SA’AD
BIN ABI WAQQASH
SINGA
YANG MENYEMBUNYIKAN KUKUNYA. Lanjutan....
Pesan
dari Umar dilaksanakan oleh Sa’ad. Dikirimnya serombongan di antara
shahabat-shahabatnya sebagai utusan kepada Rustum panglima tentara Persia untuk
menyerunya iman kepada Allah dan Agama Islam.
Soal
jawab di antara mereka dengan Panglima Persi itu berlangsung lama, dan akhirnya
mereka tidak diperbolehkan lagi berbicara, karena salah seorang di antara
mereka mengatakan:
“Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebas kan
hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari pemujaan berhala kepada pengabdian
terhadap Allah Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia kepada keluasaannya, dan
dari kedhaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam …. Maka siapa-siapa yang
bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami biarkan
mereka. Tetapi siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka hingga kami
mencapai apa yang telah dijanjikan Allah … ! ” “Apa janji yang telah dijanjikan
Allah itu?” tanya Rustum. Jawab pembicara: “Surga bagi kami yang mati syahid,
dan kemenangan bagi yang masih hidup . . .! “
Para
utusan kembali kepada panglima pasukan Islam Sa’ad dan menyampaikan bahwa tak ada pilihan lain
daripada perang. Dan airmata Sa’ad berlinang-linang …. la berharap seandainya
saat pertempuran itu dapat diundurkan atau dimajukan sedikit waktu. Ketika itu
ia sedang sakit parah hingga ia sulit untuk bergerak. Bisul-bisul bertonjolan
di sekujur tubuhnya hingga ia tak dapat duduk, apalagi akan menaiki punggung
kudanya dan menerjuni pertempuran yang sengit berkuah darah!
Seandainya
saat pecah perang itu terjadi sebelum ia jatuh ia akan menunjukkan prestasi
tinggi . . . . Adapun sekarang ini . . *. Tetapi tidak, Rasulullah saw. telah
mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya”, karena
kata-kata itu menunjukkan kelemahan, sedang orang Mu’min yang kuat tidak
kehabisan akal dan tidak pernah lemah!
Ketika
itu bangkitlah “singa yang menyembunyikan kukunya” itu, lalu berdiri di
hadapan tentara menyampaikan pidato dengan tak lupa mengutip ayat mulia berikut
ini:
Bis millahirrah ma nirrahim
Telah Kami cantumhan dalam Zabur setelah sebelumnya Kami
catat dalam (Lauh Mahfudh) peringatan bahwa: Bumi itu diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang shalih – . – .
(Q.S. 21 al-Ambiya:105)
Setelah
menyampaikan pidatonya Sa’ad melakukan shalat dhuhur bersama tentaranya,
kemudian sambil menghadap kepada mereka, ia mengucapkan takbir empat kali:
Allaahu Akbar , Allaahu Akbar . . . , Allaahu Akbar. . . , Allaahu Akbar ….
Alam
pun gemuruh dan bergema dengan suara takbir, dan sambil mengulurkan tangannya
kemuka bagai anak panah yang sedang melepas laju menunjuk ke arah musuh, Sa’ad
berseru kepada anak buahnya: “Ayohlah maju dengan barkat dari Allah … !”
Dengan
menabahkan diri menanggung sakit yang dideritanya, Sa’ad naik ke anjung rumah
yang ditinggalinya dan yang diambilnya sebagai markas komandonya. Sambil
telungkup di atas dadanya yang dialasi bantal sementara pintu anjung itu
terbuka lebar . . . . Sedikit saja serangan dari orang-orang Persi ke rumah
itu, akan menyebabkan panglima Muslimin jatuh ke tangan mereka, hidup atau mati
Tetapi ia tidak gentar dan tidak merasa takut ….
Bisul-bisul
pecah berletusan, tetapi ia tidak perduli, hanya terus berseru dan bertakbir
serta mengeluarkan perintah kepada anak buahnya:
“Majulah
ke kanan . . .”., dan kepada yang lain: “Tutup pertahanan sebelah kiri awas di depanmu hai Mughirah ke belakang
mereka hai Jarir pukul hai
Nu’man …. serbu hai Asy’ats . . , hantam hai Qa’qa’ majulah semua hai
shahabat-shahabat Muhammad saw …
Suaranya
yang berwibawa, penuh dengan kemauan dan semangat baja, menyebabkan
masing-masing prajurit itu berubah menjadi kesatuan yang utuh. Maka
berjatuhanlah tentara Persi, tak ubah bagai lalat-lalat yang berkaparan, dan
rubuhlah bersama mereka keberhalaan dan pemujaan api!
Dan
setelah melihat tewasnya panglima bestir dan prajurit prajurit pilihan mereka,
sisa-sisa musuh tunggang-langgang melarikan diri. Mereka dikejar dan dihalau
oleh tentara Islam sampai ke Nahawand lalu ke Mada-in. Ibu kota itu mereka
masuki untuk merampas kursi singgasana dan mahkota Kisra yang menjadi lambang
keberhalaan.
Di
pertempuran Mada-in Sa’ad mencapai prestasi tinggi . . . . Pertempuran ini
terjadi kira-kira dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah, sementara
perang berlangsung secara keeil-keeilan antara Persi dan Kaum Muslimin.
Akhirnya semua sisa tentara Persi ini berhimpun di kota-kota Mada-in saja,
bersiap-siap untuk menghadapi pertempuran terakhir dan menentukan….
Sa’ad
menyadari bahwa situasi medan dan musim menguntungkan pihak penentang Islam,
karena antara pasukannya dan Madain terbentang sungai Tigris yang lebar,
alirannya sangat deras karena sedang banjir meluap-luap.Walaupun demikian
dengan teguh hati ia tetap memutuskan untuk memulai serangan umum itu pada waktu
itu juga, dengan perhitungan bahwa mental pasukan musuh sedang menurun.
Nah,
di antaranya peristiwa inilah yang membuktikan bahwa Sa’ad betul-betul sebagai
dilukiskan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, “singa yang menyembunyikan kukunya”.
Keimanan sa’ad dan kepekatan hatinya akan tampak menonjol ketika menghadapi
bahaya, hingga dapat mengatasi barang mustahil berkat keberanian yang luar
biasa!
Demikianlah
Sa’ad mengeluarkan perintah kepada pasukannya untuk menyeberangi sungai
Tigris, dan disuruhnya menyelidiki yang dangkal dari sungai yang dapat
dijadikan tempat penyeberangan ini. Dan akhirnya mereka menemukan tempat
tersebut, walaupun untuk menyeberanginya tidak luput dari bahaya yang
mengancam.
Sebelum
tentara memulai penyeberangan, panglima besar Sa’ad menyadari pentingnya
pengamanan pinggiran seberang sungai yang hendak dicapai, yakni daerah yang ada
dalam kekuasaan dan pengawasan musuh.
