FALSAFAH PENDIDIKAN KIMIA JABBIR BIN HAYYAN
FALSAFAH PENDIDIKAN KIMIA JABBIR
BIN HAYYAN
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Masa Daulah Islamiyah
Dosen Pembimbing : Drs.
Amir Mahrudin, M.Pd.I
Disusun oleh : Wandi
Budiman : F.1010297
PROGRAM STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS STUDI ISLAM UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR 2011
KATA PENGANTAR
Segala Puji hanya
milik Allah tuhan semesta alam, yang telah memberikan taufik dan hidayahnya
kepad kita semua. sehingga pada akhirrnya penyusun dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini, yang berjudul ”Falsafah Pendidikan Kimia Jabbir bin
Hayyan”.
Shalawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi
Besar Muhammad SAW. Tidak lupa shalawat dan salam semoga tercurah kepada
keluarganya, para sahabatnya, para tabiin dan tabiut tabiin serta kepada
umatnya yang selalu berpegang teguh menjalankan ajarannya.
Penyusun menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan baik dari segi bahasa maupun dari segi pembahasannya,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan memperbaiki
penulisan ini.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada
dosen pembimbing, teman-tema dan semua pihak yang telah membantu dan memotivasi
penyusun dalam penulisan makalah ini, mudah-mudahan apa yang telah diberikan
dibalas dengan pahala yang berlipat
ganda oleh Allah SWT. Amin.
Bogor, 19 November
2011
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
C. Tujuan Penulisan
BAB II Pembahasan
A.Biografi Jabir bin Hayyan
A. 1.Kehidupan jabbir bin Hayyan
A. 2. Karya – karya Jabbir bin Hayyan
B. Tinjauan Terminologis Pendidikan Kimia Jabbir bin Hayyan
C. Landasan filosofis Pendidikan kimia Jabir bin hayyan
C.1. Pandangan Jabir bin hayyan tentang ketuhanan
C.2.Pandangan Jabir bin hayyan tentang Alam semesta
C.3. Pandangan Jabir bin hayyan tentang Manusia
C.4. Pandangan Jabir bin hayyan tentang Ilmu Pengetahuan
C.5. Pandangan Jabir bin hayyan tentang Metode Ilmiah
BAB III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya kurang
memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan
tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan
yang mendalam. Kebijakan-kebijakan
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan. Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih
berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan
politis dan golongan.
Para ulama atau Ilmuwan muslim pada masa itu mempunyai
banyak andil dalam kehidupan masyarakat baik dalam kegiatan peribadahan, pendidikan, penelitian dan lain
– lain. Mereka berjuang hanya untuk melaksanakan kewajiban mereka kepada Allah
yaitu beribadah bukan untuk mendapatkan kehidupan keduniaan. Diantara para
ulama atau cendikiawan muslim pada masa itu adalah jabber bin hayyan, beliau
merupakan ilmuawan yang sangat terkenal dengan kepandaiannya dibidang kimia
sehingga mendapatkan gelar bapak kimia.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari Penulisan makalah yang berjudul perencanaan dan
pengembangan karir ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Masa Daulah Islamiyah.
2. Menambah
wawasan keilmuan mengenai Ilmuwan Muslim pada masa daulah umawiyah yitu Jabbir
bin Hayyan yang sudah sering terlupakan seiring perkembangan jaman.
3. Memberikan
informasi kepada rekan mahasiswa khususnya dan kepada halayak ramai umumnya,
mengenai Ilmuawan Muslim pada masa daulah umayah yaitu Jabbir bin Hayyan, yang
pada masa sekarang ini sangat jarang orang mengenalnya bahkan orang – orang
muslim pun kadang melupakaanya, karena telah tergantikan oleh ilkmuwan –
ilmuawan barat.
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Jabbir bin Hayyan
A.1. Kehidupan Jabir bin Hayyan
Kajian mengenai ilmu kimia
merupakan sumbangan penting yang diwarisi daripada cendekiawan Muslim bagi
tamadun moden. Cendekiawan serta ahli sejarah Barat juga mengikuti asas ilmu
kimia moden diambil daripada ahli kimia Muslim.
Justeru gelaran Bapa Kimia Moden telah diberikan kepada ahli
kimia Muslim Jabir Ibnu Hayyan. Jabir Ibnu Hayyan atau nama penuhnya Abu Musa
Ibn Hayyan Al-Azdi lebih dikenali sebagai Geber di dunia Barat. Beliau juga
kadang kala dipanggil al-Harrani atau al-Sufi merupakan seorang anak penjual ubat.
Jabir dikatakan belajar di bawah seliaan Imam Jaâafar Sadiq dan putera Umayed
iaitu Khalid Ibn Yazid. Sebelum itu beliau menuntut ilmu dalam bidang perubatan
di bawah naungan Barmaki Vizir semasa zaman Khalifah Abbasyiah Harun al-Rashid.
Jabir Ibn Hayyan yang lahir pada 721 Masehi di Tus, Iran dan
meninggal dunia dalam tahanan rumah di Kufah, Iraq pada 815 Masehi. Seorang
ahli kimia Jerman pada abad ke-18, Will Durant dalam bukunya The Story Of
Civilization IV: The Age of Faith mengakui kehebatan cendekiawan Muslim semasa
zaman khalifah dalam ilmu kimia. Malah Durant berkata, kimia merupakan ilmu
yang hampir seluruhnya diciptakan semasa Tamadun Islam mengalahkan tamadun
Yunani yang memberikan hipotesis yang samar-samar. Manakala dalam tamadun
Islam, saintisnya telah memperkenalkan pemerhatian yang tepat, eksperimen
terkawal, serta catatan atau dokumen yang begitu terperinci. Malah sejarah
mencatatkan tamadun peradaban Islam di era kejayaan telah melakukan revolusi
dalam bidang kimia.
Cendekiawan Islam telah mengubah teori-teori ilmu kimia
menjadi sebuah industri yang penting bagi peradaban dunia. Dengan memanfaatkan
ilmu kimia, ilmuwan Islam di zaman kegemilangan telah berhasil menghasilkan
sederet produk dan penemuan yang sangat dirasakan manfaatnya hingga kini.
Berkat revolusi sains yang dicetuskan cendekiawan Muslim, dunia mengenal
pelbagai industri yang melibatkan kimia.. Tidak dinafikan bahawa alkohol,
nitrat, sulfur dan natrium dan kalsium merupakan unsur penting dalam kehidupan
manusia moden adalah hasil penemuan cendekiawan Islam.
Revolusi ilmu kimia yang dilakukan cendekiawan Muslim semasa
zaman kegemilangan telah melahirkan pelbagai teknik seperti sublimasi,
pengkristalan kapur, penyulingan, celupan dan penyucian. Hasil kajian yang
dijalankan terhasil teori pengoksidaan-penurunan yang begitu popular hingga ke
hari ini. Unsur penting seperti asid hidroklorik, asid nitrat dan asid asetat
lahir daripada hasil penelitian dan pemikiran Jabir. Kajian berkenaan merupakan
salah satu kejayaan dalam penyulingan alkohol.
Sumbangan terbesar beliau adalah dalam bidang kimia dalam
memperkenalkan penyiasatan penyelidikan dalam bidang alkimia yang mengubah
dalam bentuk yang lebih moden. Makmalnya menjadi terkenal selama beberapa abad
tetapi kemasyhurannya diabadikan pada 100 buah buku ilmiah dan 22 daripadanya
berkaitan dengan kimia dan alkimia. Antara dua buah bukunya yang terkenal
adalah Kitab al-Kimya dan Kitab al-Sabâeen.
