ABDULLAH BIN UMAR TEKUN BERIBADAH KEPADA ALLAH BAG(2)
ABDULLAH BIN UMAR
TEKUN BERIBADAH DAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH. Lanjutan
Bagi
Ibnu Umar harta itu adalah sebagai pelayan, dan bukan sebagai tuan atau
majikan! Harta hanyalah alat untuk mencukupi keperluan hidup dan bukan untuk
bermewah-mewahan. Dan hartanya itu bukanlah miliknya semata, tapi padanya ada
bagian tertentu haq fakir miskin, jadi merupakan hak yang serupa tak ada hak
istimewa bagi dirinya.
Kedermawanan
yang tidak terbatas ini disokong oleh sifat zuhudnya. Ibnu Umar tak hendak
membanting tulang dalam mencari dan mengusahakan dunia. Harapan dari dunia itu
hanyalah hendak mendapatkan pakaian sekedar penutup tubuhnya dan makanan
sekedar penunjang hidup.
Salah
seorang shahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan sehelai baju
halus yang indah kepadanya, serta katanya: “Saya bawa baju ini dari Khurasan
untukmu! Dan alangkah senangnya hatiku melihat kamu menanggalkan pakaianmu
yang kasar ini, lalu menggantinya dengan baju baru yang indah ini!”
“Coba
lihat dulu”, jawab Ibnu Umar. Lalu dirabanya baju itu dan tanyanya: “Apakah ini
sutera?” “Bukan”, ujar kawannya itu, “itu hanya katun”. Ibnu Umar mengusap-usap
baju itu sebentar, kemudian diserahkannya kembali, katanya: “Tidak, saya
khawatir terhadap diriku … ! Saya takut ia akan menjadikan diriku sombong dan
megah, sedang Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah diri … I “
Pada
suatu hari, seorang shahabat memberinya pula sebuah kotak yang berisi penuh.
“Apa
isinya ini … ?”, tanya Ibnu Umar.
Jawab
shahabatnya: “Suatu obat istimewa, saya bawa untukmu dari Irak!”
“Obat
untuk penyakit apa”, tanya Ibnu Umar pula.
“Obat
penghancur makanan untuk membantu pencernaan”.
Ibnu
Umar tersenyum, katanya kepada shahabat itu: “Obat penghancur makanan . . . ? Selama
empat puluh tahun ini saya tak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang …
!”
Nah,
seseorang yang tak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun bukanlah
maksudnya hendak menjauhi ke kenyangan itu semata, tetapi pastilah karena zuhud
dan wara’- nya, serta usahanya hendak mengikuti jejak langkah Rasulullah dan
bapaknya! Ia cemas akan dihadapkan pada hari qiamat dengan pertanyaan sebagai
berikut: Telah kamu habiskan segala keni’matan di waktu hidupmu di dunia, kamu
bersenang-senang dengannya! Ia menyadari bahwa di dunia ini ia hanyalah tamu
atau seorang musafir lalu . . . Dan pernah ia berceritera tentang dirinya,
katanya: “Tak pernah saya membuat tembok dan tidak pula menanam sebatang kurma
semenjak wafatnya Rasulullah saw.
Berkata
Maimun bin Mahran: “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga
barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar . . . ,
pendeknya apa juga yang terdapat di sana, maka saya dapati harganya tidak
sampai seratus dirham . . . !” Dan demikian itu bukanlah karena kemiskinan,
karena Ibnu Umar adalah seorang kaya … ! Bukan pula karena kebakhilan, karena
ia seorang pemurah dan dermawan . . .! Sebabnya tidak lain hanyalah karena ia
seorang zahid tidak terpikat oleh dunia, tidak suka hidup mewah dan tak senang
menyimpang dari kebenaran dan keshalihan dalam menempuh hidup ini.
Ibnu
Umar dikaruniai umur panjang dan mengalami masa Bani Umaiyah, di mana harta
melimpah ruah, tanah tersebar luas dan kemewahan meraja-lela di kebanyakan
rumah, bahkan katakanlah di mahligai-mahligai dan istana-istana . . .! Tapi
walau demikian, namun gunung yang mulia ini tetap tegak dan tak tergoyahkan,
tak hendak beranjak dari tempatnya dan tak hendak bergeser dari sifat wara’ dan
zuhudnya.