Ketika
itu disiapkannya dua kompi tentara: Pertama yang dinamakannya “kompi sapu
jagat”, sebagai komandannya diangkatnya “Ashim bin ‘Amr. Dan yang kedua
disebutnya “kompi gerak cepat”, sebagai pemimpinnya diangkatnya Qa’qa bin ‘Amr.
Adapun
tugas dari kedua kompi ini ialah menerjuni bahaya dan menetas jalan yang aman
menuju pinggir sebelah musuh dan melindungi induk pasukan yang akan mengiringi
mereka dari belakang. Dan mereka telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran
yang mena’jubkan .. .
Hingga
siasat yang dilakukan Sa’ad ketika itu mencapai hasil yang mengagumkan bagi
para ahli sejarah, bahkan bagi diri
Sa’ad bin Abi Waqqash sendiri ….
Salman
al-Farisi, yakni teman dan kawan seperjuangannya dalam pertempuran itu, juga
hampir-hampir tak percaya akan hasil yang telah dicapai. la menepukkan kedua
belah tangannya karena ta’jub dan bangga, katanya:
“Agama Islam masih baru ….
Tetapi lautan telah dapat mereka taklukkan,
sebagai halnya daratan telah mereka kuasai ….
Demi Allah yang nyawa Salman berada dalam tangan Nya,
pastilah mereka akan dapat keluar dengan selamat daripadanya
berbondong-bondong, sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong bondong …
!”
Dan
benarlah apa yang dikatakannya itu ….
Sebagaimana
mereka telah terjun ke dalam sungai gelombang demi gelombang, demikianlah pula
mereka keluar dari dalamnya dan mencapai seberang sana gelombang demi gelombang
pula. Tak seorang pun dari mereka kehilangan prajurit, bahkan tak sedikit pun
tentara Persi yang mampu mengunjukkan giginya . .!
Mangkok
tempat minumannya seorang prajurit jatuh ke dalam air. Maka ia tak ingin jadi
satu-satunya orang yang kehilangan barang waktu penyeberangan itu. Kepada
teman-temannya diserukannya agar menolongnya untuk menclapatkan barang itu
kembali. Kebetulan suatu ombak besar melemparkan mangkok itu ke dekat
rombongan hingga dapat mereka pungut ….
Salah
satu riwayat tentang sejarah melukiskan bagaimana dahsyatnya suasana ketika
penyeberangan sungai Tigris itu, katanya:
“Sa’ad memerintahkan Kaum Muslimin agar membaca:
Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil — cukuplah bagi kita Allah, dan Dialah
sebaik-baik pemimpin — Lalu dikerahkanlah kudanya menerjuni sungai yang diikuti
oleh orang-orangnya, hingga tak seorang pun di antara anggota pasukan yang
tinggal di belakang.
Maka
berjalanlah mereka dalam air, tak ubah bagai berjalan di darat juga, hingga
dari pinggir yang satu ke pinggir lainnya telah dipenuhi oleh prajurit, dan
permukaan air tak kelihatan lagi disebabkan amat banyaknya anggota angkatan
berkuda serta pasukan pejalan kaki. Orang-orang bercakap-cakap sesamanya ketika
berada dalam air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di darat. Sebabnya
tidak lain karena mereka merasa aman tenteram, serta percaya akan ketentuan
Allah dan pertolongan-Nya, akan janji dan bantuan-Nya … ! “
Tatkala
Sa’ad diangkat Umar sebagai amir wilayah Irak, ia mulai melakukan pembangunan
dan perluasan kota. Kota Kufah diperbesar, dan diumumkanlah hukum Islam serta
dilaksanakan di daerah yang luas dan lebar itu.
Pada
suatu hari rakyat Kufah mengadukan Sa’ad sebagai wali negerinya kepada Amirul
Mu’minin, rupanya mereka sedang dipengaruhi oleh tabi’at yang mudah dihasut,
cepat resah, gelisah dan suka memberontak, hingga mereka mengemukakan tuduhan
yang bukan-bukan dan mentertawakan. Kata mereka: “Sa’ad tidak baik shalatnya …
! “
Mendengar
itu Sa’ad hanya tertawa terbahak-bahak, ujarnya:
“Demi
Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka sebagai
shalat Rasulullah, yaitu memanjangkan dua raka’at yang mula-mula dan
memendekkan dua raka’at yang akhir”.
Sa’ad
dipanggil Umar ke Madinah untuk menghadap. Sa’ad tidak marah, bahkan segera
dipenuhi panggilan itu secepatnya. Setelah beberapa lama, Umar bermaksud untuk
mengembalikannya ke Kufah, tapi sambil tertawa Sa’ad menjawab:
‘Apakah
anda hendak mengembalikan saya kepada kaum yang menuduh bahwa shalat saya tidak
baik … ?
Demikianlah
ia memilih tinggal di Madinah.
Ketika
Amirul Mu’minin dicederai orang, dipilihnyalah enam orang di antara
shahabat-shahabat Rasulullah saw. yang akan mengurus soal pemilihan khalifah
baru, dengan mengemukakan alasan bahwa keenam orang yang dipilihnya itu adalah
terdiri dari orang-orang yang diridlai Rasulullah saw. sewaktu beliau hendak
berpulang ke rahmatullah. Maka di antara shahabat yang berenam itu terdapatlah
Sa’ad bin Abi Waqqash. Bahkan dari kalimat-kalimat Umar yang akhir terdapat
kesan bahwa seandainya ia hendak memilih salah seorang di antara mereka, maka
pilihannya akan jatuh pada Sa’ad ….
sewaktu
memberi wasiat dan mengucapkan selamat perpisahan dengan shahabat-shahabatnya,
Umar berkata: “Jika khalifah dijabat oleh Sa’ad, demikianlah sebaiknya . . .!
Dan seandainya dijabat oleh lainnya, hendaklah ia menjadikan Sa’ad sebagai
pendampingnya … !”
Sa’ad
mencapai usia lanjut . . . dan tibalah saat terjadinya fitnah besar, dan Sa’ad
tak hendak mencampurinya, bahkan kepada keluarga dan putera-puteranya
dipesankan agar tidak menyampaikan suatu berita pun mengenai hal itu kepadanya.
Pada
suatu ketika perhatian orang sama-sama tertuju kepadanya, dan anak saudaranya
yang bernama Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash datang mendapatkannya, seraya
berkata: “Paman, di sini telah siap seratus ribu bilah pedang, yang menganggap
bahwa pamanlah yang lebih berhak mengenai urusan khilafah ini!”
Ujar
Sa’ad:
“Dari seratus ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah
pedang saja . I . , jika saya tebaskan kepada orang Mu’min maka takkan mempan
sedikit pun juga, tetapi bila saya pancungkan kepada orang kafir pastilah putus
batang lehernya … !”
Mendengar
jawaban itu anak saudaranya maklum akan maksudnya dan membiarkannya dalam sikap
damai dan tak hendak bercampur tangan.
Dan
tatkala akhirnya khilafah itu jatuh ke tangan Mu’awiyah dan kendali kekuasaan
tergenggam dalam tangannya, ditanyakan kepada Sa’ad:
“Kenapa anda tidak ikut berperang di pihak kami?”
