Syarah
Hadits Arbai’in No.12. Anjuran untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak ada
kegunaan dan manfaatnya bagi kehidupan kita.
Jalani hidup ini dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat (gambar:madinatulquran.or.id) |
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ [حديث حسن رواه الترمذي وغيره هكذا]
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu anhu, ia berkata : "Telah bersabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam : "Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah
meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya" ". [Tirmidzi no. 2318, Ibnu Majah no. 3976]
Penjelasan Hadits:
Hadits di atas juga
diriwayatkan oleh Qurrah bin ‘abdurrahman dari Zuhri dari Abu Salamah dari AbuHurairah dan sanad-sanadnya ia nyatakan shahih. Tentang Hadits ini ia berkata :
“Hadits ini kalimatnya pendek tetapi padat berisi”. Semakna dengan Hadits ini
adalah ucapan Abu Dzar pada beberapa riwayatnya: “Barang siapa yang menilai
ucapan dengan perbuatannya, maka dia akan sedikit bicara dalam hal yang tidak
berguna bagi dirinya”.
Imam Malik menyebutkan bahwa sampai kepadanya keterangan bahwa seseorang berkata kepada Luqman : “Apa yang menjadikan engkau mencapai derajat yang kami saksikan sekarang?” Jawabnya : “Berkata benar, menunaikan amanat dan meninggalkan apa saja yang tidak berguna bagi diriku”.
Diriwayatkan dari Imam AlHasan, ia berkata : “Tanda bahwa Allah menjauh dari seseorang yaitu apabila
orang itu sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna bagi kepentingan akhiratnya”.
Ia berkata bahwa Abu Dawud berkata : “Ada 4 Hadits yang menjadi dasar bagi
tiap-tiap perbuatan, salah satunya adalah Hadits ini”.
Pelajaran yang bisa
diambil:
1. Termasuk
sifat-sifat orang muslim adalah dia menyibukkan dirinya dengan perkara-perkara
yang mulia serta menjauhkan perkara yang hina dan rendah.
2. Pendidikan
bagi diri dan perawatannya dengan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat
didalamnya.
3. Menyibukkkan
diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat adalah kesia-siaan dan merupakan
pertanda kelemahan iman.
4. Anjuran
untuk memanfaatkan waktu dengan sesuatu yang manfaatnya kembali kepada diri
sendiri bagi dunia maupun akhirat.
5. Ikut
campur terhadap sesuatu yang bukan urusannya dapat mengakibatkan kepada
perpecahan dan pertikaian diantara manusia.
Demikian sedikit penjelasan mengenai Hadits No ke-12 dari Kitab Hadits Arba'in An-Nawawiyah...Wallahu A’lam...
Demikian sedikit penjelasan mengenai Hadits No ke-12 dari Kitab Hadits Arba'in An-Nawawiyah...Wallahu A’lam...
Lima kemuliaan yang telah Allah berikan kepada Nabi
Muhammad Rasulullah SAW.
Ilustrasi lafadz Nama Rasulullah Muhammad saw (Gambar: votreesprit.wordpress.com) |
اِن اللهَ تعالى اَكرَمَ نَبيهُ
محمدًا ص. بخمسِ كَرَامَاتٍ: اَكرَمَهُ بَالاِسمِ وَالجِسمِ وَالعَطَاءِ
وَالخَطَأِ وَالرِضَا. اَمَا الاِسْمِ فَنَادَاهُ باِالرِّسَالَةِ وَلَمْ
يُنَادِهِ بِالِاسمِ كَمَا نَادَى جَمِيعَ الاَنْبِيَاءِ. واما الجِسمِ فَإِذَا
دَعَا النَبِيّ ص. شَيْئًا فَأَجَبَ هُوَ بِنَفْسِهِ عَنهُ وَلَمْ يَفْعَلْ ذلِكَ
لِسَائِرِ الاَنْبِيَاءِ. وَامّا العَطَاءُ فَأَعْطَاهُ بِلَاسُؤَالٍ . وَاَمَا
الخَطَاءُ فَذَكَرَالعَفْوَ قَبْلَ ذَنْبِهِ . وَامّا الرِضَا فَلَمْ يَرَدَّ
فِدْيَتَهُ وَلاَصَدَقَتَةُ وَلَانَفَقَتُهُ كَمَا رَدَهَا عَلَى
سَائِرِالاَنْبِيَاءِ.
Artinya: “Sesungguhnya Allah memuliakan Nabi Muhammad SAW
dengan lima karomah/kemuliaan. Yaitu, Allah telah memuliaan namanya,
badannya, anugrahnya, kesalahannya, dan ridhanya. Kemuliaan yang telah
Allah berikat terkait dengan namanya adalah beliau dipanggil Rasul bukan
dipanggil namanya seperti pada Nabi-Nabi lain. Kemuliaan Allah pada badan
Rasulullah adalah apabila beliau berdo’a memohon sesuatu maka dijawab oleh
dirinya sendiri sesuatu hal yang tidak diperbuat Allah pada Nabi-nabi lain.
