ilmu versi al-Farabi terlihat sangat kental dengan muatan rasionalitas.  Dalam hal ini al-Farabi, terlihat tidak sepakat dengan pembagian ilmu versi Jabir, dan karenanya mengeluarkan alkkhemi, dan sains esoteris lainnya (seperti penafsiran mimpi dll), dari klasifikasi ilmu yang dibuatnya.   Dalam pandangan Nasr, hal ini merupakan suatu keanehan, karena al-Farabi juga menulis naskah tentang alkhemi dan penafsiran mimpi serta sains esoteris lainnya.[27]

Sementara itu, pembagian ilmu pengetahuan menurut Al-Khawarizmi lebih kental bernuansa dualistik-dikhotomik, dimana ilmu dikelompokkan pada dua bagian besar, yaitu ilmu-ilmu Arab-Islam dan ilmu-ilmu asing. Dalam pengelompokan ini, kimia termasuk ke dalam ilmu-ilmu asing bersama dengan filsafat, logika, kedokteran, aritmetika, dan geometri.[28]

Klasifikasi ilmu yang membagi dua ilmu pengetahuan menjadi ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu keduniaan, yang menguatkan adanya prinsip dualitas yang dianut Jabir bin Hayyan, tampaknya juga memiliki kemiripan dengan klasifikasi ilmu menurut Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi dua kelompok, yaitu ilmu naqli (traditional science) dan ilmu aqli (rational science).[29] Pembagian yang mencirikan dualitas nampaknya juga menjadi ciri menjadi klasifikasi yang dianut oleh Al-Ghazali, dimana ilmu pengetahuan dibagi menjadi kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu syar’iyyah dan ghair syar’iyyah (‘aqliyyah), dimana kimia dimasukkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu ‘aqliyyah.[30]

Pembagian ilmu pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh Jabir bin Hayyan maupun para ilmuwan muslim klasik lainnya, menunjukkan keberadaan ilmu pengetahuan yang masih terintegrasi dalam satu bangun keilmuah Islam yang utuh dan komprehensif.  Hal ini, diduga merupakan bagian dari pengaruh prinsip tauhid dan ketuhanan yang bersumber dari prinsip-prinsip ajaran Islam.  Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern berikutnya, sebagai bagian dari tuntutan perkembangan yang didominasi oleh barat, ilmu pengetahuan cenderung menjadi terfragmentasi.  Pada akhirnya, kondisi ini memunculkan sekulerasi dan dikhotomi ilmu pengetahuan dan agama yang menonjol.

C.5. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang Metode Ilmiah

Diantara keunggulan pandangan Jabir yang lain adalah ketika sains Kimia pasca abad pertengahan mulai banyak digalakkan dan diterapkan di Barat. Mereka tidak hanya sekedar berhutang budi mengenai penggunaan berbagai alat, teknik-teknik, dan kosa kata tentang istilah kimia, tetapi yang lebih penting dan yang lebih mendasar dari kesemuanya adalah awal mula penggunaan metode eksperimen yang diakui oleh Ilmuwan Barat sebagai milik mereka. Mereka gaungkan nama salah seorang diantara ilmuwan Barat, Francis Bacon (1561-1626 M) sebagai perintis metode ilmiah tersebut.[31] Tetapi kenyataan yang sesungguhnya adalah bahwa metode eksperimen itu merupakan temuan Jabir yang telah ada jauh sebelum Francis Bacon.

Kenyataan ini dapat dilihat dari metode cara–cara yang digunakan dan diterapkan Jabir ibn Hayyan ketika melakukan berbagai eksperimennya. Pada Abad Pertengahan itulah, Jabir melakukan berbagai observasi dan eksperimen dengan cara-cara yang terstruktur rapi seperti langkah-langkah dalam metode ilmiah yang saat ini menjadi kerangka kerja para ilmuwan modern. Patut kiranya bila kita sandangkan kepada Jabir sebagai orang pertama yang meletakkan dasar pengetahuan dengan langkah-langkah ilmiah seperti melakukan penyelidikan-penyelidikan, percobaan-percobaan, dan eksperimen-eksperimen.  Secara tegas, Jabir bin Hayyan menekankan metode ilmiah yang menjadi acuan setiap pekerjaannya, seperti pada kutipan berikut:

[32].. و الله قد عملته بيدي و بعقلي من قبل و بحثت عنه حتى صح و امتحنته فما كذب ..