Ujarnya: “Saya sedang lewat di suatu tempat yang dilanda
taufan berkabut gelap. Maka kataku: Hai saudara …. hai saudaraku! Lalu saya
hentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali …”
Kata Mu’awiyah: “Bukankah dalam al-Quran tak ada: Hai
saudara, hai saudara! Hanya firman Allah Ta’ala:
Jika di antara orang-orang Mu’min ada dua golongan yang
berbunuhan, maka damaikanlah mereka! Seandainya salah satu di antara kedua
golongan itu berbuat aniaya kepada yang lain, maka perangilah yang berbuat
aniaya itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah. . .!
(Q.S.49 al-Hujurat:9)
Maka
anda bukanlah di pihak yang aniaya terhadap pihak yang benar, dan bukan pula di
pihak yang benar terhadap golongan yang aniaya … !”
Sa’ad
menjawab sebagai berikut:
“Saya
tak hendak memerangi seorang laki-laki — maksudnya Ali — yang mengenai dirinya
Rasulullah pernah bersabda:
Engkau
di sampingku, tak ubahnya seperti kedudukan Harun di samping Musa, tetapi
(engkau bukan Nabi) tak ada lagi Nabi sesudahku!”
Suatu
hari pada tahun 54 H, yakni ketika usia Sa’ad telah lebih dari 80 tahun . . . ,
ia sedang berada di rumahnya di ‘Aqiq, sedang bersiap-siap hendak menemui Allah
Ta’ala ….
Saatnya
yang akhir itu diceritakan puteranya kepada kita sebagai berikut:
“Kepala
bapakku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal itu. Aku menangis, maka
katanya: Kenapa kamu menangis wahai anakku . . . ? Sungguh Allah tiada akan
menghukumku . . . , dan sesungguhnya aku termasuk salah seorang penduduk surga
… !”
Kekebalan
imannya tak tergoyahkan oleh apapun juga, bahkan tidak oleh goncangan maut dan
kengeriannya! Bukankah Rasulullah saw. telah menyampaikan kabar gembira
kepadanya sedang ia iman dan percaya penuh akan kebenaran Rasulullah saw. itu!
Jadi apa yang akan ditakutkannya lagi … ?
“Sungguh,
Allah tiada akan menyiksaku dan Sungguh aku termasuk penduduk surga …
Hanya
ia hendak menemui Allah dengan membawa kenang-kenangan yang paling manis dan
mengharukan, yang telah menghubungkan dengan Agamanya dan mempertemukan dengan
Rasul-Nya …. Itulah sebabnya ia memberi isyarat ke arah peti simpanannya, yang
ketika mereka buka dan keluarkan isinya, ternyata sehelai kain tua yang telah
usang dan lapuk. Disuruhlah keluarganya mengafani mayatnya nanti dengan kain
itu, katanya:
“Telah
kuhadapi orang-orang musyrik waktu perang Badar dengan memakai kain itu dan
telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan seperti pada hari ini … ! “
Memang,
kain usang yang telah lapuk itu tak dapat dianggap sebagai kain biasa! Ia
adalah panji-panji yang senantiasa berkibar di puncak kehidupan tinggi dan
panjang yang dilalui pemiliknya dengan Lulus dan bariman serta gagah berani … !
Dan
sosok tubuh dari salah seorang yang terakhir meninggal di antara orang-orang
Muhajirin ini dipikul di atas pundak orangorang yang membawanya ke Madinah,
untuk ditempatkan dengan aman di dekat sekelompok tokoh-tokoh suci dari pars
shahabat yang telah mendahuluinya menemui Allah, dan jasadjasad mereka yang
dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan tempatnya di bumi dan tanah Baqi’.
Selamat
jalan wahai Sa’ad …
Selamat
jalan wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Madain dan pemadam api pujaan di Persi
untuk selama-lamanya … !
*******
ditukil dari Khalid Muh. Khalid,
Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung
Wallahu ‘Alam [Sahabat Nabi]
SA’AD
BIN ABI WAQQASH
SINGA
YANG MENYEMBUNYIKAN KUKUNYA.
Berita
yang datang secara beruntun menyatakan serangan licik yang dilancarkan oleh
angkatan bersenjata Persi terhadap Kaum Muslimin, amat menggelisahkan hati
Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab …. Disusul kemudian dengan berita tentang
pertempuran Jembatan, di mana empat ribu orang pihak-Kaum Muslimin gugur
sebagai syuhada dalam waktu sehari, begitu pun pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh orang-orang Irak terhadap perjanjian-perjanjian yang mereka
perbuat, Berta ikrar Yang telah mereka akui . . . , menyebabkan khalifah
mengambil keputusan untuk pergi dan memimpin sendiri tentara Islam dalam
perjuangan bersenjata yang menentukan, melawan Persi.
Bersama
beberapa orang shahabat dan dengan menunggang kendaraan, berangkatlah ia dengan
meninggalkan Ali karamallahu wajhah di Madinah sebagai wakilnya. Tetapi belum
berapa jauh dari kota, sebagian anggota rombongan berpendapat dan mengusulkan
agar ia kembali dan memilih salah seorang di antara Para shahabat untuk
melakukan tugas tersebut.
Usul
ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin ‘Auf yang menyatakan bahwa menyia-nyiakan
nyawa Amirul Mu’minin dengan cara seperti ini, sementara. Islam sedang
menghadapi hari-harinya Yang menentukan, adalah perbuatan yang keliru.
Umar
pun menyuruh Kaum Muslimin berkumpul untuk bermusyawarah dan diserukanlah
“Asshalata jami’ah “; sementara Ali dipanggil datang, yang bersama beberapa
orang penduduk
Madinah
berangkat menuju tempat perhentian Amirul Mu’minin. Akhirnya tercapailah
persetujuan sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, dan
peserta musyawarah memutuskan agar Umar kembali ke Madinah dan memilih seorang
panglima lain yang akan memimpin peperangan menghadapi Persi.
Amirul
Mu’minin tunduk pada keputusan ini, lalu menanyakan kepada para shahabat,
siapa kiranya orang yang akan dikirim ke Irak itu. Mereka sama tertegun dan
berfikir. Tiba-tiba berserulah Abdurrahman bin ‘Auf: “Saya telah menemukannya
…!””Siapa dia?” tanya Umar.
Ujar
Abdurrahman: “Singa yang menyembunyikan kukunya, yaitu Saad bin Malik
az-Zuhri!”
Pendapat
ini disokong sepenuhnya oleh Kaum Muslimin, dan Amirul Mu’minin meminta datang
Sa’ad bin Malik az-Zuhri yang tiada lain Sa’ad bin Abi Waqqash. Lalu
diangkatnya sebagai Amir atau gubernur militer di Irak yang bertugas mengatur
pemerintahan dan sebagai panglima tentara.
