AL BIRUNI MENGUASAI BERAGAM BAHASA (973-1048)
Sipakah Ilmuwan Muslim abad pertengahan yang menguasai banyak
sekali bahasa, baik secara lisan maupun tulisan??? Ada yang tahu! Ya jawabannya
adalah Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad Al
Biruni atau yang lebih dikenal dengan nama al Biruni. Bahasa apa saja yang
dikusai oleh al Biruni? Selain bahasa persia sebagai bahasa ibunya, beliau
menguasai bahasa Arab, Turki, Sanskrit, Ibrani, dan juga Syiriac. Namun pososinya
yang akan dijelaskan disini tidak hanya sebatas dikarenakan ia menguasai banyak
bahasa tersebut. Kecermelangannya di berbagai bidang ilmu juga menambah lengkap
kebesaran namanya sebagai ilmuwan muslim yang berpengaruh.
IMAM MUSLIM KUAT DAYA INGATNYA (820-870)
Seperti yang telah disampaikan pada pembahasan mengenai Imam
Bukhari, selain kitab Shahih Bukhari, terdapat juga kitab Shahih lain yang
terkenal diantara beragam buku kumpulan hadis lainnya. Kitab Shahih tersebut
adalah Kitab Shahih Muslim, yang ditulis oleh Imam Muslim.
IMAM BUKHARI GURU YANG RAMAH (810-870)
Al Bukhari atau lebih terkenal dengan sebutan Imam Bukhari,
perangkum hadis-hadis Nabi yang dianggap paling otoritatif hingga saat ini. Hal
ini karena bukunya bersama dengan buku karya Imam Muslim, terkenal memuat
hadis-hadis yang memiliki tingkat validitas yang sangat tinggi. Bukunya diberi
judul Shahih Bukhari (Shahih adalah klasifikasi dari suatu hadits yang otentik
karena hadis itu memiliki kontinuitas mata rantai [isnad] yang terjaga, tidak
bertentangan dengan penutur lain, dan tidak ada cacat yang tersembunyi
didalamnya).
IMAM MALIK
ULAMA MADINAH (715-795)
Malik
bin Anas merupakan salah satu dari Imam Mazhab yang empat. Malik bin Anas
merupakan pendiri dari Mazhab Maliki, beliau lebih terkenal dengan sebutan Imam
Malik. Beliau dilahirkan di kota Madinah al Munawwaroh (Saudi Arabia). Semenjak
mudanya ia terkenal sebagai individu yang menguasai beragam bidang ilmu.
Sebagaimana kakek dan ayahnya yang termasuk ulama hadis terpandang di Madinah,
ajarannya juga mengutamakan penggunaaan dan pegambilan hukum berdasarkan hadis
dan ant penggunaan qiyas, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak ada
nash-nya. Oleh karena itulah, sokolah yang didirikannya di madinah terkenal
dengan “Sekolah Hadits”.
JANGANLAH
MENUNGGU SORE
Dunia hanyalah panggung sandiwara, begitulah salah satu
pepatah dahulu mengataka. Memang demikian dunia hanyalah tempat sementara,
tempat singgah sementara manusia sebelum menuju alam abadi. Karena itu
janganlan kita tertipu, terpedaya dan terlena oleh dunia dengan menghalalkan
segala cara untuk mendapatkannya. Ingatlah usia kita semakin hari semakin
berkurang dan maut kita tidak tahu kapan akan menemui kita, pergunakanlah waktu
sebaik mungkin.
TIDAK SENGAJA ATAU LUPA DIMAAFKAN
Hadits ke-39 dari hadits al-Arbai’in an
nawawiyah ini menjelaskan tentang perkaran yang akan diampuni oleh Allah ketika
seseorang tidak disengaja, lupa dan karena terpaksa melakukan sesuatu yang
dilarang Allah.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه
وسلم قَالَ : إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِيْ عَنْ أُمَّتِي : الْخَطَأُ
وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ.حديث
حسن رواه ابن ماجة والبيهقي وغيرهما
TERJEMAH HADITS / ترجمة الحديث :
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa
Sallam telah bersabda : " Sesungguhnya Allah telah mema’afkan
kesalahan-kesalahan uamt-Ku yang tidak disengaja, karena lupa dan yang dipaksa
melakukannya" (HR. Ibnu Majah, Baihaqi dll, hadits hasan) .
