SA'ID BIN AMIR NEGARAWAN ZUHUD
Assalamualaikum.wr.wb. Jum'at
kali ini seperti biasa di Universitas Djuanda Bogor Mengadakan pengajian Majlis
Tasbih yang diadakan setiap Minggu sekali.
Pada kesempatan Jum’at ini
(12 sa’ban 1434 hijriah atau 21 Juni 2013 masehi ) Narasumber yang menyampaikan
materi adalah salah satu dosen Fakultas Keguran dan Ilmu pendidikan (FKIP)
yaitu Ustadz H. Mustholah Maufur, Lc, MA. Tema yang disampaikannya yaitu tentang
Fiqih Muamalah, materi yang disampaikannya adalah tentang Zuhud.
Zuhud secara bahasa artinya
lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia.
Ibnul Qayyim, berkata,
“Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ‘Zuhud adalah
meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat.
Ada satu kisah inspiratif
tentang zuhud ini yaitu kisah Sa’id bin Amir Negarawan yang Zuhud. Ini
Kisahnya:
Seorang pakar sejarah
pernah berkata, "Sa’id bin Amir adalah orang yang membeli akhirat dengan
dunia, dan ia lebih mementingkan Allah dan Rasul-Nya atas selain-Nya."
Sa’id bin Amir Al-Jumahi
adalah seorang anak muda, satu di antara ribuan orang yang tertarik untuk pergi
menuju daerah Tan’im di luar kota Makkah, dalam rangka menghadiri panggilan
pembesar-pembesar Quraisy.
Panggilan ini adalah untuk
menyaksikan hukuman mati yang akan ditimpakan kepada Khubaib bin Adiy, salah
seorang sahabat Rasulullah SAW yang diculik oleh mereka.
Kepiawaian dan postur
tubuhnya yang gagah membuat Sa'id mendapatkan kedudukan yang lebih daripada
orang-orang. Sehingga ia dapat duduk berdampingan dengan pembesar-pembesar
Quraisy seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, dan orang-orang yang
mempunyai wibawa lainnya.
Ketika rombongan yang
garang ini datang dengan tawanannya di tempat yang telah disediakan, Sa’id bin
Amir berdiri tegak memandangi Khubaib yang sedang diarak menuju kayu
penyaliban. Dan ia mendengar suaranya yang teguh dan tenang di antara teriakan
wanita-wanita dan anak-anak. Khubaib berkata, “Izinkan aku untuk shalat dua
rakaat sebelum pembunuhanku ini, jika kalian berkenan.”
Kemudian Sa'id
memandanginya, sedangkan Khubaib menghadap kiblat dan shalat dua rakaat.
Alangkah bagusnya dan indahnya shalatnya itu. Kemudian ia melihat Khubaib
menghadap pembesar-pembesar kaum dan berkata, “Demi Allah, jika kalian tidak
menyangka bahwa aku memperpanjang shalat karena takut mati,
tentu aku telah
memperbanyak shalat.”
Kemudian ia melihat kaumnya
dengan mata kepalanya, memotong-motong Khubaib dalam keadaan hidup.
Kemudian Sa’id bin Amir
melihat Khubaib mengarahkan pandangannya ke langit dari atas kayu salib, dan
berkata, “Ya Allah ya Tuhan kami, hitunglah mereka dan bunuhlah mereka satu
persatu serta janganlah Engkau tinggalkan satu pun dari mereka."
Kemudian Khubaib bin Adiy
menghembuskan nafas terakhirnya, dan di badannya tidak terhitung lagi bekas
tebasan pedang dan tusukan tombak.
Orang-orang Quraisy kembali
ke Makkah, dan mereka telah melupakan kejadian Khubaib dan pembunuhannya karena
banyak kejadian-kejadian setelahnya. Namun, Sa’id bin Amir Al-Jumahi tidak bisa
menghilangkan bayangan Khubaib dari pandangannya walau sekejap mata.
Ia memimpikannya ketika
sedang tidur, dan melihatnya dengan khayalan ketika matanya terbuka. Khubaib
senantiasa terbayang di hadapannya sedang melakukan shalat dua rakaat dengan
tenang di depan kayu salib. Dan ia mendengar rintihan suaranya di telinganya,
ketika Khubaib berdoa untuk kebinasaan orang-orang Quraisy, maka ia takut kalau
tersambar petir atau ketiban batu dari langit.
Khubaib telah mengajari
Sa’id sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ia mengajarinya bahwa
hidup yang sesungguhnya adalah akidah dan jihad di Allah hingga akhir hayat. Ia
mengajarinya juga bahwa iman yang kokoh akan membuat keajaiban dan
kemukjizatan.