Nah,
siapakah dia singa yang menyembunyikan kukunya itu, dan siapakah dia yang bila
datang kepada Rasulullah ketika berada di antara shahabat-shahabatnya, akan
disambutnya dengan ucapan selamat datang sambil bergurau, sabdanya: “Ini dia
pamanku … ! Siapa orang yang punya paman seperti pamanku ini … ?” Itulah dia
Sa’ad bin Abi Waqqash! Kakeknya ialah Uhaib, putera dari Manaf yang menjadi
paman dari Aminah ibunda dari Rasulullah saw.
Sa’ad
masuk Islam selagi berusia 17 tahun, dan keislamannya termasuk yang terdahulu
di antara para shahabat. Hal ini pernah diceritakannya sendiri, katanya: “Pada
suatu saat saya beroleh kesempatan termasuk tiga orang pertama yang masuk
Islam”. Maksudnya bahwa ia adalah salah seorang di antara tiga orang yang
paling dahulu masuk Islam.
Maka
pada hari-hari pertama Rasulullah menjelaskan tentang Allah Yang Esa dan tentang
Agama baru yang dibawanya, dan sebelum beliau mengambil rumah al-Arqam untuk
tempat pertemuan dengan shahabat-shahabatnya yang telah mulai beriman, Sa’ad
bin Abi Waqqash telah mengulurkan tangan kanannya untuk bai’at kepada
Rasulullah saw.
Sementara
itu buku-buku tarikh dan riwayat menceritakan kepada kita bahwa ia termasuk
salah seorang yang masuk Islam bersama dan atas hasil usaha Abu Bakar. Boleh
jadi ia menyatakan keislamannya secara terang-terangan bersama orang-orang
yang dapat diyakinkan oleh Abu Bakar, yaitu Utsman bin ‘Affan, Zubair bin
Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dan ini tidak menutup
kemungkinan bahwa ia lebih dulu masuk Islam secara sembunyi-sembunyi.
Banyak
sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa’ad ini, yang dapat ditonjolkan dan
dibanggakannya. Tetapi di antara semua itu dua hal penting yang selalu menjadi
dendang dan senandungnya. Pertama: bahwa dialah yang mula-mula melepaskan anak
panah dalam membela Agama Allah, dan juga orang yang mula-mula terkena anak
panah. Dan kedua: bahwa dia merupakan satu-satunya orang yang dijamin oleh
Rasulullah dengan jaminan kedua orang tua beliau. Bersabdalah Rasulullah saw.
di waktu perang Uhud:
“Panahlah
hai Sa’ad! Ibu bapakku menjadi jaminan bagimu. . ..!”
Memang!
Kedua ni’mat besar ini selalu menjadi dendangan Sa’ad buah syukurnya kepada
Allah, katanya: “Demi Allah, sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah
di jalan Allah … !” Dan berkata pula Ali bin Abi Thalib: “Tidak pernah saya
dengar Rasulullah menyediakan ibu bapaknya sebagai jaminan seseorang, kecuali
bagi Sa’ad . . . Saya dengar beliau bersabda waktu Perang Uhud:
“Panahlah,
hai Sa’ad! Ibu bapakku menjadi jaminan
bagimu. . ..”
Sa’ad
termasuk seorang kesatria berkuda Arab dan Muslimin yang paling berani. la
mempunyai dua macam senjata yang amat ampuh: panahnya dan do’anya. Jika ia
memanah musuh dalam peperangan, pastilah akan mengenai sasarannya . . . , dan
jika ia menyampaikan suatu permohonan
kepada Allah pastilah dikabulkan-Nya . . .! Menurut Sa’ad sendiri dan juga
pars shahabatnya, hal itu adalah disebabkan do’a Rasulullah juga bagi
pribadinya. Pada suatu hari ketika Rasulullah menyaksikan dari Sa’ad sesuatu
yang menyenangkan dan berkenan di hati beliau, diajukannyalah do’a yang maqbul
ini:
“Ya
Allah, tepatkanlah bidikan panahnya dan kabulkanlah do’anya … ! “
Demikianlah
ia terkenal di kalangan saudara-saudara dan handai tolannya bahwa do’anya tak
ubah bagai pedang yang tajam. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh Sa’ad
sendiri, hingga ia tak hendak berdo’a bagi kerugian seseorang, kecuali dengan
menyerahkan urusannya kepada Allah Ta’ala. Sebagai contoh ialah peristiwa yang
diriwayatkan oleh ‘Amir bin Sa’ad:
“Sa’ad
mendengar seorang laki-laki memaki ‘Ali, Thalhah dan Zubair. Ketika
dilarangnya, orang itu tak hendak menurut, maka katanya: Walau begitu saya
do’akan kamu kepada Allah “. Ujar laki-laki itu: “Rupanya kamu hendak
menakut-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang Nabi . . . ‘Maka Sa’ad pun pergi
wudlu dan shalat dua raka’at. Lalu diangkatlah kedua tangannya, katanya: ‘Ya
Allah, kiranya menurut ilmu-Mu laki-laki ini telah memaki segolongan orang yang
telah beroleh kebaikan dari-Mu, dan tindakan mereka itu mengundang amarah
murka-Mu, maka mohon dijadikan hal itu sebagai pertanda dan suatu pelajaran … !
” Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari salah satu pekarangan rumah, muncul
seekor unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk ke dalam lingkungan orang
banyak seolah-olah ada yang dicarinya. Lalu diterjangnya laki-laki tadi dan
dibawanya ke bawah kakinya, serta beberapa lama menjadi bulan-bulanan injakan
dan sepakannya hingga akhirnya tewas menemui ajalnya … ! “
Kenyataan
ini pertama kali mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman dan
keikhlasannya yang mendalam. Begitu pula Sa’ad, jiwanya adalah jiwa merdeka,
keyakinannya keras membaja serta keikhlasannya dalam dan tidak bernoda. Dan
untuk menopang ketaqwaannya ia selalu memakan yang halal, dan menolak dengan
keras setiap dirham yang mengandung syubhat.
Dalam
kehidupan akhirnya Sa’ad termasuk Kaum Muslimin yang kaya dan berharta. Waktu
wafat, ia meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tapi kalau biasanya harta
banyak dan harta halal jarang sekali dapat terhimpun, maka di tangan Sa’ad hal
itu telah terjadi. Ia dilimpahi harta yang banyak, yang baik dan yang halal
sekaligus.
Di
samping itu ia dapat dijadikan seorang mahaguru pula dalam coal membersihkan
harta. Dan kemampuannya dalam mengumpulkan harta dari barang bersih lagi halal,
diimbangi — bahkan mungkin diatasi — oleh kesanggupan menafqahkannya di jalan
Allah.
Ketika
Hajji Wada’, Sa’ad ikut bersama Rasulullah saw. Kebetulan ia jatuh sakit, maka
Rasulullah datang menengoknya.
Tanya
Sa’ad: “Wahai Rasulullah, saya punya harta dan ahli warisku hanya seorang
puteri saja. Bolehkah saya shadaqahkan dua pertiga hartaku?” “Tidak “jawab
Nabi. “Kalau begitu, separohnya?”tanya Sa’ad pula. “Jangan”, ujar Nabi. “Jadi,
sepertiganya?” “Benar” ujar Nabi; dan sepertiga itu pun sudah banyak . .. ,
lebih baik anda meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu daripada
membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya kepada orang lain.