[Ibnu
Majah no. 2405, Baihaqi (As-Sunan no. 7/356), dan yang lain]
PENJELASAN HADITS ARBA’IN NO. 39
Hadits ini disebutkan dalam tafsir ayat : “Jika
kamu melahirkan apa yang ada dihati kamu atau kamu sembunyikan, maka Allah akan
mengadili kamu dengan apa yang kamu lakukan itu” (QS. 2 : 284)
Ayat ini menyebabkan para sahabat merasa
tertekan. Oleh karena itu, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Mu’adz
bin Jabal beberapa orang mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
dan mereka berkata : “Kami dibebani amal yang tak sanggup kami memikulnya.
Sesungguhnya seseorang di antara kami dalam hatinya ada bisikan yang tidak
disenanginya, sekalipun bisikan itu menjanjikan dunia. Nabi Shallallahu 'alaihi
wa Sallam lalu menjawab : “Boleh jadi kamu mengucapkan kalimat seperti yang
diucapkan Bani Israil, yaitu kami mau mendengar tetapi kami akan menentangnya.
Karena itu katakanlah : ‘Kami mau mendengar dan mau menaati”. Hal itu membuat
mereka merasa tertekan dan mereka diam untuk sementara. Lalu Allah memberikan
kelonggaran dan rahmat-Nya dengan berfirman : “Allah tidak membebani seseorang
kecuali sesuai kemampuannya. Ia akan mendapatkan pahala atas usahanya dan
mendapatkan siksa atas kesalahannya, (lalu ia berdo’a) : ‘Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah”. (QS. 2 : 286)
Allah memberikan keringanan dan mansukh
(terhapus)lah ayat yang pertama di atas. Imam Baihaqi berkata bahwa Imam
Syafi’i berkata : “Allah berfirman : Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya
merasa tentram dengan imannya (maka orang semacam ini tidak berdosa)”.
Ada beberapa hukum bagi sikap kekafiran ketika
Allah menyatakan bahwa kekufuran tidak terdapat pada orang yang dipaksa,
maksudnya bahwa menyatakan kekufuran secara lisan karena dipaksa tidak dianggap
kufur. Jika sesuatu yang lebih berat dianggap gugur, maka yang lebih ringan
lebih patut untuk gugur. Kemudian disebutkan adanya riwayat dari Ibnu ‘Abbas
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Sesungguhnya Allah membebaskan
umatku (dari dosa) karena keliru atau lupa atau dipaksa”.
Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda : “Tidak ada thalaq dan
pembebasan budak karena pemaksaan”.
Demikianlah pendapat ‘Umar, Ibnu ‘Umar dan Ibnu
Zubai.
Tsabit bin Al Ahnaf menikahi perempuan budak
yang melahirkan anak milik ‘Abdurrahman bin Zaid bin Khathab. Lalu ‘Abdurrahman
memaksa Tsabit dengan teror dan cemeti untuk menceraikan istrinya pada masa
khalifah Ibnu Zubair. Ibnu ‘Umar berkata kepadanya : “Perempuan itu belum
terthalaq dari kamu, karena itu kembalilah kepada istrimu”. Saat itu Ibnu
Zubair di Makkah, maka ia disusul, lalu ia menulis surat kepada gubernurnya di
Madinah. Isi surat tersebut, supaya Tsabit dikembalikan kepada istrinya dan
‘Abdurrahman bin Zaid dikenai hukuman. Kemudian Shafiyah binti Abu ‘Ubaid,
istri ‘Abdullah bin ‘Umar, mempersiapkan upacara walimahnya dan ‘Abdullah bin
‘Umar menghadiri walimah ini. Wallaahu a’lam.
PELAJARAN DARI HADITS ARBA’IN NO. 39
1. Allah ta’ala mengutamakan umat ini dengan
menghilangkan berbagai kesulitan dan memaafkan dosa kesalahan dan lupa.
2. Sesungguhnya Allah ta’ala tidak menghukum
seseorang kecuali jika dia sengaja berbuat maksiat dan hatinya telah berniat
untuk melakukan penyimpangan dan meninggalkan kewajiban dengan sukarela .
3. Manfaat adanya kewajiban adalah untuk
mengetahui siapa yang ta’at dan siapa yang membangkang.
4. Ada beberapa perkara yang tidak begitu saja
dimaafkan. Misalnya seseorang melihat najis di bajunya akan tetapi dia
mengabaikan untuk menghilangkannya segera, kemudian dia shalat dengannya karena
lupa, maka wajib baginya mengqhada shalat tersebut. Contoh seperti itu banyak
terdapat dalam kitab-kitab fiqh.
