BAGAIMANA CARA MERUBAH KEMUNKARAN
Ada
perkataan seseorang tentang berbuat amar ma’ruf dan nahi mungkar, “Mencegah /
melarang / mengingatkan orang yang berbuat mungkar lebih susah (dalam dakwah)
dari pada mengajak orang untuk berbuat kebaikan / amal ma;ruf”. Kalau dipikir
memang ada benarnya, ketika kita mengingatkan orang yang sedang berbuat
kemungkara maka akan ada perlawan dariorang tersebut karena dia berada dalam
jaring-jaring setan dan berada dalam kegelapan, namun berbeda ketika kita cuma
memberikan tausiyah untuk selalu berbuat baik, mungkin bagi orang yang sedang
dalam kegelapan akan mengacuhkan hal tersebut tanpa ada reaksi yang keras. Namun
semua itu hanya dalam perkiraan manusia belaka karena bagi Allah untuk membuat
seseorang itu beriman atau sebaliknya sangat mudah. Yang perlu kita ingat
adalah perintah Allah untuk ber-amal ma’ruf dan Nahi mungkar. Dan mengenai
bagaimana sikap kita ketika kita menemukan sebuah kemungkaran maka Rasulullah
saw memberikan jawabannya:
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.[رواه مسلم]
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata :
Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Barang siapa
di antaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan
tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya
(menasihatinya) ; dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak
senang dan tidak setuju) , dan demikian itu adalah selemah-lemah iman”. [Muslim
no. 49]
Penjelasan
Hadits Arbain No. 34:
Muslim
meriwayatkan Hadits ini dari jalan Thariq bin Syihab, ia berkata : Orang yang
pertama kali mendahulukan khutbah pada hari raya sebelum shalat adalah Marwan.
Lalu seorang laki-laki datang kepadanya, kemudian berkata : “Shalat sebelum
khutbah?”. Lalu (laki-laki tersebut) berkata : “Orang itu (Marwan) telah
meninggalkan yang ada di sana (Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam)”. Abu
Sa’id berkata : “Adapun dalam hal semacam ini telah ada ketentuannya. Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barang siapa di
antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan
tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya
(menasihatinya); dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak
senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman’ “. Hadits
ini menunjukkan bahwa perbuatan semacam itu belum pernah dilakukan oleh siapa
pun sebelum Marwan.
Jika
ada yang bertanya : “Mengapa Abu Sa’id terlambat mencegah kemungkaran ini,
sampai laki-laki tersebut mencegahnya?” Ada yang menjawab : “Mungkin Abu Sa’id
belum hadir ketika Marwan berkhutbah sebelum shalat. Lelaki itu tidak
menyetujui perbuatan tersebut, lalu Abu Sa’id datang ketika kedua orang
tersebut sedang berdebat. Atau mungkin Abu Sa’id sudah hadir tetapi ia merasa
takut untuk mencegahnya, karena khawatir timbul fitnah akibat pencegahannya
itu, sehingga tidak dilakukan. Atau mungkin Abu Sa’id sudah berniat mencegah,
tetapi lelaki itu mendahuluinya, kemudian Abu Sa’id mendukungnya”.
Wallaahu
a’lam.
Pada
Hadits lain yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam Bab Shalat Hari Raya,
disebutkan bahwa Abu Sa’id menarik tangan Marwan ketika ia hendak naik ke atas
mimbar. Ketika keduanya berhadapan, Marwan menolak peringatan Abu Sa’id
sebagaimana penolakannya terhadap seorang laki-laki seperti yang dikisahkan
pada Hadits di atas, atau mungkin kasus ini terjadinya berlainan waktu.
Kalimat
“hendaklah ia merubahnya (mencegahnya)” dipahami sebagai perintah wajib oleh
segenap kaum muslim. Dalam Al Qur’an dan Sunnah telah ditetapkan kewajiban amar
ma’ruf dan nahi mungkar. Ini termasuk nasihat dan merupakan urusan agama.
Adapun firman Allah :
“Jagalah
diri kamu sekalian, tidaklah merugikan kamu orang yang sesat, jika kamu telah
mendapat petunjuk”. (QS. Al Maidah : 105)
tidaklah
bertentangan dengan apa yang telah kami jelaskan, karena paham yang benar
menurut para ulama ahli tahqiq adalah bahwa makna ayat tersebut ialah jika kamu
sekalian melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, maka kamu tidak akan
menjadi rugi bila orang lain menyalahi kamu.
Hal
ini semakna dengan firman Allah :
“Seseorang
tidaklah menanggung dosa orang lain”. (QS. 6 : 164)
Dengan
demikian, amar ma’ruf dan nahi mungkar yang dibebankan kepada setiap muslim,
jika ia telah menjalankannya, sedangkan orang yang diperingatkan tidak
melaksanakannya, maka pemberi peringatan telah terlepas dari celaan, sebab ia
hanya diperintah menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tidak harus sampai
bisa diterima oleh yang diberi peringatan. Wallaahu a’lam.