Beliau juga telah menemukan mineral dan asid lain yang
disediakan bagi alembicnya yang pertama. Alembic merupakan salah satu
ciptaannya yang teragung yang menjadikan proses penyulingan lebih mudah serta
bersistematik. Salah satu pencapaian penting lainnya dalam revolusi kimia
adalah mendirikan industri minyak wangi.
A.2. Karya Jabbir bin Hayyan
Daftar karya-karya yang pernah dikarang Jabir, banyak
terdapat dalam “Fihrist” yang merujuk pada daftar karangan yang dibuat oleh
Jabir sendiri, yang telah dikoreksi secara menyeluruh. Kumpulan tulisan Ibnu
Hayyan tersebut terbagi dalam beberapa kumpulan yang sangat penting yaitu:
Buku-buku yang
berisi esei-esei, yang sistematikanya tampak agak kacau, tentang praktek alkemi
dengan beberapa acuan yang menunjuk pada alkemi kuno (Zosimus, Democritus,
Hermes, Agathodemon).
Buku-buku yang
berupa sebuah eksposisi sistematik tentang pengajaran alkemi oleh Jabir Ibnu
Hayyan
“Kutub al-Mawazin”
(“Books of the Balances”, kitab mengenai kesetimbangan-kesetimbangan), sebuah
eksposisi mengenai landasan-landasan teori, atau lebih merupakan
landasan-landasan filosofi alkemi dan ilmu-ilmu gaib.
Buku-buku yang
terdiri dari naskah-naskah yang menyelidiki secara lebih menyeluruh dan lengkap
masalah-masalah tertentu dari kitab “Kutub al-Mawazin”
Keempat kumpulan ini menandai gelanggang ilmu pengetahuan
dalam perkembangan doktrin Jabirian dan dalam komposisi kumpulan tulisan. Untuk
itu ditambahkan lagi kumpulan tulisan lain, yang lebih kecil, yang membagi
alkemi dalam kaitannya dengan komentar-komentar mengenai karya-karya
Aristoteles dan Plato, kemudian naskah-naskah tentang filsafat, atronomi,
astrologi, matematika, musik, kedokteran, magic dan terakhir karya-karya
menyangkut keagamaan.
B. Tinjauan Terminologis Pendidikan Kimia Jabir
Secara terminologis, tulisan-tulisan Jabir bin Hayyan banyak
memuat aspek-aspek pendidikan kimia.
Meskipun tidak secara khusus menyebutkan peristilahan pendidikan kimia,
namun muatan terminologis yang berkaitan dengan pendidikan secara umum, maupun
pendidikan kimia akan banyak ditemukan.
Diantara terminologi yang dapat dikaitkan, misalnya, Jabir banyak menyebutkan peristilahan ta’lim dan kimia.
Berkaitan dengan terminologi ta’lim, Jabir banyak
menyebutkan dalam karya-karyanya, dan secara khusus menulis bab tersendiri
tentang adab seorang pelajar dalam menuntut ilmu. Secara terminologi, kata ta’lim berarti
memberitahukan, menerangkan, mengkhabarkan, yaitu memberitahukan atau
menerangkan sesuatu (ilmu) yang dilakukan dengan berulang-ulang dan sering
sehingga dapat mempersepsikan maknanya dan berbekas pada diri muta’allim.[1]
Dalam pandangan Rosyidin (2003:109), ta’lim dapat berkenaan dengan aspek
intelektual dan penguasaan keterampilan.
Atau, ta’lim dapat diartikan dengan makna pengajaran dan kadang juga
diartikan pendidikan. Dalam hal ini, terminologi ta’lim yang terdapat pada
karya-karya Jabir dapat diartikan sebagai proses pengajaran dan atau pendidikan
yang berkenaan dengan pengetahuan (aspek informasi) kimia dan penguasaan
keterampilan kimia.
Kandungan makna dari ta’lim juga menyiratkan kegiatan yang dilakukan
oleh mu’allim dan muta’allim yang menuntut adanya adab-adab tertentu dan
sekaligus dapat digolongkan kepada syarat-syarat ta’lim, sebagaimana diungkap
oleh Al-Juziy dalam Rosyidin (2003:110).
Berkaitan dengan ini, secara khusus Jabir bin Hayyan juga menjelaskan
syarat-syarat dalam pengajaran kimia pada Bâb fî Tartîb Ta’lîm
al-Muta’allim,[2] dan juga membahas adab-adab interaksi muta’allim dengan
ustadz,[3] sebagaimana akan dijelaskan bagian berikutnya secara tersendiri.
Sementara itu, terminologi yang berkaitan dengan kimia dapat
ditelusuri dari kata-kata yang berarti alkhemi atau kimia. Bila dikaji perkembangan kimia industri yang
ada pada peradaban Islam, maka tidak ditemukan perbedaan yang berarti antara
alkhemi (alchemy) dan kimia (chemistry). Kata Arab al-Kimya dipakai untuk
mendefinisikan alkhemi dan kimia dalam aspek teknologi, yang mencakup
proses-proses yang terlibat dalam penyulingan minyak bumi, parfum, dan
bahan-bahan lain, maupun dalam pembuatan bahan pencelup, tinta, gula, gelas,
dan banyak produk lain. Secara khusus,
sangat sedikit ditemukan penyebutan langsung tentang terminologi kimia. Di antara sedikit penyebutan lafazh kimia ataupun
alkhemi tersebut, misalnya seperti seperti ungkapan Jabir berkaitan dengan
proses pencelupan sebagai berikut:
و كذلك الكيمياء
إنما هي إعطاء الأجسام أصباغا لم تكن لها, فاعرف ذلك إنشاء الله تعالى[4]
Demikian ilmu kimia, yang mana (dengan itu) memberikan
celupan-celupan yang tidak ada sebelumnya pada suatu benda. Maka pahamilah hal itu.
Ungkapan Jabir di atas nampaknya dapat diparalelkan dengan
pengertian perubahan kimia sebagaimana dikenal pada kimia modern. Berbeda dengan perubahan fisika yang tidak
menghasilkan zat yang baru, perubahan kimia selalu menghasilkan zat yang
sifatnya berbeda dari zat-zat sebelum perubahan. Perubahan kimia disebut juga
sebagai reaksi kimia.[5]
Minimnya penggunaan lafazh al-kimiyya (alkhemi) dalam
tulisan Jabir, diduga dipengaruhi persepsi mistis yang melekat pada istilah
alkhemi sejak masa sebelumnya. Meskipun demikian, Jabir banyak menggunakan
istilah lain untuk menggambarkan proses yang pada perkembangan ilmu pengetahuan
modern dapat dikenali sebagai proses kimia.
Dari analisis terhadap kandungan isinya, serta sumber-sumber lain, dapat
disimpulkan bahwa terminologi kimia dapat digunakan untuk istilah الصناغة yang banyak terdapat dalam buku tersebut, di
samping proses-proses yang tidak secara langsung menyebutkan istilah tersebut
seperti التدبير, التكوين
, ataupun التركيب .
Misalnya, Jabir menggunakan kalimat
الصناغة
ketika menggambarkan perubahan-perubahan fisik pada fenomena kimiawi.
ينبغي أن تفهم أولا من الصناعة شيئا يسيرا. وهو أن تعلم ما يحمر وما يبيض
وما يعقد وما يحل وما يلين وما يخفف, وكل ذلك على طريق الميزان[6].
“Perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa shina’ah (kimia)
merupakan hal yang mudah, yaitu mempelajari apa-apa yang membuat jadi merah,
memutihkan, mengkristalkan, mengentalkan, mengencerkan, melembutkan,
menipiskan. Kesemuanya dapat berlangsung dengan metode mizan (proporsi
zat).”[7]
Penggunaan kata الصناغة dalam konteks fenomena kimiawi dapat
dipahami, bahwa pada masa tersebut proses-proses kimiawi yang berkembang pada
masa itu sejalan dengan perkembangan bidang kerajinan dan industri. Karena itu, reaksi-reaksi kimiawi yang
dikembangkan oleh Jabir bin Hayyan juga tidak lepas dari hubungannya industri
untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat waktu itu.
Adapun istilah kimia sebagai suatu disiplin ilmu, tampaknya
dapat diwakili dengan istilah علم الصنعة, yang dapat dipadankan juga dengan istilah
lain, العلم بالإكسير
yang didefinisikan sebagai ilmu tentang sesuatu zat yang disusun/dibuat
dengan bahan pencelup, pereaksi yang merubah zat itu sendiri menjadi zat cair
yang lebih baik.[8] Dalam hal ini terlihat inkonsistensi Jabir dalam hal
penggunaan istilah علم الصنعة
atau الصناغة .
Analisis penulis untuk mendapatkan kerangka pemikiran
pendidikan Jabir bin Hayyan dilakukan berdasarkan telaah dan langkah-langkah
sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan.
Berdasarkan penelusuran terhadap acuan utama, yaitu kitab Mukhtâr
Rasâ`il volume 1, diperoleh gambaran umum bahwa buku tersebut membahas banyak
hal, dalam rentang topik yang cukup luas.
Setidaknya ditemukan bahwa Mukhtâr Rasâ`il volume 1 berisi berbagai
pembahasan yang di antaranya berkaitan dengan filsafat, teologi, ilmu kalam,
logika, aspek-aspek teknis kebahasaan, anatomi, mineral, tumbuhan dan hewan,
serta pendidikan. Dalam hal ini,
berbagai topik tersebut diklasifikasikan pada dua aspek penting, sesuai dengan
orientasi bahasan, yaitu aspek kimia dan kependidikan. Pembahasan tentang kimia sendiri, dalam
pengertian menyangkut konsep-kimia secara umum, dan proses pembelajaran kimia
juga banyak terdapat.
Berdasarkan identifikasi kandungan isi terlihat bahwa buku
Mukhtâr Rasâ`il volume 1 memiliki cakupan bahasan yang luas, meliputi berbagai
disiplin ilmu. Cakupan selengkapnya dari
keseluruhan isi buku tersebut cukup sulit untuk diinventarisir secara lengkap
karena beberapa hal. Di antaranya,
kerumitan bahasa dan terminologi yang digunakan. Sebagian kosa kata yang terdapat pada buku
tersebut cukup sulit untuk dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia
kontemporee, maupun karena kesulitan untuk memastikan arti yang tepat dari
berbagai istilah yang sekarang sulit ditemukan.
C. Landasan Filosofis Pendidikan Kimia Jabir bin
Hayyan
Sebagaimana lazimnya, pemikiran dan cara pandang seseorang
sangat dipengaruhi oleh cara pandangnya terhadap persoalan-persoalan mendasar
kehidupan. Dengan kata lain, cara
pandang dan pemikiran seseorang terhadap suatu persoalan, termasuk pendidikan,
dipengaruhi oleh pandangan filosofis yang dianut oleh orang tersebut. Dalam aspek ontologis, Jabir banyak menyoroti
hal-hal yang berkenaan dengan pandangan ketuhanan, alam semesta dan keberadaan
manusia.
Dalam hal ini, pandangan-pandangan Jabir tidak banyak
berbeda dengan pandangan para filosof setelahnya yang lebih banyak dikenal,
semisal al-Farabi, Ibnu Sina, ataupun
al-Kindi. Namun, dalam aspek
epistemologis, Jabir terlihat memiliki pandangan yang spesifik dan menarik
sebagai suatu pendekatan baru dalam epistemologi pendidikan Islam. Sebagaimana
telah diuraikan pada bagian pendahuluan, Mujammil Qomar menjelaskan bahwa, dari
hasil telaahnya, diperoleh lima macam metode yang secara efektif untuk membangun
pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu metode rasional, intuitif,
dialogis, komparatif, dan metode kritik.
Dalam konteks epistemologi pendidikan Jabir bin Hayyan,
tampak bahwa perlu ditambahkan metode epistemologi lain yang belum dirumuskan oleh
Mujammil Qomar (2005).[9] Metode itu adalah metode eksperimen (manhaj
tajribiy), yang bila ditelaah berdasarkan metode-metode analisis filsafat,
merupakan salah satu metode epistemologi yang cukup penting. Terlihat dalam berbagai pandangan Jabir, metode
eksperimen merupakan metode epistemologis yang penting di samping metode
lainnya.
Metode eksperimen ini, sesungguhnya bukan merupakan hal yang
asing dalam khazanah kajian filsafat.
Anton Bakker (2004) membedakan metode eksperimen ini dari metode empiris
secara tersendiri.[10] David Hume (1711-1776) yang disebut-sebut oleh Bakker
sebagai pelopor metode ini, berada jauh di belakang masa kehidupan Jabir bin
Hayyan. Karenanya, Jabir dapat dianggap sebagai pelopor sesungguhnya dari
metode eksperimen tersebut.
C.1. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang
Ketuhanan
Tauhid adalah asas keimanan dalam Islam. Al-Qur’an selalu
menyinggung masalah ini dalam setiap suratnya. Manusia sendiri secara naluriah
selalu merasakan kebutuhan dan merasakan adanya kekuatan maha besar di luar
dirinya, yang menguasai, mengatur, mengarahkan, serta menentukan arah kehidupannya. Sebagai Muslim, Jabir menjadikan agamanya
sebagai landasan yang kuat bagi gerak langkahnya dalam mengawali berbagai
aktivitasnya. Untuk itulah dia pun akan mendahului kegiatannya dengan ibadah.
Hal ini tentunya tidak lain agar apa yang dilakukannya itu mendapat ridha dan
petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jabir baru akan melakukan segala kegiatan
ilmiahnya usai melakukan shalat nawafil disertai wirid. Usai shalat, Jabir
berkemas lalu mendatangi laboratoriumnya, meskipun laboratoriumnya itu bukanlah
seperti laboratorium modern sepeti saat ini yang dipenuhi berbagai peralatan
eksperimen.[11]
Prinsip ketauhidan yang kokoh seperti pada deskripsi di
atas, kelihatannya cukup menonjol terlihat dalam tulisan-tulisan Jabir. Pada hampir setiap bab dari karya-karya
tulisnya, Jabir seringkali memasukkan kalimat-kalimat yang mengingatkan
kebesaran dan keagungan Allah SWT.
Secara integral, dalam setiap pembahasan yang dilakukannya pada hampir
setiap bab karyanya, niscaya dapat ditemukan kalimat-kalimat thayyibah. Nampaknya, suasana aplikasi keimanan seperti
ini, termasuk yang ingin ditanamkan oleh Jabir terhadap pembacanya. Terlihat, meskipun Jabir tidak secara khusus
membuat tulisan dan pembahasan yang berkaitan langsung dengan pokok-pokok
keimanan dan ajaran agama Islam, Jabir banyak mengintegrasikan nilai-nilai dan
muatan keimanan dalam tulisannya. Dalam
beberapa tempat, meskipun tidak dominan, Jabir juga mengutip satu-dua ayat
maupun hadits yang berkaitan dengan pembahasan.[12]
Secara khusus, Jabir memandang penting konsep keikhlasan
dalam kehidupan. Penjelasan tentang konsep ikhlas ini, dalam beberapa tempat
digambarkan dengan deskripsi yang dapat juga ditafsirkan sebagai gambaran
proses-proses kimiawi. Misalnya,
[13]…. والإخلاص هو تفرد المادة و خلولها من
الأوصاف المشاركة لها بحال من الأحوال ….
