Setiap mukmin sangat dituntut untuk terus menjalin hubungan
yang dekat dengan Allah Swt, itu sebabnya di dalam Islam ada perintah untuk
taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Semakin dekat hubungan
seseorang dengan Allah, semakin kedudukannya di sisi Allah. Dengan dekatnya
hubungan manusia kepada Allah dia selalu merasa dalam pengawasan Allah yang
membuatnya tidak berani menyimpang dari jalan Allah.
Dalam kehidupan ini ada banyak jalinan hubungan yang harus
kita lakukan kepada Allah Swt, diantara sekalian banyak hubungan, dapat kita
sederhanakan menjadi tiga bentuk hubungan kepada Allah yang harus kita pahami
dengan sebaik-baiknya dan dapat kita wujudkan dalam kehidupan ini.
1. Hubungan Cinta.
Rasa cinta
pada segala sesuatu dalam kehidupan ini ada pasa setiap orang karena hal itu
memang diberikan Allah. Karena itu amat wajar kalau manusia mencintai sesuatu,
baik berupa manusia seperti cinta kepada orang tua, anak, isteri, suami,
saudara dan sebagainya. Begitu juga dengan cinta kepada harta, kedudukan dan
seterusnya. Kecintaan kepada semua itu tidaklah dilarang di dalam Islam, tapi
kecintaan pada semua itu tidak boleh melebihi kecintaan manusia kepada Allah,
Rasul-Nya dan jihad di jalan Allah, Allah berfirman yang artinya: Katakanlah:
“Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiaannyadan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu
cintai daripada Allah, Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik (QS 9:24).
Kecintaan yang sangat antara manusia
dengan Allah merupakan bukti dari keimanannya
yang benar, Allah berfirman yang artinya: Dan diantara manusia ada orang
yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat
cintanya kepada Allah (QS 2:165).
Sementara
di dalam hadits, Rasulullah Saw menerangkan keharusan seorang mu’min untuk
mencintai beliau melabihi kecintaan pada anak, orang tua dan manusia lainnya,
Rasul Saw bersabda:
Tidaklah beriman salah seorang kamu sampai aku lebih dicintainya
daripada anaknya, orang tuanya dan manusia semuanya (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan
mencintai Allah dan Rasul-Nya, akan lahir sifat ikhlas pada diri seorang muslim
dan dengan keikhlasan itu, seberat apapun perintah Allah akan dilaksanakan
dengan perasaan yang ringan, tapi tanpa kecintaan, seringan apapun perintah
Allah akan terasa sebagai perintah yang
berat.
2. Hubungan Perdagangan.
Perdagangan atau jual beli biasanya dikehendaki senang sama senang,
penjual dapat untung, pembeli senang dengan apa yang telah dibelinya. Begitu
juga dengan jual beli kepada Allah. Dalam hal ini Allah bertindak sebagai
pembeli dan kita --kaum muslimin-- sebagai penjualnya. Allah membeli
orang-orang yang beriman jiwa dan hartanya untuk diserahkan atau dikorbankan di
jalan Allah dan Allah nanti akan membalas atau membayarnya dengan syurga.
Dengan demikian, karena kita menghendaki dapat masuk ke dalam syurga, dalam
hidup inimkita tidak boleh segan-segan untuk berkorban dengan harta bahkan
dengan nyawa sekalipun dalam perjuangan menegakkan agama Allah. Allah
berfirman: Sesunggunya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan
harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah menjadi janji) yang benar
dari Allah di dalam taurat, injil dan Al-Qur’an (QS 9:111).
Orang yang mau berjual beli dengan Allah dengan mengorbankan
harta dan jiwanya di jalan Allah dipertegas lagi oleh Allah dengan mendapat
jaminan tidak akan mendapatkan azab Allah sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku
tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS
61:11-12).
3. Hubungan Amal.
Amal atau
kerja merupakan konsekuensi seorang mu’min daam hidupnya, karenanya banyak
sekali ayat yang merangkai kata iman dan amal shaleh. Oleh karena itu dalam
hubungannya dengan Allah Swt manusia juga harus menjalin hubungan amal yang
dengan amal shaleh itu manusia nantinya akan dijuluki oleh Allah sebagai
makhluk yang terbaik yang akan diberi balasan berupa syurga yang penuh dengan
kenikmatan, Allah berfirman yang artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan beramal shaleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di
sisi Tuhan mereka adalah syurga “and yang mengalir sungai-sungai dibawahnya,
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan
merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang
takut kepada Tuhan-Nya (QS 98:7-8).