Dan setiap nafqah yang anda keluarkan dengan mengharap keridlaan Allah,
pastilah akan diberi ganjaran,bahkan walau sesuap makanan yang ands taruh di
mulut isteri ands!”.
Beberapa
lama Sa’ad hanya mempunyai seorang puteri. Tetapi setelah peristiwa di atas, ia
beroleh lagi beberapa orang putera. Karena takutnya kepada Allah, Sa’ad sering
menangis. Jika didengarnya Rasulullah berpidato dan menasihati ummat, air
matanya bercucuran hingga membasahi haribaannya. la adalah seorang shahabat
yang diberi ni’mat taufiq dan diterima ‘ibadahnya.
Pada
suatu hari ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabat,
tiba-tiba beliau menatap dan menajamkan pandangannya ke arah ufuk bagai
seseorang yang sedang menunggu bisikan atau kata-kata rahasia. Kemudian beliau
menoleh kepada para shahabat, sabdanya:
“Sekarang
akan muncul di hadapan tuan-tuan seorang lakilaki penduduk surga “.
Para
shahabat pun nengok kiri kanan dan ke setiap arah untuk melihat siapakah
kiranya orang berbahagia yang beruntung beroleh taufiq dan karunia itu. Dan
tidak lama antaranya muncullah di hadapan mereka Sa’ad bin Abi Waqqash ….
Selang
beberapa lama, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash datang kepadanya meminta jasa baiknya
dan mendesak agar menunjukkan kepadanya jenis ibadat dan amalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, yang menyebabkannya berhak menerima ganjaran
tersebut yang telah diberitakan sehingga menjadi daya tarik untuk
mengerjakannya:
Maka ujar Sa’ad: “Tak lebih dari amal ibadat yang biasa
kita kerjakan, hanya saja saya tak pernah menaruh dendam atau niat jahat
terhadap seorang pun di antara Kaum Muslimin!”
Nah,
itulah dia “singa yang selalu menyembunyikan kukunya” yang diungkapkan oleh
Abdurrahman bin ‘Auf.
Dan
inilah tokoh yang dipilih Umar untuk memimpin pertempuran Qadisiyah yang
dahsyat itu! Kenapa memilihnya untuk melaksanakan tugas yang paling rumit yang
sedang dihadapi Islam dan Kaum Muslimin, karena keistimewaannya terpampang
jelas di hadapan Amirul Mu’minin:
— Ia adalah
orang yang maqbul do’anya … ; jika ia memohon diberi kemenangan oleh Allah,
pastilah akan dikabulkan-Nya!
— la seorang
yang hati-hati dalam makan, terpelihara lisan dan suci hatinya.
— Salah seorang
anggota pasukan berkuda di perang Badar, di perang Uhud, pendeknya di setiap
perjuangan bersenjata yang diikutinya bersama Rasulullah saw….
— Dan satu lagi
yang tak dapat dilupakan oleh Umar, suatu keistimewaan yang tak dapat diabaikan
harga, nilai dan kepentingannya, serta harus dimiliki oleh orang yang hendak
melakukan tugas penting, yaitu kekuatan dan ketebalan iman.
Umar
tidak lupa akan kisah Sa’ad dengan ibunya sewaktu ia masuk Islam dan mengikuti
Rasulullah ….Ketika itu segala usaha ibunya untuk membendung dan menghalangi
puteranya dari Agama Allah mengalami kegagalan. Maka ditempuhnya segala jalan
yang tak dapat tidak, pasti akan melemahkan semangat Sa’ad dan akan membawanya
kembali ke pangkuan agama berhala dan kepada kaum kerabatnya.
Wanita
itu menyatakan akan mogok makan dan minum, sampai Sa’ad bersedia kembali ke
agama nenek moyang dan kaumnya. Rencana itu dilaksanakannya dengan tekad yang
luar biasa, ia tak hendak menjamah makanan atau minuman hingga hampir menemui
ajalnya.
Tetapi
Sa’ad tidak terpengaruh oleh hal tersebut, bahkan ia tetap pada pendiriannya,
ia tak hendak menjual Agama dan keimanannya dengan sesuatu pun, bahkan walau
dengan nyawa ibunya sekalipun.
Ketika
keadaan ibunya telah demikian gawat, beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad
kepadanya untuk menyaksikannya kali yang terakhir, dengan hadapan hatinya akan
menjadi lunak jika melihat ibunya dalam sekarat. Sesampainya di sana, Sa’ad
menyaksikan suatu pemandangan yang amat menghancurkan hatinya yang bagaikan
dapat menghancurkan baja dan meluluhkan batu karang ….
Tapi
keimanannya terhadap Allah dan Rasul mengatasi baja dan batu karang mana pun
juga. Didekatkan wajahnya ke wajah ibunya, dan dikatakannya dengan suara kerns
agar kedengaran olehnya:
“Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda seandainya bunda
mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu per satu, tidaklah anakanda akan
meninggalkan Agama ini walau ditebus dengan apa pun juga . . .! Maka
terserahlah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak … !”
Akhirnya
ibunya mundur teratur, dan turunlah wahyu menyokong pendirian Sa’ad serta
mengucapkan selamat kepadanya, sebagai berikut:
Dan seandainya kedua orang tun memaksamu untuh mempersehutukan
Ahu, padahal itu tidak sesuai dengan pendapatmu, maka janganlah kamu mengikuti
kedua‑
(Q.S. 31 Luqman: 15)
Nah,
tidakkah ini betul-betul singa yang menyembunyikan kukunya … ?
Jika
demikian halnya, pantaslah Amirul Mu’minin dengan hati tenang memancangkan
panji-panji Qadisiyah di tangan kanannya, dan mengirimnya untuk menghalau
pasukan Persi yang tidak kuiang jumlahnya dari seratus ribu prajurit yang
terlatih dan diperlengkapi dengan senjata dan alat pertahanan yang paling
ditakuti dunia waktu itu, dipimpin oleh otak-otak perang yang paling jempol,
dan ahli-ahli siasatnya yang paling cerdik dan licik … !