“Keikhlasan berarti menyendirikan materi dan mengosongkannya
dari sifat-sifat yang bersekutu dengannya pada suatu keadaan tertentu”
Lebih jauh, Jabir juga mengingatkan dampak negatif dari
lemahnya keikhlasan dengan menyatakan bahwa orang yang tidak memperhatikan
keikhlasan akan sulit untuk menjadi seorang mujtahid yang obyektif terhadap
berbagai pandangan dan pendapat.
Rusaknya keikhlasan akan membawa orang cenderung mencari popularitas,
dan hal ini tidak akan membawa pada derajat yang tinggi baik di dunia maupun di
akhirat.[14]
C.2. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang Alam
Semesta
Alam semesta diciptakan Allah bukan tanpa tujuan (al-Dukhân:
38-39).
38. Dan Kami tidak menciptakan
langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.
39. Kami tidak menciptakan
keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Surat al-Nahl: 12-16 mengungkapkan bahwa penciptaan alam
semesta adalah untuk kepentingan manusia (li al-taskhīr). Namun di sisi lain,
manusia juga dituntut untuk menjaga kesatuan dan keserasiannya dengan
memberikan peringatan akan kerusakan ekosistem yang mungkin akan diperbuat oleh
manusia, seperti dikemukakan dalam surat al-Rūm: 41. Dengan kata lain, alam
semesta diciptakan sejalan dengan tujuan hidup manusia, atau sebagai mitra
manusia dalam melaksanakan tugas Allah yang dibebankan kepadanya.
Agar potensi alam itu dapat didayagunakan secara maksimal,
manusia harus berusaha untuk mengenalinya, melalui ilmu pengetahuan (Âli
‘Imrân: 190-191). Cara manusia memahami atau mengetahui alam semesta itu ialah
dengan mengenali kenyataan-kenyataan dan fenomena-fenomenanya, serta memahami
hikmah dari penciptaannya.
Jabir bin Hayyan terlihat menyadari betul hal itu.
Karenanya, ia banyak memperingatkan akan pentingnya ilmu dan tujuannya, yaitu
demi kebahagiaan dunia dan akhirat (li sa’âdat al-dârain) dan sebagai pemenuhan
sebuah kewajiban agama. Ia juga mendorong setiap orang untuk mencarinya, dan
menunjukkan fungsinya untuk kehidupan serta peranannya dalam menuju iman yang
sejati dan agama yang benar.
Jabir bin Hayyan banyak terdorong untuk senantiasa memperhatikan
dan mentafakkuri alam semesta sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. Proses tafakkur Jabir, kelihatannya dilakukan
juga dalam bentuk observasi sebagaimana dimaksudkan sebagai salah satu ciri
khas Ilmu Pengetahuan Alam modern.
Sebagai buah dari tafakkurnya tersebut, Jabir mampu memahami dan
menguasi berbagai ilmu-ilmu kealaman.
Pandangan-pandangan dan konsepsinya tentang alam semesta bertebaran
sangat banyak dalam karyanya. [15]
Jabir terlihat tidak hanya menguasai alkhemi, tetapi juga
teori-teori dan konsep-konsep yang berkaitan dengan disiplin ilmu lain. Misalnya, pada bagian awal Mukhtâr Rasâ`il,
Jabir mengungkapkan klasifikasi alam, yang secara sistematis dan terinci,
kemudian diteruskan dengan penjelasan klasifikasi benda-benda langit, tumbuhan
dan hewan. Jabir juga banyak mengungkap
fenomena kealaman seperti sifat-sifat dan klasifikasi air, fenomena hujan dan
salju, fenomena petir dan kilat, rasi bintang, dan lain sebagainya. Hal-hal
tersebut dibicarakan Jabir secara gamblang secara tersendiri, misalnya pada
kitab Ikhrâj Mâ fi al-Quwwah. Penguasaannya akan berbagai fenomena alam
tersebut tampak jelas terinspirasikan dari tradisi ilmiah yang diwarnai oleh
nilai-nilai spiritual.
C.3. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang Manusia
Islam telah memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai
manusia, mengenai hakekatnya, mengenai hidup dan perjalanannya, mengenai
karakter dan potensinya, serta mengenai hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama
dan dengan lingkungannya. Dalam pandangan Jabir bin Hayyan, kemuliaan seorang
manusia akan dicapai manakala manusia memiliki kematangan jiwa, tekun dan
bekerja keras untuk menguasai ilmu sampai pada derajat mampu menyampaikan
kepada orang lain.[16] Di sini terlihat bahwa Jabir memberikan apresiasi
tersendiri pada pemanfaatan akal untuk memahami ilmu.
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk Allah yang paling sempurna (al-Thîn: 4). Tidak ada
yang lebih tinggi lagi dari manusia kecuali Allah.
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
Al-Qur’an menunjukkan
hal itu melalui kisah sujudnya malaikat kepada Adam (al-Baqaraħ: 31).
Dan Dia mengajarkan kepada Adam
Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Akan tetapi, manusia
juga memiliki potensi untuk menjadi makhluk yang paling rendah (al-Thîn: 5),
bahkan lebih rendah dari binatang (al-A’râf: 179). Jadi, manusia adalah makhluk
yang memiliki potensi untuk baik dan jahat sekaligus.[17] Kondisi seperti itu,
adalah karena karakter unsur pembentuk manusia itu sendiri. Manusia diciptakan
Allah dari turâb (tanah) yang melambangkan kerendahan derajatnya karena ia
merupakan unsur jasmani yang tidak memiliki perbedaan dengan asal-asal makhluk
hidup yang lain seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Materi asal manusia yang
lain adalah ruh yang menjadikan manusia memiliki potensi untuk luhur, atau
merupakan lambang keluhurannya. Jelasnya,
komponen utama manusia adalah ruh dan
jasad. Jika jasad (turâb) bersifat materi (jasmani), maka ruh bersifat
immateri. Dalam hal ini Jabir mendefinisikan ruh sebagai sesuatu lembut, yang
mengalir sepanjang tubuh yang ditempatinya.[18]
Dalam pandangan Jabir, manusia tidak hanya tersusun dari
materi, tetapi di samping unsur materi yaitu tubuh, juga unsur immateri yaitu
ruh. Dalam pada itu ruh mempunyai dua daya, daya berpikir yang disebut akal dan
yang berpusat di kepala dan daya merasa yang disebut kalbu [dari kata Arab
Qalb] atau hati nurani yang berpusat di dada.
Jabir bin Hayyan juga mengaitkan kedudukan tinggi seorang
manusia dengan ilmu dan pengajaran.
Jabir mengutip Imam Ali yang mengatakan bahwa manusia terbagi 3
golongan, yaitu Alim Rabbaniy yang senantiasa mengatakan kebenaran dan beramal
dengannya, Pelajar yang menuntut ilmu
dan mengamalkan apa yang diperoleh, serta Orang Lapar Yang Bodoh yang tidak
berilmu dan tidak juga beramal.[19]Terlihat bahwa Jabir memandang tinggi orang
yang berilmu dan yang mau menuntut ilmu, sehingga status kemuliaan manusia
dihubungkannya dengan kedudukan dan posisinya terhadap ilmu pengetahuan.
