Allah telah berfirman dalam Al-Qur'an Al-Karem Surat Ali Imaran 110, bahwa muslim/ orang islam merupakan umat yang terbaik yanng dilahirkan untuk manusia. Menjadi Umat Terbaik (Tafsir Fi Zhilalil Qur’an)


كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. ”(Ali Imran / 3 : 110)

Ungkapan dengan kata “ukhrijat” merupakan ungkapan yang menarik perhatian. Ungkapan ini nyaris memperlihatkan tangan yang mengendalikan dengan lembut saat mengekspos umat ini sedemikian rupa dan menariknya keluar dari tataran ghaib yang gelap dan dari balik tabir abadi, hanya Allah yang mengetahui apa yang ada di baliknya. Ia adalah kata yang melukiskan gerak yang tidak diketahui kelebatannya sekaligus lembut ayunannya. Gerak yang menampilkan umat ke pentas wujud. Umat yang memiliki peran khusus, kedudukan khusus, dan perhitungan khusus:

    “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia. ”(110)

Hal ini seharusnya diketahui oleh umat Islam, agar mereka memahami hakikat dan nilai umat ini, dan mengetahui bahwa ia ditampilkan untuk menjadi pelopor dan pemimpin, karena mereka adalah merupakan umat terbaik. Allah ingin agar kepemimpinan ini menghasilkan kebaikan di muka bumi ini, bukan keburukan. Oleh sebab itu, umat ini tidak selayaknya mengikuti petunjuk umat lain di antara umat-umat Jahiliyah. Sebaliknya, mereka-lah yang harus memberikan apa yang dimilikinya kepada umat-umat lain, dan selalu memiliki apa yang bisa diberikan. Yaitu keyakinan yang benar, konsepsi yang benar, sistem yang benar, akhlaq yang benar, pengetahuan yang benar dan ilmu yang benar.

Itulah kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutan dan tujuan eksistensinya. Yaitu senantiasa menjadi pelopor dan berada pada posisi pemimpin. Posisi ini memiliki banyak tanggungjawab. Posisi ini tidak bisa diraih dengan pengakuan semata, dan tidak akan diserahkan kepada umat ini kecuali jika mereka telah memiliki kelayakan untuk menerimanya. Dengan konsepsi akidahnya dan dengan sistem sosialnya, umat ini layak untuk menerima posisi tersebut.

Demikian juga dengan kemajuan ilmu pengetahuannya dan peradaban yang dibangunnya di muka bumi—dalam rangka melaksanakan tugas khilafah—maka mereka layak menduduki posisi tersebut. Dari sini jelas bahwa manhaj yang menjadi landasan berdirinya umat ini menuntut mereka untuk melakukan banyak hal dan mendorongnya agar menjadi terdepan dalam segala bidang. Asalkan mereka mengikuti manhaj, komit terhadapnya, dan menyadari berbagai konsekuensi dan tanggungjawabnya.

Konsekwensi pertama dari posisi ini adalah melindungi kehidupan ini dari keburukan dan kerusakan. Hendaknya mereka memiliki kekuatan yang memungkinkan untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, karena mereka adalah umat terbaik yang dimunculkan ke hadapan manusia. Bukan karena basa-basi atau pilih kasih, bukan karena kebetulan atau sembarangan—Mahasuci Allah dari semua itu—dan bukan pula jatah kehormatan dan kemuliaan sebagaimana dikatakan Ahli Kitab: “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”.(5:18) Tidak! Melainkan didasari dengan tindakan aktif untuk melindungi kehidupan umat manusia dari kemungkaran, memberdirikan mereka di atas kebajikan, disertai iman yang dapat mendefinisikan mana yang ma’ruf dan mana yang munkar:

    “Menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. ” (110)

Itulah upaya melaksanakan segala tugas umat terbaik, dengan segala keletihan di balik tugas-tugas ini, dan dengan duri-duri yang ada di jalannya. Itulah upaya menentang keburukan, menggalakkan kebaikan, dan melindungi masyarakat dari berbagai faktor kerusakan. Semua itu adalah kesulitan yang berat, tetapi merupakan keharusan untuk menegakkan dan melindungi masyarakat yang baik, dan untuk mewujudkan bentuk kehidupan yang diinginkan Allah.