Keunggulan Jabir telah diakui secara jujur oleh kaum intelektual bahwa dia adalah ilmuwan pertama yang menggunakan metode ilmiah dalam melakukan aktivitas atau kegiatannya dibidang alkhemi yang kemudian diambil alih dan dikembangkan menjadi ilmu kimia seperti sekarang ini. Namanya terukir sebagai orang pertama yang mendirikan laboratorium[33] dan mempergunakan tungku untuk mengolah mineral-mineral dan mengekstraksi zat-zat kimiawi dari mineral-mineral tersebut serta mengklasifikasikannya. Dengan fasilitas laboratorium yang telah dibangunnya itu, Jabir dengan penuh ketekunan melakukan berbagai observasi, penyelidikan-penyelidikan dan percobaan-percobaan.

Di samping itu, Jabir juga mengembangkan penggunaan kaca sebagai bahan baku dari alat-alat laboratorium.  Tercatat, Jabir menggunakan labu destilasi dari botol kaca, menggantikan labu destilasi dari tanah liat yang digunakan selama ini.  Penggunaan botol kaca ini meningkatkan faktor ketelitian dalam percobaan, dan mengurangi galat yang mungkin ditimbulkan dari kesalahan alat.  Tentang hal ini, Jabir mengungkapkannya sebagai berikut:

فأما ما نتخوف من الخطأ فى العمل فلألة التى تجمع الشكل و تقومه و الألة التى للطبيخ أعني الزجاج. فإن الزجاج كلما صفا جوهره كان أبلغ للكون و أبرز له. و موضع التعفين فإنه يجب أن يكون سليما من هبوب الرياح و شدتها محفوظا من جميعها[34].

Buah ketekunannya tidaklah sia-sia, sebab dengan berbagai eksperimen yang dilakukannya itu, Jabir berhasil menyelidiki berbagai teori dulunya sempat dilakukan oleh para pendahulunya. Hasil eksperimennya itu pun tak sia-sia. Dia misalnya telah menemukan beberapa senyawa kimia seperti asam klorida (Chloride Acid), dan asam karbida. Selain itu dia pun berhasil menyumbangkan berbagai macam teori dengan sistem penguapan dan kristalisasi, destilasi, pelelehan, dan sublimasi.

Semangat Jabir yang tinggi dalam mengkaji ilmu dan melakukan beragam penelitian dengan hasil yang gemilang, telah diakui oleh Lyn Thorndike yang menyatakan bahwa penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan sarjana-sarjana setaraf E. Wiedeman, E. Darmstaedter, H.E. Stapleton dan E.J. Holmyard atas sumber-sumber berbahasa Arab kian memperkuat kedudukan Ibnu Hayyan sebagai tokoh besar dalam sejarah kimia.

Secara khusus, Ali Sâmi Al-Nasyâr (1978:263) menempatkan Jabir sebagai ilmuwan muslim yang menjadi prototipe bagi metode observasi dan ilmiah di kalangan saintis Islam klasik.   Al-Nasyâr  mengungkapkan bahwa Jabir bin Hayyan menggunakan beberapa bentuk penerapan metode ilmiah, antara lain Metode Penyerupaan/contoh (Mujânasah), Qiyas dan Atsar.[35] Pada keseluruhan karya Jabir bin Hayyan sangat terlihat bahwa Jabir mementingkan adanya observasi dan eksperimen.  Dalam sebuah tulisannya, misalnya, Jabir mengingatkan pentingnya menyelidiki secara mendalam:

فاعلم يا أخي و اشكره إذ فضلك على كثير ممن خلقك و أدم الدرس تظفر بالبغية.  ولا تجربن منها حتي تستقصي درسها و تجمع فصولها و يتخيل لك ما ذكرناه, فيها أمر ذو نظام و تدبير و ترتيب إما بطريق الميزان او بطريق التد بير.  فإذا تخيل لك ذلك فأوقع حينئذ التجربة عليه, فإنه و حق سيدي يتم و يضح من أول وهلة و بأول تدبير كما قال الحكماء: إنه لعب الصبيان و عمل النساء[36]

Pada kutipan di atas terlihat bahwa Jabir menekankan pada penguasaan teoritis yang kemudian diikuti dengan percobaan (eksperimen) untuk pembuktian teori tersebut.   Penguasaan teoritis secara mendalam sangat penting dimiliki, sebelum seseorang melakukan eksperimen.  Dengan penguasaan teori yang memadai, maka kemungkinan kesalahan dalam prosedur eksperimen, akan dapat dihindari.  Hal sejalan dengan pandangan Jabir pada kesempatan lain, sebagaimana dikutip oleh Ka’dan (tt) sebagai berikut:

إن كل صنعة لا بد لها من سبوق العلم في طلبها للعمل[37]

Setiap praktek rekayasa (kimia) harus didahului oleh penguasaan ilmu terlebih dahulu

Dalam berbagai risalahnya konsep tajribah seperti tercantum pada kutipan di atas, dimaksudkan oleh Jabir sebagai suatu eskperimen yang merupakan keniscayaan kimia, sekaligus sebagai sebuah tradisi ilmiah baru yang mendobrak faham spekulatif Yunani dan Alkhemi.  Istilah eksperimen juga adakalanya digantikan dengan istilah darbah, sebagaimana pada kutipan berikut :

….فمن عرف ميزانها عرف كل ما فيها و كيف تركبت, و الدربة تخرج ذلك.  فمن كان دربا كان عالما حقا و من لم يكن دربا لم يكن عالما.  و حسبك بالدربة فى جميع الصنائع, إن الصنائع الدرب يحذق و غير الدرب يعطل[38]…

“Barang siapa yang mengerti proporsi zat (mizan) nya, maka dia akan mengetahui setiap bagian zat itu sendiri dan bagaimana pembentukannya. Dengan eksperimen, akan menghasilkan kepastian akan hal itu.  Barang siapa yang melakukan eskperimen, dia akan menjadi ilmuwan sejati. Adapun orang yang tidak melakukan eksperimen, dia tidak akan menjadi ilmuwan.  Proses kimia harus dilakukan dengan eksperimen, karena dengan eksperimen orang akan menjadi mahir, dan tanpa eksperimen ilmu seseorang tak berarti apa-apa.

Pada kutipan di atas tampak bahwa Jabir sangat menekankan eksperimen dalam ilmu kimia.  Bahkan, penegasan tersebut dinyatakan dengan ungkapan bahwa kimia identik dengan eksperimen, dan tanpa eksperiemen ilmu kimia akan kosong melompong.[39] Hal ini sejalan dengan penegasan para ilmuwan modern, bahkan seakan sudah menjadi dogma bahwa sains, termasuk kimia di dalamnya, tidak dapat dipisahkan dengan eksperimen dan laboratorium.   Tentang hal ini, misalnya, Lagowski menegaskan peran sentral dan sangat menentukan dari aktivitas eksperimen laboratorium dalam kimia. [40]

Karena itu, Jabir menekankan bahwa apa-apa yang ditulisnya, terlebih dahulu diuji coba dan diobservasi olehnya sendiri.  Dalam salah satu tulisannya, Jabir menggambarkan bahwa tulisannya tidak didasari pada apa yang didengar, tetapi apa yang dilihatnya, dan terbukti benar setelah diuji.[41] Dari gambaran-gambaran di atas, terlihat bahwa Jabir bin Hayyan menganut paham empirisme[42] Aristoteles, ketimbang rasionalisme Plato.  Argumen ini juga dikuatkan oleh banyaknya kutipan dan komentar Jabir yang berasal dari Aristoteles.