Dan
bila disebut orang kebahagiaan dunia dan kesenangannya yang dihindarinya itu,
ia berkata: “Saya bersama shahabat-shahabatku telah sama sepakat atas suatu
perkara, dan saya khawatir jika menyalahi mereka, takkan bertemu lagi dengan
mereka untuk selama-lamanya
Dan
kepada yang lain diberitahukannya bahwa ia meninggalkan dunia itu bukanlah
disebabkan ketidak mampuan; ditadahkannya kedua tangannya ke langit, katanya;
“Ya Allah, Engkaumengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu,
tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan
dunia ini. .
Benar
… ! Seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentulah ia akan ikut merebut dunia
dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi ia tidak perlu berebutan, karena dunia
datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan dan daya
perangsangnya….
Adakah
lagi yang lebih menarik dari jabatan khalifah? Berkali-kali jabatan itu
ditawarkan kepada Ibnu Umar, tetapi ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam
jika tak mau menerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya
semakin kerns lagi …
Berceritakan
Hasan r.a.:
“Tatkala Utsman bin Affan dibunuh orang, ummat
mengatakan kepada Abdullah bin Umar: “Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah,
agar kami minta orang-orang bai’at pada anda!’ Ujarnya: ‘Demi Allah? seandainya
dapat, janganlah ada walau setetes darah pun yang tertumpah disebabkan daku!’
Kata mereka pula: ‘Anda harus keluar! Kalau tidak akan kami bunuh di tempat
tidurmu!’ Tetapi jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama.
Demikianlah mereka membujuk dan mengancamnya, tetapi tak satu pun hasil yang
mereka peroleh . . . .!”
Dan
setelah itu, ketika masa telah berganti masa dan fitnah telah menjadi-jadi,
Ibnu Umar tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar
sedia menerima jabatan khalifah dan mereka akan bai’at kepadanya, tetapi ia
selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya masalah yang ditujukan
kepada Ibnu Umar. Tetapi ia mempunyai logika dan alasan pula.
Sebagai
dimaklumi setelah terbunuhnya Utsman r.a. keadaan tambah memburuk dan
berlarut-larut yang akan membawa bencana dan malapetaka. Dan walaupun ia tidak
mempunyai ambisi untuk jabatan khalifah tersebut, tetapi Ibnu Umar bersedia
memikul tanggung jawab dan menanggung resikonya dengan syarat ia dipilih oleh
seluruh Kaum Muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika bai’at
itu dipaksakan oleh sebagian atas lainnya di bawah ancaman pedang, maka inilah
yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar, dan la menolak jabatan khalifah yang
dicapai dengan cara seperti itu.
Dan
ketika itu, syarat tersebut tidaklah mungkin. Bagaimanapun kebaikan Ibnu Umar
dan kekompakan Kaum Muslimin dalam mencintai dan menghormatinya, tetapi luasnya
daerah dan letaknya yang berjauhan, di samping pertikaian yang sedang
berkecamuk di antara Kaum Muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah kepada
beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata, maka suasana
tidaklah memungkinkan tercapainya konsensus atau persesuaian yang diharapkan
oleh Ibnu Umar itu.
Seorang
laki-laki mendatanginya pada suatu hari, katanya: “Tak seorang pun yang lebih
buruk perlakuannya terhadap ummat manusia daripadamu !”
“Kenapa
? , ujar Ibnu Umar;”demi Allah, tak pernah saya menumpahkan darah mereka,
tidak pula berpisah dengan jama’ah mereka apalagi memecah-belah kesatuan
mereka!”
Kata
laki-laki itu pula: “Andainya kamu mau, tak seorang pun yang akan menentang … !
Jawab
Ibnu Umar: “Saga tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang
lainnya tidak!”
Bahkan
setelah peristiwa berkembang sedemikian rupa, dan kedudukan Muawiyah telah
kokoh, dan setelah itu beralih pula kepada puteranya Yazid . . . , lalu
Muawiyah II putera Yazid setelah beberapa hari menduduki jabatan khalifah
meninggalkannya karena tidak menyukainya. Sampai saat itu Ibnu Umar telah
menjadi seorang tun berusia lanjut, ia masih menjadi harapan ummat untuk
jabatan tersebut. Marwan datang kepadanya, katanya: “Ulurkanlah tangan anda
agar kami bai’at! Anda adalah pemimpin Islam dan putera dari pemimpinnya!”
