MUHAMAD BIN SIRIN

Unknown | 3/18/2012 | 0 komentar

MUHAMAD BIN SIRIN;
“Aku tidak pernah melihat seseorang lebih faqih dalam wara’nya, dan lebih wara’ dalam fiqihnya” (Muriq Al-’Ijly)

Sirin telah ber’azam (bertekad kuat) untuk melengkapi separuh agamanya (alias menikah) setelah Anas bin Malik RA., memerdekakannya dan setelah jobnya sudah bisa menghasilkan banyak keuntungan dan harta yang berlimpah.

Sirin adalah seorang pandai besi yang mahir dan piawai dalam membuat panci.

Pilihannya telah jatuh pada seorang budak wanita Amirul Mukminin, Abu Bakar as-Shiddiq RA., yang bernama Shofiyyah untuk menjadi istrinya.

 Shofiyyah adaah budak wanita yang masih muda belia, wajahnya bercahaya, akalnya cerdas, mulia tabiatnya, luhur akhlaknya dan dicintai oleh setiap wanita Madinah yang mengenalnya.

 Tidak ada bedanya dalam hal itu antara remaja-remaja putri yang seusia dengannya dan antara ibu-ibu yang sudah berumur namun menganggapnya selevel dengan mereka dalam hal kecerdasan akal dan keluhuran akhlak.

 Di antara wanita-wanita yang paling mengasihinya adalah istri-istri Rasul SAW terlebih lagi Sayyidah Aisyah RA.

 Sirin datang menghadap Amirul mu’minin, lalu melamar budak wanitanya, shofiyyah.

 Sementara Abu Bakar ash-Shiddiq RA segera mencari tahu tentang agama dan akhlak si pelamar layaknya seorang ayah yang amat mengasihi saat mencari tahu kondisi si pelamar anak perempuannya.

 Dan itu tidaklah aneh, sebab Shofiyyah bagi dirinya sama posisinya dengan posisi seorang anak bagi ayahnya. Di samping itu, dia adalah amanat yang Allah titipkan di pundaknya.

 Lalu Abu Bakar mulai meneliti dengan sangat cermat kondisi Sirin dan menelusuri secara detail riwayat hidupnya.

 Karena itu, orang pertama yang beliau tanyai mengenai siapa dirinya adalah Anas bin Malik RA.

 Maka Anaspun berkata kepadanya,

“Nikahkanlah Shofiyyah dengannya wahai Amirul Mukminin, dan engkau jangan khawatir dia akan bertindak kasar terhadapnya. Yang aku ketahui darinya hanyalah orang yang benar agamanya, mengesankan akhlaqnya dan sempurna maruah dan kelelakiannya.

 Dia sudah terbina dengan pendidikanku sejak ditawan oleh Khalid bin Al-Walid pada perang “’Ain at-Tamr” [Sebuah kawasan yang terletak bagian selatan Kufah, berhasil ditaklukkan Khalid bin al-Walid pada masa kekhilafahan Abu Bakar] bersama empat puluh orang anak-anak lainnya, lalu dia membawa mereka ke Madinah. Kebetulan, Sirin adalah bagianku dan aku merasa beruntung mendapatkannya.”

 Akhirnya Abu Bakar ash-Shiddiq RA setuju atas pernikahan Shofiyyah dengan Sirin dan bertekad untuk memperlakukannya secara baik sebagaimana perlakuan baik seorang ayah terhadap anak yang paling dikasihinya. Karena itu, dia mengadakan pesta perkawinan yang meriah, yang amat jarang ada wanita-wanita Madinah kala itu yang bernasib baik seperti ini.

 Hadir sebagai undangan pesta pernikahan itu sejumlah besar para pembesar shahabat. Di antara mereka ada sebanyak 18 orang Ahli Badar. Juga turut mendoakannya, penulis wahyu Rasulullah, Ubay bin Ka’b dan diamini doanya oleh para undangan.

 Bukan itu saja, bahkan tiga orang Ummahatul Mukminin turut menempelkan wewangian ke badannya dan meriasnya ketika akan dipersandingkan dengan calon suami.

 Sebagai buah dari pernikahan yang diberkahi tersebut, lahirlah dari kedua orangtua tersebut seorang anak yang sepanjang 20 tahun menjadi salah satu dari bintang para Tabi’in dan tokoh tiada duanya dari kalangan kaum Muslimin pada masanya. Dia lah Muhammad bin Sirin.

 Mari kita mulai kisah kehidupan seorang Tabi’i yang agung ini dari mula pertama.

 Muhammad bin Sirin dilahirkan dua tahun menjelang berakhirnya kekhilafahan, Amirul Mukminin, ‘Utsman bin ‘Affan RA.

 Dididik di sebuah rumah yang dipenuhi oleh sifat wara’ dan taqwa dari segala sudutnya.