Harus ada iman kepada Allah untuk meletakkan kriteria yang benar tentang nilai, dan untuk menghasilkan definisi yang benar mengenai apa itu ma’ruf dan mungkar. Karena istilah masyarakat saja belum cukup. Ada kalanya kerusakan menyebar luas sehingga parameter dan kriteria menjadi tidak normal dan rusak, sehingga harus kembali kepada konsepsi yang baku tentang kebaikan dan keburukan, tentang keutamaan dan kenistaan, tentang yang ma’ruf dan yang mungkar, yang didasarkan pada landasan lain di luar terminologi manusia dalam salah satu generasi.

Itulah yang direalisasikan iman dengan cara meluruskan konsepsi yang benar tentang alam wujud dan hubungannya dengan Penciptanya. Juga tentang manusia, tujuan eksistensinya, dan posisinya yang sebenarnya di alam semesta ini. Dari konsepsi umum ini lahir kaidah-kaidah akhlaq. Dengan stimulasi untuk mencari ridha Allah dan menghindari murka-Nya, manusia terdorong untuk mewujudkan kaidah-kaidah tersebut. Dengan pengaruh keberadaan Allah di hati dan pengaruh syari’at-Nya di tengah masyarakat, kontrol dapat dilakukan dengan berdasarkan kaidah-kaidah tersebut.

Iman juga diperlukan agar para penyeru kebaikan, pelaku amar ma’ruf dan nahi munkar itu bisa meniti jalan yang berat ini dan mampu menanggung segala bebannya, di saat mereka menghadapi para thaghut kejahatan yang berbuat zhalim, di saat mereka menghadapi para thaghut syahwat yang mencari pelampiasan, di saat mereka menghadapi jatuhnya mental, kendornya semangat, beratnya tujuan. Bekal mereka adalah iman, perlengkapan mereka adalah iman, dan sandaran mereka adalah Allah. Semua bekal selain bekal iman pasti habis, semua sarana selain sarana iman pasti rusak, dan semua sandaran selain sandaran Allah pasti!

Dalam rangkaian ayat ini, telah disampaikan perintah kepada jama’ah Muslim agar ada di antara mereka yang bangkit untuk mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Dan di sini Allah menjelaskan bahwa itulah sifat-sifat Jama’ah Muslim, untuk menunjukkan bahwa tidak ada wujud hakiki kecuali dengan terpenuhinya sifat utama ini, yang dengannya Jama’ah ini dikenal didalam masyarakat manusia. Jika telah melaksanakan da’wah kepada kebaikan, mmerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran—disertai iman kepada Allah—maka Jama’ah ini berarti telah eksis dan Muslim. Tetapi jika tidak melaksanakan sesuatu dari hal ini maka Jama’ah ini tidak eksis dan tidak merealisasikan sifat Islam pada dirinya. Wallahu A'lam.
Dalam menjalani kehidupan suatu hal yang kita mantapkan adalah aqidah/kayakinan kepada allah SWT. Rasanya aktifitas sehari-hari tak ada gunanya jika tidak di dasari dengan keimanan yang kuat. Dalam kajian ini kita telah mengenal Teologi Islam yang membahas tentang pemikiran dan kepercayaan tentang ketuhanan. Teologi Islam ini sudah sepantasnya kita ketahui agar dalam menjalani kehidupan ini kita mengetahaui dan menjadi Idealnya orang Islam. Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai perbedaan-perbedaan pemikiran dan aqidah yang mengiringi, dan kita harus pandai dalam memilih dan memilahnya dengan berlandaskan Al-qur’an dan Al-hadist. Perlu kita mengingat apa yang pernah di katakan oleh Rasulullah bahwa “ umatku akan berpecah menjadi tujuh pulu tiga dan hanya satu yang benar.”