Kemuliaan Allah dalam hal anugerahnya adalah belia diberi anugrah tanpa
memohonnya, kemuliaan Allah pada kesalahannya adalah beliau telah diampuni
dosanya sebelum melaksanakan dosa, dan kemuliaan Allah pada ridhanya adalah
tidak ditolaknya fidyah, sedekah, maupun nafkah yang diberikan beliau
rasulullah, suatu hal yang ditolak dari nabi sebelumnya.[1]
Jumhur ulama rahmatullahi ‘alaihim ajma’in berkata:
” Allah SWT memuliakan Nabi Muhammad SAW dengan lima kehormatan, yaitu :
1. Dlm hal nama;
2. Dlm hal tubuh;
3. Dlm hal pemberian;
4. Dlm hal kesalahan; dan
5. Dlm hal ridha.”
Pertama dalam hal NAMA;
maksudnya beliau di panggil dgn sebutan Rosul dan tidak
di panggil dengan namanya sebagaimana ketika Allah memanggil nabi-nabi yg
lainnya, spti Adam, Nuh, Ibrahim, dsb. Allah telah berfirman:يأيها الرسول بلغ مآ
أنزل إليك “wahai Rosul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan
kepadamu.” (al-maa’idah-67)
Kedua dalam hal TUBUH;
maksudnya ketika beliau berdo’a atau memohon sesuatu yang
berkaitan dengan masalah tubuh, do’a beliau dikabulkan, sementara Allah tidak
berbuat demikian terhadap nabi-nabi yg lain. Disebutkan dlm satu riwayat bhwa
Nabi SAW berhasil mengembalikan mata Qatadah ke tempat semula yg tadinya keluar
dan menggelantung di pipinya.
Ketiga dalam hal PEMBERIAN;
maksudnya adalah Allah memberikan sesuatu kepada beliau
meskipun tanpa ada permintaan lebih dahulu. Allah tlah berfirman:إنآ أعطينك الكو ثر “sesungguhnya
Kami telah memberikan ni’mat yg banyak kepadamu.” (al-kautsar 1)ولسوف يعطيك ربك
فترضى “dan kelak Robbmu pasti memberikan karunia-Nya kepadmu,
lalu (hati) kamu menjadi puas.” (adh-dhuha-5)
Keempat dalam KESALAHAN;
maksudnya adalah adanya pema’afan sebelum perbuatan
dosanya beliau kerjakan. Sebagaiman Allah berkata:عفا الله عنك “Allah
telah mema’afkanmu.” (at-taubah-43)
Kelima dalam hal RIDHA; maksudnya adalah fidyah,
shadaqah, dan nafkah yang beliau keluarkan tidak ada yang di tolak oleh Allah,
sementara Allah pernah menolak dari nabi-nabi yg lain. Disebutkan dalam satu
riwayat bahwa beliau pernah menyembelih qurban untuk ummat beliau dan membayar kifarat
untuk seseorang dari kalangan ummat beliau karena melakukan hubungan
suami-istri pada siang Ramadan.[2]
[1] Syekh Nawawi al-Bantani. Terjemahan
Nashoihul Ibad; Nasehat Penghuni Dunia. Terj. Aly As’ad. (Kudus: Menara Kudus. 1983). hlm.
123-125.
[2] Syekh Nawawi al-Bantani. Nashoihul
Ibad; Nasihat-Nasihat untuk Para Hamba menjadi Santun dan Bijak. Terj. Fuad
Kauma. (Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2012).hlm. 217-219.
Kisah Kilab Bin Umaiyah (Kisah Berbakti Kepada Kedua Orang Tua)
(Ilustrasi GAmbar: Seorang ayah yang sedang menunggu Kedatangan Anaknya) |
Seorang laki-laki bernama Kilab bin Umayyah bin Askar.
Dia memiliki ayah dan ibu yang sudah tua. Dia menyiapkan susu untuk keduanya
tiap pagi dan petang hari. Kemudian datanglah dua orang menemui Kilab, mereka
membujuknya untuk pergi berperang. Ternyata Kilab tertarik dengan ajakan
tersebut, lalu dia membeli seorang hamba sahaya untuk menggantikannya mengasuh
kedua orang tuanya. Setelah itu Kilab pun pergi berjihad.
Suatu malam, hamba sahaya tersebut datang dan membawa
gelas jatah susu petang hari kepada ibu dan bapak Kilab, ketika keduanya sedang
tidur. Dia menunggu sesaat dan tidak membangunkannya lalu pergi. Di tengah
malam keduanya terbangun dalam keadaan lapar, bapak Kilab berkata,
“Dua orang telah memohon kepada Kilab dengan kitabullah.