Dalam
beramal, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yakni lakukan dengan
niat yang ikhlas karena Allah, lakukan amal yang shaleh dengan cara-cara yang
sesuai dengan syari’at Allah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul-Nya,
lakukan pula amal shaleh itu dengan sesegera mungkin, janganlah merasa sudah
banyak dengan amal shaleh yang kita lakukan meskipun pahalanya dilipatgandakan
dan lakukan amal shaleh dengan tujuan yang satu, yakni mengharap ridha Allah
Swt. Demikian tiga bentuk hubungan yang harus kita jalin kepada Allah Swt
sebagai orang yang beriman.
Nikah merupakan sunnah Rasul yang sangat sakral, karenanya
nikah juga merupakan ikatan yang sangat kuat yang dalam istilah Al-Qur’an
disebut dengan miytsaqon ghaliyzho (QS 4:21) yang kata ini digunakan juga untuk
menyebut perjanjian antara para Nabi dengan Allah Swt dalam mengemban
perjuangan da’wah (QS 33:7). Oleh karena itu pernikahan dan walimatul arusy
harus dilaksanakan yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu pernikahan
jangan sampai dinodai dengan hal-hal yang bernilai maksiat. Sesudah pernikahan
berlangsung, kehidupan berumah tanggapun harus dijalani dengan sebaik-baiknya
meskipun tantangan dan godaan menjalani kehidupan rumah tangga yang Islami
sangat banyak.
Untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang islami, ada
beberapa hal yang harus mendapat perhatian suami dan isteri.
1.
Memperkokoh Rasa Cinta.
Cinta merupakan perekat dalam kekokohan kehidupan rumah
tangga, bila rasa cinta suami kepada isteri atau sebaliknya telah hilang dari
hatinya, maka kehancuran rumah tangga sangat sulit dihindari. Oleh karena itu
suasana cinta mencintai harus saling ditumbuh-suburkan atau diperkokoh, tidak
hanya pada masa-masa awal kehidupan rumah tangga, tapi juga pada masa-masa
selanjutnya hingga suami isteri mencapai masa tua dan menemui kematian.
Rasulullah Saw sebagai seorang suami berhasil membagi dan
menumbuh-suburkan rasa cinta kepada semua isterinya sehingga isteri yang satu
mengatakan dialah yang paling dicintai oleh Rasul, begitu juga dengan isteri
yang lainnya.
Berumah tangga itu diumpamakan seperti orang yang sedang
berlayar, ketika pelayaran baru dimulai, kondisi di kapal masih tenang karena
disamping penumpangnya betul-betul ingin menikmati pelayaran itu, juga karena
belum ada kesulitan, belum ada ombak dan angin kencang yang menerpa, tapi
ketika kapal itu telah mencapai lautan yang jauh, barulah terasa ombak besar
dan angin yang sangat kencang menerpa, dalam kondisi seperti itu saling
mengokohkan rasa cinta antara suami dengan isteri menjadi sesuatu yang sangat
penting dalam menghadapi dan mengatasi terpaan badai kehidupan rumah tangga.
Pernikahan dilangsungkan dengan maksud agar lelaki dan wanita yang mengikat
hubungan suami isteri dapat memperoleh ketenangan dan rasa cinta. Allah
berfirman yang artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menjadikan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir (QS 30:21).
2.
Saling Hormat Menghormati.
Saling cinta mencintai itu harus diperkokoh dengan saling
hormat menghormati, suami hormat kepada isteri dengan memberikan penghargaan
yang wajar terhadap hal-hal baik yang dilakukan isterinya, begitu juga dengan
isteri terhadap suaminya dengan menerima apa-apa yang diberikan suami meskipun
jumlahnya tidak banyak.
Awal-awal kehidupan rumah tangga selalu dengan masa romantis
yang segalanya indah, bahkan adanya kelemahan dan kekurangan tidak terlalu
dipersoalkan, romantisme memang membuat penilaian suami terhadap isteri dan
isteri terhadap suaminya menjadi sangat subyektif. Tapi ketika rumah tangga
berlangsung semakin lama mulailah muncul penilaian yang obyektif dalam arti suami
menilai isteri atau isteri menilai suami apa adanya. Dulu ketika masa romantis,
kekurangan masing-masing sebenarnya sudah terlihat tapi tidak terlalu
dipersoalkan, tapi sekarang kekurangan yang tidak prinsip saja dipersoalkan,
dalam kondisi seperti itulah diperlukan konsolidasi hubungan antara suami dan
isteri hingga masing-masing menyadari bahwa memang kekurangan itu ada tapi dia
juga harus menyadari akan adanya kelebihan.
Dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw, beliau telah
mencontohkan kepada kita betapa beliau berlaku baik kepada keluarganya, dalam
satu hadits beliau bersabda: Orang yang paling baik diantara kamu adalah yang
paling baik dengan keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap
keluargaku (HR. Thabrani).
3.
Saling Menutupi Kekurangan.
Suami dan isteri tentu saja memiliki banyak kekurangan,
tidak hanya kekurangan dari segi fisik, tapi juga dari sifat-sifat. Oleh karena
itu suami isteri yang baik tentu saja menutupi kekurangan-kekurangan itu yang
berarti tidak suka diceriterakan kepada orang lain, termasuk kepada orang
tuanya sendiri.
Meskipun demikian dengan maksud untuk konsultasi dan
perbaikan atas persoalan keluarga kepada orang yang sangat dipercaya, maka
seseorang boleh saja mengungkapkan kekurangan sifat-sifat suami atau isteri.
4.
Kerjasama Dalam Keluarga.
Dalam mengarungi kehidupan rumah tangga tentu saja banyak
beban yang harus diatasi, misalnya beban ekonomi, dalam hal ini suami harus
mencari nafkah dan isteri harus membelanjakannya dengan sebaik-baiknya dalam
arti untuk membeli hal-hal yang baik dan tidak boros. Begitu juga dengan
tanggung jawab terhadap pendidikan anak yang dalam kaitan ini diperlukan
kerjasama yang baik antara suami dan isteri dalam menghasilkan anak-anak yang
shaleh. Kerjasama yang baik dalam mendidik anak itu antara lain dalam bentuk
sama-sama meningkatkan keshalehan dirinya sebagai orang tua karena mendidik
anak itu harus dengan keteladanan yang baik, juga tidak ada kontradiksi antara
sikap bapak dengan ibu dalam mendidik anak dan sebagainya. Keharusan kita
bekerjasama dalam hal-hal yang baik difirmankan Allah yang artinya: Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS 5:2).
5.
Memfungsikan Rumah Tangga Secara Optimal.
Masa sesudah menikah juga harus dijalani dengan memfungsikan
keluarga seoptimal mungkin sehingga rumah tangga itu tidak sekedar dijadikan
seperti terminal dalam arti anggota keluarga menjadikan rumah sekedar untuk
singgah sebagaimana terminal, tapi semestinya rumah tangga itu difungsikan
sebagai tempat kembali guna menghilangkan rasa penat dan memperbaiki diri dari
pengaruh yang tidak baik serta memperkokoh hubungan dengan sesama anggota
keluarga.
Oleh karena itu keluarga harus dioptimalkan fungsinya
seperti masjid dalam arti rumah difungsikan juga sebagai tempat untuk
mengokohkan hubungan dengan Allah Swt dan sesama anggota keluarga sehingga bisa
dihindari sikap individual antar sesama anggota keluarga.
Disamping itu rumah juga harus difungsikan seperti madrasah
yang anggota keluarganya harus memperoleh ilmu dan pembinaan karakter sehingga
suami dan isteri diharapkan berfungsi seperti guru bagi anak-anaknya yang
memberikan ilmu dan keteladanan yang baik.
Yang juga penting dalam kehidupan sekarang dan masa
mendatang adalah memfungsikan keluarga seperti benteng pertahanan yang
memberikan kekuatan pertahanan aqidah dan kepribadian dalam menghadapi
godaan-godaan kehidupan yang semakin banyak menjerumuskan manusia ke lembah
kehidupan yang bernilai maksiat dalam pandangan Allah dan rasul-Nya.
Mewujudkan rumah tangga yang Islami merupakan sesuatu yang
tidak mudah, banyak sekali kendala, baik internal maupun eksternal yang harus
dihadapi. Namun harus diingat bahwa kendala yang besar dan banyak itu bukan
berarti mewujudkan rumah tangga yang Islam tidak bisa, setiap kita harus yakin
akan kemungkinan bisa membentuk rumah tangga yang Islami, kalau kita sudah
yakin, maka kita dituntut membuktikan keyakinan itu dengan kesungguhan. Hal ini
karena melaksanakan ajaran Islam memang sangat dituntut kesungguhan yang
sangat.