Perbedaan pemikiran tersebut membuat mereka saling menyalahkan,  antara lain yang kita ketahui adalah: Ahlussunnah Wal Jama’ah, Mu’tazilah Qodariyah dll. Yang semuanya memiliki pendapat masing-masing tentang Tauhid/keyakinan atau tentang hal ketuhanan. Dan kita sebagai orang yang memegang agama allah harus mengetahui manakah pemikiran yang benar dal yang salah, dalam memandangnya kita harus berpegang teguh pada Al-qur’an dan Al-hadist. Hal ini merupakan hal penting yang harus di pelajari agar apa yang menjadi keyakinan kita tentang Allah tidak salah, dan seaandainya apabila keyakinan kita salah tentang-Nya maka kita bisa saja kita di anggap orang keluar agama Islam.

Penulisan Makalah Paradigma Tauhid terhadap Antropologis ini, bertujuan antara lain sebagai berikut:

1.Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid worl view pada Program Studi Manajemen Kependidikan Islam Universitas Djuanda Bogor

2.Untuk menambah wawasan keilmuan mengenai Paradigma Tauhid terhadap Teologis.

A. Pengertian Teologi

Secara etimologi, kata teologi, berasal dari bahasa Yunani. Theos berarti Tuhan, dan logos berarti ilmu. Jadi, teologi berarti “Ilmu tentang Tuhan atau “Ilmu Ketuhanan”.

Secara terminologi, Fergilius Ferm menyatakan, teologi adalah “The discipline which concerns God and God’s relation to the World,”artinya: teologi merupakan suatu disiplin ilmu yang secara kongkrit mem-bicarakan tentang Ketuhanan, dan pemikiran sistematis yang berhubungan dengan alam semesta.

Pengertian teologi yang hampir serupa, ditemukan pula dalam Encyclopedia of Philosophy, disebutkan tentang pengertian teologi, yakni “Science of religion, dealing therefore with God, and man in his realtion to God”, artinya : teologi merupakan pengetahuan tentang agama, yang karenanya membicarakan tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan.

Pengertian-pengertian teologi yang disebutkan, kelihatannya sejalan dengan pengertian yang ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni teologi adalah sebagai pengetahuan tentang ketuhanan mengenai sifat-sifat-Nya dan dasar-dasar kepercayaan kepada-Nya dan agama.

Kemudian A. Hanafi menambahkan bahwa lapangan pembahasan teologi berfokus pada masalah kepercayaan-kepercayaan dalam agama. Ini berarti bahwa masalah iman yang menjadi bahasan utama dalam teologi yang tentunya terkait juga dengan masalah akidah.

Dari pengertian di atas, penulis merumuskan, bahwa teologi merupakan ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan Manusia.

B. Konsep Ketuhanan dalam Islam

1. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

a. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori Evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama-kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori Evolusionisme adalah sebagai berikut :

1.Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitive telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negate. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), syakti (India), dan kami dalam bahasa Jepang.

Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana itu tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

2.Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitive, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negative dari roh-roh tersebut, manusia harus berusaha memenuhi atau menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

3.Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan kepercayaan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyaknya yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggungjawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angina dan lain sebagainya.

Semula antara satu dewa dengan dewa yang lain mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat. Lambat-laun dianggap hanya satu dewa yang mempunyai kelebihan dari dewa yang lain, meskipun dewa-dewa yang ada di bawahnya tetap mempunyai pengaruh. Pada agama Hindu misalnya, ada tiga dewa yang dianggap tinggi yaitu : Brahmana, Syiwa, dan Wisnu. Kepercayaan terhadap tiga dewa senior tersebut dikenal dengan istilah Trimurti (Tiga sembahan). Di samping trimurti, dikenal pula konsep Tritunggal (trinitas). Pada agam Kristen yang diartikan Tuhan ialah Allah Bapak, Yesus Kristus, dan Roh Kudus.