Keduanya telah bersalah dan merugi. Kamu meninggalkan bapakmu yang kedua
tangannya gemetar, dan ibumu tidak bisa minum dengan nikmat. Jika merpati itu
bersuara di lembah Waj karena telur-telurnya, kedunya mengingat Kilab. Dia
didatangi oleh dua orang yang membujuknya. Wahai hamba-hamba Allah, sungguh
keduanya telah durhaka dan merugi. Aku memanggilnya lalu dia berpaling dengan
menolak. Maka dia tidak berbuat yang benar. Sesungguhnya ketika kamu mencari
pahala selain dari berbakti kepadaku, hal itu seperti pencari air yang memburu
fatamorgana. Apakah ada kebaikan setelah menyia-nyiakan kedua orang tua? Demi
bapak Kilab, perbuatannya tidak dibenarkan.”
Jika ada orang luar Madinah yang datang ke kota Madinah,
Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu selalu menanyakan tentang
berita-berita dan keadaan mereka. Umar bertanya kepada salah seorang yang
datang, “Dari mana?” Orang itu menjawab, “Dari Thaif.” Umar bertanya, “Ada
berita apa?” Orang itu menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki berkata
(laki-laki ini menyebut ucapan bapak Kilab di atas).” Umar menangis dan
berkata, “Sungguh Kilab mengambil langkah yang keliru.”
Kemudian bapak Kilab, Umaiyah bin Askar dengan
penuntunnya menemui Umar yang sedang di masjid. Dia mengatakan, “Aku dicela.
Kamu telah mencelaku tiada batas, dan kamu tidak tahu penderitaan yang
kurasakan. Jika kamu mencelaku, maka kembalikanlah Kilab manakala dia berangkat
ke Irak. Pemuda mulia dalam kesulitan dan kemudahan, kokoh dan tangguh pada
hari pertempuran. Tidak, demi bapakmu, cintaku kepadamu tidaklah usang. Begitu
pula harapanku dan kerinduanku kepadamu. Seandainya kerinduan yang mendalam
membelah hati, niscaya hatiku telah terbelah karena kerinduan kepadanya. Aku
akan mengadukan al-Faruq (maksudnya Umar bin Khattab) kepada Tuhannya yang
telah menggiring jamaah haji ke tanah berbatu hitam. Aku berdoa kepada Allah
dengan berharap pahala dari-Nya di lembah Akhsyabain sampai air hujan
mengalirinya. Sesungguhnya al-Faruq tidak memanggil Kilab untuk pulang kepada
dua orang tua yang sedang kebingungan.”
Umar menangis, lalu beliau menulis surat kepada Abu Musa
al-Asy’ari agar memulangkan Kilab ke Madinah. Abu Musa berkata kepada Kilab,
“Temuilah Amirul Mukminin Umarbin Khattab.” Kilab menjawab, “Aku tidak
melakukan kesalahan, tidak pula melindungi orang yang bersalah.” Abu Musa
berkata, “Pergilah!”
Kilab pulang ke Madinah. Ketika Umar bertemu dengannya,
beliau mengatakan, “Sejauh mana kamu berbuat baik kepada orang tuamu?” Kilab
menjawab, “Aku mementingkannya dengan mencukupi kebutuhannya. Jika aku hendak
memerah susu untuknya, maka aku memilih onta betina yang paling gemuk, paling
sehat dan paling banyak susunya. Aku mencuci puting susu onta itu, dan barulah
aku memerah susunya lalu menghidangkannya kepada mereka.”
Umar mengutus orang untuk menjemput bapaknya. Bapak Kilab
datang dengan tertatih-tatih dan menunduk. Umar bertanya kepadanya, “Apa
kabarmu, wahai Abu Kilab?” Dia menjawab, “Seperti yang Anda lihat wahai Amirul
Mukminin.” Umar bertanya, “Apakah kamu ada kepeluan?” Dia menjawab, “Aku ingin
melihat Kilab. Aku ingin mencium dan memeluknya sebelum aku mati.” Umar
menangis dan berkata, “Keinginanmu akan tercapai insya Allah.”
Kemudian Umar memerintahkan Kilab agar memerah susu onta
untuk bapaknya seperti yang biasa dia lakukan. Umar menyodorkan gelas susu itu
kepada bapak Kilab sambil berkata, “Minumlah ini, wahai bapak Kilab.” Ketika
bapak Kilab mendekatkan gelas ke mulutnya, dia berkata, “Demi Allah, aku
mencium bau kedua tangan Kilab.” Umar mengatakan, “Ini Kilab, dia ada di sini.
Kami yang menyuruhnya pulang.” Bapak Kilab menangis dan Umar bersama
orang-orang yang hadir juga menangis. Mereka berkata, “Wahai Kilab, temani
kedua orang tuamu.” Maka Kilab tidak pernah lagi meninggalkan mereka sampai
wafat. Wallahu ‘Allam (sumber)