Akhirnya untuk meraih kehidupan rumah tangga yang bahagia,
ada baiknya kita telaah hadits Rasul saw berikut ini:
Empat perkara yang merupakan dari kebahagian
seseorang, yaitu: mempunyai isteri yang shalehah, mempunyai anak yang berbakti,
mempunyai teman yang shaleh dan mencari rizki di negerinya sendiri (HR. Dailami
dari Ali ra)
Banyak orang yang mengira bahwa masa jahiliyah telah
berakhir bersamaan dengan datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah
Saw. Bahkan bisa jadi, mereka menduga bahwa kejahiliyahan itu hanya terdapat
pada masyarakat Arab sebelum Islam. Padahal sebenarnya kejahilyahan itu ada
pada setiap masyarakat, tempat dan masa. Dengan kata lain, kejahiliyahan itu
bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan dalam situasi serta kondisi yang bagaimanapun juga.
Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk memahami apa itu jahiliyah yang
sebenarnya.
Menurut
Ibnu Taimiyah, seperti yang dikutip oleh Muhammad Qutb, jahl itu bermakna
“tidak memiliki atau tidak mengikuti ilmu” Karena itu, orang yang tidak
memiliki pengetahuan tentang yang haq (benar) adalah jahil, apalagi kalau tidak
mengikuti yang haq itu. Atau tahu yang haq tapi prilakunya bertentangan dengan
yang haq, meskipun dia sadar atau paham bahwa apa yang dilakukannya memang
bertentangan dengan yang haq itu sendiri.
JAHILIYAH DALAM AL-QUR’AN.
Di dalam
Al-Qur’an, Allah Swt berfirman tentang jahiliyah yang penggunaannya untuk tiga
hal. Hal ini menjadi penting untuk kita pahami agar dengan demikian kita
menyadari bahwa jahiliyah itu tidaklah semata-mata bodoh dalam arti tidak punya
ilmu, apalagi sekedar bodoh secara intelektual.
1. Jahiliyah
Dalam Ketuhanan.
Kata jahiliyah digunakan untuk menggambarkan kebodohan
manusia terhadap konsep ketuhanan yang benar. Manusia yang tidak mengetahui
hakikat uluhiyah merupakan manusia yang jahil. Tuhan dalam Islam adalah sesuatu
yang tidak bisa dibuat, tidak bisa dilihat dengan pandangan mata, tidak ada
sesuatu yang bisa menyamainya, bahkan tuhan itu justeru yang mencipta segala
sesuatu, bukan dicipta oleh sesuatu. Dalam kaitan ini Allah Swt berfirman yang
artinya: Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah
mereka sampai kepada satu kaum yang tetap menyembah berhala mereka. Bani Israil
berkata: Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka
mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini
adalah kaum yang tidak mengetahui/jahil” (QS 7:138).
Ayat lain
yang terkait dengan masalah ini adalah firman Allah yang artinya: Dan ingatlah
ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina”. Mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan
kami buah ejekan?”. Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil” (QS 2:67).
Dalam
Islam, Ketuhanan merupakan masalah yang paling mendasar, bila pada masalah ini
manusia sudah menyimpang dari nilai-nilai Islam, maka tidak akan mungkin
terwujud kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Karena itu, menjelaskan bahwa
Allah Swt adalah Tuhan yang benar yang harus disembah dan diabdi oleh setiap
manusia adalah menjadi misi yang diemban oleh semua Nabi. Karena itu, bila
manusia mengabaikan misi para Rasul ini, kehancuran hidup dunia dan akhirat
tidak bisa dielakkan lagi sebagaimana sejarah telah mencatatnya, Allah
berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut
itu”, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk ada ada orang
yang sudah pasti kesesatan baginya. Maka berjanlanlah kamu di muka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul) (QS
16:36).
2. Jahiliyah
Dalam Akhlak.
Kata Jahiliyah juga digunakan oleh Allah Swt untuk menamakan
akhlak atau prilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang datang dari-Nya,
misalnya saja penampilan seorang wanita yang tidak islami, sikap sombong,
pembicaraan yang tidak bermanfaat, perzinahan dll. Allah Swt berfirman dalam
kaitan menceritakan kasus yang terjadi pada Nabi Yusuf yang artinya:
Yusuf berkata: Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi
ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya
mereka, tentu akan akan cenderung (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku
termasuk orang-orang yang bodoh (QS 12:33).