Pandangan empirisme Jabir ini, kemudian dapat menjadi salah stau metode epistemologi pendidikan khas Jabir, yakni metode eksperimen (manhaj tajribiy).

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari uraian diatas mengenai kehidupan serta pandangan – pandangan jabir bin hayyan maka dapat kita simpulkan bahwasanya seorang muslim sejati yang selalu tekun beribadah kepada Allah dan selalu berusaha dengan gigih, maka Allah akan karuniakan kepadanya ilmu pengetahuan yang tinggi. Seperti telah kita ketahui seorang Jabir bin Hayyan adalah seorang yang tekun beribadah dengan selalu melaksanakan amalan sunah serta terus berusaha dengan mengadakan eksperimen – eksperimen sehingga ia tercatat sebagai seorang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dan mendapatkan gelar bapak ilmu kimia.

Pemikiran – pemikirannya telah berabad – abad menjadi rujukan bagi ilmu pengetahuan dan orang barat sangat menghoramtinya. Pandangan – pandangan beliau tentang ketuhanan, tantang hakikat manusia, tentang alam semesta, tentang ilmu pengetahuan dan pandangan beliau tentang metode ilmiah yang didasari oleh Al – Qur’an dan sunah menjadi sebuah pengetahuan yang luar biasa bagi generasi selanjutanya.

B. Saran

Perjalanan hidup dan pemikiran – pemikiran Jabir bin Hayyan yang telah di tulis oleh penyusun walaupun hanya sepintas mudah – mudahan bisa diambil manfaatnya. Serta bagi setiap orang muslim harus bangga dengan para ilmuwan yang telah berkorban pikirannya dan jiwa raganya untuk ketinggian islam, dengan menemukan keilmuan – keilmuan baru yang berguna bagi kehidupan di dunia tidak hanya untuk orang islam saja tetapi sangat berpengaruh bagi kehidupan orang non muslim juga.Para ilmuwan muslim waktu dulu mereka menulis, meneliti dan menemukan keilmuan baru bukan untuk mendapatkan gelar, penghargaan atau kekayaan tetapi merka melakukan semua itu adalah perintah Allah dan rosulnya untuk menjadi orang – orang yagn berilmu dan bermanfaat bagi umat.

Bagi mahasiswa sebagai agent of change mudah – mudahan bisa mencontoh para ilmuwan pada masa dahulu baik dalam ibadahnya maupun dalam ketekunan dalam mencari dan meneliti ilmu pengetahuan dan bisa menyampaikannya kembali sejarah perjalanan hidup Jabir bin Hayyan ini kepada teman sejawat dan kepada masyaratakat. Bagi guru dan calon guru sebagai pendidik mudah – mudahan bisa menyampaikan kembali kepada peserta didiknya agar mereka tahu dan merasa bangga kepada para ilmuwan muslim jang sampai yang mereka tahu hanya ilmuwan barat saja. Ahirkata, somoga bermanfaat dan mohon maaf bila tedapat banyak kekurangan dari tulisan ini.

[1] Dedeng Rosyidin,  Akar-akar Pendidikan dalam Al-Quran dan Al-Hadits, h. 66

[2] Jabir bin Hayyan, Nukhab ‘ala kitâb al-Ahjâr, h. 196-198

[3] Jabir bin Hayyan menguraikan panjang lebar tentang pola interaksi muta’allim dan ustadz dalam bentuk interaksi positif yang seimbang, seperti terdapat pada kitab al-Bahts, h. 501-505

[4] Jabir beberapa kali menyebutkan istilah kimia dalam kitâb al-Ahjâr 1. Di antaranya dalam bentuk kutipan di atas. Lihat Jabir, kitâb al-Ahjâr 1 h. 140-141