Memang,
kepada tentara musuh yang menakutkan inilah Sa’ad datang dengan membawa
tigapuluh ribu mujahid, tidak lebih . . .; di tangan masing-masing tergenggam
panah dan tumbak. Hanya sernata-mata panah dan tombak . . . tetapi dalam dada
menyala kemauan dari Agama baru, yang membuktikan keimanan, kehangatan, serta
kerinduan yang luar biasa terhadap maut dan mati syahid …
Dan
kedua pasukan itu pun bertemulah. Tetapi
belum, mereka belum lagi bertempur. Di sana Sa’ad masih menunggu bimbingan dan
pengarahan dari Amirul Mu’minin Umar . . . . Di bawah ini tertera surat Umar
yang memerintahkannya segera berangkat ke Qadisiyah, yang merupakan pintu
gerbang memasuki Persi, ditancapkannya dalam hatinya kalimat berharga yang
semuanya merupakan petunjuk dan cahaya:
“Wahai Sa’ad bin Wuhaib! Janganlah anda terpedaya di
hadapan Allah, mentang-mentang dikatakan bahwa anda adalah paman dan shahabat
Rasulullah! Sungguh, tak ada hubungan keluarga antara seseorang dengan Allah
kecuali dengan mentaati-Nya! Semua manusia baik yang mulia maupun yang hina,
pada pandangan Allah serupa tidak berbeda . . . . Allah Tuhan mereka, sedang
mereka hambaNya . .. Mereka berlebih berkurang dalam kesehatan, dan akan
beroleh karunia yang tersedia di sisi Allah dengan ketaatan. Maka perhatikanlah
segala sesuatu yang pernah anda lihat pada Rasulullah saw. semenjak ia diutus
sampai meninggalkan kita dan pegang teguhlah, karena itulah yang harus diikuti
… ! “
Kemudian
katanya pula:
“Tulislah kepadaku segala hal ikhwal tuan-tuan bagaimana
kedudukan tuan-tuan, dan di mana pula posisi musuh terhadap tuan-tuan . .. ,
terangkan sejelas-jelasnya, hingga seolah-olah aku menyaksikan sendiri keadaan
tuan-tuan … ! “
Sa’ad
pun menulis surat kepada Amirul Mu’minin dan menuliskan segala sesuatu, hingga
hampir saja diterangkannya tempat dan posisi setiap prajurit secara terperinci.
Sa’ad
telah sampai di Qadisiyah, sementara seluruh tentara dan rakyat Persia
berhimpun, sesuatu hal yang tak pernah mereka lakukan selama ini. Kendali
pimpinannya dipegang oleh panglimanya yang ulung dan paling terkenal, yaitu
Rustum.
Sebagai
balasan surat dari Sa’ad yang baru dikirimnya, Amirul Mu’minin menulis:
“Sekali-kali janganlah anda gentar mendengar berita dan persiapan
mereka! Bermohonlah kepada Allah dan tawakkallah kepada-Nya! Dan kirimlah
sebagai utusan, orang-orang yang cerdas dan tabah untuk menyeru mereka ke jalan
Allah . . .! Dan tulislah surat kepadaku setiap hari … !”
Kembali
Sa’ad mengirim surat kepada Amirul Mu’minin, menyampaikan bahwa Rustum telah
menduduki Sabath dengan mengerahkan pasukan gajah dan berkudanya, dan mulai
bergerak menuju Kaum Muslimin . . . . Balasan dari Umar datang yang isinya
memberi petunjuk dan menabahkan hati Sa’ad.
Sa’ad
bin Abi Waqqash seorang anggota pasukan berkuda yang ulung dan gagah berani,
paman Rasulullah dan termasuk golongan yang mula pertama masuk Islam, pahlawan
dari berbagai perjuangan bersenjata, pancungan dan panahnya yang tak pernah
meleset, sekarang tampil mengepalai tentaranya dalam menghadapi salah satu
peperangan terbesar dalam sejarah, tak ubahnya bagi seorang prajurit biasa … ! Baik kekuatan maupun kedudukannya
sebagai pemimpin, tidak mampu mempengaruhi dan memperdayakan dirinya untuk
mengandalkan pendapatnya semata. Tetapi ia selalu menghubungi Amirul Mu’minin
di Madinah yang jaraknya demikian jauh, dengan mengirimnya sepucuk surat tiap
hari untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat, padahal pertempuran besar itu
telah hampir berkecamuk ….
Sebabnya
tidak lain, ialah karena Sa’ad ma’lum bahwa di Madinah, Umar tidaklah
mengemukakan pendapatnya semata atau mengambil keputusan seorang diri . . . ,
tetapi tentulah ia akan bermusyawarah dengan orang-orang di sekelilingnya dan
dengan shahabat-shahabat utama Rasulullah. Dan bagaimana juga gawatnya suasana
perang, Sa’ad tak hendak kehilangan barqah dan manfa’atnya musyawarah, baik
bagi dirinya maupun bagi tentaranya, apalagi ia tabu benar bahwa di pusat
komando itu pimpinannya langsung dipegang Umar al-Faruk, pembangkit ilham atau
inspirasi agung ….
*******
ditukil dari Khalid Muh. Khalid,
Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung
Baca
Selanjutnya. SA’AD BIN ABI WAQQASH SINGA YANG MENYEMBUNYIKAN KUKUNYA. BAG(2)
ABDULLAH BIN UMAR
TEKUN BERIBADAH DAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH. Lanjutan
Bagi
Ibnu Umar harta itu adalah sebagai pelayan, dan bukan sebagai tuan atau
majikan! Harta hanyalah alat untuk mencukupi keperluan hidup dan bukan untuk
bermewah-mewahan. Dan hartanya itu bukanlah miliknya semata, tapi padanya ada
bagian tertentu haq fakir miskin, jadi merupakan hak yang serupa tak ada hak
istimewa bagi dirinya.
Kedermawanan
yang tidak terbatas ini disokong oleh sifat zuhudnya. Ibnu Umar tak hendak
membanting tulang dalam mencari dan mengusahakan dunia. Harapan dari dunia itu
hanyalah hendak mendapatkan pakaian sekedar penutup tubuhnya dan makanan
sekedar penunjang hidup.
Salah
seorang shahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan sehelai baju
halus yang indah kepadanya, serta katanya: “Saya bawa baju ini dari Khurasan
untukmu! Dan alangkah senangnya hatiku melihat kamu menanggalkan pakaianmu
yang kasar ini, lalu menggantinya dengan baju baru yang indah ini!”
“Coba
lihat dulu”, jawab Ibnu Umar. Lalu dirabanya baju itu dan tanyanya: “Apakah ini
sutera?” “Bukan”, ujar kawannya itu, “itu hanya katun”. Ibnu Umar mengusap-usap
baju itu sebentar, kemudian diserahkannya kembali, katanya: “Tidak, saya
khawatir terhadap diriku … ! Saya takut ia akan menjadikan diriku sombong dan
megah, sedang Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah diri … I “
Pada
suatu hari, seorang shahabat memberinya pula sebuah kotak yang berisi penuh.
“Apa
isinya ini … ?”, tanya Ibnu Umar.
Jawab
shahabatnya: “Suatu obat istimewa, saya bawa untukmu dari Irak!”
“Obat
untuk penyakit apa”, tanya Ibnu Umar pula.
“Obat
penghancur makanan untuk membantu pencernaan”.
Ibnu
Umar tersenyum, katanya kepada shahabat itu: “Obat penghancur makanan . . . ? Selama
empat puluh tahun ini saya tak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang …
!”