Dan Khubaib mengajarinya
sesuatu yang lain, bahwa sesungguhnya seorang laki-laki yang dicintai oleh para
sahabatnya dengan kecintaan yang sedemikian rupa, tidak lain adalah nabi yang
mendapat mandat dari langit.
Semenjak itu, Allah
membukakan dada Sa’id bin Amir untuk Islam. Ia lalu berdiri di hadapan orang
banyak dan memproklamirkan kebebasannya dari dosa-dosa Quraisy, berhala-berhala
dan patung-patung mereka, dan menyatakan ikrarnya terhadap agama Allah.
Sa’id bin Amir berhijrah ke
Madinah, dan mengabdikan diri kepada Rasulullah, dan ikut serta dalam Perang
Khaibar dan peperangan-peperangan setelahnya. Dan ketika Nabi yang mulia
dipanggil menghadap Tuhannya, Sa'id mengabdikan diri dengan pedang terhunus di
zaman dua khalifah; Abu Bakar dan Umar.
Ia hidup bagaikan contoh
satu-satunya bagi orang Mukmin yang membeli akhirat dengan dunia, dan
mementingkan keridhaan Allah dan pahala-Nya atas segala keinginan hawa nafsu
dan syahwat badannya. Kedua khalifah itu telah mengetahui tentang kejujuran dan
ketakwaan Sa’id bin Amir. Keduanya mendengar nasihat-nasihatnya dan
memerhatikan pendapatnya.
Pada awal kekhilafahan
Umar, Sa'id menemuinya dan berkata, “Wahai Umar, aku berwasiat kepadamu, agar
kamu takut kepada Allah dalam urusan manusia. Dan janganlah kamu takut kepada
manusia dalam urusan Allah. Dan janganlah ucapanmu bertentangan dengan
perbuatanmu, karena sesungguhnya ucapan yang paling baik adalah yang sesuai
dengan perbuatan."
Maka Umar berkata,
"Siapakah yang mampu menjalankan itu, wahai Sa’id?”
Ia menjawab, “Orang
laki-laki sepertimu mampu melakukannya, yaitu di antara orang-orang yang Allah
serahkan urusan umat Muhammad kepadanya. Dan tidak ada seorang pun perantara
antara ia dan Allah.”
Setelah itu Umar mengajak
Sa’id untuk membantunya. “Wahai Sa’id, kami menugaskan kau sebagai gubernur
Himsh,” kata Umar.
Sa'id menjawab, "Wahai
Umar, aku ingatkan dirimu terhadap Allah. Janganlah kau menjerumuskanku ke
dalam fitnah."
Maka Umar pun marah dan
berkata, "Celaka kalian! Kalian menaruh urusan ini di atas pundakku, lalu
kalian berlepas diri dariku. Demi Allah, aku tidak akan melepasmu.”
Kemudian Umar mengangkat
Sa'id bin Amir menjadi gubernur di Himsh. “Kami akan memberimu gaji,” kata
Umar.
“Untuk apa gaji itu, wahai
Amirul Mukminin? Karena pemberian untukku dari Baitul Mal telah melebihi
kebutuhanku,” jawab Sa'id. Ia pun berangkat ke Himsh.
Tidak lama kemudian
datanglah beberapa utusan dari penduduk Himsh kepada Amirul Mukminin Umar bin
Khathab.
Umar berkata kepada mereka,
“Tuliskan nama-nama orang fakir kalian, supaya aku dapat menutup kebutuhan
mereka!”
Maka mereka menyodorkan
selembar tulisan, yang di dalamnya ada Fulan, Fulan dan Sa’id bin Amir. Umar
bertanya, Siapakah Sa’id bin Amir ini?”
Mereka menjawab, “Gubernur
kami.”
“Gubernurmu fakir?”
“Benar, dan demi Allah
sudah beberapa hari di rumahnya tidak ada api.”
Maka Umar menangis hingga
janggutnya basah oleh air mata. Kemudian ia mengambil 1.000 dinar dan
menaruhnya dalam kantong kecil dan berkata, "Sampaikan salamku, dan
katakan kepadanya, Amirul Mukminin memberi anda harta ini, supaya anda dapat
menutup kebutuhan anda!”
Saat para utusan itu
mendatangi Sa’id dengan membawa kantong. Sa’id membukanya, ternyata di dalamnya
ada uang dinar. Ia lalu meletakkannya jauh dari dirinya dan berkata, "Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan
sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada-Nya)," seolah-olah ia tertimpa
musibah dari langit atau ada suatu bahaya di hadapannya.
Hingga keluarlah istrinya
dengan wajah kebingungan dan berkata, “Ada apa, wahai Sa’id? Apakah Amirul
Mukminin meninggal dunia?"