[5] Perubahan fisika adalah perubahan yang tidak menghasilkan zat yang baru. Misalnya, perubahan wujud dan pelarutan merupakan contoh-contoh perubahan fisika. Sementara itu, perubahan kimia selalu menghasilkan zat yang sifatnya berbeda dari zat-zat sebelum perubahan, dan disebut juga sebagai reaksi kimia.  Proses perkaratan besi, pembakaran, dan pertukaran gas pada pernafasan makhluk hidup merupakan sebagai contoh perubahan kimia. Lihat Judson Knight, Science of Everyday Things: Vol I: Real Life Chemistry, p.34.

[6] Jabir, kitâb al-Ahjâr 4. h. 196

[7] Fenomena kimiawi yang tergambar dalam kutipan di atas, sejalan dengan pengertian reaksi kimia, dimana reaksi kimia / perubahan kimiawi adalah proses perubahan materi yang menghasilkan jenis dan sifat materi yang berbeda dari zat semula.  Adanya reaksi kimia dapat ditandai dari adanya perubahan warna, perubahan wujud, dan perubahan zat yang disertai perubahan energi dalam bentuk kalor.  Reaksi kimia sendiri secara sederhana dapat digolongkan menjadi reaksi penggabungan, reaksi penguraian, reaksi substitusi dan reaksi metatesis.  Lihat, Yayan Sunarya,  Kimia Dasar 1.  h. 35.

[8] Jabir, kitâb Ikhrâj Mâ fi al-Quwwah h. 61 dan kitâb al-Hudud. h. 106.

[9] Mujammil Qomar,  Epistemologi Pendidikan Islam, h. 270-362

[10] Metode eksperimentil yang dipelopori oleh David Hume ini, merupakan puncak pencapaian dari empirisme. Lihat Anton Bakker,  Metode-metode Filsafat, h. 80-86

[11] Nasehat Jabir tentang ini dapat dirujuk lebih lengkap pada Jabir, Nukhah min Kitâb al-Mîzân al-Shaghîr, h.  455-459

[12] Jabir, kitâb al-Khamsīn, h. 499-450,   Jabir mengutip Q.S. Al-Baqarah: 26  pada kitab Al-Ahjar 1 h.144, Q.S Al-Hadid: 13 dan hadits tentang dua sayap lalat yang mengandung racun dan obat.

[13] Jabir,  kitâb Al-Isytimâl.  h.553

[14] Jabir,  kitâb Al-Isytimâl.

[15] Tentang benda-benda langit dan tata surya, serta fenomena-fenomena kealaman Jabir membahas panjang lebar diantaranya pada Kitâb Ikhrâj Mâ fī al-Quwwaħ, Kitab Al-tajmī’, Kitâb Al-tashrīf dan Kitab Al-Mizân Al-Shaghīr.

[16] Lihat Jabir, kitâb Al-Mâjid. H. 118

[17] Hasan Abd al-‘Âl, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi’, (Kairo: Dar al-Fikr,al-’Arabi, 1978), h. 42.

[18] Lihat Jabir, kitâb Al-Hudūd, h. 109

[19] Jabir, kitâb al-Bahts. h. 502-503

[20] Jabir, kitâb al-Bahts.. h. 503-504

[21] Jabir, kitâb al-Hudûd, h. 113

[22] Dalam argumentasi yang panjang lebar, Jabir menuliskan bagian khusus yang berbicara tentang klasifikasi ilmu pengetahuan, dan menjadikannya sebagai bagian awal dari Kitâb al-Hudud.  Lihat. Jabir, Mukhtâr Rasâ`il, hal. 100-108.