Nah,
seseorang yang tak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun bukanlah
maksudnya hendak menjauhi ke kenyangan itu semata, tetapi pastilah karena zuhud
dan wara’- nya, serta usahanya hendak mengikuti jejak langkah Rasulullah dan
bapaknya! Ia cemas akan dihadapkan pada hari qiamat dengan pertanyaan sebagai
berikut: Telah kamu habiskan segala keni’matan di waktu hidupmu di dunia, kamu
bersenang-senang dengannya! Ia menyadari bahwa di dunia ini ia hanyalah tamu
atau seorang musafir lalu . . . Dan pernah ia berceritera tentang dirinya,
katanya: “Tak pernah saya membuat tembok dan tidak pula menanam sebatang kurma
semenjak wafatnya Rasulullah saw.
Berkata
Maimun bin Mahran: “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga
barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar . . . ,
pendeknya apa juga yang terdapat di sana, maka saya dapati harganya tidak
sampai seratus dirham . . . !” Dan demikian itu bukanlah karena kemiskinan,
karena Ibnu Umar adalah seorang kaya … ! Bukan pula karena kebakhilan, karena
ia seorang pemurah dan dermawan . . .! Sebabnya tidak lain hanyalah karena ia
seorang zahid tidak terpikat oleh dunia, tidak suka hidup mewah dan tak senang
menyimpang dari kebenaran dan keshalihan dalam menempuh hidup ini.
Ibnu
Umar dikaruniai umur panjang dan mengalami masa Bani Umaiyah, di mana harta
melimpah ruah, tanah tersebar luas dan kemewahan meraja-lela di kebanyakan
rumah, bahkan katakanlah di mahligai-mahligai dan istana-istana . . .! Tapi
walau demikian, namun gunung yang mulia ini tetap tegak dan tak tergoyahkan,
tak hendak beranjak dari tempatnya dan tak hendak bergeser dari sifat wara’ dan
zuhudnya.
Dan
bila disebut orang kebahagiaan dunia dan kesenangannya yang dihindarinya itu,
ia berkata: “Saya bersama shahabat-shahabatku telah sama sepakat atas suatu
perkara, dan saya khawatir jika menyalahi mereka, takkan bertemu lagi dengan
mereka untuk selama-lamanya
Dan
kepada yang lain diberitahukannya bahwa ia meninggalkan dunia itu bukanlah
disebabkan ketidak mampuan; ditadahkannya kedua tangannya ke langit, katanya;
“Ya Allah, Engkaumengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu,
tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan
dunia ini. .
Benar
… ! Seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentulah ia akan ikut merebut dunia
dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi ia tidak perlu berebutan, karena dunia
datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan dan daya
perangsangnya….
Adakah
lagi yang lebih menarik dari jabatan khalifah? Berkali-kali jabatan itu
ditawarkan kepada Ibnu Umar, tetapi ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam
jika tak mau menerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya
semakin kerns lagi …
Berceritakan
Hasan r.a.:
“Tatkala Utsman bin Affan dibunuh orang, ummat
mengatakan kepada Abdullah bin Umar: “Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah,
agar kami minta orang-orang bai’at pada anda!’ Ujarnya: ‘Demi Allah? seandainya
dapat, janganlah ada walau setetes darah pun yang tertumpah disebabkan daku!’
Kata mereka pula: ‘Anda harus keluar! Kalau tidak akan kami bunuh di tempat
tidurmu!’ Tetapi jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama.
Demikianlah mereka membujuk dan mengancamnya, tetapi tak satu pun hasil yang
mereka peroleh . . . .!”
Dan
setelah itu, ketika masa telah berganti masa dan fitnah telah menjadi-jadi,
Ibnu Umar tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar
sedia menerima jabatan khalifah dan mereka akan bai’at kepadanya, tetapi ia
selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya masalah yang ditujukan
kepada Ibnu Umar. Tetapi ia mempunyai logika dan alasan pula.
Sebagai
dimaklumi setelah terbunuhnya Utsman r.a. keadaan tambah memburuk dan
berlarut-larut yang akan membawa bencana dan malapetaka. Dan walaupun ia tidak
mempunyai ambisi untuk jabatan khalifah tersebut, tetapi Ibnu Umar bersedia
memikul tanggung jawab dan menanggung resikonya dengan syarat ia dipilih oleh
seluruh Kaum Muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika bai’at
itu dipaksakan oleh sebagian atas lainnya di bawah ancaman pedang, maka inilah
yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar, dan la menolak jabatan khalifah yang
dicapai dengan cara seperti itu.
Dan
ketika itu, syarat tersebut tidaklah mungkin. Bagaimanapun kebaikan Ibnu Umar
dan kekompakan Kaum Muslimin dalam mencintai dan menghormatinya, tetapi luasnya
daerah dan letaknya yang berjauhan, di samping pertikaian yang sedang
berkecamuk di antara Kaum Muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah kepada
beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata, maka suasana
tidaklah memungkinkan tercapainya konsensus atau persesuaian yang diharapkan
oleh Ibnu Umar itu.
Seorang
laki-laki mendatanginya pada suatu hari, katanya: “Tak seorang pun yang lebih
buruk perlakuannya terhadap ummat manusia daripadamu !”
“Kenapa
? , ujar Ibnu Umar;”demi Allah, tak pernah saya menumpahkan darah mereka,
tidak pula berpisah dengan jama’ah mereka apalagi memecah-belah kesatuan
mereka!”
Kata
laki-laki itu pula: “Andainya kamu mau, tak seorang pun yang akan menentang … !
Jawab
Ibnu Umar: “Saga tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang
lainnya tidak!”
Bahkan
setelah peristiwa berkembang sedemikian rupa, dan kedudukan Muawiyah telah
kokoh, dan setelah itu beralih pula kepada puteranya Yazid . . . , lalu
Muawiyah II putera Yazid setelah beberapa hari menduduki jabatan khalifah
meninggalkannya karena tidak menyukainya. Sampai saat itu Ibnu Umar telah
menjadi seorang tun berusia lanjut, ia masih menjadi harapan ummat untuk
jabatan tersebut. Marwan datang kepadanya, katanya: “Ulurkanlah tangan anda
agar kami bai’at! Anda adalah pemimpin Islam dan putera dari pemimpinnya!”
Ujar
Ibnu Umar: “Apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?”
“Kita
gempur mereka sampai mau bai’at!”
“Demi
Allah,”ujar Ibnu Umar Pula: “saya tak sudi dalam umur saya yang tujuh puluh
tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan saya …
Marwanpun
pergi berlalu sambil berdendang:
“Api
fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila,
Dan
kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa”.
Yang
dimaksud dengan Abu Laila ialah Muawiyah bin Yazid.
Penolakan
untuk menggunakan kekerasan dan alat senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar
tak hendak campur tangan dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang
terjadi di antara pengikut Ali dan penyokong Muawiyah dengan mengambil
kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:
“siapa
yang berkata: ‘Marilah shalat!’ akan saya penuhi….
Dan
siapa yang berkata: ‘Marilah menuju kebahagiaan!’ akan saya turuti pula ….
Tetapi
siapa yang mengatakan: ‘Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!’
maka saya akan katakan tidak . . . .”