[SYARH HADITS ARBA’IN AN-NAWAWIYYAH NO. 39]
ABU HANIFAH –
PEMERHATI QIYAS (700-767)
Abu Hanifah
merupakan salah satu dari empat Imam Mazhab. Beliau merupakan tokoh ketiga dari
Imam mazhab yang empat. Jalan Mazhabnya, beliau terkenal sebagai tokoh yang
mementingkan penggunaan Qiyas (analogi-perumpamaan) dalam mengambil suatu
keputusan. Karena ajarannya menggunakan qiyas dalam skala luas, tidak
mengherankan bila ada yang menyebut sekolah yang didirikannya sebagai “Sekolah
Pemerhati Qiyas”.
KEUTAMAAN MELAKSANAKAN PERINTAH ALLAH
Sesungguhnya bagi seorang Muslim tidak ada
merasa takut dalam menjalani kehidupan dialam pana ini. Karena mereka yakin
bahwa Allah akan selalu bersama mereka, Allah akan selalu melindungi mereka,
Allah akan menolong mereka dari semua kesulitan hidup dan kezaliman manusia.
Hal tersebut diyakini, karena Allah sendiri yang telah mengatakan kepada
Rasulullah saw, sebagaimana sabda beliau;
Allah telah berbuat yang
terbaik bagi hamba-Nya dan selalu adil dalam berbuat sesuatu. Namun, terkadang
kita sebagai manusia menganggap Allah tidak adil kepada mereka dalam memberikan
keputusan, bagian dan sebagainya. Padahal tidak akan mungkin ada yang lebih
adil daripada Allah. Dalam memberikan pahala dan siksaan pun Allah memberikan
yang terbaik bagi hamba-Nya. Ketika kita berbuat kebaikan maka Allah akan
memberi kita 10 x lipat kabaikan lagi bagi kita, namun ketika kita berbuat kejahatan
Allah hanya mencatat 1 kejahatan. Untuk lebih jelasnya mari kita pelajari sabda
Rasulullah mengenai hal tersebut.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلى الله عليه وسلم فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ
رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ،
ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ : فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا
عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ
عِنْدَهُ عَشْرَةَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ
ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ
يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَا
فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً. رواه البخاري ومسلم في صحيحهما بهذه الحروف
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
beliau meriwayatkan dari Tuhannya, Tabaaraka wa ta’aala. Firman-Nya :
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan nilai kebaikan dan kejahatan, kemudian Dia
menjelaskannya. Maka barangsiapa berniat mengerjakan kebaikan tetapi tidak
dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika ia
berniat untuk berbuat kebaikan lalu ia mengerjakannya, Allah mencatatnya
sebagai 10 sampai 700 kali kebaikan atau lebih banyak lagi. Jika ia berniat
melakukan kejahatan, tetapi ia tidak mengerjakannya, Allah mencatatkan padanya
satu kebaikan yang sempurna. Jika ia berniat melakukan kejahatan lalu
dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kejahatan”.
(HR. Bukhari
dan Muslim dalam Kitab Shahihnya dengan lafazh ini) . [Bukhari no. 6491, Muslim
no. 131]
Penjelasan Hadits Arba’in No.
37
Pensyarah Hadits ini berkata :
Ini adalah Hadits yang sangat mulia dan berharga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
Sallam menjelaskan betapa banyak kelebihan yang Allah berikan kepada
makhluk-Nya. Di antaranya yaitu orang yang berniat melakukan kebaikan sekalipun
belum dilaksanakan mendapat satu pahala, sedangkan orang yang berniat berbuat
dosa tetapi tidak jadi dikerjakan, mendapat satu pahala, dan bila ia laksanakan
mendapat satu dosa. Orang yang berniat baik kemudian melaksanakannya, Allah
tetapkan baginya sepuluh kali pahala. Ini adalah suatu keutamaan yang sangat
besar, yaitu dengan melipat gandakan pahala kebaikan, tetapi tidak melipat
gandakan siksa atas perbuatan dosa. Allah tetapkan keinginan berbuat baik
sebagai suatu kebaikan, karena keinginan berbuat baik itu merupakan perbuatan
hati yang ditekadkannya.