[23] Jabir bin Hayyan,  ibid.  Kitab al-hudūd.  h.100-101

[24] Prinsip dualitas atau serba dua ini sesungguhnya merupakan warisan pemikiran filsafat Yunani yang diadopsi Jabir.  Prinsip ini sudah dikenal semenjak filosof atomis Leukipos dan Demokritus.  Begitu pula, prinsip ini digunakan juga oleh Aristoteles.  Dalam perkembangan Renaissansce, prinsip ini menjadi semakin berpengaruh, dan oleh Rene Descartes diperkenalkan sebagai dualisme.  Lihat Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat buku ke-4  hal. 7 dan 69-70

[25] Uraian Jabir bin Hayyan tentang rincian ketujuh ilmu tersebut cukup terperinci.  Lihat  Jabir dalam. Kitab Ikhrâj.  H.  47-114

[26] Saeful Anwar,  Filsafat Ilmu Al-Ghazali.  h. 312

[27] Nasr, Sains & Peradaban Islam,  h. 43

[28] Saeful Anwar,  Filsafat Ilmu Al-Ghazali.  h. 313

[29] Uraian lengkap tentang pembagian ilmu pengetahuan dalam versi Ibnu Khaldun dapat dirujuk pada karya utama Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h. 543-546

[30] Saeful Anwar,  Filsafat Ilmu Al-Ghazali.  h. 319

[31] Francis Bacon (1561-1626) adalah seorang filosof asal Inggris yang dianggap secara luas sebagai pencetus penggunaan metode induksi ilmiah.  Karya-karyanya antara lain The Advancement of Learning (1605), Novum Organum (1620), De Augmentis Scientarium (1623), dan The New Atlantis (1624).  Lihat Willian F. O’Neill,  Ideologi-ideologi Pendidikan, h. 645.

[32] Jabir, kitab al-Khawwash al-Kabir.  h.  322

[33] Bukti keberadaan laboratorium Jabir di Kufah diketemukan beberapa tahun setelah kematiannya, dan didalamnya ditemukan sebuah mangkuk dan sebongkah emas. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 476.

[34] Jabir,  h. 94

[35] Ali Sâmi Al- Nasyâr,  .مناهج البحث عند مفكرى الإسلام.  دار المعارف.  1978  h.  260-263

[36] Jabir.  Kitab al-Qadīm.  h.546-547

[37] AN Ka’daan.  Jabir bin Hayyan wa ‘Ilm al-Kimiyya’.

[38] Jabir bin Hayyan,   Kitab Al- Sab’in.  H. 464

[39] Penegasaan Jabir tentang pentingnya eksperiemen dalam kimia juga mendapatkan pengakuan dari berbagai kalangan, di antaranya sebagaimana diungkap oleh Philip K. Hitti bahwa Jabir telah mengakui dan menyatakan pentingnya eksperimen secara lebih seksama daripada ahli kimia sebelumnya, dan telah melangkah maju baik dalam perumusan teori maupun dalam praktik kimia.  Lihat Philip K. Hitti, the History of the Arabs, h. 476

[40] Lagoswki, J.J.   The Role of the Laboratory in Chemical Education. Diakses pada Februari 2008. Terdapat pada http://www.utexas.edu/research/chemed/lagowski/jjl_beijing_02.pdf

[41] Jabir, kitâb al-Khawwâsh al-Kabîr, h. 232

[42] Kata empirisme biasa diartikan sebagai penggunaan metode yang didasarkan pada uji coba empirik, sebagai ganti dari sistem yang didasarkan pada sekumpulan prinsip teoritis.  Dalam ilmu filsafat, kata empirisme ini digunakan secara berbeda dengan makna tersebut, dan menjadi istilah khusus yang memiliki arti tersendiri, yaitu merujuk pada teori filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman.  Lihat Lorens Bagus,  Kamus Filsafat.  197

Category: ,

About wandibudiman.blogspot.com:
Blog ini merupakan blog yang dikelola oleh Wandi Budiman, seorang manusia lemah yang selalu mencari keridhaan dari Tuhannya (Allah swt). Terimaksih sudah berkunjung ke Blog ini Semoga apa yang sudah di posting di Blog ini menjadi Sesuatu yang bermanfaat.Amin..

0 komentar