Jabir memperhatikan pentingnya memperhatikan watak dan
karakter, karena watak itulah yang akan membawa manusia pada kesucian
jiwa. Jabir juga menyarankan tashfiyaħ
dan riyâdhaħ dalam rangka pembentukan watak dan karakter manusia tersebut.[20]
Jabir juga menyebutkan bahwa jiwa merupakan penyempurna dari akal, yang akan
menjadi sumber dari segala perbuatan dan tingkah laku. Secara esensi, Jabir menekankan jiwa sebagai
substansi ilahiy yang akan menghidupkan jasad[21]. Karena itu perlu senantiasa dijaga kesucian
dan kebersihannya.
C.4. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang Ilmu Pengetahuan
Sebagai wujud dari kecintaannya kepada ilmu pengetahuan dan
sekaligus penggambaran dari keluasan pengetahuanya, Jabir juga berbicara
tentang ilmu pengetahuan. Jabir bin Hayyan Pandangan Jabir bin Hayyan tentang
klasifikasi ilmu pengetahuan cenderung dipengaruhi oleh prinsip dualitas, dan
karenanya juga terkesan dikhotomis.
Jabir bin Hayyan membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bagian, yaitu ilmu
Agama dan ilmu Dunia. Ilmu Agama dibagi
menjadi 2 kelompok ilmu, yaitu ilmu-ilmu Syar’iyyan dan ilmu-ilmu
‘aqliyan. Adapun ilmu ‘aqliyan dibagi
lagi menjadi ilmu hurûf dan ilmu ma’ani.
Selanjutnya ilmu huruf dibagi lagi menjadi ilmu Thabi’i dan ilmu Ruhani.
Ilmu Thabi’i dibagi menjadi empat bagian, yaitu Panas, Dingin, Kering dan
Lembab.
Ilmu yang bersifat Ruhani dibagi lagi menjadi dua bagian,
yaitu ilmu Nûrâni dan Zhulmânîy. Sementara itu, ilmu Ma’ânî dibagi juga menjadi
2 bagian yaitu ilmu yang bersifat Falsafiyan dan ilmu Ilâhiyan. Sedangkan ilmu Syar’iyyan terbagi menjadi
ilmu-ilmu yang Zâahiran dan Bâthinan.
Sementara itu, ilmu Dunia juga
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ilmu Syarifan dan Wadh’iyan (Buatan).[22]
Berdasarkan uraiannya tentang ilmu pengetahuan, terlihat
bahwa Jabir memiliki konsep ilmu pengetahuan yang cukup komprehensif. Klasifikasi yang dilakukannya, meskipun
terkesan mendikhotomikan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia, terlihat
masih dalam taraf yang dapat diterima.
Klasifikasi ini merupakan pandangan yang sangat maju melampaui zamannya,
di tengah belum berkembangnya cabang-cabang ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan ilmu-ilmu yang telah berkembang pada waktu
itu, Jabir memasukkan sains kealaman (ilmu Thabî’iyah), ilmu astrologi (ilmu
nujum), matematika, dan ilmu teknik ke dalam ilmu falsafi. Sedangkan ilmu penyamakan kulit, pembuatan
parfum, serta pencelupan/pewarnaan termasuk ke dalam industri kerajinan
tangan. Industri kerajinan tangan
sendiri juga masih diklasifikasikan lagi oleh Jabir menjadi 2 kelompok, yaitu
murâdu linafsihi (yang dimaksudkan untuk industri itu sendiri) dan murâdu
lighairihi (yang dikehendaki untuk bidang lain). Kedalam kelompok murâdu linafsihi dapat
disebutkan contohnya adalah elixir untuk pencelupan yang sempurna. Sedangkan ke dalam kelompok murâdu lighairihi
ada dua bentuk, yaitu pengobatan dan reaksi-reaksi kimia. Pengobatan sendiri, yaitu pengobatan dengan
menggunakan batu dan ramuan kimia.
Pengobatan dengan ramuan kimia juga ada yang bersifat batin, dan ada
juga yang bersifat pengobatan luar.
Begitupun, pengobatan ramuan ada yang menggunakan ramuan sederhana
maupun ramuan yang kompleks.[23]
Demikian, terlihat Jabir berupaya mensistematiskan
klasifikasi ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada waktu itu. Namun, tampaknya klasifikasi yang dibuat oleh
Jabir, meskipun terlihat rumit, di sisi lain menunjukkan ketelitian dan
kedalaman berfikir Jabir. Klasifikasi
tersebut kelihatannya dapat mengakomodasi ilmu-yang berkembang setelah masa
Jabir, seperti astronomi, biologi, dan lain sebagainya. Tentunya dengan penyesuaian di sana-sini.
Berkaitan dengan klasifikasi ilmu sebagaimana diuraikan di
atas, nampaknya Jabir terpengaruh dengan prinsip dualitas, di mana Jabir
membagi ilmu pengetahuan menjadi 2 macam, dan masing-masing ilmu tersebut
dibagi lagi menjadi 2 bagian, demikian seterusnya. Prinsip ini hanya dilanggar pada pembagian
ilmu Thabi’iyan yang dikelompokkan menjadi 4, yaitu ilmu tentang panas, dingin,
kering dan basah.[24]
Di samping itu, Jabir juga secara khusus menulis bab
tersendiri tentang ilmu-ilmu yang tertentu.
Jabir menyebutnya Suba’iyah (ilmu yang tujuh), yang terdiri atas Ilmu
ketabiban, Ilmu Kimia, Ilmu tentang Khasiat, Ilmu Jampi, Ilmu Astrologi, Ilmu
Alam dan Mizan, Ilmu Geometri. Tentang
ilmu-ilmu tersebut, Jabir memberikan gambaran tentang ilmu tersebut, cakupan
isinya,dan bagaimana memahami ilmu tersebut.[25] Dalam klasifikasi ini, Jabir
bin Hayyan menempatkan Ilmu Kimia sebagai disiplin ilmu tersendiri. Pembagian seperti ini, lebih bercorak
antropsentrik-naturalistik, dan meninggalkan kesan dualistik-dikhotomik yang
terdapat pada versi klasifikasi sebelumnya.
Dalam khazanah pemikiran Islam dikenal adanya dua aliran
klasifikasi ilmu pengetahuan yang berkembang pada abad pertengahan. Aliran pertama bercorak
antroposentrik-naturalistik, yang secara umum mewakili model klasifikasi para
filosof seperti al-Farabi dan Ibnu Sina yang memodifikasi pandangan
Aristoteles. Yang kedua, aliran bercorak
dualistik-dikhotomik, seperti klasifikasi yang dilakukan oleh al-Khawarizmi dan
Ibnu Nadim.[26]
Dalam pandangan Al-Farabi (Kamil Bakri, dalam Anwar : 313),
ilmu pengetahuan dibagi secara konsepsional menjadi 8 macam, yaitu ilmu-ilmu
lisan, ilmu logika, ilmu-ilmu ta’alim (kognitif, mencakup aritmetika, geometri,
retorika, astronomi, musik, dan dialektika), ilmu-fisika, metafisika, ilmu-ilmu
sosial, ilmu fiqh dan ilmu kalam.
Klasifikasi ilmu versi al-Farabi terlihat sangat kental dengan muatan
rasionalitas. Dalam hal ini al-Farabi,
terlihat tidak sepakat dengan pembagian ilmu versi Jabir, dan karenanya
mengeluarkan alkkhemi, dan sains esoteris lainnya (seperti penafsiran mimpi
dll), dari klasifikasi ilmu yang dibuatnya.