4.Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Allah) dari bangsa lain. Kepercayaan semacam ini yaitu satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

5.Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu : deisme, panteisme, dan teisme.

a) Deisme yaitu suatu paham yang berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta alam berada di luar alam. Tuhan menciptakan alam dengan sempurna dank arena telah sempurna, maka alam bergerak menurut hokum alam. Antara alam dengan Tuhan sebagai penciptanya tidak tidak lagi mempunyai kontak. Ajaran Tuhan yang dikenal dengan wahyu tidak lagi diperlukan manusia. Dengan akal manusia mampu menanggulangi kesulitan hidupnya.

b) Panteisme berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta alam ada bersama alam. Di mana adal alam di situ ada Tuhan. Alam sebagai ciptaan Tuhan merupakan bagian daripada-Nya. Tuhan ada di mana-mana, bahkan setiap bagian dari alam adalah Tuhan.

c) Teisme (eklektisme) berpendapat bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam berada di luar alam. Tuhan tidak bersama alam dan Tuhan tidak ada di alam. Namun Tuhan selalu dekat dengan alam. Tuhan mempunyai peranan terhadap alam sebagai ciptaan-Nya. Tuhan adalah pengatur alam. Tak sedikit pun peredaran alam terlepas dari control-Nya. Alam tidak bergerak menurut hokum alam, tetapi gerak alam diatur oleh Tuhan.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), kemudian ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada ujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat, mulai menantang Evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Meraka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevasi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan itu didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan.

Wilhelm Schmidt dalam mengungkapkan hasil penyelidikannya tidak mendasarkan, atau terpengaruh oleh fasal-fasal dalam Bible. Ia menulis dari segi Antropologi dan mendasarkan alasannya pada data yang dikumpulkan oleh berpuluh-puluh peneliti dan sarjana yang meng-alami hidup bersama-sama dengan masyarakat primitif. Penelitian itu dilakukan antara lain terhadap suku Negritos dari kepulauan Philipina, pelbagai suku dari Micronesia dan Polynesia, dan suku Papua dari Irian.

Berdasarkan penelitian terhadap pelbagai masyarakat primitive tersebut, ia mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan tentang Tuhan Yang Maha Agung dan Esa adalah bentuk tertua, yang ada sebelum kepercayaan lain seperti dinamisme, animisme, dan politeisme.

b. Pemikiran Umat Islam

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam.

Satu hal yang perlu diingat, bahwa masih-masing menggunakan akal pikiran atau logika dalam mempertahankan pendapat mereka. Hal ini perlu ditekankan, sebab satu hal pokok yang menyebabkan kemunduran umat Islam ialah kurangnya penggunaan kemampuan akal pikirannya dalam mengkaji nilai-nilai yang menurut pemikiran manusia atau nilai yang murni bersumber dari ajaran Islam yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Di antara aliran pemikiran tentang Tuhan adalah :

1.Aliran Mu’tazilah yang merupakan kum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajarandan keimanan dalam Islam. Orang Islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain).

Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawariji.

2.Qadariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak atau berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya.

3.Berbeda dengan Qadariah, kelompok Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.

4.Kelompok yang tidak sependapat dengan Mu’tazilah mendirikan kelompok sendiri, yakni kelompok Asy’ariyah dan Maturidiniayah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah.

Semua kelompok itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat Islam periode masa lalu. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, tiada lain bagi kita untuk mengadakan koreksi yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnag Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah. Wallahu A'lam
Sejak kedatangannya, agama Islam telah menimbulkan banyak tatanan perubahan di dunia. Perubahan yang mencakup berbagai aspek kehidupan umat manusia, baik dalam tatanan masyarakat, kebudayaan, politik, sejarah, dan lain sebagainya. Perubahan tatanan ini kemudian ada yang menjadi tatanan baku dalam suatu kultur masyarakat, dan ada pula yang menjadi sebagai bahan kajian para ilmuwan bagi mengembangkannya sesuai dengan konteks tatanan masyarakat itu sendiri. Kajian-kajian yang dimaksud kemudian terus berkembang sedemikian rupa merujuk kepada berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh para ilmuwannya.