Hanya
dalam sikap netral dan tak hendak campur tangan ini, Ibnu Umar tak mau
membiarkan kebathilan. Telah lama sekali Mu’awiyah yang ketika itu berada di
puneak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan
membingungkannya, sampai-sampai Mu’awiyah mengancam akan membunuhnya. Padahal
dia selalu bersemboyan: “Seandainya di antaraku dengan seseorang ada hubungan
walau agak sebesar rambut, tidaklah ia akan putus … !”
Dan
pada suatu hari Hajjaj’) tampil berpidato, katanya: “Ibnu Zubair telah merubah
Kitabullah!”
Maka
berserulah Ibnu Umar menentangnya: “Bohong bohong . . . . , kamu bohong . ! “
Hajjaj
yang selama ini ditakuti oleh siapa pun juga, merasa terpukul mendapat serangan
tiba-tiba ….Tetapi kemudian dia melanjutkan pembicaraan dengan mengancamnya
akan memberi balasan yang seburuk-buruknya. Ibnu Umar mengacungkan tangannya ke
muka Hajjaj, dan di hadapan orang-orang yang sama terpesona dijawabnya: “Jika
ancamanmu itu kamu laksanakan, maka sungguh tak usah heran, kamu adalah
seorang diktator yang biadab!” Tetapi bagaimana juga keras dan beraninya,
sampai akhir hayatnya Ibnu Umar selalu ingin agar tidak terlibat dalam fitnah
bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada salah satu golongan ….
Berkatalah
Abul ‘Aliyah al-Barra:
“Pada suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar
tanpa diketahuinya. Maka saya dengar ia berbicara kepada dirinya: ‘Mereka
letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan
lalu berkata: “Hai Abdullah bin Umar ikutlah dan berikan bantuan . sungguh
sangat menyedihkan.”
la
amat menyesal dan duka melihat darah Kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya.
Dan sebagai kita baca dalam kata pengantar mengenai riwayatnya. ini, “tiadalah
ia hendak mernbangunkan orang Muslimin yang sedang tertidur”.
Dan
sekiranya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah tertumpah pastilah
akan dilakukannya, tetapi suasana ternyata tidak mengidzinkan, oleh sebab itu
dijauhinya.
Sebetulnya
hati kecilnya berpihak kepada Ali r.a., bahkan pada lahirnya Ibnu Umar yakin
bahwa Ali r.a. di pihak yang benar, hingga diriwayatkan bahwa setelah ia
menganalisa semua peristiwa dan situasi pada akhir hidupnya itu ia berkata:
“Tiada sesuatu pun yang saya sesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali suatu
hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali dalam memerangi golongan
pendurhaka . . .!”
Penolakannya
berperang di pihak Ali yang sebenarnya mempertahankan haq dan berada di pihak
yang benar, dilakukannya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan
diri, tetapi adalah karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah
itu, serta menghindari peperangan yang terjadi bukan di antara Muslim dengan
musyrik, tetapi antara sesama Muslimin yang saling menerkam saudaranya ….
Hal
itu dijelaskannya dengan gamblang ketika ia ditanyai oleh Nafi’: “Hai Abu
Abdurrahman, anda adalah putera Umar dan shahabat Rasulullah saw., dan anda
adalah serta anda . . .! Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak?” —
maksudnya membela Ali. Maka ujarnya:
“Sebabnya
ialah karena Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim!
Firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
Perangilah
mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu
semata ikhlas karena Allah. (Q.S. 2 al-Baqarah:
193).
Nah,
kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama itu
semata bagi Allah! Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang . . .? Saya telah
mulai berperang semenjak berhala-berhala masih memenuhi Masjidil Haram dari
pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari
bumi Arab … ! Sekarang, apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan “Lah
ilaaha illallaah”, tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah?”
Demikianlah
logika dan alasan dari Ibnu Umar, dan demikianlah pula keyakinan dan
pendiriannya! Jadi ia menghindari peperangan dan tak hendak turut mengambil
bahagian padanya, bukanlah karena takut atau hal-hal negatif lainnya, tetapi
adalah karena tak menyetujui perang saudara antara sesama ummat beriman, dan
menentang tindakan seorang Muslim yang menghunus pedang terhadap Muslim
lainnya.
Ibnu
Umar menjalani usia lanjut dan mengalami saat-saat dibukakannya pintu keduniaan
bagi Kaum Muslimin. Harta melimpah ruah,. jabatan beraneka ragam dan kehendak
serta keinginan berkobar-kobar. Tetapi kemampuan mentalnya yang luar biasa,
telah merubah khasiat zamannya!
Masa
yang penuh dengan segala macam keinginan, dengan fitnah dan harta benda itu,
dirubahnyalah bagi dirinya menjadi suatu masa yang diliputi oleh zuhud dan
keshalihan, kedamaian dan kesejahteraan yang dijalani oleh pribadi; tekun dan
melindungkan diri ini dengan segala keyakinan, telah dibentuk dan ditempa oleh
Agama Islam di masa-masa pertamanya yang gemilang dan tinggi menjulang itu, tidak
tergoyahkan sedikit pun juga.
Dengan
bermulanya masa Bani Umayah, corak kehidupan mengalami perubahan, suatu
perubahan yang tak dapat dielakkan. Masa itu boleh disebut sebagai masa
kelonggaran dalam segala hal, kelonggaran yang tidak Baja sesuai dengan keinginan
keinginan pemerintah, tetapi juga dengan keinginan-keinginan pribadi dan
golongan.
Dan
di tengah badai rangsangan masa yang terpukau oleh kelonggaran-kelonggaran itu,
oleh hasil perolehan dan kemegahannya, Ibnu Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya,
tidak menghiraukan semuanya itu, dengan melanjutkan pengembangan jiwanya yang
besar. Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya
sebagai diharapkannya, hingga orang-orang yang semata dengannya melukiskannya
sebagai berikut: “Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam keutamaan tak
ubahnya ia dengan Umar”.
Bahkan
ketika menyaksikan sifat dan akhlaqnya yang mengagumkan itu, mereka
membandingkannya dengan Umar, yaitu bapaknya yang berpribadi besar, kata
mereka:
“Umar hidup di suatu masa di mana banyak tokoh-tokoh yang
menjadi saingannya, tetapi Ibnu Umar hidup di suatu zaman, di mana tidak
ditemui yang menjadi tolak bandingannya … !”
Perbandingan
itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dima’afkan terhadap orang seperti Ibnu Umar
. . . . Adapun Umar, tak seorang pun dapat disejajarkan dengannya. Tak mungkin
ada bandingannya di setiap masa dari kaum mana pun juga!
Suatu
hari dari tahun 73 H . . . , ketika sang surya telah condong ke Barat hendak
memasuki peraduannya, salah sebuah kapal keabadian telah mengangkat jangkar dan
mulai berlayar, bertolak menuju rafiqul a’la di alam barzakh, dengan membawa
suatu sosok tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di
Mekah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Khatthab - ...!
******
ditukil dari Khalid Muh. Khalid,
Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung
Wallahu ‘Alam [Sahabat Nabi]