Beberapa karakter seorang Istri yang dikisahkan dalam al-Qur'an |
Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata “Ya bapaku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), kerana sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercayai”
Dan
sesungguhnya perkahwinan yang ideal ialah perempuan yang mulia serta setia
berpasangan dengan suami yang kuat lagi amanah. Inilah pasangan romantis
sebenar.
Kedua, jenis
isteri Abu Lahab iaitu perempuan jahat berganding dengan suami terkutuk. Dalam
surah al-Lahab ayat 3 dan 4 yang bermaksud:
“Kelak
dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya,
pembawa kayu bakar”
Isteri
Abu Lahab bernama Ummu Jamil tidak disebut dalam al-Quran. Abu Lahab memiliki
akhlak buruk dan dikatakan pernah mencuri emas yang terdapat di Kaabah kerana
tamak dan rakusnya. Isterinya pula seorang penyombong dan memiliki perasaan
hasad dengki yang kuat. Jadi, tugasnya ialah pembantu setia kejahatan suaminya.
Kalau
Abu Lahab merupakan penentang utama terhadap nabi s.a.w, maka isterinya adalah
pendorong utama yang turut aktif di dalam kegiatan jenayah suaminya.
Jadi
jika suami diumpamakan terbakar dalam kejahatan nafsu, isteri pula pembawa kayu
api – iaitu pengobar kejahatan suami. Maknanya isteri aktif dalam kegiatan
jahat suami.
Ketiga, isteri
baik dalam genggaman suami yang jahat. Watak ini menyebut isteri Firaun sebagai
contohnya. Walaupun Firaun melalui al-Quran merupakan seorang Raja Besar yang
dikutuk Allah, namun isterinya disanjung tinggi dalam al-Quran.
Isteri
Firaun yang kononnya bernama Asiah ini juga tidak diberikan nama oleh al-Quran.
Ia disebut sebagai “imraatu Firaun” atau perempuan Firaun sahaja. Walaupun
Asiah ditakdirkan berpasangan sebagai suami isteri dengan Firaun, namun
tindakan akhlaknya sangat bertentangan dengan suaminya yang zalim itu.
Asiah
menyelamatkan Musa, sebaliknya Firaun ingin menghapuskan Musa. Dia berkenan dan
beriman dengan ajaran Islam yang dibawa Musa. Semua manusia dilingkungannya
menyembah Firaun sebagai Tuhan, tetapi dia diam-diam menyembah Allah.
Keempat ialah perempuan
Nuh dan Lut. Isteri dua orang nabi a.s ini dinyatakan Allah melalui al_Quran
surah at-Tahriim ayat 10 yang bermaksud:
“Allah
membuat isteri Nuh dan isteri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya
berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang salih di antara hamba-hamba
Kami;lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua
suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun, dari (seksa) Allah; dan
dikatakan (kepada keduanya);”masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk
(neraka)”
Isteri
Lut kononnya bernama Wa’ilah, tetapi isteri Nuh tidak diketahui namanya. Namun
kedua perempuan ini juga tidak disebut dalam al-Quran siapakah nama mereka.
Keduanya
adalah isteri kepada dua lelaki pilihan Allah, namun mereka disifatkan oleh
Allah sebagai pengkhianat dan menjadi ahli neraka.
Bismillahirrahmanirrahim
Abu Nu’aim al-Ashbahani mencatat dalam
kitab Hilyatul Auliya’, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Hafalkanlah lima hal dari saya; yang mana
seandainya kalian mengendarai unta untuk mencarinya, pasti unta itu sudah binasa
sebelum kalian mendapatkannya yaitu,
1. janganlah
seorang hamba mengharapkan selain Tuhannya,
2. janganlah ia
merasa takut kecuali kepada dosanya sendiri,
3. jangan sampai
orang bodoh merasa malu untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui,
4. jangan sampai
orang ‘alim merasa malu untuk mengatakan ‘Allah lebih tahu (wallahu a’lam)’
tatkala ia ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui; dan
5. kesabaran (bila
dikaitkan dengan) iman adalah bagaikan kedudukan kepala dari tubuh, dan tidak
ada keimanan bagi orang yang tidak memiliki kesabaran.”