Selanjutnya, seperti diketahui dan apa yang telah terlihat dewasa ini, Islam berkembang sedemikian pesatnya ke berbagai penjuru dunia. Hal ini memungkinkan pada terjadinya berbagai perbedaan dalam memahami konsep-konsep dalam Islam antara suatu daerah dengan daerah yang lain. Konsep-konsep tersebut meliputi konsep ketuhanan (tauhid), hukum (syari’at), sosial kemasyarakatan (muamalah), dan konsep-konsep lain. Walaupun kajian Islam secara umum disandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits, perbedaan-perbedaan tetap saja terjadi; yang diantaranya selain diakibatkan oleh beragamnya pemahaman yang ditafsirkan oleh para ilmuwan Islam, juga dipicu oleh kondisi wilayah (konteks tempat) tempat berkembangnya agama Islam.

Penulisan Makalah Paradigma Tauhid terhadap Antropologis ini, bertujuan antara lain sebagai berikut:

1.Untuk memenuhi tugas mata kuliah Tauhid world view pada program studi manajemen Kependidikan Islam universitas Djuanda Bogor.

2.Untuk menambah wawasan keilmuan mengenai Paradigma Tauhid terhadap Antropologis.

A. Definisi Antropologi

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Antropologi berasal dari bahasa Yunani; anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu.  Secara definisi, menurut beberapa pakarnya pengertian antropologi dapat dimengerti sebagai ilmu yang mempelajari tentang keberadaan manusia, budaya masyarakatnya, dalam suatu territorial tertentu.

Lebih jelasnya, William A. Haviland mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Menurut Koentjaraningrat, antropologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkannya.

Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa antropologi adalah studi yang mempelajari manusia dalam semua aspek kehidupannya. Dimana dalam pemahaman umumnya antropologi mengkonsentrasikan dirinya secara keseluruhan untuk mempelajari manusia dalam aspek sosialnya. Yakni hubungannya dengan orang lain dalam sebuah tatanan masyarakat sehingga menghasilkan pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang dimaksud.

Selanjutnya, diketahui bahwa yang menjadi tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensial, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lain.

Dilihat dari beberapa pengertian/definisi antropologi menurut para ahli diatas, bisa ditari kesimpulan sederhana mengenai pengertian/definisi antropologi secara umum, yaitu:  sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Dengan, demikain antropologi merupakan hal yang mempelajari seluk-beluk yang terjadi dalam kehidupan manusia.Dapat dilihat dari perkembang pada masa saat ini, yang merupakan salah dari fenomena- fenomena yang terjadi ditengah-tengah masyarakat sekarang ini.

B. Antropolgi Modern di Dunia Barat

Tulisan-tulisan para missionaris dan para petualang pada abad ke-18 dan 19, telah menjadi sumber tertulis yang amat penting tentang Afrika, Amerika Utara, daerah lautan tenang dan daerah-daerah lain di seluruh pelosok dunia. Materi-materi tertulis tersebut kemudian menjadi bahan dasar bagi karya-karya tulis pertama dalam ilmu antropologi di Barat pada paruh terakhir abad 19.

Sebelumnya, kajian tentang sistem hidup manusia dan sumber-sumber pembentukan sistem tersebut telah dilakukan oleh ilmuan Barat, namun hal itu lebih banya didasari oleh hipotesa-hidpotesa. Demikian juga halnya pada paruh pertama abad 18, ketika Hume, Adam Smith, Ferguson, Montesquieu, Condarcet dan ilmuan lain menulis tentang kelompok manusia primitif. Meskipun tulisan mereka cukup bagus, namun ia tidak dihasilkan dari exprimen dengan variabel-variabel yang dapat diukur, malah lebih banyak dipengaruhi oleh pilsafat yang mereka anut.