“Bahkan lebih besar dari
itu,” timpal Sa'id.
“Apakah orang-orang Muslim
dalam bahaya?”
“Bahkan lebih besar dari
itu.”
“Apa yang lebih besar dari
itu?”
“Dunia telah memasuki
diriku untuk merusak akhiratku, dan fitnah telah datang ke rumahku.”
Istrinya berkata,
“Bebaskanlah dirimu darinya.” Saat itu istrinya tidak mengetahui tentang
uang-uang dinar itu sama sekali.
“Apakah kamu mau membantu
aku untuk itu?” tanya Sa'id.
“Ya,” kata sang istri.
Sa'id lalu mengambil uang-uang dinar dan memasukkannya ke dalam kantong-kantong
kecil, kemudian menyuruh sang istri untuk membagikannya kepada orang-orang
Muslim yang fakir.
Tak lama kemudian Umar bin
Khathab datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan. Dan ketika singgah di
Himsh, penduduk menyambut dan menyalaminya. Umar bertanya kepada mereka,
“Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur kalian?”
Maka mereka mengadukan
kepadanya tentang empat hal, yang masing-masing lebih besar dari yang lainnya.
Umar kemudian memanggil Sa'id dan 'mengadilinya' di hadapan penduduk.
“Apa yang kalian keluhkan
dari gubernur kalian?” tanya Umar.
Mereka menjawab, “Ia tidak
keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.”
“Apa jawabmu tentang hal
itu, wahai Sa’id?” kata Umar.
Sa'id terdiam sebentar,
kemudian berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal
itu. Namun, kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak mempunyai
pembantu. Maka setiap aku pagi membuat adonan, kemudian menunggu sebentar
sehingga adonan itu mengembang. Kemudian aku buat adonan itu menjadi roti untuk
mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar menemui orang-orang.”
"Apa lagi yang kalian
keluhkan darinya?” tanya Umar.
Mereka menjawab,
“Sesungguhnya, ia tidak menerima tamu pada malam hari.”
“Apa jawabmu tentang hal
itu, wahai Sa’id?”
“Sesungguhnya, Demi Allah,
aku tidak suka untuk mengumumkan ini juga. Aku telah menjadikan siang hari
untuk mereka dan malam hari untuk Allah Azza wa Jalla,” jawab Sa'id.
“Apa lagi yang kalian
keluhkan darinya?” tanya Umar lagi.
Mereka menjawab,
“Sesungguhnya ia tidak keluar menemui kami satu hari dalam sebulan.”
“Dan apa ini, wahai Sa’id?”
Sa'id menjawab, “Aku tidak
mempunyai pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan aku tidak mempunyai baju kecuali
yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan. Dan aku
menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada
sore hari.”
“Apa lagi yang kalian
keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Ia sering
pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majelisnya.”
“Dan apa ini, wahai Sa’id?”
“Aku telah menyaksikan
pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku masih musyrik. Dan aku melihat
orang-orang Quraisy memotong-motong badannya sambil berkata, 'Apakah kamu ingin
kalau Muhammad menjadi penggantimu?' Maka Khubaib berkata, 'Demi Allah, aku
tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara Muhammad tertusuk
duri.' Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak
menolongnya, kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak mengampuni aku, maka aku
pun jatuh pingsan,” tutur Sa'id.
Seketika itu Umar berkata,
“Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya.”
Kemudian Umar memberikan
1.000 dinar kepada Sa'id. Dan ketika istrinya melihat uang itu, ia berkata
kepada Sa'id, “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kami dari
pekerjaan berat untukmu. Belilah bahan makanan dan sewalah seorang
pembantu."
“Apakah kamu menginginkan
sesuatu yang lebih baik dari itu?” tanya Sa'id pada istrinya.
“Apa itu?”
“Kita berikan dinar itu
kepada yang mendatangkannya kepada kita, pada saat kita lebih membutuhkannya.”
“Bagaimana maksudnya?”
“Kita pinjamkan dinar itu
kepada Allah dengan pinjaman yang baik,” kata Sa'id.
Istrinya berkata, “Benar,
dan semoga kau mendapat balasan kebaikan.”
“Berikanlah ini kepada
jandanya fulan, kepada anak-anak yatimnya fulan, kepada orang-orang miskin
keluarga fulan, dan kepada fakirnya keluarga fulan," kata Sa'id.
Mudah-mudahan Allah
meridhai Sa’id bin Amir Al-Jumahi, karena ia termasuk orang-orang yang
mendahulukan orang lain atas dirinya, walaupun dirinya sangat membutuhkan. Wallahu
A'lam,,
Category: Majlis Tasbih, SAHABAT NABI, Tarikh Islam
0 komentar