Dalam pandangan Nasr, hal ini merupakan suatu keanehan, karena al-Farabi
juga menulis naskah tentang alkhemi dan penafsiran mimpi serta sains esoteris
lainnya.[27]
Sementara itu, pembagian ilmu pengetahuan menurut
Al-Khawarizmi lebih kental bernuansa dualistik-dikhotomik, dimana ilmu
dikelompokkan pada dua bagian besar, yaitu ilmu-ilmu Arab-Islam dan ilmu-ilmu
asing. Dalam pengelompokan ini, kimia termasuk ke dalam ilmu-ilmu asing bersama
dengan filsafat, logika, kedokteran, aritmetika, dan geometri.[28]
Klasifikasi ilmu yang membagi dua ilmu pengetahuan menjadi
ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu keduniaan, yang menguatkan adanya prinsip dualitas
yang dianut Jabir bin Hayyan, tampaknya juga memiliki kemiripan dengan
klasifikasi ilmu menurut Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan
menjadi dua kelompok, yaitu ilmu naqli (traditional science) dan ilmu aqli
(rational science).[29] Pembagian yang mencirikan dualitas nampaknya juga
menjadi ciri menjadi klasifikasi yang dianut oleh Al-Ghazali, dimana ilmu
pengetahuan dibagi menjadi kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu syar’iyyah dan ghair
syar’iyyah (‘aqliyyah), dimana kimia dimasukkan ke dalam kelompok ilmu-ilmu
‘aqliyyah.[30]
Pembagian ilmu pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh Jabir
bin Hayyan maupun para ilmuwan muslim klasik lainnya, menunjukkan keberadaan
ilmu pengetahuan yang masih terintegrasi dalam satu bangun keilmuah Islam yang
utuh dan komprehensif. Hal ini, diduga
merupakan bagian dari pengaruh prinsip tauhid dan ketuhanan yang bersumber dari
prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam
perkembangan ilmu pengetahuan modern berikutnya, sebagai bagian dari tuntutan
perkembangan yang didominasi oleh barat, ilmu pengetahuan cenderung menjadi
terfragmentasi. Pada akhirnya, kondisi
ini memunculkan sekulerasi dan dikhotomi ilmu pengetahuan dan agama yang
menonjol.
C.5. Pandangan Jabir bin Hayyan tentang Metode
Ilmiah
Diantara keunggulan pandangan Jabir yang lain adalah ketika
sains Kimia pasca abad pertengahan mulai banyak digalakkan dan diterapkan di
Barat. Mereka tidak hanya sekedar berhutang budi mengenai penggunaan berbagai
alat, teknik-teknik, dan kosa kata tentang istilah kimia, tetapi yang lebih
penting dan yang lebih mendasar dari kesemuanya adalah awal mula penggunaan
metode eksperimen yang diakui oleh Ilmuwan Barat sebagai milik mereka. Mereka
gaungkan nama salah seorang diantara ilmuwan Barat, Francis Bacon (1561-1626 M)
sebagai perintis metode ilmiah tersebut.[31] Tetapi kenyataan yang sesungguhnya
adalah bahwa metode eksperimen itu merupakan temuan Jabir yang telah ada jauh
sebelum Francis Bacon.
Kenyataan ini dapat dilihat dari metode cara–cara yang
digunakan dan diterapkan Jabir ibn Hayyan ketika melakukan berbagai
eksperimennya. Pada Abad Pertengahan itulah, Jabir melakukan berbagai observasi
dan eksperimen dengan cara-cara yang terstruktur rapi seperti langkah-langkah
dalam metode ilmiah yang saat ini menjadi kerangka kerja para ilmuwan modern.
Patut kiranya bila kita sandangkan kepada Jabir sebagai orang pertama yang
meletakkan dasar pengetahuan dengan langkah-langkah ilmiah seperti melakukan
penyelidikan-penyelidikan, percobaan-percobaan, dan eksperimen-eksperimen. Secara tegas, Jabir bin Hayyan menekankan
metode ilmiah yang menjadi acuan setiap pekerjaannya, seperti pada kutipan
berikut:
[32].. و الله قد عملته بيدي و بعقلي من قبل و
بحثت عنه حتى صح و امتحنته فما كذب ..
Keunggulan Jabir telah diakui secara jujur oleh kaum
intelektual bahwa dia adalah ilmuwan pertama yang menggunakan metode ilmiah
dalam melakukan aktivitas atau kegiatannya dibidang alkhemi yang kemudian
diambil alih dan dikembangkan menjadi ilmu kimia seperti sekarang ini. Namanya
terukir sebagai orang pertama yang mendirikan laboratorium[33] dan
mempergunakan tungku untuk mengolah mineral-mineral dan mengekstraksi zat-zat
kimiawi dari mineral-mineral tersebut serta mengklasifikasikannya. Dengan
fasilitas laboratorium yang telah dibangunnya itu, Jabir dengan penuh ketekunan
melakukan berbagai observasi, penyelidikan-penyelidikan dan
percobaan-percobaan.
Di samping itu, Jabir juga mengembangkan penggunaan kaca
sebagai bahan baku dari alat-alat laboratorium.
Tercatat, Jabir menggunakan labu destilasi dari botol kaca, menggantikan
labu destilasi dari tanah liat yang digunakan selama ini. Penggunaan botol kaca ini meningkatkan faktor
ketelitian dalam percobaan, dan mengurangi galat yang mungkin ditimbulkan dari
kesalahan alat. Tentang hal ini, Jabir
mengungkapkannya sebagai berikut:
فأما ما نتخوف من الخطأ فى العمل فلألة التى تجمع الشكل و تقومه و الألة
التى للطبيخ أعني الزجاج. فإن الزجاج كلما صفا جوهره كان أبلغ للكون و أبرز له. و
موضع التعفين فإنه يجب أن يكون سليما من هبوب الرياح و شدتها – محفوظا – من جميعها[34].
Buah ketekunannya tidaklah sia-sia, sebab dengan berbagai
eksperimen yang dilakukannya itu, Jabir berhasil menyelidiki berbagai teori
dulunya sempat dilakukan oleh para pendahulunya. Hasil eksperimennya itu pun
tak sia-sia. Dia misalnya telah menemukan beberapa senyawa kimia seperti asam
klorida (Chloride Acid), dan asam karbida. Selain itu dia pun berhasil
menyumbangkan berbagai macam teori dengan sistem penguapan dan kristalisasi,
destilasi, pelelehan, dan sublimasi.
Semangat Jabir yang tinggi dalam mengkaji ilmu dan melakukan
beragam penelitian dengan hasil yang gemilang, telah diakui oleh Lyn Thorndike
yang menyatakan bahwa penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan sarjana-sarjana
setaraf E. Wiedeman, E. Darmstaedter, H.E. Stapleton dan E.J. Holmyard atas
sumber-sumber berbahasa Arab kian memperkuat kedudukan Ibnu Hayyan sebagai
tokoh besar dalam sejarah kimia.
Secara khusus, Ali Sâmi Al-Nasyâr (1978:263) menempatkan
Jabir sebagai ilmuwan muslim yang menjadi prototipe bagi metode observasi dan
ilmiah di kalangan saintis Islam klasik.