Berdasarkan sabda ini ada yang
berpendapat, seharusnya orang yang berniat berbuat dosa tetapi belum
melaksanakannya dicatat sebagai satu dosa, karena keinginan melakukan sesuatu
merupakan bagian dari pekerjaan hati. Ada pula yang berpendapat tidak seperti
itu, sebab orang yang mengurungkan berbuat dosa dan menghapus keinginannya
untuk berbuat dosa dan menggantinya dengan keinginan lain yang baik. Dengan
demikian dia diberi pahala satu kebaikan. Tersebut pada Hadits lain : “ ia
meninggalkan niat jeleknya itu karena takut kepada-Ku”
Hadits ini semakna dengan sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Setiap muslim punya shadaqah”. Mereka
(para sahabat) bertanya : “Sekalipun dia tidak melakukannya?” Sabda beliau :
“Hendaklah dia mengurungkan niat jahatnya, maka hal itu menjadi sadaqah bagi
dirinya”. (riwayat Bukhari dalam Kitab Adab)
Adapun orang yang meninggalkan
niat jahatnya karena dipaksa atau tidak sanggup menjalankannya, maka tidaklah
dicatat sebagai suatu kebaikan (yang mendapat pahala) dan tidak termasuk dalam
pembicaraan Hadits ini.
Thabari berkata : “Hadits ini
membenarkan pendapat yang mengatakan : ’Pembatalan niat seseorang dalam
melakukan kebaikan atau keburukan tetap dicatat oleh malaikat, asalkan dia
menyadari apa yang diniatkan itu”. Ia membantah pendapat yang beranggapan bahwa
malaikat hanya mencatat pembatalan pada perbuatan-perbuatan yang zhahir atau
sesuatu yang dapat didengar. Ini berarti dua malaikat yang ditugasi mengawasi
manusia mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang. Boleh juga Allah
memberikan cara kepada para malaikat itu untuk mengetahui hal itu sebagaimana
Allah telah memberikan jalan kepada sebagian besar nabi-Nya dalam beberapa
perkara ghaib. Allah telah berfirman berkenaan dengan Isa ketika ia berkata
kepeda Bani Israil : “Aku mengabarkan kepada kamu apa yang kamu makan dan apa
yang kamu simpan di rumah-rumah kamu”. (QS. 3 : 49)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa
Sallam juga telah mengabarkan banyak perkara ghaib. Maka dapat saja Allah
memberikan kepada dua malaikat itu cara untuk mengetahui niat baik atau niat
buruk seseorang lalu dia mencatatnya, bila orang tersebut telah menjadikannya
sebagai tekad. Ada pula yang berpendapat malaikat mengetahuinya dari angin yang
keluar dari hati seseorang.
Para ulama salaf berselisih
paham tentang dzikir manakah yang lebih baik, dzikir dalam hati atau dzikir
dengan lisan. Ini semua adalah pendapat Ibnu Khalaf yang dikenal dengan nama
Ibnu Bathal. Pengarang kitab Al Ifshah dalam salah satu pernyataannya
mengatakan : Sesungguhnya tatkala Allah mengurangi umur umat Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Allah mengganti kependekan umurnya itu dengan
melipat gandakan pahala amalnya”. Barang siapa berniat berbuat baik maka dengan
niatnya itu ia mendapatkan satu kebaikan penuh, sekalipun sekadar niat. Allah
jadikan niatnya itu sebagai kebaikan penuh agar orang tidak beranggapan bahwa
niat semata-mata mengurangi kebaikan atau sia-sia. Oleh karena itu, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan dengan kata “kebaikan sempurna”. Jika
seseorang berniat baik lalu melaksanakannya, hal itu berarti telah keluar dari
lingkup niat menjelma kepada amal. Niat baiknya ditulis sebagai suatu kebaikan,
kemudian perbuatan baiknya digandakan. Hal ini semua tergantung pada ikhlas
atau tidaknya niat pada masing-masing perbuatan.
Selanjutnya pada kalimat
“sampai dilipatgandakan banyak sekali” , digunakan bentuk kata nakirah (tidak
terbatas) yang maknanya lebih luas daripada bentuk kata ma’rifah (terbatas).
Kalimat semacam ini menunjukkan adanya pengertian pembalasan yang tidak terhingga
banyaknya.
Kalimat janji Allah semacam ini
dapat mencakup pernyataan : “Apabila seorang manusia mengeluarkan sedekah
sebutir gandum, maka akan diberi pahala atas perbuatannya itu karena rahmat
Allah. Sekiranya butiran gandum tersebut ditaburkan lalu tumbuh di tanah yang
subur dan dipelihara, disiangi sesuai dengan kebutuhannya, lalu dipanen, maka
akan tampak hasilnya. Kemudian hasilnya dapat ditanam lagi pada tanah yang
subur lalu dipelihara seperti tanaman sebelumnya. Kemudian terus berjalan semacam
itu pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Kemudian hal ini terus
berlangsung sampai hari kiamat, sehingga sebutir gandum, sebutir biji sawi,
atau sebatang rumput akhirnya dapat menjadi bertumpuk banyak setinggi gunung.