Pesan pertama
adalah berharap hanya
kepada Allah dan percaya penuh kepada-Nya. Inilah inti dari sikap zuhud. Oleh karenanya, seorang ahli ibadah
dari generasi Tabi’in, Yunus bin Maisarah bin Halbas al-Jublani, berkata,
“Kezuhudan di dunia itu bujan dengan mengharamkan yang halal, tidak pula dengan
menyia-nyiakan harta, akan tetapi kezuhudan di dunia adalah jika kepercayaanmu
kepada apa yang ada di tangan Allah lebih kuat dibanding kepercayaanmu kepada
apa yang ada di tanganmu; jika keadaanmu ketika tertimpa musibah dan keadaanmu
ketika tidak tertimpa adalah sama; dan jika orang yang mencelamu maupun menyanjungmu
dalam kebenaran adalah sama.” (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Akan tetapi, dewasa ini betapa banyak
orang yang “merasa mampu” sehingga lalai dari berdoa, semata-mata mengandalkan
rekadayanya sendiri, dan benar-benar lupa kepada Allah. Ini bukan berarti kita
disuruh tidak berupaya dan semata-mata bersandar pada “kepercayaan”, karena
Rasulullah sendiri menganjurkan umatnya untuk berusaha mencari yang halal,
serta mencela orang yang mengemis, malas dan hanya menjadi beban orang lain.
Masalahnya tidak boleh dikacaukan dan dicampuradukkan.
Pesan kedua
adalah senantiasa meneropong diri sendiri, ber-muhasabah dan bertaubat.
Sebagai manusia biasa, kita tidak ditakdirkan untuk ma’shum (terpelihara
dari dosa), dan Allah pun tidak membebani kita melebihi kemampuan kita. Namun,
adalah berbeda antara mereka yang sengaja berkubang dalam kemaksiatan dan
tenggelam dalam kedurjanaan, dengan mereka yang berusaha sekuat tenaga menaati
Allah dan menjauhi dosa-dosa, lalu tersandung kesalahan-kesalahan tanpa disengaja.
Kelompok pertama itu tidak pernah menyesal, tetapi yang kedua selalu
beristighfar dan memperbaiki diri. Tentu saja, Allah tidak akan memperlakukan
mereka secara sama.
Pesan ketiga
adalah anjuran untuk tidak segan-segan bertanya dan belajar, ketika kita tidak
tahu. Bukankah kebanyakan penyimpangan dan kesesatan bersemi dari benih-benih
kebodohan, prasangka, dan kemalasan mencari ilmu? Sebagian besar pengikut
aliran sesat adalah orang-orang bodoh yang tidak mau belajar, lalu menuruti
hawa nafsunya yang telah dihias oleh syetan. Mereka bukan tidak bersekolah,
tetapi tidak mengerti urusan agamanya, walau sangat mahir dalam urusan duniawi.
Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang
keras-kasar-angkuh tabiatnya, gemar mengumpulkan harta namun pelit, suka
berteriak-teriak di pasar-pasar, seperti bangkai di malam hari dan seperti
keledai di siang hari, sangat mengerti urusan dunia tetapi tidak tahu-menahu
urusan akhirat.” (Riwayat Ibnu Hibban dari Abu Hurairah, dengan sanad shahih
‘ala syarthi muslim).
Pesan keempat
adalah tidak malu mengakui ketidaktahuan kita, jika ditanya atas sesuatu yang
tidak kita mengerti. Penyakit “segan” seperti ini mudah menghinggapi para
ulama, profesor, guru, trainer, penceramah, dan tokoh-tokoh terpandang. Apalagi
jika sudah terkenal dan dikagumi oleh banyak pengikut. Dalam hal ini, ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Betapa sejuknya di hati, ketika saya ditanya
tentang sesuatu yang saya sendiri tidak mempunyai ilmu tentangnya, kemudian
saya katakan: Allahu a’lam.” (Riwayat Darimi, dengan sanad
lemah).
Dikisahkan pula, bahwa seseorang datang kepada Ibnu ‘Umar lalu bertanya kepada
beliau tentang sesuatu hal. Beliau menjawab, “Saya tidak punya ilmunya.” Beliau
kemudian berpaling setelah orang itu beranjak pergi, dan berkata, “(Inilah)
sebaik-baik ucapan yang dikatakan oleh Ibnu ‘Umar! Ia ditanya tentang sesuatu
yang tidak ia ketahui, lalu ia menjawab: saya tidak punya ilmunya.” (Riwayat
Darimi, dengan isnad hasan).