Ujar
Ibnu Umar: “Apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?”
“Kita
gempur mereka sampai mau bai’at!”
“Demi
Allah,”ujar Ibnu Umar Pula: “saya tak sudi dalam umur saya yang tujuh puluh
tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan saya …
Marwanpun
pergi berlalu sambil berdendang:
“Api
fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila,
Dan
kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa”.
Yang
dimaksud dengan Abu Laila ialah Muawiyah bin Yazid.
Penolakan
untuk menggunakan kekerasan dan alat senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar
tak hendak campur tangan dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang
terjadi di antara pengikut Ali dan penyokong Muawiyah dengan mengambil
kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:
“siapa
yang berkata: ‘Marilah shalat!’ akan saya penuhi….
Dan
siapa yang berkata: ‘Marilah menuju kebahagiaan!’ akan saya turuti pula ….
Tetapi
siapa yang mengatakan: ‘Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!’
maka saya akan katakan tidak . . . .”
Hanya
dalam sikap netral dan tak hendak campur tangan ini, Ibnu Umar tak mau
membiarkan kebathilan. Telah lama sekali Mu’awiyah yang ketika itu berada di
puneak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan
membingungkannya, sampai-sampai Mu’awiyah mengancam akan membunuhnya. Padahal
dia selalu bersemboyan: “Seandainya di antaraku dengan seseorang ada hubungan
walau agak sebesar rambut, tidaklah ia akan putus … !”
Dan
pada suatu hari Hajjaj’) tampil berpidato, katanya: “Ibnu Zubair telah merubah
Kitabullah!”
Maka
berserulah Ibnu Umar menentangnya: “Bohong bohong . . . . , kamu bohong . ! “
Hajjaj
yang selama ini ditakuti oleh siapa pun juga, merasa terpukul mendapat serangan
tiba-tiba ….Tetapi kemudian dia melanjutkan pembicaraan dengan mengancamnya
akan memberi balasan yang seburuk-buruknya. Ibnu Umar mengacungkan tangannya ke
muka Hajjaj, dan di hadapan orang-orang yang sama terpesona dijawabnya: “Jika
ancamanmu itu kamu laksanakan, maka sungguh tak usah heran, kamu adalah
seorang diktator yang biadab!” Tetapi bagaimana juga keras dan beraninya,
sampai akhir hayatnya Ibnu Umar selalu ingin agar tidak terlibat dalam fitnah
bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada salah satu golongan ….
Berkatalah
Abul ‘Aliyah al-Barra:
“Pada suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar
tanpa diketahuinya. Maka saya dengar ia berbicara kepada dirinya: ‘Mereka
letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan
lalu berkata: “Hai Abdullah bin Umar ikutlah dan berikan bantuan . sungguh
sangat menyedihkan.”
la
amat menyesal dan duka melihat darah Kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya.
Dan sebagai kita baca dalam kata pengantar mengenai riwayatnya. ini, “tiadalah
ia hendak mernbangunkan orang Muslimin yang sedang tertidur”.
Dan
sekiranya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah tertumpah pastilah
akan dilakukannya, tetapi suasana ternyata tidak mengidzinkan, oleh sebab itu
dijauhinya.
Sebetulnya
hati kecilnya berpihak kepada Ali r.a., bahkan pada lahirnya Ibnu Umar yakin
bahwa Ali r.a. di pihak yang benar, hingga diriwayatkan bahwa setelah ia
menganalisa semua peristiwa dan situasi pada akhir hidupnya itu ia berkata:
“Tiada sesuatu pun yang saya sesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali suatu
hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali dalam memerangi golongan
pendurhaka . . .!”
Penolakannya
berperang di pihak Ali yang sebenarnya mempertahankan haq dan berada di pihak
yang benar, dilakukannya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan
diri, tetapi adalah karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah
itu, serta menghindari peperangan yang terjadi bukan di antara Muslim dengan
musyrik, tetapi antara sesama Muslimin yang saling menerkam saudaranya ….