Al-Nasyâr mengungkapkan bahwa
Jabir bin Hayyan menggunakan beberapa bentuk penerapan metode ilmiah, antara
lain Metode Penyerupaan/contoh (Mujânasah), Qiyas dan Atsar.[35] Pada
keseluruhan karya Jabir bin Hayyan sangat terlihat bahwa Jabir mementingkan
adanya observasi dan eksperimen. Dalam
sebuah tulisannya, misalnya, Jabir mengingatkan pentingnya menyelidiki secara
mendalam:
فاعلم يا أخي و اشكره إذ فضلك على كثير ممن خلقك و أدم الدرس تظفر
بالبغية. ولا تجربن منها حتي تستقصي درسها
و تجمع فصولها و يتخيل لك ما ذكرناه, فيها أمر ذو نظام و تدبير و ترتيب إما بطريق
الميزان او بطريق التد بير. فإذا تخيل لك
ذلك فأوقع حينئذ التجربة عليه, فإنه – و حق سيدي – يتم و يضح من أول وهلة
و بأول تدبير كما قال الحكماء: إنه لعب الصبيان و عمل النساء[36]
Pada kutipan di atas terlihat bahwa Jabir menekankan pada
penguasaan teoritis yang kemudian diikuti dengan percobaan (eksperimen) untuk
pembuktian teori tersebut. Penguasaan
teoritis secara mendalam sangat penting dimiliki, sebelum seseorang melakukan
eksperimen. Dengan penguasaan teori yang
memadai, maka kemungkinan kesalahan dalam prosedur eksperimen, akan dapat
dihindari. Hal sejalan dengan pandangan
Jabir pada kesempatan lain, sebagaimana dikutip oleh Ka’dan (tt) sebagai
berikut:
إن كل صنعة لا بد لها من سبوق العلم في طلبها
للعمل[37]
Setiap praktek rekayasa (kimia) harus didahului oleh
penguasaan ilmu terlebih dahulu
Dalam berbagai risalahnya konsep tajribah seperti tercantum
pada kutipan di atas, dimaksudkan oleh Jabir sebagai suatu eskperimen yang
merupakan keniscayaan kimia, sekaligus sebagai sebuah tradisi ilmiah baru yang
mendobrak faham spekulatif Yunani dan Alkhemi.
Istilah eksperimen juga adakalanya digantikan dengan istilah darbah,
sebagaimana pada kutipan berikut :
….فمن عرف ميزانها
عرف كل ما فيها و كيف تركبت, و الدربة تخرج ذلك.
فمن كان دربا كان عالما حقا و من لم يكن دربا لم يكن عالما. و حسبك بالدربة فى جميع الصنائع, إن الصنائع
الدرب يحذق و غير الدرب يعطل[38]…
“Barang siapa yang mengerti proporsi zat (mizan) nya, maka
dia akan mengetahui setiap bagian zat itu sendiri dan bagaimana pembentukannya.
Dengan eksperimen, akan menghasilkan kepastian akan hal itu. Barang siapa yang melakukan eskperimen, dia
akan menjadi ilmuwan sejati. Adapun orang yang tidak melakukan eksperimen, dia
tidak akan menjadi ilmuwan. Proses kimia
harus dilakukan dengan eksperimen, karena dengan eksperimen orang akan menjadi
mahir, dan tanpa eksperimen ilmu seseorang tak berarti apa-apa.
Pada kutipan di atas tampak bahwa Jabir sangat menekankan
eksperimen dalam ilmu kimia. Bahkan,
penegasan tersebut dinyatakan dengan ungkapan bahwa kimia identik dengan
eksperimen, dan tanpa eksperiemen ilmu kimia akan kosong melompong.[39] Hal ini
sejalan dengan penegasan para ilmuwan modern, bahkan seakan sudah menjadi dogma
bahwa sains, termasuk kimia di dalamnya, tidak dapat dipisahkan dengan
eksperimen dan laboratorium. Tentang
hal ini, misalnya, Lagowski menegaskan peran sentral dan sangat menentukan dari
aktivitas eksperimen laboratorium dalam kimia. [40]
Karena itu, Jabir menekankan bahwa apa-apa yang ditulisnya,
terlebih dahulu diuji coba dan diobservasi olehnya sendiri. Dalam salah satu tulisannya, Jabir
menggambarkan bahwa tulisannya tidak didasari pada apa yang didengar, tetapi
apa yang dilihatnya, dan terbukti benar setelah diuji.[41] Dari
gambaran-gambaran di atas, terlihat bahwa Jabir bin Hayyan menganut paham
empirisme[42] Aristoteles, ketimbang rasionalisme Plato. Argumen ini juga dikuatkan oleh banyaknya
kutipan dan komentar Jabir yang berasal dari Aristoteles.
Pandangan empirisme Jabir ini, kemudian dapat menjadi salah
stau metode epistemologi pendidikan khas Jabir, yakni metode eksperimen (manhaj
tajribiy).
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas mengenai kehidupan serta pandangan –
pandangan jabir bin hayyan maka dapat kita simpulkan bahwasanya seorang muslim
sejati yang selalu tekun beribadah kepada Allah dan selalu berusaha dengan
gigih, maka Allah akan karuniakan kepadanya ilmu pengetahuan yang tinggi.
Seperti telah kita ketahui seorang Jabir bin Hayyan adalah seorang yang tekun
beribadah dengan selalu melaksanakan amalan sunah serta terus berusaha dengan
mengadakan eksperimen – eksperimen sehingga ia tercatat sebagai seorang yang
mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dan mendapatkan gelar bapak ilmu kimia.
Pemikiran – pemikirannya telah berabad – abad menjadi
rujukan bagi ilmu pengetahuan dan orang barat sangat menghoramtinya. Pandangan
– pandangan beliau tentang ketuhanan, tantang hakikat manusia, tentang alam
semesta, tentang ilmu pengetahuan dan pandangan beliau tentang metode ilmiah
yang didasari oleh Al – Qur’an dan sunah menjadi sebuah pengetahuan yang luar
biasa bagi generasi selanjutanya.
B. Saran
Perjalanan hidup dan pemikiran – pemikiran Jabir bin Hayyan
yang telah di tulis oleh penyusun walaupun hanya sepintas mudah – mudahan bisa
diambil manfaatnya. Serta bagi setiap orang muslim harus bangga dengan para
ilmuwan yang telah berkorban pikirannya dan jiwa raganya untuk ketinggian
islam, dengan menemukan keilmuan – keilmuan baru yang berguna bagi kehidupan di
dunia tidak hanya untuk orang islam saja tetapi sangat berpengaruh bagi
kehidupan orang non muslim juga.Para ilmuwan muslim waktu dulu mereka menulis,
meneliti dan menemukan keilmuan baru bukan untuk mendapatkan gelar, penghargaan
atau kekayaan tetapi merka melakukan semua itu adalah perintah Allah dan
rosulnya untuk menjadi orang – orang yagn berilmu dan bermanfaat bagi umat.
Bagi mahasiswa sebagai agent of change mudah – mudahan bisa
mencontoh para ilmuwan pada masa dahulu baik dalam ibadahnya maupun dalam
ketekunan dalam mencari dan meneliti ilmu pengetahuan dan bisa menyampaikannya
kembali sejarah perjalanan hidup Jabir bin Hayyan ini kepada teman sejawat dan
kepada masyaratakat. Bagi guru dan calon guru sebagai pendidik mudah – mudahan
bisa menyampaikan kembali kepada peserta didiknya agar mereka tahu dan merasa
bangga kepada para ilmuwan muslim jang sampai yang mereka tahu hanya ilmuwan
barat saja. Ahirkata, somoga bermanfaat dan mohon maaf bila tedapat banyak
kekurangan dari tulisan ini.
[1] Dedeng Rosyidin,
Akar-akar Pendidikan dalam Al-Quran dan Al-Hadits, h. 66
[2] Jabir bin Hayyan, Nukhab ‘ala kitâb al-Ahjâr, h. 196-198
[3] Jabir bin Hayyan menguraikan panjang lebar tentang pola
interaksi muta’allim dan ustadz dalam bentuk interaksi positif yang seimbang,
seperti terdapat pada kitab al-Bahts, h. 501-505
[4] Jabir beberapa kali menyebutkan istilah kimia dalam
kitâb al-Ahjâr 1. Di antaranya dalam bentuk kutipan di atas. Lihat Jabir, kitâb
al-Ahjâr 1 h. 140-141
[5] Perubahan fisika adalah perubahan yang tidak
menghasilkan zat yang baru. Misalnya, perubahan wujud dan pelarutan merupakan
contoh-contoh perubahan fisika. Sementara itu, perubahan kimia selalu
menghasilkan zat yang sifatnya berbeda dari zat-zat sebelum perubahan, dan
disebut juga sebagai reaksi kimia.