Pada penghujung abad 19 materi informasi yang besar tentang berbagai jenis manusia di seluruh dunia telah dapat dikumpulkan. Koleksi Sir James Frazer adalah yang paling terkenal dari sekian koleksi. Koleksinya tentang kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus agama kemudian diterbitkan dalam beberapa seri dengan judul The Golden Bough 13. Materi-materi tersebut kemudian diperkaya oleh kajian-kajian yang terus dilakukan baik oleh missionaris maupun pegawai administrasi di negara-negara jajahan.

Pada permulaan abad 20, ilmuan antropologi lebih banyak mencurahkan perhatian untuk melakukan field research secara langsung tentang kelompok-kelompok manusia. Kecenderungana ini menguat setelah A.C. Haddon melakukan penelitian di Melanesia, Radcliffe Brown melakukan kajian atas masyarakat andaman serta Malinowski mengkaji masyarakat kepulauan Torobrind.

Setidaknya ada dua aliran dalam antropologi yang kemudian banyak mempengaruhi antropologi modern. Aliran pertama adalah aliran Inggris. Dengan memberi perhatin pada kajian tentang hakikat-hakikat, eksprimen, serta deskripsi yang amat teliti tentang objek kajian. Aliran ini dianut oleh banyak ilmuan Jerman dan Amerika. Dan aliran kedua adalah aliran Perancis, yang menggunakan metode holistic analytic intellectualism. 14) Namun demikian, menurut Akbar S. Ahmad, pakar-pakar antropologi sosial tetap saja hanya mencurahkan perhatian mereka pada sisi sosial kehidupan manusia. Atau hubungan antara sesama manusia dalam sebuah lingkungan masyarakat tempat mereka hidup. Sementara dimensi-dimensi lain yang demikian banyak tentang kehidupan sosial dan peradaban, mereka tinggalkan 15.

Seperti disinggung sebelumnya, timbulnya antropologi modern tidak terlepas dari kepentingan kolonialisme. Ketika Napoleon menjajah Mesir, ia membawa serta sebanyak 150 ahli ilmu pengetahuan, sebagian dari mereka adalah ahli sosiologi dan antropologi. Dari tangan mereka kemudian diawali kajian-kajian antropologis terhadap negara-negara jajahan di Asia, Afrika dan negara-negara sekitar lautan teduh. Bukanlah sebuah kebetulan jika pakar-pakar antropologi Inggris yang paling terkemuka pasca perang dunia I dan II adalah mantan pegawai di negara-negara jajahan Inggris. Seperti Evan Pritchard, Leach dan Nadel. Bahkan yang terakhir, menggunakan kekuasaannya sebagai pejabat administrasi kolonial dalam penelitian antropologisnya dengan memerintahkan polisi kolonial untuk mengumpulkan penduduk sebagai objek questioner yang ia buat.