Kemudian,
amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan perbuatan wajib kifayah, sehingga jika
telah ada yang menjalankannya, maka yang lain terbebas. Jika semua orang
meninggalkannya, maka berdosalah semua orang yang mampu melaksanakannya,
terkecuali yang ada udzur. Kemudian ada kalanya menjadi wajib ‘ain bagi
seseorang. Misalnya, jika di suatu tempat yang tidak ada orang lain yang
mengetahui kemungkaran itu selain dia, atau kemungkaran itu hanya bisa dicegah
oleh dia sendiri, misalnya seseorang yang melihat istri, anak, atau pembantunya
melakukan kemungkaran atau kurang dalam melaksanakan kewajibannya.
Para
ulama berkata : “Tanggung jawab amar ma’ruf dan nahi mungkar itu tidaklah
terlepas dari diri seseorang hanya Karena ia beranggapan bahwa peringatannya
tidak akan diterima. Dalam keadaan demikian ia tetap saja wajib menjalankannya.
Allah berfirman :
“Berilah
peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”. (QS. 51
: 55)
Telah
disebutkan di atas bahwa setiap orang berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar, tetapi tidak diwajibkan sampai peringatannya itu diterima.
Allah
berfirman :
“Tiadalah
kewajiban bagi seorang Rasul melainkan hanya menyampaikan peringatan”. (QS. 5 :
99)
Para
ulama berkata : “Orang yang menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah
diharuskan dirinya telah sempurna melaksanakan semua yang menjadi perintah
agama dan meninggalkan semua yang menjadi larangannya. Ia tetap wajib
menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar sekalipun perbuatannya sendiri menyalahi
hal itu. Hal ini Karena seseorang wajib melakukan dua perkara, yaitu
menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
Jika yang satu (amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri) dikerjakan, tidak
berarti yang satunya (amar ma’ruf nahi mungkar kepada orang lain) gugur”.
Para
ulama berkata : “Tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak hanya menjadi
kewajiban para penguasa, tetapi tugas setiap muslim”. Yang diperintahkan melakukan
amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang mengetahui tentang apa yang dinilai
sebagai hal yang ma’ruf atau mungkar. Bila berkaitan dengan hal-hal yang jelas,
seperti shalat, puasa, zina, minum khamr, dan semacamnya, maka setiap muslim
wajib mencegahnya karena ia sudah mengetahui hal ini. Akan tetapi, dalam
perbuatan atau perkataan yang rumit dan hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad
yang golongan awam tidak banyak mengetahuinya, maka mereka tidaklah punya
wewenang untuk melakukan nahi mungkar. Hal ini menjadi wewenang ulama. Dan para
ulama hanya dapat mencegah kemungkaran yang sudah jelas ijma’nya. Adapun dalam
hal yang masih diperselisihkan, maka dalam hal semacam ini tidak dapat
dilakukan nahi mungkar, sebab setiap orang berhak memilih salah satu dari dua
macam paham hasil ijtihad. Sedang pendapat setiap mujtahid itu dinilai benar
sesuai keyakinannya masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian
besar ulama tahqiq. Pendapat lain mengatakan bahwa yang benar itu hanya satu
dan yang salah bisa banyak, tetapi mujtahid yang salah itu tidak berdosa.
Sekalipun demikian, dinasihatkan supaya kita menjauhi persoalan yang
diperselisihkan. Hal ini adalah satu sikap yang baik. Kita dianjurkan untuk
melaksanakan nahi mungkar ini dengan santun.
Syaikh
Muhyidin berkata : “Ketahuilah bahwa sejak lama amar ma’ruf nahi mungkar ini
oleh sebagian besar orang telah diabaikan. Pada masa-masa ini hanyalah tinggal
dalam tulisan yang amat sedikit, padahal ini merupakan hal yang amat besar
peranannya bagi tegaknya urusan umat dan kekuasaan. Apabila perbuatan-perbuatan
buruk merajalela, maka orang-orang shalih maupun orang-orang jahat semuanya
akan tertimpa adzab. Jika orang yang shalih tidak mau menahan tangan orang yang
zhalim, maka nyaris adzab Allah akan menimpa mereka semua. Allah berfirman :
“Hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah rasul-Nya khawatir tertimpa fitnah atau
adzab yang pedih”. (QS. 24 : 63)
Oleh
karena itu, sepatutnya para pencari akhirat dan orang yang berusaha mendapatkan
keridhaan Allah memperhatikan masalah ini. Hal ini karena kemanfaatannya amat
besar, apalagi sebagian besar orang sudah tidak peduli, dan orang yanng
melakukan pencegahan kemungkaran tidak lagi ditakuti, karena martabatnya yang
rendah. Allah berfirman :
“Sungguh,
Allah pasti menolong orang yang menolong-Nya”. (QS. 22 :40)
Oleh
karena itu, ketahuilah bahwa pahala itu diberikan sesuai dengan usahanya dan
tidak boleh meninggalkan nahi mungkar ini hanya karena ikatan persahabatan atau
kecintaan, sebab sahabat yang jujur ialah orang yang membantu saudaranya untuk
memajukan kepentingan akhiratnya, sekalipun hal itu dapat menimbulkan kerugian
dalam urusan dunianya. Adapun orang yang menjadi musuh ialah orang yang
berusaha merugikan usaha untuk kepentingan akhiratnya atau menguranginya
sekalipun sikapnya seperti dapat membawa keuntungan duniawinya.