Proses perkaratan besi, pembakaran, dan pertukaran gas pada pernafasan
makhluk hidup merupakan sebagai contoh perubahan kimia. Lihat Judson Knight,
Science of Everyday Things: Vol I: Real Life Chemistry, p.34.
[6] Jabir, kitâb al-Ahjâr 4. h. 196
[7] Fenomena kimiawi yang tergambar dalam kutipan di atas,
sejalan dengan pengertian reaksi kimia, dimana reaksi kimia / perubahan kimiawi
adalah proses perubahan materi yang menghasilkan jenis dan sifat materi yang
berbeda dari zat semula. Adanya reaksi
kimia dapat ditandai dari adanya perubahan warna, perubahan wujud, dan
perubahan zat yang disertai perubahan energi dalam bentuk kalor. Reaksi kimia sendiri secara sederhana dapat
digolongkan menjadi reaksi penggabungan, reaksi penguraian, reaksi substitusi
dan reaksi metatesis. Lihat, Yayan Sunarya, Kimia Dasar 1. h. 35.
[8] Jabir, kitâb Ikhrâj Mâ fi al-Quwwah h. 61 dan kitâb
al-Hudud. h. 106.
[9] Mujammil Qomar,
Epistemologi Pendidikan Islam, h. 270-362
[10] Metode eksperimentil yang dipelopori oleh David Hume
ini, merupakan puncak pencapaian dari empirisme. Lihat Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, h. 80-86
[11] Nasehat Jabir tentang ini dapat dirujuk lebih lengkap
pada Jabir, Nukhah min Kitâb al-Mîzân al-Shaghîr, h. 455-459
[12] Jabir, kitâb al-Khamsīn, h. 499-450, Jabir mengutip Q.S. Al-Baqarah: 26 pada kitab Al-Ahjar 1 h.144, Q.S Al-Hadid: 13
dan hadits tentang dua sayap lalat yang mengandung racun dan obat.
[13] Jabir, kitâb
Al-Isytimâl. h.553
[14] Jabir, kitâb
Al-Isytimâl.
[15] Tentang benda-benda langit dan tata surya, serta
fenomena-fenomena kealaman Jabir membahas panjang lebar diantaranya pada Kitâb
Ikhrâj Mâ fī al-Quwwaħ, Kitab Al-tajmī’, Kitâb Al-tashrīf dan Kitab Al-Mizân
Al-Shaghīr.
[16] Lihat Jabir, kitâb Al-Mâjid. H. 118
[17] Hasan Abd al-‘Âl, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn
al-Rabi’, (Kairo: Dar al-Fikr,al-’Arabi, 1978), h. 42.
[18] Lihat Jabir, kitâb Al-Hudūd, h. 109
[19] Jabir, kitâb al-Bahts. h. 502-503
[20] Jabir, kitâb al-Bahts.. h. 503-504
[21] Jabir, kitâb al-Hudûd, h. 113
[22] Dalam argumentasi yang panjang lebar, Jabir menuliskan
bagian khusus yang berbicara tentang klasifikasi ilmu pengetahuan, dan
menjadikannya sebagai bagian awal dari Kitâb al-Hudud. Lihat. Jabir, Mukhtâr Rasâ`il, hal. 100-108.
[23] Jabir bin Hayyan,
ibid. Kitab al-hudūd. h.100-101
[24] Prinsip dualitas atau serba dua ini sesungguhnya
merupakan warisan pemikiran filsafat Yunani yang diadopsi Jabir. Prinsip ini sudah dikenal semenjak filosof
atomis Leukipos dan Demokritus. Begitu
pula, prinsip ini digunakan juga oleh Aristoteles. Dalam perkembangan Renaissansce, prinsip ini
menjadi semakin berpengaruh, dan oleh Rene Descartes diperkenalkan sebagai
dualisme. Lihat Sidi Gazalba,
Sistematika Filsafat buku ke-4 hal. 7
dan 69-70
[25] Uraian Jabir bin Hayyan tentang rincian ketujuh ilmu
tersebut cukup terperinci. Lihat Jabir dalam. Kitab Ikhrâj. H.
47-114
[26] Saeful Anwar,
Filsafat Ilmu Al-Ghazali. h. 312
[27] Nasr, Sains & Peradaban Islam, h. 43
[28] Saeful Anwar,
Filsafat Ilmu Al-Ghazali. h. 313
[29] Uraian lengkap tentang pembagian ilmu pengetahuan dalam
versi Ibnu Khaldun dapat dirujuk pada karya utama Ibnu Khaldun, Muqaddimah, h.
543-546
[30] Saeful Anwar,
Filsafat Ilmu Al-Ghazali. h. 319
[31] Francis Bacon (1561-1626) adalah seorang filosof asal
Inggris yang dianggap secara luas sebagai pencetus penggunaan metode induksi
ilmiah. Karya-karyanya antara lain The
Advancement of Learning (1605), Novum Organum (1620), De Augmentis Scientarium
(1623), dan The New Atlantis (1624).
Lihat Willian F. O’Neill,
Ideologi-ideologi Pendidikan, h. 645.
[32] Jabir, kitab al-Khawwash al-Kabir. h. 322
[33] Bukti keberadaan laboratorium Jabir di Kufah
diketemukan beberapa tahun setelah kematiannya, dan didalamnya ditemukan sebuah
mangkuk dan sebongkah emas. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, h.
476.
[34] Jabir, h. 94
[35] Ali Sâmi Al- Nasyâr,
.مناهج البحث عند مفكرى الإسلام. دار المعارف.
1978
h. 260-263
[36] Jabir. Kitab
al-Qadīm. h.546-547
[37] AN Ka’daan.
Jabir bin Hayyan wa ‘Ilm al-Kimiyya’.
[38] Jabir bin Hayyan,
Kitab Al- Sab’in. H. 464
[39] Penegasaan Jabir tentang pentingnya eksperiemen dalam
kimia juga mendapatkan pengakuan dari berbagai kalangan, di antaranya
sebagaimana diungkap oleh Philip K. Hitti bahwa Jabir telah mengakui dan
menyatakan pentingnya eksperimen secara lebih seksama daripada ahli kimia
sebelumnya, dan telah melangkah maju baik dalam perumusan teori maupun dalam
praktik kimia. Lihat Philip K. Hitti,
the History of the Arabs, h. 476
[40] Lagoswki, J.J.
The Role of the Laboratory in Chemical Education. Diakses pada Februari
2008. Terdapat pada
http://www.utexas.edu/research/chemed/lagowski/jjl_beijing_02.pdf
[41] Jabir, kitâb al-Khawwâsh al-Kabîr, h. 232
[42] Kata empirisme biasa diartikan sebagai penggunaan
metode yang didasarkan pada uji coba empirik, sebagai ganti dari sistem yang
didasarkan pada sekumpulan prinsip teoritis.
Dalam ilmu filsafat, kata empirisme ini digunakan secara berbeda dengan
makna tersebut, dan menjadi istilah khusus yang memiliki arti tersendiri, yaitu
merujuk pada teori filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh
melalui pengalaman. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat. 197
Category: Makalah, Pendidikan
0 komentar