Pengaruh pemikiran orientalis terhadap kajian antropologi dalam menatap dunia Timur juga cukup besar. Sehingga tak jarang tatapan yang dihasilkan oleh suatu kajian terhadap masyarakat Timur tampak buram. Dalam buku Orientalism, W.E. Said berkata tentang masyarakat Timur : bangsa Timur adalah bangsa yang tidak logis, mereka terbelakang serta kekanak-kanakan, dan mereka berbeda dengan kita. Sementara bangsa Eropa adalah bangsa yang stabil, bermoral tinggi, matang, dan tidak mempunyai kekurangan 16. Banyak orientalis, dalam melihat Islam, lebih senang menyebutnya sebagai kaum Muhammedanisme. Hal itu tampak pada judul buku H.A.R.Gibb Muhammedanism 17, dan Gustave E. von Grunebaum Muhammadan Festival 18. Dan Oxford Dictionary tetap menggunakan terma ini meskipun telah ditentang oleh umat Islam. Hingga saat ini, pengaruh orientalis terhadap antropologi tak kunjung menurun. Malah orientalis seperti A. J. Arbery, H.A.R. Gibb, Lewis, von Grunebaum dan M. Watt telah turut menyusun konsep-konsep metodologis bagi banyak kajian antropologi 19. Pengaruh ini tampak jelas pada banyak antropolog. M. E. Meeker, misalnya, dalam bukunya Literature and Violence in North Arabia 20 menulis tentang bangsa Arab (Islam): Peradaban Baduwi di bagian Utara Jazirah Arabiyyah mempunyai pemikiran bahwa kekerasan adalah pokok kehidupan politik. Dan dalam melihat keluarga, barang dan hubungan sosial, mereka cenderung melihatnya dalam kerangka yang dibatasi oleh kekerasan. Sikap seperti itu tidak aneh, karena Meeker banyak mengambil materi kajiannya dari Doughty yang amat membenci Islam.Demikian pula P. Jeffrey, ketika mengadakan kajian tentang wanita muslimah di Delhi, memberikan judul buku hasil kajiannya itu Frogs in a Well—kodok-kodok di dalam sumur 21. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah: Apakah Islam tidak mempunyai konsep antropologi, sehingga bisa menjadi alternatif antropologi Barat itu?. Kalaupun ada, apakah hal itu pernah diwujudkan dalam sebuah konsep keilmuan yang utuh?.

C. Menemukan Antropologi Islam

Jika antropologi modern lahir di tangan ilmuan Barat, terutama kalangan missionaris dan pegawai administrasi kolonial, itu tidak berarti bahwa antropologi adalah karya mutlak ilmuan Barat. Sejarah ilmu pengetahuan justru mengukir dengan tinta emas bahwa ilmuan Islamlah yang telah membangun dan menyusun konstruksi ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tercatat nama-nama Ibn Khaldun, al Biruni, Ibn Bathuthah, al Mas'udi, al Idrisi, Ibnu Zubair serta Raghib al Ashfahani yang menulis kitab Tafshil 'n Nasyatain wa Tahshil 's Sa'adatain. Pada era modern ini, terdapat beberapa ilmuan Islam yang telah melakukan kajian antropologis, seperti Dr. Bintu Syathi, 'Abbas Mahmud al 'Aqqad, Dr. Aminah Nushair, Abdul Mun'im Allam, Muhammad Khadar, Dr. Zaki Isma'il, Dr. Akbar S. Ahmad, Kurshid Ahmad, Muhammad Iqbal, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Abul Wafa at-taftazani, Al 'Ajami dan ilmuan lainnya 22.

Karya Ibn Khaldun, dengan teori-teori dan materi ilmiahnya, telah mendahului dan mengungguli karya-karya ilmuan Barat seperti Karl Mark, Max Weber, Vilfredo Pareto, Ernest Gellner dan ilmuan Barat lainnya.Teori pendulum swing Gellner, tipologi kepemimpinan (typologi of leadership) yang ditulis Weber, serta teori Pareto tentang sirkulasi kepemimpinan (circulation of elites) dalam masyarakat Islam, semua itu tak lebih dari modifikasi atas teori-teori dan pemikiran yang telah digagas oleh Ibn Khaldun. Meskipun amat disayangkan, usaha Ibn Khaldun tersebut tidak dilanjutkan oleh ilmuan pasca Ibn Khaldun.

Menurut Akbar S. Ahmad, dari sekian ilmuan Islam yang telah mencurahkan pemikiran mereka dalam bidang antropologi tersebut, al Biruni berhak menyandang gelar Bapak antropologi. Tentang alasan pemilihan al Biruni sebagai Bapak antropologi dijelaskan dengan terperinci oleh Akbar S. Ahmad dalam tulisannya: Al-Biruni: The First Anthropologist 23. Al Biruni, menurut Akbar lagi, adalah ilmuan antropologi sejati dengan ukuran karakteristik yang paling tinggi sekalipun. Dan buku yang ditulis al Biruni tentang India yang berjudul Kitab Al Hind, terus menjadi salah satu referensi yang paling penting tentang Asia Selatan. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, adalah ilmu-ilmu yang lahir di tangan ilmuan muslim sekitar seribu tahun sebelum ilmuan Barat mempelajari ilmu-ilmu itu. Maka ketika umat Islam kembali mempelajari ilmu-ilmu tersebut, yang dilakukannya adalah semacam “menemukan kembali” apa yang sebelumnya dimiliki .