 Dan ketika sudah menginjak usia baligh, si anak yang baik pekerti dan cerdas ini mendapatkan masjid Rasulullah SAW., disesaki oleh sisa-sisa para shahabat yang mulia dan para senior kalangan Tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, ‘Imran al-Hushain, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin az-Zubair dan Abu Hurairah.

 Maka dia pun menyongsong mereka layaknya orang yang haus menyongsong sumber air yang demikian bening. Menimba ilmu Kitabullah, Fiqhuddin (memahami agama) dan periwayatan hadits dari mereka, sehingga hal itu dapat mengisi akalnya dengan hikmah dan ilmu serta memerisai dirina dengan keshalihan dan kelurusan (berpetunjuk).

 Kemudian keluarganya membawa pemuda yang langka ini pindah ke Bashrah, untuk kemudian menjadi tempat menetap mereka. Ketika itu, Bashrah masih merupakan kota yang baru dibuka. Kaum Muslimin berhasil membukanya pada akhir-akhir kekhilafahan ‘Umar, al-Faruq, RA.

 Pada masa itu, Bashrah masih merupakan kota yang mewakili karakteristik umat Islam. Ia merupakan pangkalan militer tentara kaum Muslimin yang berperang di jalan Allah. Ia merupakan pusat pengajaran dan penyuluhan bagi orang-orang dari penduduk Iraq dan Persia yang masuk Islam. Ia adalah potret masyarakat Islam yang bekerja keras di dalam beramal untuk dunia seakan hidup selama-lamanya dan beramal untuk akhirat seakan-akan kematian menjelang esok hari.

 Di dalam menempuh hidupnya yang baru di Bashrah, Muhammad bin Sirin mengambil dua cara yang berimbang dan transparan: pertama, memfokuskan pada separuh harinya untuk menimba ilmu dan beribadah. Kedua, memperuntukkan sebagiannya lagi untuk mencari rizki dan berbisnis.

 Bila fajar telah menyingsing dan dunia telah memancarkan cahaya Rabb-nya, beliau berangkat ke masjid untuk mengajar dan belajar hingga bila matahari sudah naik, beliau beranjak dari masjid menuju pasar untuk berjual-beli.

 Bilamana malam telah tiba dan sudah mengibar tabir untuk menyelimuti alam semesta, beliau berbaris di Mihrab rumahnya, merundukkan tulang punggung guna mengulang juz-juz al-Qur’an dan menangis karena takut kepada Allah dengan linangan air mata kedua mata dan hatinya. Sampai-sampai keluarga dan para tetangga dekatnya merasa kasihan terhadapnya lantaran seringnya mereka mendengar tangisanya yang seakan memutus urat nadi hati.

 Sekalipun biasa berkeliling ke pasar pada siang hari untuk berjual-beli, namun beliau senantiasa mengingatkan manusia akan akhirat dan membuka mata mereka akan fitnah dunia. Beliau biasa bercerita kepada mereka dengan cerita menarik dan membimbing mereka kepada hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah serta memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara mereka.

 Terkadang dalam satu dan lain kesempatan, beliau bercerita kepada mereka dengan cerita yang enak didengar sehingga mampu menghapuskan keburaman jiwa mereka tanpa harus mengurangi kewibawaan dan keagungan citra beliau di sisi mereka.

 Allah telah menganugerahi beliau sebagai sosok penuntun dan geliat Ahli kebajikan serta mengaruniai beliau sebagai orang yang dapat diterima dan punya pengaruh.

 Manakala orang-orang yang tengah tenggelam dalam suasana dan lalai kebetulan melihat beliau di pasar, mereka jadi tersadar lantas mengingat Allah, bertahlil dan bertakbir.

 Riwayat hidup yang beliau praktikkan merupakan tuntuan yang baik bagi manusia. Tiadalah dua hal yang dihadapinya di dalam perniagaannya kecuali beliau akan mengambil mana di antara keduanya yang lebih menambat dirinya dengan agamanya sekalipun mengakibatkan kerugian duniawi bagi dirinya.

 Pemahamannya yang detail terhadap rahasia-rahasia agama dan kebenaran pandangannya terhadap hal mana yang halal dan haram terkadang mendorongnya untuk mengambil sebagian sikap yang tampaknya aneh bagi manusia.

 Salah satunya adalah kisah seorang laki-laki yang menuduhnya punya hutang kepadanya sebanyak dua dirham secara dusta, namun beliau menolak untuk memberikannya.

Lalu laki-laki itu berkata kepadanya, “Anda bersedia untuk bersumpah.?” Sementara orang itu mengira bahwa beliau tidak akan bersumpah karena hanya uang dua dirham saja.

“Ya, aku bersedia.” Jawabnya sembari bersumpah setelah itu.