Hal
itu dijelaskannya dengan gamblang ketika ia ditanyai oleh Nafi’: “Hai Abu
Abdurrahman, anda adalah putera Umar dan shahabat Rasulullah saw., dan anda
adalah serta anda . . .! Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak?” —
maksudnya membela Ali. Maka ujarnya:
“Sebabnya
ialah karena Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim!
Firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
Perangilah
mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu
semata ikhlas karena Allah. (Q.S. 2 al-Baqarah:
193).
Nah,
kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama itu
semata bagi Allah! Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang . . .? Saya telah
mulai berperang semenjak berhala-berhala masih memenuhi Masjidil Haram dari
pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari
bumi Arab … ! Sekarang, apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan “Lah
ilaaha illallaah”, tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah?”
Demikianlah
logika dan alasan dari Ibnu Umar, dan demikianlah pula keyakinan dan
pendiriannya! Jadi ia menghindari peperangan dan tak hendak turut mengambil
bahagian padanya, bukanlah karena takut atau hal-hal negatif lainnya, tetapi
adalah karena tak menyetujui perang saudara antara sesama ummat beriman, dan
menentang tindakan seorang Muslim yang menghunus pedang terhadap Muslim
lainnya.
Ibnu
Umar menjalani usia lanjut dan mengalami saat-saat dibukakannya pintu keduniaan
bagi Kaum Muslimin. Harta melimpah ruah,. jabatan beraneka ragam dan kehendak
serta keinginan berkobar-kobar. Tetapi kemampuan mentalnya yang luar biasa,
telah merubah khasiat zamannya!
Masa
yang penuh dengan segala macam keinginan, dengan fitnah dan harta benda itu,
dirubahnyalah bagi dirinya menjadi suatu masa yang diliputi oleh zuhud dan
keshalihan, kedamaian dan kesejahteraan yang dijalani oleh pribadi; tekun dan
melindungkan diri ini dengan segala keyakinan, telah dibentuk dan ditempa oleh
Agama Islam di masa-masa pertamanya yang gemilang dan tinggi menjulang itu, tidak
tergoyahkan sedikit pun juga.
Dengan
bermulanya masa Bani Umayah, corak kehidupan mengalami perubahan, suatu
perubahan yang tak dapat dielakkan. Masa itu boleh disebut sebagai masa
kelonggaran dalam segala hal, kelonggaran yang tidak Baja sesuai dengan keinginan
keinginan pemerintah, tetapi juga dengan keinginan-keinginan pribadi dan
golongan.
Dan
di tengah badai rangsangan masa yang terpukau oleh kelonggaran-kelonggaran itu,
oleh hasil perolehan dan kemegahannya, Ibnu Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya,
tidak menghiraukan semuanya itu, dengan melanjutkan pengembangan jiwanya yang
besar. Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya
sebagai diharapkannya, hingga orang-orang yang semata dengannya melukiskannya
sebagai berikut: “Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam keutamaan tak
ubahnya ia dengan Umar”.
Bahkan
ketika menyaksikan sifat dan akhlaqnya yang mengagumkan itu, mereka
membandingkannya dengan Umar, yaitu bapaknya yang berpribadi besar, kata
mereka:
“Umar hidup di suatu masa di mana banyak tokoh-tokoh yang
menjadi saingannya, tetapi Ibnu Umar hidup di suatu zaman, di mana tidak
ditemui yang menjadi tolak bandingannya … !”
Perbandingan
itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dima’afkan terhadap orang seperti Ibnu Umar
. . . . Adapun Umar, tak seorang pun dapat disejajarkan dengannya. Tak mungkin
ada bandingannya di setiap masa dari kaum mana pun juga!
Suatu
hari dari tahun 73 H . . . , ketika sang surya telah condong ke Barat hendak
memasuki peraduannya, salah sebuah kapal keabadian telah mengangkat jangkar dan
mulai berlayar, bertolak menuju rafiqul a’la di alam barzakh, dengan membawa
suatu sosok tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di
Mekah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Khatthab - ...!
******
ditukil dari Khalid Muh. Khalid,
Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. Diponegoro Bandung
Wallahu ‘Alam [Sahabat Nabi]
Category: Recent Post, SAHABAT NABI
0 komentar