Sekiranya sadaqah yang dikeluarkan hanya sebutir jagung karena iman, maka ia
kelak akan melihat keuntungan atas sadaqahnya di waktu itu. Dan
dihitung-hitung, jika dijual di pasar yang paling laris di negeri yang paling
besar, tentulah barang semacam itu merupakan barang yang sangat laris. Kemudian
bertambah berlipat ganda dan terus berjalan sampai hari kiamat, maka sebutir
gandum tadi tumbuh sebagai benda yang besarnya sebesar dunia ini seluruhnya.
Demikianlah balasan Allah atas semua amal kebaikan yang dilakukan, jika
didasarkan pada niat yang ikhlas dan muncul dari hati yang ikhlas”.
Sesungguhnya Allah dengan
rahmat-Nya berlipat ganda dalam memberi pahala kepada seseorang yang memberikan
shadaqah satu dirham kepada orang fakir, lalu si fakir itu memberikannya kepada
fakir lain yang lebih melarat dari dirinya, kemudian fakir lain tersebut
memberikannya kepada fakir yang ketiga, dan yang ketiga memberikan kepada yang
keempat, dan seterusnya. Dari kejadian seperti di atas, Allah akan memberi
pahala kepada pemberi shadaqah pertama, dengan sepuluh kali. Bila fakir pertama
yang memberikannya kepada fakir yang kedua, maka fakir pertama ini mendapat
pahala sepuluh kali, dan pemberi shadaqah pertama mendapat pahala seratus kali
(sepuluh kali sepuluh). Kemudian fakir kedua memberikannya kepada fakir ketiga,
maka fakir kedua mendapat pahala sepuluh kali, fakir pertama mendapat pahala
seratus kali, sedang pemberi shadaqah pertama pahala seratus kali, sedang
pemberi shadaqah pertama mendapat pahala seribu kali. Bila fakir ketiga
menshadaqahkan kapada fakir keempat, maka fakir ketiga mendapat sepuluh kali,
fakir kedua mendapat pahala seratus kali, pemberi shadaqah pertama mendapat
pahala sepuluh ribu kali sampai berlipat ganda sehingga tidak ada yang dapat
menghitungnya kecuali Allah. Oleh karena itu, bila kelak Allah mengadili
hamba-Nya yang muslim di hari kiamat, kebaikan mereka bertingkat-tingkat nilai
ketinggiannya dan ada pula yang kurang nilainya, maka dengan kemurahan dan
rahmat-Nya Allah akan memperhitungkan semua amal kebaikannya lebih besar
daripada perbedaan nilai antara dua kebaikan. Allah berfirman : “Sungguh Kami
pasti memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik dari apa yang telah
mereka lakukan”. (QS. 16 : 97)
Sebagaimana seseorang yang
berada di salah satu pasar kaum muslim mengucapkan kalimat “laailaaha illallaah
wahdah, laa syariikalah …” dengan suara yang tinggi, maka Allah akan mencatat
perbuatannya itu dengan memberi pahala seribu kebaikan dan dihapuskan dari
orang itu seribu dosanya, serta ia akan diberi sebuah rumah di surga seperti
yang tersebut pada sebuah Hadits. Kami terangkan di sini hanyalah apa yang kami
ketahui saja, bukan berdasarkan kadar rahmat Allah yang sebenarnya, sebab Allah
itu jauh lebih agung dari apa yang dapat digambarkan oleh makhluk. Wallahu a’lam
Pelajaran Hadits Arba’in No. 37
1. Kasih sayang Allah terhadap
hamba-Nya yang beriman sangat luas dan ampunannya menyeluruh sedang
pemberian-Nya tidak terbatas.
2. Sesungguhnya apa yang tidak
kuasa oleh manusia, dia tidak diperhitungkan dan dipaksa menunaikannya.
3. Allah tidak menghitung
keinginan hati dan kehendak perbuatan manusia kecuali jika kemudian dibuktikan
dengan amal perbuatan dan praktik.
4. Seorang muslim hendaklah
meniatkan perbuatan baik selalu dan membuktikannya, diharapkan dengan begitu
akan ditulis pahalanya dan ganjarannya dan dirinya telah siap untuk
melaksanakannya jika sebabnya telah tersedia.
5. Semakin besar tingkat
keikhlasan semakin berlipat-lipat pahala dan ganjaran.
[HADITS
ARBA’IN AN-NAWAWIYAH NO.37]