Maka orang-orang pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Bakar! Apakah kamu akan bersumpah juga untuk uang yang hanya dua dirham itu.?”

“Ya, aku akan bersumpah. Sebab, aku tidak ingin memakan hal yang haram sementara aku tahu bahwa ia haram.” Katanya.

 Majlis yang diisi oleh Ibn Sirin adalah majlis kebajikan dan penuh dengan wejangan. Bila disinggung nama seseorang yang berbuat kejahatan di sisinya, beliau langsung mengingatkan orang itu dengan penyelesaian yang dia tahu itu adalah terbaik baginya.

 Bahkan, suatu ketika beliau mendengar ada salah seorang yang mencaci maki al-Hajjaj (bin Yusuf ats-Tsaqafy, salah seorang penguasa Bani Umayyah yang amat tirani. Para sejarawan banyak memuat kisah kebengisan, kekejaman dan kebiadabannya) sepeninggalnya, maka dia menyongsong orang tersebut sembari berkata kepadanya,

“Diam, wahai saudaraku!!!. Sebab al-Hajjaj sudah berpulang ke Rabb-nya. Sesungguhnya dosa paling hina yang engkau lakukan akan engkau dapatkan ketika menghadap Tuhanmu lebih berat bagimu ketimbang dosa paling besar yang dilakukan al-Hajjaj. Masing-masing kalian akan sibuk dengan dirinya sendiri. Ketahuilah, wahai anak saudaraku, bahwa Allah pasti akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan al-Hajjaj untuk orang-orang yang pernah dizhaliminya. Demikian pula, Dia akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan oleh mereka untuknya. Jadi, janganlah sekali-kali engkau menyibukkan dirimu dengan mencaci-maki siapapun.”

 Bila ada orang yang berpamitan kepadanya untuk suatu perjalanan bisnis, beliau selalu berpesan kepadanya,

“Bertakwalah kepada Allah, wahai anak saudaraku! Carilah rizki ditakdirkan kepadamu dengan cara yang halal. Ketahuilah bahwa jika engkau mencarinya tanpa cara yang halal, niscaya kamu tidak akan mendapatkannya lebih banyak dari apa yang telah ditakdirkan kepadamu.”

 Muhammad bin Sirin memiliki catatan sejarah yang dapat dibuktikan dan amat masyhur di dalam menghadapi penguasa Bani Umayyah dimana beliau berani mengucapkan kebenaran dan dengan ikhlash memberikan nasehat bagi Allah, Rasul-Nya serta para pemimpin kaum Muslimin.

 Di antara contohnya, kisah ‘Umar bin Hubairah al-Fazary, salah seorang tokoh besar Bani Umayyah dan penguasa kawasan Iraq yang mengirimkan surat untuk mengundangya berkunjung kepadanya. Maka, beliaupun datang menjumpainya bersama anak saudaranya.

 Tatkala beliau datang, sang penguasa ini menyambungnya dengan hangat, memberikan penghormatan untuk kedatangannya, meninggikan tempat duduknya serta menanyakannya seputar beberapa masalah agama dan dien, kemudian berkata kepadanya,

“Bagaimana kondisi penduduk negerimu saat engkau meninggalkannya, wahai Abu Bakar?.”

“Aku tinggalkan mereka dalam kondisi kezhaliman meraja lela terhadap mereka dan kamu lalai terhadap mereka.” Katanya. Karena ucapan ini, anak saudaranya memberikan isyarat dengan pundaknya. Lalu beliau menoleh ke arahnya sembari berkata, “Engkau bukanlah orang yang kelak akan dipertanyakan tentang mereka tetapi akulah orang yang akan dipertanyakan itu. Ini adalah persaksian, siapa yang menyembunyikannya, maka hatinya berdosa.” (dengan mengutip untaian ayat 283 surat al-Baqarah)

 Ketika pertemuan itu bubar, ‘Umar bin Hubairah mengucapkan selamat berpisah kepadanya dengan perlakuan yang sama saat menyambutnya, yaitu dengan penuh kehangatan dan penghormatan.

 Bahkan dia memberikannya sebuah kantong berisi uang 3000 dinar, namun Ibn Sirin tidak mengambilnya.

 Karena penolakan itu, anak saudaranya berkata kepadanya,

“Apa sih yang menyebabkanmu tidak mau menerima pemberian Amir?.”

“Dia memberiku karena baik sangkanya terhadapku. Jika aku benar termasuk orang-orang yang baik sebagaimana sangkaannya, maka tidaklah pantas bagiku untuk menerimanya. Bila aku tidak seperti yang disangkanya itu, maka adalah lebih pantas lagi bagiku untuk tidak membolehkan menerima itu.”

 Sudah menjadi kehendak Allah untuk menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin. Karena itu, Dia mengujinya dengan ujian yang biasa dihadapi oleh orang-orang beriman.