D. Paradigma Tauhid terhadap Antropologis dalam Pendekatan Mengkaji Islam

Mengaitkan definisi antropologi secara umum dengan kajian keislaman suatu tatanan masyarakat, maka pendekatan antropologis di sini dapat dipahami lebih jelas seperti apa yang diungkapkan Abudin Nata, bahwa; pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.

Apa yang dijelaskan dalam paparan Abudin Nata di atas tentang makna pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat ditemui bahwa yang melatarbelakangi pendekatan ini adalah pertumbuhan agama dalam suatu masyarakat merujuk pada konteks praktek agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Dan secara terperinci Amin Abdullah mengungkapkan dalam artikelnya, bahwa yang melatarbelakangi pendekatan antropologis tersebut adalah melihat kepada beberapa hal. Dimana hal-hal tersebut dapat dipahami sebagaimana yang terlihat dalam kutipan berikut:

“Bahwa dalam memahami agama selalu mencakup dua entitas yang tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan, yaitu normativitas (teks, ajaran, belief, dogma) dan juga  historisitas, yaitu praktik dan pelaksanaan ajaran, teks, belief, dogma tersebut dalam kehidupan konkrit di lapangan, seperti di lingkungan kehidupan komunitas, masyarakat pedesaan (rural) atau perkotaan (urban), situasi konteks politik, jaman yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda dan begitu seterusnya. Pendekatan antropologi terhadap entitas keberagamaan dan entitas keislaman adalah ibarat pembuatan peta. Pendekatan antropologi bersikap deskriptif, melukiskan apa adanya dari realitas yang ada, dan bukannya normative, dalam arti tidak ada keinginan dari si pembuat peta untuk mencoret, menutup atau tidak menggambar atau menampilkan alur jalan yang dianggap kira-kira tidak enak atau berbahaya untuk dilalui. Pendekatan antropologi harus bersikap jujur, apa adanya, tanpa ada muatan interes-interes atau kepentingan tertentu (golongan, ras, etnis, gender, minoritas-mayoritas) untuk tidak membuat peta (keagamaan manusia) apa adanya.

Jadi dapat ditarik pengertian bahwa pendekatan antropologis dalam memahami agama dilatarbelakangi dari cakupan agama melalui sisi historisitas yang terdapat lingkupan bahasan di dalamnya yang meliputi praktik dan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pelaksanaan ajaran ini sesuai dengan konteks lingkungannya, masa, tingkat pendidikan, dan konteks-konteks lain yang sedang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dan dalam hal ini praktek dan pelaksanaan agama adalah khusus tertuju pada ajaran Islam. Dimana ajaran Islam yang dimaksud merupakan ajaran yang telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain yaitu Islam yang telah demikian melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, suku, kelompok atau lebih besar lagi suatu bangsa, sehingga ia telah terinstitusional dalam kehidupan organisasi, budaya, politik dan agama itu sendiri.

Berdasarkan pemahaman-pemahaman yang tersebut di atas menunjukkan bahwa pendekatan antropologis dalam memahami agama, khususnya Islam dalam konteks kemasyarakatannya adalah salah satu pendekatan cukup signifikan ketika seseorang ingin memahami Islam yang berlaku dalam sebuah tatanan kehidupan masyarakat. Sehingga dalam konteks lain, ketika terdapat perbedaan-perbedaan pelaksanaan ajaran Islam antara suatu kelompok, suku, organisasi, dengan kelompok yang lain; ini dapat dipahami lebih lanjut dan detail sebab-musababnya melalui pendekatan yang salah satunya adalah pendekatan antropologis ini. Wallahu A'lam