Bagi
orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar seyogyanya dilakukan dengan sikap
santun agar dapat lebih mendekatkan kepada tujuan. Imam Syafi’i berkata :
“Orang yang menasihati saudaranya dengan cara tertutup, maka orang itu telah
benar-benar menasihatinya dan berbuat baik kepadanya. Akan tetapi orang yang
menasihatinya secara terbuka, maka sesungguhnya ia telah menistakannya dan
merendahkannya”.
Hal
yang sering diabaikan orang dalam hal ini, yaitu ketika mereka melihat
seseorang menjual barang atau hewan yang mengandung cacat tetapi ia tidak mau
menjelaskannya, ternyata mereka tidak mau menegur dan memberitahukan kepada
pembeli atas cacat yang ada pada barang itu. Orang-orang semacam itu
bertanggung jawab terhadap kemungkaran tersebut, karena agama itu adalah
nasihat (kejujuran), maka barang siapa tidak mau berlaku jujur atau memberi
nasihat, berarti ia telah berlaku curang.
Kalimat
“hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika
ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jika tak sanggup
juga, maka dengan hatinya” , maksudnya hendaklah ia mengingkari perbuatan itu
dalam hatinya. Hal semacam itu tidaklah dikatakan telah merubah atau melenyapkan,
tetapi itulah yang sanggup ia kerjakan. Dan kalimat “demikian itu adalah
selemah-lemah iman” maksudnya ialah – Wallaahu a’lam – paling sedikit hasilnya
(pengaruhnya).
Orang
yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar tidaklah punya hak untuk mencari-cari,
mengontrol, memata-matai, dan menyebarkan prasangka, tetapi jika ia menyaksikan
orang lain berbuat mungkar, hendaklah ia mencegahnya. Al Mawardi berkata :
“Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah punya hak untuk
menyebarkan praduga atau memata-matai, kecuali memberitahukan kepada orang yang
bisa dipercaya”. Bila ada seseorang yang membawa orang lain ke tempat sunyi
untuk dibunuh, atau membawa seorang perempuan ke tempat sunyi untuk dizinai,
maka dalam keadaan semacam ini, bolehlah ia memata-matai, mengawasi dan
mengintai karena khawatir terdahului oleh kejadiannya.
Disebutkan
bahwa kalimat “demikian itu adalah selemah-lemah iman” maksudnya ialah hasilnya
(pengaruhnya) sangat sedikit. Tersebut dalam riwayat lain :
“Selain
dari itu tidak lagi ada iman sekalipun sebesar biji sawi”.
Artinya
selain dari tiga macam sikap tersebut tidak lagi ada sikap lain yang ada
nilainya dari segi keimanan. Iman yang dimaksud dalam Hadits ini adalah dengan
makna islam.
Hadits
ini menyatakan bahwa orang yang takut pembunuhan atau pemukulan, ia terbebas
dari melakukan pencegahan kemungkaran. Inilah pendapat para ulama ahli tahqiq
zaman salaf maupun khalaf. Sebagian dari golongan yang ekstrim berpendapat
bahwa sekalipun seseorang takut, tidaklah ia terbebas dari kewajiban mencegah
kemungkaran.
Pelajaran
Hadits Arbain No. 34:
1.Menentang
pelaku kebatilan dan menolak kemunkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam
ajaran Islam atas setiap muslim sesuai kemampuan dan kekuatannya.
2.
Ridho terhadap kemaksiatan termasuk diantara dosa-dosa besar.
3.
Sabar menanggung kesulitan dan amar ma’ruf nahi munkar.
4.
Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemunkaran juga merupakan
buahnya keimanan.
5.
Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran
dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.
*******
HADITS ARBA’IN AN-NAWAWIYYAH NO.34
Wallahu ‘Alam [Syarah Hadits Arbain]
Category: Recent Post, Syarah Arba'in Nawawi
0 komentar