Pesan kelima adalah
berpegang kepada kesabaran. Sungguh, kesabaran dan menahan diri merupakan
akhlak yang sangat sering dipesankan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam
wahyu-wahyu yang mula-mula turun kepada Rasulullah, baik secara tersirat maupun
tersurat. Perhatikanlah isi kandungan surah-surah al-‘Alaq, al-Qalam,
al-Muddatsir dan al-Muzzammil; disana terpampang pesan-pesan kesabaran secara
nyata. Bahkan, dalam surah al-‘Ashr, Allah menjadikan “saling berpesan dengan
kesabaran” sebagai bagian dari sifat orang-orang yang tidak merugi di dunia
ini, digandengkan dengan beriman, beramal shalih, serta saling berpesan dengan
kebenaran. Rasulullah pun pernah ditanya, “Bagian manakah yang paling utama
dari iman?” Beliau menjawab, “Kesabaran dan lapang dada.” (Dikutip oleh
Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, dari Jabir, dan menurut beliau isnad-nya
hasan).
Inilah lima pesan ‘Ali bin Abi Thalib
yang sangat berharga. Semoga kita dapat mengambil manfaat darinya. Amin.
Wallahu a’lam.
[*] Alimin Mukhtar, 02 Rabi’ul Awwal 1433 H. Pernah dimuat
dalam Lembar Tausiyah BMH Malang. (sumber)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ
: مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ
كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Dari
Abu Hurairah, 'Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu 'anh, ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah bersabda : "Apa saja yang aku larang kamu
melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan
kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran
umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka
(tidak mau taat dan patuh)" [Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337]
Penjelasa Hadits”
Hadits ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia
berkata : “Rasulullah berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia,
Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang
bertanya : Wahai Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai
orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana
“ya” niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya, kemudian
beliau bersabda lagi :Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena
kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi
nabi-nabi mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah
menurut kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka
tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin
Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.
Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama,
apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian
besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan
tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau menolak, tetapi menunggu
penjelasan selanjutnya. Hadits ini dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap
menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?”
sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan
berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata
“Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup
melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi
secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan
berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya
wajib dilakukan satu kali seumur hidup.
Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara
formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan
berulang-ulang, kalimat ini juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada
kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan
prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli fiqh.
Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib”
menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa Rasulullah mempunyai
wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum
itu harus dengan wahyu.
Kalimat, “apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka
lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan kalimat yang singkat namun padat
dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam, termasuk dalam prinsip ini
adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung banyaknya, diantaranya adalah
sholat, contohnya pada ibadah sholat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan
sebagian dari rukun atau sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa
yang dia mampu. Begitu pula dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang
menjadi tanggungannya, bila tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia
keluarkan semampunya, juga dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat
memberantas semuanya, maka hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah
lain yang tidak terbatas banyaknya.
Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab
fiqh. Hadits diatas sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka
bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali
‘Imraan 3:102, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan
taqwa yang sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat
diatas. Sebagian ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan
menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang
sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah,
dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah
berfirman, QS. Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak membebani seseorang diluar
kemampuannya” dan firman Allah dalam QS. Al-Hajj 22:78, “Allah tidak
membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan agama”
Kalimat, “apasaja yang aku larang kamu melaksanakannya,
hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali
apabila seseorang mengalami rintangan /udzur dibolehkan melanggarnya, seperti
dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam keadaan seperti ini
perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi dalam keadaan tidak
darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan. Seseorang tidak dapat
dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan tersebut dalam selang
waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan perintah, yang mana sekali
saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang berlaku dalam memahami
perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera dilakukan atau boleh
ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadits ini mengandung berbagai
macam pembahasan fiqh.
Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu
adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan
setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu”
maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang
bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala
mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti
perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan
telah menaatinya.
Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya.
Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya.
Pelajaran dari hadits ini:
1.
Wajibnya
menghindari semua apa yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam.
2.
Siapa
yang tidak mampu melakukan perbuatan yang diperintahkan secara keseluruhan dan
dia hanya mampu sebagiannya saja maka dia hendaknya melaksanakan apa yang dia
mampu laksanakan.
3.
Allah
tidak akan membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya.
4.
Perkara
yang mudah tidak gugur karena perkara yang sulit.
5.
Menolak
keburukan lebih diutamakan dari mendatangkan kemaslahatan.
6.
Larangan
untuk saling bertikai dan anjuran untuk bersatu dan bersepakat.
7.
Wajib
mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, ta’at dan menempuh jalan
keselamatan dan kesuksesan.
8.
Al-Hafiz berkata: Dalam hadits
ini terdapat isyarat untuk menyibukkan diri dengan perkara yang lebih penting
yang dibutuhkan saat itu ketimbang perkara yang saat tersebut belum dibutuhkan.