 Di antaranya, bahwa suatu hari beliau membeli minyak secara kredit dengan harga 40.000 dinar. Tatkala dia membuka salah satu tutupan wadah minyak yang terbuat dari kulit itu, dia mendapatkan seekor tikur yang mati dan sudah membusuk. Beliau berkata di dalam hatinya, “Sesungguhnya semua minyak ini berasal dari satu tempat penyaringan. Najis yang ada bukan hanya ada di dalam satu wadah ini saja. Jika, aku kembalikan kepada si penjual karena alasan ada aibnya, barangkali saja dia akan menjualnya lagi kepada orang lain.” Kemudian beliau menumpahkan semuanya.

Hal itu terjadi di saat beliau mengalami kerugian besar sehingga dililit hutang. Ketika pemilik minyak itu menagih uangnya, beliau tidak dapat mengembalikannya.

Maka, masalah itupun diadukan kepada penguasa di sana yang lalu memerintahkan agar mengurung beliau hingga mampu membayar hutang tersebut.

Ketika berada di penjara dan mendekam di situ beberapa lama, sipir penjaga penjara merasa kasihan terhadapnya karena mengetahui betapa kemapanan ilmu agamanya, kewara’annya yang amat berlebihan serta ibadahnya yang demikian panjang. Maka berkatalah sipir itu kepadanya,

“Wahai tuan guru, bilamana sudah malam, silahkan engkau kembali ke keluargamu dan bermalamlah bersama mereka. Bila sudah pagi, maka kembalilah ke sini. Teruslah demikian hingga engkau dibebaskan.”

Beliau menjawab,

“Demi Allah, hal ini tidak akan pernah aku lakukan.”

“Kenapa? Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu.” Tanya sipir

“Yah, hingga aku tidak terlibat dalam bertolong-tolong atas pengkhiatan terhadap penguasa negeri ini.”

 Ketika Anas bin Malik RA., dekat ajalnya, dia berwasiat agar yang memandikan dan mengimami shalat atasnya adalah Muhammad bin Sirin yang saat itu masih di penjara.

 Tatkala Anas wafat, orang-orang mendatangi penguasa itu dan memberitakannya perihal wasiat shahabat Rasulullah SAW., dan Khadim-nya tersebut, lalu mereka meminta izinnya agar membiarkan Muhammad bin Sirin ikuat bersama mereka untuk merealisasikan wasiat itu, maka sang penguasa pun mengizinkannya.

 Lantas berkatalah Muhammad bin Sirin kepada mereka,

“Aku tidak akan keluar hingga kalian meminta izin juga kepada si tukang minyak sebab aku dipenjara hanya karena ada hutang yang aku harus bayar kepadanya.” Maka si tukang minyakpun mengizinkannya juga.

 Ketika itulah, beliau keluar dari penjara, kemudian memandikan dan mengkafani Anas RA. Setelah itu, dia kembali ke penjara sebagaimana biasanya dan tidak sempat menjenguk keluarganya sendiri.

 Muhammad bin Sirin mencapai usia 77 tahun. Tatkala kematian menjemputnya, dia mendapatkan dirinya sudah enteng karena tidak memikul beban duniawi lagi namun memiliki bekal yang banyak untuk kehidupan setelah kematian.

 Hafshoh bintu Rasyid yang merupakan salah seorang wanita ahli ‘ibadah bercerita,

“Adalah Marwan al-Mahmaly tetangga kami. Dia seorang ahli ibadah dan pegiat dalam berbuat ta’at. Ketika dia wafat, kami sedih luar biasa. Di dalam tidur aku bermimpi melihatnya, lalu aku bertanya kepadanya,

Wahai Abu ‘Abdillah, apa yang diperbuat Rabbmu terhadapmu.?’
‘Dia telah memasukkanku ke dalam surga.’jawabnya
‘Lalu apa lagi?.’ Tanyaku
‘Lalu aku dinaikkan untuk bertemu Ash-habul Yamin (Golongan kanan, ahli surga).’jawabnya lagi
‘Kemudian apa lagi.?’ Tanyaku lagi
‘Kemudian aku dinaikkan lagi untuk bertemu al-Muqarrabun (Generasi awal).’ Jawabnya lagi
‘Siapa saja yang engkau lihat ada di sana.?’ Tanyaku lagi
‘Ada al-Hasan al-Bashary dan Muhammad bin Sirin…’ Jawabnya.

Category: ,

About wandibudiman.blogspot.com:
Blog ini merupakan blog yang dikelola oleh Wandi Budiman, seorang manusia lemah yang selalu mencari keridhaan dari Tuhannya (Allah swt). Terimaksih sudah berkunjung ke Blog ini Semoga apa yang sudah di posting di Blog ini menjadi Sesuatu yang bermanfaat.Amin..

0 komentar