Pada ayat lainnya, Allah juga berfirman yang artinya: Dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu
(QS 33:33). Terdapat juga firman lain yang artinya: Ketika orang-orang kafir
menanamkan ke dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyyah lalu
Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min (QS
48:26). Dan ayat yang menggambarkan kejahiliyahan dalam bentuk pembicaraan yang
tidak bermanfaat adalah firman Allah yang artinya: Dan apabila mereka mendengar
perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka
berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, kesejahteraan
atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang jahil” (QS
28:55).
Kejahiliyahan dalam akhlak telah membawa dampak negatif yang sangat
besar sejak masa lalu hingga hari ini dan hari kiamat nanti. Terjadi kerusakan
dibidang perekonomian, kemanusiaan, kekeluargaan, kemasyarakatan hingga
lingkungan hidup yang didiami oleh manusia dan manusia mengalami akibat dari
semua itu, Allah berfirman yang artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar). (QS 30:41).
3. Jahiliyah
Dalam Hukum.
Dalam masalah hukum, Allah Swt juga menggunakan kata
jahiliyah untuk hukum-hukum selain dari hukum Allah atau hukum yang
bertentangan dengan hukum-Nya. Itu sebabnya seorang muslim jangan menggunakan
hukum yang lain kecuali hukum Allah atau jangan gunakan hukum yang bertentangan
dengan hukum-hukum Allah. Dalam pelaksanaan hukum, manusia sebenarnya mencari
keadilan dan manusia tidak akan memperoleh keadilan itu kecuali apabila
hukum-hukum Allah ditegakkan. Karena itu, amat aneh apabila manusia ingin
mendapatkan keadilan yang hakiki, tapi hukum-hukum lain, yakni hukum yang
bertentangan dengan hukum Allah diperjuangkan penegakkannya. Hukum yang datang
dari Allah memberikan keadilan bagi umat manusia, baik dalam masalah pribadi,
keluarga maupun masyarakat, negara dan bangsa. Allah berfirman yang artinya:
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin (QS 5:50).
Sebagai
sebuah contoh, ketika beberapa orang sahabat datang kepada Rasulullah Saw untuk
meminta komentar atas terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan para pembesar
masyarakat tapi mereka dibiarkan saja dengan kesalahan dan dosa yang mereka
lakukan, maka Rasulullah menegaskan: “Seandainya anakku, Fatimah mencuri, akan
aku potong tangannya”. Disamping itu,
ketika Ali bin Abi Thalib mengajukan ke pengadilan seorang Yahudi yang mencuri
baju besinya kepada Khalifah Umar bin Khattab, maka di pengadilan itu, Umar
justeru membebaskan orang Yahudi dari segala tuduhan, karena kesalahan yang
dilakukannya tidak bisa dibuktikan secara hukum. Tegasnya amat banyak contoh
dalam sejarah yang menggambarkan betapa bila hukum-hukum Allah ditegakkan,
manusia akan mendapatkan keberuntungan, bahkan tidak hanya bagi kaum muslimin,
tapi juga mereka yang non muslim. Sementara ketika hukum-hukum jahiliyah yang
tegak, maka yang menderita bukan hanya mereka yang jahiliyah, kita yang taat
kepada Allah juga bisa merasakan akibat buruknya. Hanya persoalannya, begitu
banyak manusia yang “bodoh” sehingga tidak bisa membedakan mana yang haq dan
bathil dan akibatnya tidak bisa menjatuhkan pilihannya kepada kepada yang haq
itu.
Oleh karena itu, siapa saja yang tidak mau berhukum kepada
hukum Allah, ada dimasukkan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, Allah
berfirman yang artinya: Barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS 5:44).
Dalam
kehidupan kita di dunia ini, tiga persoalan di atas merupakan sesuatu yang
tidak terpisah-pisah, yakni aqidah, syari’ah dan akhlak. Karena itu, apabila
pada tiga sisi ini tidak sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam
diri kita, itu berarti teterjadi kejahiliyahan pada diri kita yang tentu saja
harus kita jauhi, karena kejahiliyahan merupakan sesuatu yang tercela dan itu
sebabnya, Rasulullah Saw bertugas membebaskan manusia dari segala unsur
kejahiliyahan.